BAB I PENDAHULUAN. kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan. pemerintahan dan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya demokratisasi menjadi

ANALISIS PENGARUH BELANJA DAERAH TERHADAP CAPAIAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (Studi Kasus Pada SKPD Di Boyolali) MEVIANA SUSILOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya diatur dalam undang-undang (UU) No. 22 Tahun 1999 menjadi

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA KEUANGAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO APBD

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan desentraliasasi fiskal, Indonesia menganut sistem pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Awal diterapkannya otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. kerja dengan alokasi anggaran yang tersedia. Kinerja merupakan. organisasi (Nugroho dan Rohman, 2012: 1). Kinerja menurut Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Untuk melaksanakan hak dan kewajiban serta untuk melaksanakan tugas yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan.undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang

ANALISIS ALOKASI BELANJA LANGSUNG PADA ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DI PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang. fundamental dalam hubungan Tata Pemerintah dan Hubungan Keuangan,

BAB I PENDAHULUAN. daerah, maka semakin besar pula diskreasi daerah untuk menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dampak yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah (Pemda) dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anggaran merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi.

PENGARUH KARAKTERISTIK TUJUAN ANGGARAN TERHADAP KINERJA APARAT PEMERINTAH DAERAH DI KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan diberlakukannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan-tujuan. Kinerja terbagi dua jenis yaitu kinerja tugas merupakan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Kalimantan Utara Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

1.1 Latar Belakang PPAS APBD 2016 BAB I 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan pembangunan nasional telah ditempuh berbagai upaya perbaikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dewan melainkan juga dipengaruhi latar belakang pendidikan dewan,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memperkenalkan kebijakan otonomi daerah. Keseriusan pemerintah Indonesia

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah semua penerimaan daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. rancangan APBD yang hanya bisa diimplementasikan apabila sudah disahkan

BAB I PENDAHULUAN. utuh, sehingga wilayah negara Indonesia terbagi ke dalam daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan gagasan yang terjadi di berbagai negara,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. oleh rakyat (Halim dan Mujib 2009, 25). Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BUPATI BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

kapasitas riil keuangan daerah dapat dilihat pada tabel berikut:

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan baru dari pemerintah Republik Indonesia yang mereformasi

3.2. Kebijakan Pengelolalan Keuangan Periode

BAB I PENDAHULUAN. dapat dikatakan bahwa organisasi tersebut efektif. Sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini Negara Indonesia sedang berada dalam sistem pemerintahan yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 Alinea ke-iv, yakni melindungi

A. Latar Belakang Masalah

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan dalam bentuk( penerapan hukum dan undang-undang) di kawasan. dalam melakukan aktivitas yang berkaitan dengan publik.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.2. MAKSUD DAN TUJUAN PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN

BAB I PENDAHULUAN. daerah diharapkan mampu menciptakan kemandirian daerah dalam mengatur dan

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB 1 PENDAHULUAN. No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara. Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebabkan perubahan mendasar

20 Pertanyaan dan Jawaban mengenai Pengelolaan keuangan daerah:

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepmendagri memuat pedoman penyusunan rancangan APBD yang. dilaksanakan oleh Tim Anggaran Eksekutif bersama-sama Unit Organisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN. bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan kebijakan yang. daerahnya masing-masing atau yang lebih dikenal dengan sebutan

KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA KANTOR SEKRETARIAT KABUPATEN KUTAI BARAT. Supina Sino,Titin Ruliana,Imam Nazarudin Latif

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah memberikan hak, wewenang, dan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah memungkinkan percepatan pembangunan, karena daerah diberi kewenangan dalam menyelesaikan permasalahan daerah. Dengan otonomi daerah pemerintah daerah diberikan keleluasaan dalam mengatur penerimaan dan pengeluarannya sesuai dengan kepentingan daerahnya. Pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola sumber daya yang dimilikinya dan melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Masing-masing daerah otonom diberikan kewajiban dan kewenangan untuk menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). APBD disusun oleh suatu daerah untuk meningkatkan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan adanya APBD, suatu daerah dapat memaksimalkan sumber-sumber pendapatan daerah, lalu membelanjakan dana tersebut sesuai program dan kegiatan yang telah ditentukan dalam peraturan daerah setempat. Sumbersumber pendapatan daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sedangkan 1

2 pengeluaran dilakukan oleh daerah dalam bentuk belanja daerah. (Vegirawati, 2012: 65). Mahmudi (2009) menyatakan bahwa jika dilihat dari hubungan belanja dengan suatu aktivitas, maka belanja dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: belanja langsung merupakan belanja yang terkait dengan kegiatan, yang meliputi: belanja tenaga kerja langsung, belanja barang dan jasa, belanja modal, yang kedua adalah belanja tidak langsung yaitu belanja yang tidak terkait secara langsung dengan suatu kegiatan yang dilaksanakan, yang termasuk dalam belanja ini adalah: belanja pegawai, belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Anggaran pemerintah terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter yang menggunakan dana milik masyarakat. Hal inilah yang menjadi perbedaan dengan anggaran sektor swasta. Pada sektor pemerintah pendanaan organisasi berasal dari pajak dan retribusi, laba perusahaan atau badan usaha milik daerah atau negara. Tahap penganggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang telah disusun. Lingkup APBD menjadi penting di lingkungan pemerintah daerah. Hal ini terkait dengan dampak APBD terhadap kinerja pemerintah, sehubungan dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya, DPRD akan mengawasi kinerja pemerintah

3 melalui APBD, sehingga APBD sangat penting karena merupakan suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi serta tingkat efektivitas dan efisiensi anggaran (Ekawarna, et al. 2009: 50). Sebagai instrumen kebijakan APBD menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang. Sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Maka pemerintah daerah harus pandai dalam menyelanggarakan pemerintahannya sehingga tercipta tata kelola pemerintahan yang baik serta adanya evaluasi yang berkala atas capaian pemerintah daerah dalam kurun waktu tertentu. Pengukuran kinerja merupakan salah satu cara yang dapat digunakan pemerintah daerah dalam mencapai pemerintahan yang baik. Pengukuran kinerja merupakan komponen yang penting karena akan memberikan umpan balik atas rencana yang telah diimplementasikan (Chow, et al. dalam Sumarjo, 2010). Terkait dengan prestasi kerja, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 mengamanatkan untuk dilakukan penilaian atas prestasi kerja

4 dengan menggunakan tolak ukur, indikator dan target kinerja. Hasil akhir atas penilaian kinerja adalah capaian-capaian kinerja yang diformulasikan dalam bentuk ekonomis, efisiensi, dan efektivitas. Ekonomis dan efisiensi terkait dengan pelaksanaan suatu kegiatan, sedangkan efektivitas akan selalu terkait dengan pelaksanaan suatu program. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bertanggung jawab untuk menyajikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan suatu kegiatan, menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (RKA-SKPD) seperti yang diamanatkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) yaitu SKPD selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran. Rencana kerja dan anggaran disusun dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Mahmudi (2009) mengungkapkan indikator kinerja dalam pemerintah daerah setidaknya meliputi dua tingkatan, yaitu ukuran kinerja pada tingkat kabupaten/kota, dan ukuran kinerja pada satuan kerja. Ukuran kinerja tingkat kabupaten/kota digunakan untuk mengukur dan menilai kinerja pemda dalam mengimplementasikan strategi dalam mencapai visi misi daerah yang dituangkan dalam dokumen rencana strategis daerah. Ukuran kinerja tingkat satuan kerja digunakan untuk mengukur kinerja satuan kerja dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang secara spesifik terdapat dalam rencana strategi satuan kerja. Indikator kinerja menjadi standar pencapaian kinerja dan

5 ditindaklanjuti dengan adanya evaluasi kinerja. Evaluasi bertujuan untuk mengetahui apakah pencapaian kinerja dapat dinilai dan dipelajari guna perbaikan pelaksanaan program/kegiatan di masa yang akan. Evaluasi kinerja juga menjadi dasar pemberian reward dan punishment. Penelitian sebelumnya Vegirawati (2012) yang meneliti di Kabupaten Kota di Sumatera Selatan tentang pengaruh alokasi belanja langsung terhadap kualitas pembangunan manusia memperoleh hasil bahwa belanja langsung tidak dapat memprediksi indeks pembangunan manusia. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya (Christy dan Adi, 2009) yang mengungkapkan bahwa belanja modal yang merupakan bagian dari belanja langsung mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap IPM. Munawar 2006 yang meneliti tentang pengaruh karakteristik tujuan anggaran terhadap perilaku, sikap, kinerja aparat pemerintah daerah di Kabupaten Kupang hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa karakteristik tujuan anggaran secara keseluruhan mengasilkan pengaruh terhadap kinerja aparat pemerintah daerah. Shita Unjaswati Ekawarna, Iskandar Sam, Sri Rahayu tahun 2009 mengenai Pengukuran kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pemerintah daerah Kabupaten Muaro Jambi memperoleh hasil bahwa dana APBD masih banyak digunakan untuk kegiatan operasional yang bersifat rutin, sedangkan untuk belanja pembangunan masih relatif kecil. Namun demikian, kinerja pemerintah dalam memungut PAD (dalam hal pajak daerah) sudah efisien meskipun pengalokasian dalam pembangunan masih

6 rendah, sehingga dalam penelitian Ekawarna menyatakan bahwa kinerja APBD belum baik. Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti tertarik untuk menganalisis seberapa besar penyerapan belanja daerah di Kabupaten Boyolali. Untuk itu skripsi ini mengambil judul: Analisis Pengaruh Belanja Daerah Terhadap Capaian Kinerja Instansi Pemerintah (Studi Kasus Pada SKPD Di Boyolali). B. Batasan Masalah Penelitian ini difokuskan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Boyolali yang dibatasi periode tahun 2010 dan pengaruh belanja daerah hanya diukur dengan Belanja Pegawai Negeri Sipil, Belanja Pegawai Honorer, Belanja Barang dan jasa, dan Belanja Modal. C. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah Belanja Pegawai Negeri Sipil mempengaruhi Capaian Kinerja Instansi Pemerintah? 2. Apakah Belanja Pegawai Honorer mempengaruhi Capaian Kinerja Instansi Pemerintah?

7 3. Apakah Belanja Barang dan Jasa mempengaruhi Capaian Kinerja Instansi Pemerintah? 4. Apakah Belanja Modal mempengaruhi Capaian Kinerja Instansi Pemerintah? D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris pengaruh Belanja Tidak Langsung (Belanja Pegawai Negeri Sipil), dan Belanja Langsung (Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, dan Belanja Modal) terhadap Capaian Kinerja Pemerintah Daerah pada SKPD di Kabupaten Boyolali tahun 2010. E. Manfaat Penelitian Beberapa kegunaan penelitian ini berupa kontribusi empiris, kebijakan, dan teori. 1. Kontribusi empiris pada pengaruh belanja daerah terhadap capaian kinerja pemerintah daerah; 2. Kontribusi kebijakan pada Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam hal menyusun kebijakan di masa yang akan datang; 3. Kontribusi teori sebagai referensi dan data tambahan bagi penelitipeneliti berikutnya yang tertarik pada bidang kajian ini.

8 F. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk mengetahui gambaran dari skripsi ini dan agar mudah dalam memahaminya, maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pada bab satu ini memuat mengenai: latar belakang masalah, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini membahas tinjauan pustaka yang memuat landasan teori, kerangka konseptual, pengembangan hipotesis serta penelitian terdahulu. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini memuat uraian tentang desain penelitian, populasi, sampel, jenis dan sumber data, variabel penelitian dan definisi operasional, serta metode analisis data. BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini menjelaskan mengenai hasil dari analisis pengujian hipotesis dan pembahasannya, dan hasil analisis data. BAB V PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan yang didukung oleh bukti-bukti dan hasil analisis data, saran-saran yang diberikan dari hasil penelitian dan rekomendasi bagi penelitian selanjutnya.