DEPARTEMEN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL AGRARIA. Nomor : Ba. 12/10812/75 Jakarta,

dokumen-dokumen yang mirip
MENTERI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 1975 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI TATA CARA PEMBEBASAN TANAH

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat penting bagi

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 1994 TENTANG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 Tentang : Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 1973 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI TATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK (LNRI. No. 38, 1977; TLNRI No. 3107)

MENTERI DALAM NEGERI PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 3 TAHUN 1978 TENTANG FATWA TATA-GUNA TANAH MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK. Presiden Republik Indonesia,

MENTERI DALAM NEGERI

MENTERI NEGERI AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Kepada : SURAT- EDARAN NOMOR: 01/SE/1977 TENTANG PERMINTAAN DAN PEMBERIAN CUTI PEGAWAI NEGERI SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DI ATASNYA

DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1960 TENTANG PENGUBAHAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 1957 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PERTANAHAN NASIONAL

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1982 TENTANG IRIGASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1993 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PROVINSI SULAWESI UTARA KEPUTUSAN BUPATI BOLAANG MONGONDOW UTARA NOMOR 194 TAHUN 2014

DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL Jakarta, 1 Nopember 1993

MENTERI DALAM NEGERI

DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR: 3 TAHUN 1979 TENTANG

DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 1987 TENTANG

BUPATI LAMPUNG BARAT

MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1988 Tentang : Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal Di Daerah

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 5 TAHUN 1974 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI PENYEDIAAN DAN PEMBERIAN TANAH UNTUK KEPERLUAN PERUSAHAAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RGS Mitra 1 of 5 NO NORMA STANDAR MEKANISME KETATALAKSANAAN KUALITAS PRODUK KUALITAS SDM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG

Lampiran I : Keputusan Walikota Tasikmalaya Nomor : 40 Tahun 2004 Tahun : 21 Juli 2004

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2004 TENTANG PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAM UMUM PROPINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I JAWA TIMUR KEPUTUSAN NOMOR 19 TAHUN 1995 TENTANG

Jakarta, 7 Desember 1991

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI DALAM NEGERI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 3 TAHUN 1977 TENTANG

MENTERI DALAM NEGERI

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN DAERAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR NO. 8 TAHUN 1974 TENTANG PELAKSANAAN PENEGASAN HAK ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor: 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

piutang yang dijamin dengan hak tanggungan telah lunas atau kreditur melepaskan hak tanggungan yang bersangkutan. 68

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I JAWA BARAT

DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I LAMPUNG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 399/Kpts-II/1990 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 5 TAHUN 1974 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMBERIAN TANAH UNTUK KEPERLUAN PERUSAHAAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL AGRARIA NOMOR 3 TAHUN 1968 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN PRESIDIUM KABINET NOMOR 5/PRK/1965 DIREKTUR JENDERAL AGRARIA,

KEPUTUSAN WALIKOTA TASIKMALAYA. NOMOR : 41 TAHUN 2004 LAMPIRAN : 1 (satu) berkas TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI KOTA TASIKMALAYA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN. NOMOR : 900/Kpts-II/1999 TENTANG

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 1992 TENTANG

PERATURAN MENTERI AGRARIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG

WALIKOTA BATU KEPUTUSAN WALIKOTA BATU NOMOR: 180/7/KEP/ /2012 TENTANG

BUPATI BERAU PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR KEPUTUSAN WALIKOTA BATU NOMOR: /62/KEP/ /2015 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR : 900/Kpts-II/1999 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Laboratorium Fakultas Hukum. Universitas Islam Indonesia

SURAT IZIN KEPALA DINAS PENANAMAN MODAL DAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU KABUPATEN SUKABUMI. Nomor : 503.1/757- DPMPTSP/2017 TENTANG IZIN LOKASI

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1980 TENTANG ORGANISASI DAN TATAKERJA PENYELENGGARAAN LANDREFORM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Presiden Republik Indonesia,

NOMOR 8 TAHUN 1953 TENTANG PENGUASAAN TANAH-TANAH NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1976 TENTANG CUTI PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG NOMOR 6 TAHUN 1988 TENTANG KOORDINASI KEGIATAN INSTANSI VERTIKAL DI DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1961 TENTANG PENCABUTAN HAK-HAK ATAS TANAH DAN BENDA-BENDA YANG ADA DIATASNYA

MENURUT KETENTUAN HUKUM TANAH NASIONAL

KEPUTUSAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH NOMOR : 04 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN TATA TERTIB MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH

Menimbang: Mengingat:

BUPATI GUNUNGKIDUL PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 110 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN BELANJA HIBAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1988 TENTANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1980 TENTANG ORGANISASI DAN TATAKERJA PENYELENGGARAAN LANDREFORM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1987 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENGGUNAAN TANAH UNTUK KEPERLUAN TEMPAT PEMAKAMAN

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KMK.08/2002 TENTANG PANITIA URUSAN PIUTANG NEGARA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG BIAYA PENDAFTARAN TANAH

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

DEPARTEMEN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL AGRARIA Nomor : Ba. 12/10812/75 Jakarta, 3 12 1975 Lampiran : - Kepada yth.: Perihal : Pelaksanaan pembebasan tanah. 1. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di Seluruh Indonesia U.p. Para Kepala Direktorat Agraria. 2. Kepala Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Gubernur Kepala Daerah, Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya U.p. Kepala Direktorat Agraria. 4. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II di Seluruh Indonesia U.p. Para Kepala Sub Direktorat Agraria. SURAT EDARAN : Akhir-akhir ini dirasakan adanya peningkatan kebutuhan akan tanah untuk keperluan berbagai macam pembangunan, sedang tanah Negara yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan tersebut sudah sangat terbatas sekali/tidak ada lagi, sehingga satusatunya jalan yang dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas, ialah dengan cara pembebasan tanah milik rakyat atau tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dengan hak-hak adat, atau tanah dengan hak-hak lainnya. Dalam pada itu ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tata cara pembelian tanah untuk keperluan Negara, maupun susunan dan keanggotaan Panitia yang bertugas dalam bidang ini, sebagai dimuat dalam Byblad No. 11372 jo 12372, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan keadaan dewasa ini sehingga perlu diadakan penyesuaian dan penyempurnaan seperlunya. Sambil menunggu adanya Peraturan yang akan menampung segala permasalahan seperti itu, untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan pembebasan tanah dan tata cara penentuan besarnya ganti rugi secara teratur, tertib dan seragam, dipandang perlu adanya suatu petunjuk yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pembebasan tanah dan dalam menentukan besarnya ganti rugi. Untuk itu dengan ini diminta perhatian Saudara-saudara mengenai hal-hal sebagai berikut: I. Yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah setiap perbuatan yang bermaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada antara pemegang hak/penguasa, atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak/penguasa atas tanah itu. II. Pembebasan tanah untuk keperluan Pemerintah: 1. Pembebasan tanah untuk keperluan Pemerintah harus dilaksanakan oleh sesuatu Panitia Pembebasan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tk. I untuk suatu wilayah Propinsi yang bersangkutan dan atau atas kuasa Gubernur Kepala Daerah Tk. I oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya, yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur-unsur: a. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua merangkap anggota; b. Seorang Pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tk. II yang ditunjuk oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai anggota; c. Kepala Kantor IPEDA/IREDA atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota; d. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tk. II atau pejabat yang ditunjuknya apabila mengenai tanah bangunan dan atau Kepala Dinas Pertanian/ Pusat Hukum dan Humas BPN RI Hal. 1

Perkebunan Daerah Tk. II atau pejabat yang ditunjuknya jika mengenai pertanian/perkebunan sebagai Anggota; e. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai anggota; f. Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota; g. Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota; h. Seorang pejabat dari Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yang ditunjuk oleh Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan sebagai Sekretaris bukan anggota. 2. Dalam hal-hal tertentu Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II dapat mengetuai sendiri Panitia tersebut dalam ayat (1) di atas. 3. Gubernur Kepala Daerah Tk. I dapat menambah anggota Panitia Pembebasan Tanah, apabila ternyata untuk menyelesaikan pembebasan tanah itu diperlukan seorang ahli; 4. Apabila tanah yang harus dibebaskan itu, terletak di beberapa daerah Tk. II atau menyangkut proyek-proyek khusus, maka Gubernur Kepala Daerah Tk. I dapat membentuk Panitia Pembebasan Tanah Tingkat Propinsi dengan susunan keanggotaan dari instansi-instansi tersebut di atas. 5. Keanggotaan Kepala Kecamatan dan Kepala Desa disesuaikan dengan letak tanah yang akan dibebaskan itu. III. Pelaksanaan pembebasan tanah harus berpedoman pada peraturan yang berlaku dan dalam penentuan besarnya ganti rugi harus diusahakan dengan asas musyawarah antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan mempertimbangkan/memperhatikan harga dasar setempat yang ditetapkan secara berkala oleh suatu Panitia sebagai dimaksud dalam PMDN 1/1975 serta dengan memperhatikan kemampuan anggaran keuangan Pemerinah. Untuk terpenuhinya asas tersebut Panitia berkewajiban untuk: a. Mengadakan inventarisasi dan pemeriksaan setempat terhadap keadaan dan status serta luas tanah yang bersangkutan beserta bangunan dan tanamantanaman yang ada di atasnya. b. Mengadakan perundingan dan menaksir besarnya ganti rugi yang harus diterimakan kepada yang berhak. c. Menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak dan membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa pertimbangan untuk permohonan haknya. d. Dalam menetapkan besarnya ganti rugi, Panitia harus memperhatikan faktor-faktor yang ikut menentukan harga tanah (lokasi dan sebagainya), sedang dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman harus berpedoman pada ketentuan-ketrentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Dinas Pertanian setempat. Dalam hal pedoman tersebut belum ditetapkan hendaknya diminta pendapat/pertimbangan dari instansi-instansi dimaksud. e. Di dalam menentukan besar ganti rugi, hendaknya diusahakan tercapainya kata sepakat di antara para anggota Panitia dengan memperhatikan kehendak pihakpihak yang bersangkutan. Jika tidak terdapat kata sepakat di antara para anggota Panitia mengenai besarnya ganti rugi, maka yang digunakan adalah harga ratarata dari taksiran masing-masing. f. Yang berhak atas ganti rugi ialah orang-orang yang berhak atas tanah/bangunan/ tanaman yang ada di atasnya dengan berpedoman pada hukum adat setempat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam UUPA dan kebijaksanaan Pemerintah. IV. Keputusan Panitia Pembebasan tanah mengenai besarnya/bentuk ganti rugi disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan dan para anggota Panitia. V Dalam pada itu tidak mustahil akan terjadi penolakan mengenai menetapan besarnya uang ganti rugi yang telah ditetapkan oleh Panitia Pembebasan Tanah. Dalam Pusat Hukum dan Humas BPN RI Hal. 2

keadaan yang demikian maka penolakan itu harus disampaikan kepada Panitia disertai alasan-alasan menjadi dasar penolakan. Dalam menghadapi penolakan tersebut Panitia setelah mempertimbangkan alasan-alasan penolakan dapat mengambil sikap: Tetap pada keputusan semula atau meneruskan penolakan tersebut kepada Gubernur Kepala Daerah Tk. I disertai asas-asas dan pertimbangannya untuk mendapatkan keputusan. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan dapat mengambil keputusan yang bersifat mengukuhkan putusan Panitia, atau menentukan lain yang bersifat mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh kedua belah pihak, di dalam mengambil keputusan tersebut hendaknya para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I mempertimbangkan kepentingan kedua belah pihak dari segala segi. VI. Bila telah tercapai kata sepakat mengenai bentuk/besarnya ganti rugi, maka pembayaran harus dilaksanakan secara langsung oleh instansi yang bersangkutan kepada pemegang hak atas tanah/orang-orang yang berhak, bersamaan dengan penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurangkurangnya empat orang anggota Panitia Pembebasan Tanah, diantaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan. Untuk kepentingan pembuktian dokumentasi maupun syarat-syarat kelengkapan data yang diperlukan untuk penyelesaian permohonan sesuatu hak atas tanah oleh instansi yang bersangkutan, maka pembayaran ganti rugi serta pernyataan pelepasan hak tersebut harus dibuat dalam bentuk Berita Acara dengan dilampiri suatu daftar secara kolektif dari pihakpihak yang telah menerima pembayaran ganti rugi tersebut sekurang-kurangnya dalam 8 (delapan) ganda. VII. Untuk mewujudkan tertib penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, setiap pembebasan hak atas tanah yang sudah selesai harus diikuti dengan pengajuan permohonan sesuatu hak atas tanah kepada pejabat yang berwenang sebagaimana telah ditetapkan dalam PMDN 6/1972 dan menurut prosedur sebagaimana telah ditetapkan dalam PMDN 5/1973. VIII. Pembebasan tanah untuk kepentingan Swasta. Karena kepentingan swasta pada asasnya adalah sejajar dengan kepentingan anggota-anggoa masyarakat, maka pembebasan tanah untuk kepentingan swasta pada asasnya harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi yang besarnya ditentukan secara musyawarah. Dalam pada itu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan maupun garis-garis kebijaksanaan Pemerintah mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah, maka diwajibkan kepada Pemerintah Daerah untuk mengawasi pelaksanaan pembebasan dan pembayaran ganti rugi yang dilakukan oleh pihak swasta. IX. Tata cara pengajuan penyelesaian permohonan pembebasan tanah untuk keperluan Pemerintah. 1. Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah diwajibkan mengajukan permohonan pembebasan tanah kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atau pejabat yang ditunjuk dengan tindasannya disampaikan kepada Panitia Pembebasan Tanah setempat dengan disertai/dilengkapi dengan keterangan-keterangan tentang: a. maksud dan tujuan pembebasan tanah dan penggunaan selanjutnya; b. status tanah (jenis/macam haknya, luas dan letaknya); c. gambar situasi tanah; d. kesediaan untuk memberikan ganti rugi atau fasilitas lain kepada yang berhak atas tanah. 2. Tanah-tanah yang akan dipergunakan oleh instansi yang bersangkutan harus diberi tanda batas yang jelas. 3. Pada gambar situasi tanah, harus dimuat semua keterangan yang diperlukan, seperti: tanda-tanda batas, jalan-jalan, saluran-saluran air, kuburan, bangunanbangunan dan tanam-tanaman yang ada. Oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I berkas-berkas permohonan tersebut selengkapnya diserahkan kepada Panitia Pembebasan Tanah setempat untuk dilaksanakan disertai dengan petunjuk dan pertimbangan-pertimbangannya. Pusat Hukum dan Humas BPN RI Hal. 3

X. Biaya-biaya untuk Panitia Pembebasan Tanah. Dengan berpedoman pada ketentuan dalam Stbl. 1916 No.517 pasal 9 jo Peraturan Menteri Agraria No.10 Tahun 1961 pasal 6 dan 7, maka para anggota dan Sekretaris Panitia Pembebasan Tanah masing-masing mendapat uang honorarium sebesar ¼% (seperempat persen) dari keseluruhan jumlah harga ganti rugi atas tanah, termasuk tanaman dan bangunan, dengan ketentuan untuk seluruh anggota Panitia tersebut diberikan dengan maksimum besar 1½% (satu setengah persen). Uang honorarium ini merupakan pendapatan pribadi. Biaya-biaya transport, pengamanan, sidang-sidang dan lain-lain dibebankan kepada pemohon/instansi yang bersangkutan yang diterimakan kepada Panitia dengan memberikan tanda penerimaan resmi. XI. Acara pelepasan Hak Tanah. Untuk Pelaksanaan pelepasan hak di masa-masa mendatang, diharapkan perhatian Saudara-saudara secara khusus mengenai: 1. Pelaksanaan pelepasan hak untuk kepentingan Pemerintah dilakukan sekaligus di hadapan Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam angka VI surat Edaran ini, dengan tidak memerlukan lagi pembuatan akte pelepasan hak secara khusus, dihadapan Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya, Camat (Kepala Kecamatan) ataupun Notaris setempat. 2. Pelaksanaan-pelaksanaan hak untuk kepentingan Swasta harus dilakukan dengan pembuatan akte pelepasan yang dibuat di hadapan Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya, Camat (Kepala Kecamatan) ataupun Notaris setempat. 3. Pada pelepasan hak untuk kepentingan Pemerintah sebagaimana tersebut dalam angka 1 di atas tidak dikenakan lagi biaya tambahan pembuatan akte pelepasan hak, selain daripada biaya-biaya yang telah ditetapkan di dalam angka X Surat Edaran ini. 4. Pembuatan akte pelepasan hak untuk kepentingan swasta, pejabat-pejabat yang membuat akte pelepasan hak tersebut dalam angka XI.2 di atas, dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Agraria No 10 Tahun 1961 pasal 6 dan 7 tersebut diperkenankan untuk memungut biaya maksimum sebesar 1½% dari keseluruhan jumlah harga ganti rugi atas tanah, tanaman dan bangunan yang bersangkutan. XII. Khusus untuk pembebasan dan pelepasan Hak Guna Usaha atas tanah perkebunan dengan maksud untuk disesuaikan peruntukan dan penggunaannya dengan perkembangan planologi daerah (misalnya untuk keperluan pembangunan pemukiman dan industri), ditentukan sebagai berikut: 1. Pembebasan tanah Hak Guna Usaha untuk keperluan Pemerintah yang lokasinya pembangunan/proyeknya telah ditentukan lebih dahulu dengan keputusan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, dilakukan dengan acara yang sama seperti pembebasan tanah untuk keperluan Pemerintah lainnya, sebagaimana ditentukan dalam angka II, III, IV, V, IX, dan X. Demikian pula acara pelepasan Hak Guna Usahanya juga sama seperti acara pelepasan hak tanah untuk keperluan Pemerintah lainnya yang ditentukan dalam angka XI. 1 dan 3. 2. Pembebasan serta pelepasan Hak Guna Usaha untuk keperluan Pemerintah yang lokasi pembangunan/proyeknya belum ditentukan dengan suatu keputusan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, dilakukan dengan acara yang sama seperti dimaksud dalam angka 1 di atas dengan ketentuan : a. sebelum pembebasan tersebut dilakukan oleh pihak instansi Pemerintah yang bersangkutan terlebih dahulu harus dimintakan izin dari Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Agraria, yaitu izin untuk membebaskan tanah Hak Guna Usaha dimaksud serta untuk kepentingan apa pembebasan Hak Guna Usaha itu dilakukan. b. rencana pembangunan atas tanah yang dibebaskan Hak Guna Usahanya itu harus sesuai dengan perencanaan/planing Daerah setempat yang telah ada. Pusat Hukum dan Humas BPN RI Hal. 4

3. Pembebasan tanah Hak Guna Usaha untuk keperluan swasta, dilakukan dengan acara seperti ditentukan dalam angka VIII dengan ketentuan seperti tersebut pada angka 2 huruf a dan b di atas. Pelepasan Hak guna Usaha untuk keperluan swasta dilakukan dengan acara seperti ditentukan dalam angka XI.2 dan 4. 4. Setelah pembebasan/pelepasan Hak Guna Usaha selesai harus diikuti dengan pengajuan permohonan sesuatu hak atas tanah seperti ditentukan dalam angka VII dengan ketentuan bahwa tanah tersebut diperlukan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara sepenuhnya tanpa memperhitungkan ganti rugi yang telah dikeluarkan untuk pembebasan/pelepasan Hak Guna Usaha sebelumnya, serta nilai sisa jangka waktu Hak Guna Usaha yang dibebaskan/dilepaskan itu. XIII. Lain-lain. Berhubung sering terjadi pembebasan tanah meliputi areal yang cukup luas, sehingga mau tidak mau akan membawa akibat pemindahan penduduk, maka pemberian izin pembebasan tanah yang meliputi daerah yang cukup luas harus disertai pula kewajiban bagi pihak yang memerlukan tanah untuk menyediakan tempat penampungan pemukiman baru. Di samping kewajiban pembayaran ganti rugi. Bagi mereka yang terkena pembebasan tanah dan berminat untuk pindah ke tempat penampungan yang telah disediakan itu, maka pelaksanaan pemindahan berikut biaya-biaya yang diperlukan untuk itu diatur lebih lanjut oleh Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II yang bersangkutan. Tentang tata cara pelaksanaan pembebasan tanah yang pernah diatur dalam surat Edaran terdahulu, antara lain dalam surat-surat Menteri Dalam Negeri tangal 28 Mei 1969 No. Ba 5/281/5 perihal acara membebaskan/melepaskan hak atas tanah yang akan diminta dengan hak lain dan tanggal 28 Mei 1969 No. Ba 5/282/5 perihal Panitia Pembelian Tanah Pemerintah, Maka segala sesuatu dalam pelaksanaannya supaya disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam surat Edaran ini. Akhirnya demi untuk terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan akan tanah untuk keperluan pembangunan di satu pihak, dan lain pihak untuk tetap mencegah terjadinya hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, maka diharapkan agar ketentuan tersebut di atas mendapat perhatian para pejabat yang bersangkutan, dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. A.N. MENTERI DALAM NEGERI DIREKTUR JENDERAL AGRARIA, ABDULRACHMAN S. TEMBUSAN: 1. Yth. Sdr. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. 2. Yth. Sdr. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II di Seluruh Indonesia. ttd. Pusat Hukum dan Humas BPN RI Hal. 5