DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI INDUSTRI RAYON. Beban Emisi Maksimum 1 Carbon Disulfide Kg/ Ton Fiber 115.

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tent

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2008

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 34 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BAUKSIT

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH BESI

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KEDELAI

FORMAT PELAPORAN PEMANTAUAN EMISI DAN KONDISI DARURAT PENCEMARAN UDARA KEGIATAN DAN/ATAU USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 133 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU EMISI BAGI KEGIATAN INDUSTRI PUPUK MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

MEMUTUSKAN: Menetapkan :PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KELAPA.

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 09 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON

MEMUTUSKAN: Menetapkan :PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN RUMPUT LAUT.

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN KEDELAI

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 05 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI GULA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI OLEOKIMIA DASAR

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR16 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DOKUMEN LINGKUNGAN HIDUP

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 129 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP. Emisi Gas. Baku Mutu. Kategori L3. PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU UDARA AMBIEN DAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK DI JAWA TIMUR

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 129 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PETERNAKAN SAPI DAN BABI

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI MINYAK GORENG

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 133 TAHUN 2004 TENTANG BAKU MUTU EMISI BAGI KEGIATAN INDUSTRI PUPUK MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

2016, No Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KEPUTUSAN GUBERNUR PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 169 TAHUN 2003

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 06 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI INDUSTRI ROKOK DAN/ATAU CERUTU

Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha dan/atau kegiatan pembangkit listrik tenaga termal adalah usaha dan/atau kegiatan

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG BAKU MUTU LINGKUNGAN HIDUP DAN KRITERIA BAKU KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

2016, No Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan K

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KAWASAN INDUSTRI MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PETERNAKAN SAPI DAN BABI

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 01 TAHUN 2010 TENTANG TATA LAKSANA PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

STANDAR KOMPETENSI PENANGGUNGJAWAB PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA. : Penanggung Jawab Pengendalian Pencemaran. Lingkungan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 09 TAHUN 2006 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH NIKEL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 04 TAHUN 2006 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH TIMAH

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI PETROKIMIA HULU

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 113 TAHUN 2003 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG AUDIT LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 1995 Tentang : Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

2013, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indone

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 02 TAHUN 2006 TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN RUMAH PEMOTONGAN HEWAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PEMBINAAN PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN DI PROVINSI DKI JAKARTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENILAIAN MANDIRI ASPEK PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PENGUATAN KAPASITAS PROPER 2014 FORM PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 52 TAHUN 2011 TENTANG IJIN PEMBUANGAN DAN/ATAU PEMANFAATAN AIR LIMBAH DI KABUPATEN CILACAP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG LABORATORIUM LINGKUNGAN.

2014, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disin

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PERIZINAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE LAUT

KRITERIA PROPER DOKUMEN LINGKUNGAN PROPER

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

KRITERIA PROPER DOKUMEN LINGKUNGAN

PENILAIAN MANDIRI. UDARA Disampaikan pada Acara: Sosialisasi Penilaian Mandiri PROPER 2014 Jakarta, Februari 2014

KRITERIA PROPER DOKUMEN LINGKUNGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

4. Tim terpadu adalah tim yang membantu gubernur dalam proses pelaksanaan lisensi. 5. Unsur perguruan tinggi adalah pusat studi lingkungan hidup dan/a

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR :... TAHUN... TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI MINYAK SAWIT MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH NO. 82/2001 TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.29/Menhut-II/2014 TENTANG

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NO. 19 TAHUN 2008

PETUNJUK PELAKSANAAN PENERAPAN SANKSI ADMINISTRATIF

PEMBINAAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI PROVINSI DKI JAKARTA

Transkripsi:

SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; b. bahwa pengoperasian usaha dan/atau kegiatan industri rayon berpotensi menimbulkan pencemaran udara sehingga perlu dilakukan upaya pencegahan pencemaran udara melalui pengelolaan emisi gas yang di buang ke udara; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia tentang Pengelolaan Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi usaha dan/atau Kegiatan Industri Rayon; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerinahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia 1

Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 5. Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142); 6. Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan Tugas, Fungsi dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementeraian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142); 7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja kementerian Lingkungan Hidup; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PENGELOLAAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/KEGIATAN INDUSTRI RAYON. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Industri Rayon adalah industri yang menggunakan bahan baku pulp kayu untuk menghasilkan serat rayon (rayon fiber). 2. Emisi adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkan ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. 3. Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak adalah ukuran batas atau kadar maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. 4. Continuous Emission Monitoring yang selanjutnya disingkat CEM adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur kuantitas kadar suatu parameter emisi atau laju aliran melalui pengukuran secara periodik. 5. Kondisi Normal adalah kondisi operasi yang sesuai dengan parameter desain operasi. 6. Kondisi Tidak Normal adalah kondisi operasi di luar parameter operasi normal dan masih dapat dikendalikan terhadap sistem peralatan atau proses yang sedang dalam kondisi tidak normal, sehingga baku mutu emisi kegiatan 2

Industri Rayon terlampaui meliputi kondisi pada saat mematikan, menghidupkan, percobaan, dan/atau gangguan. 7. Kondisi Darurat adalah kondisi operasi di luar Kondisi Normal dan kondisi tidak normal. 8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2 (1) Setiap usaha dan/atau kegiatan Industri Rayon wajib memenuhi Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi usaha dan/atau kegiatan Industri Rayon. (2) Usaha dan/atau kegiatan Industri Rayon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang: a. telah beroperasi sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini, wajib memenuhi Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; b. perencanaannya telah selesai disusun sebelum ditetapkan Peraturan Menteri ini dan beroperasi setelah ditetapkannya Peraturan Menteri ini, wajib memenuhi Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan c. perencanaannya disusun dan beroperasi setelah ditetapkan Peraturan Menteri ini, wajib memenuhi Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali paling sedikit 1(satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Pasal 3 Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi usaha dan/atau kegiatan Industri Rayon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditetapkan berdasarkan Beban Pencemaran. Pasal 4 (1) Pemerintah provinsi dapat menetapkan: a. Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi kegiatan Industri Rayon lebih ketat dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; dan/atau b. parameter tambahan di luar parameter sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini setelah mendapat persetujuan dari Menteri. 3

(2) Menteri dapat menyetujui atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan tersebut dengan memperhatikan saran dan pertimbangan instansi teknis terkait. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri tidak memberikan keputusan, permohonan dianggap disetujui. Pasal 5 Dalam hal pemerintah provinsi menetapkan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak bagi kegiatan Industri Rayon lebih ketat dari Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diberlakukan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi. Pasal 6 Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan Industri Rayon harus melakukan: a. pengendalian emisi; b. pemantauan emisi; c. pelaporan hasil pemantauan emisi; d. pemantauan kualitas udara ambien; dan e. penanggulangan kondisi darurat pencemaran udara dan kondisi tidak stabil/tidak normal. Pasal 7 Pengendalian emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a terdiri atas: a. pengadaan, pengoperasian, pemeliharaan dan perbaikan sarana dan prasarana pengendalian pencemaran udara; b. pencatatan dan penyimpanan catatan yang berkaitan dengan pengoperasian, pemeliharaan, dan perbaikan sarana dan prasarana pengendalian pencemaran udara; dan c. inventarisasi dan perhitungan beban pencemaran sumber emisi fugitive; d. pengecekan, pemeliharaan, dan perbaikan peralatan yang menjadi sumber emisi fugitive. Pasal 8 (1) Pemantauan emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b dilakukan dengan: a. CEM; atau b. manual. (2) CEM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki spesifikasi untuk memantau dan mengukur parameter CS2 (Carbon Disulfide) dan H2S (Hidrogen Sulfide). 4

Pasal 9 (1) Pemantauan dengan CEM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dilakukan terhadap cerobong yang memiliki beban pencemaran tertinggi. (2) Data hasil pemantauan CEM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sahih apabila: a. CEM dioperasikan sesuai dengan spesifikasi kinerja sebagaimana tertulis dalam manual; b. CEM dioperasikan sesuai dengan criteria quality assurance yang tertulis dalam manual; c. tidak terdapat bagian dari CEM yang tidak berfungsi; d. kalibrasi atau zero drift dari alat pengukuran tidak melebihi 2 (dua) kali calibration drift performance specification; e. kalibrasi atau pengecekan zero drift alat pemantauan dilakukan sesuai dengan jadual yang tertulis dalam manual; f. sumber emisi beroperasi atau menghasilkan bahan pencemar sesuai parameter yang dipantau; g. data rata-rata dihitung berdasarkan data yang sah; h. data rata-rata 1 (satu) jam terdiri paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) hasil pembacaan data yang sah; dan i. data rata-rata harian terdiri paling sedikit 18 (delapan belas) data rata-rata satu jam yang sah. Pasal 10 (1) Pemantauan emisi secara manual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dilakukan apabila: a. hanya 1 (satu) cerobong yang dipasang dan dioperasikan CEM; dan/atau b. CEM rusak. (2) Pemantauan emisi secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan rumus sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap cerobong yang tidak dipasang CEM, 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan oleh laboratorium terakreditasi. (4) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan oleh laboratorium terakreditasi. 5

Pasal 11 (1) Hasil pemantauan dan pengukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) dilaporkan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur dan Menteri, 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai format dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 12 (1) Pemantauan kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d meliputi: a. pemasangan peralatan high volume air sampler (HVAS); b. penentuan jumlah, posisi, dan lokasi pengukuran sesuai metoda penentuan lokasi titik ambien; c. pencatatan kadar udara ambien; dan d. pengukuran udara ambien untuk parameter CS2 (Carbon Disulfide) dan H2S (Hidrogen Sulfide) sesuai dengan rekomendasi World Health Organization (WHO). (2) Penentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikonsultasikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup. (3) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada gubernur dan Menteri, 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun sesuai format dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 13 (1) Penanggulangan kondisi darurat pencemaran udara dan kondisi tidak stabil/tidak normal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e meliputi: a. pelaksanaan prosedur penanggulangan Kondisi Tidak Normal dan/atau kondisi darurat; b. pelaporan terjadinya Kondisi Tidak Normal sebelum menghidupkan atau mematikan yang mengakibatkan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak dilampaui, kepada bupati/walikota, gubernur, dan Menteri dalam jangka waktu 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam; c. pelaporan terjadinya Kondisi Tidak Normal pada saat terjadi gangguan yang mengakibatkan Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak dilampaui, kepada bupati/walikota, gubernur, dan Menteri dalam jangka waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam; d. pelaporan terjadinya Kondisi Darurat kepada bupati/walikota, gubernur, dan Menteri dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam, dan 6

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 2012 laporan tertulis paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam setelah kejadian; dan e. penanganan Kondisi Tidak Normal atau Kondisi Darurat sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dengan menjalankan prosedur penanggulangan yang telah ditetapkan. (2) Laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun sesuai format dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 14 (1) Usaha dan/atau kegiatan Industri Rayon wajib memenuhi Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak sebagaimana tercantum dalam Lampiran II paling lama 1 Januari 2015. (2) Usaha dan/atau kegiatan Industri Rayon yang belum memasang dan mengoperasikan CEM, harus memasang dan mengoperasikan CEM pada cerobong yang memiliki beban pencemaran tertinggi, paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku. Pasal 15 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIR SYAMSUDIN Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4 Juli 2012 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, ttd BALTHASAR KAMBUAYA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 687 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, Inar Ichsana Ishak 7

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI INDUSTRI RAYON No Parameter Satuan Beban Emisi Maksimum 1 Carbon Disulfide Kg/ Ton Fiber 115 (CS2) 2 Hidrogen Sulfide (H2S) Kg/ Ton Fiber 38 Catatan : a. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25 0 C dan tekanan 1 atmosfer) b. Pengoperasian peralatan CEM wajib memenuhi baku mutu emisi paling sedikit 95% (sembilan puluh lima perseratus) waktu operasional normal selama 3 (tiga) bulan. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, ttd BALTHASAR KAMBUAYA Inar Ichsana Ishak

LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI INDUSTRI RAYON No Parameter Satuan Beban Emisi Maksimum 1 Carbon Disulfide Kg/ Ton Fiber 90 (CS2) 2 Hidrogen Sulfide (H2S) Kg/ Ton Fiber 30 Catatan : a. Volume gas diukur dalam keadaan standar (25 0 C dan tekanan 1 atmosfer) b. Pengoperasian peralatan CEM wajib memenuhi baku mutu emisi paling sedikit 95% (sembilanpuluh lima perseratus) waktu operasional normal selama 3 (tiga) bulan. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, ttd BALTHASAR KAMBUAYA Inar Ichsana Ishak

LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON PERHITUNGAN BEBAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON 1. Perhitungan CS2 Emisi CS2 (Kg/Ton Fiber) = Laju Masa CS2 (Kg/30 Menit) Laju Produksi (Ton Fiber/30 Menit) 2. Perhitungan H2S Emisi H2S (Kg/Ton Fiber) = Laju Masa H2S (Kg/30 Menit) Laju Produksi (Ton Fiber/30 Menit) Keterangan: 1. Penentuan Laju Masa a) Laju Masa CS2 = konsentrasi CS2 (mg/l) x debit gas (l/detik) b) Laju Masa H2S = konsentrasi H2S (mg/l) x debit gas (l/detik) 2. Penentuan Production Rate = Pengukuran Laju Produksi a) Laju produksi harus diukur dihari dan saat yang sama pada saat pengukuran gas di cerobong. b) Laju produksi tiap line harus diukur minimum selama 30 Menit. c) Seluruh unit yang terlibat dalam produksi harus beroperasi secara stabil selama pengukuran berlangsung. d) Unit pengukuran yang diperoleh yaitu ton produk per 30 Menit. Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, ttd BALTHASAR KAMBUAYA Inar Ichsana Ishak

LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON FORMAT LAPORAN HASIL PEMANTAUAN DAN PENGUKURAN A. FORMAT LAPORAN PEMANTAUAN DENGAN PERALATAN CONTINUOUS EMISSION MONITORING (CEM) EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON LAPORAN PEMANTAUAN DENGAN PERALATAN CONTINUOUS EMISSION MONITORING (CEM) EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON Nama : Perusahaan Alamat : Kegiatan Kabupaten/ : Kota Provinsi : No. Telp/Fax : Email : Sumber Emisi Nama/ Kode Cerobong Dimensi Cerobong Diameter : Panjang : Lebar : Tinggi : No Tanggal Konsentrasi rata rata harian (mg/nm 3 ) IDENTITAS SUMBER EMISI Kapasitas Produksi (Ton/hari) Waktu operasional (jam) Posisi lubang sampling (m) Laju alir rata rata harian (m/detik) HASIL PEMANTAUAN Parameter :... Debit (m 3 /det) Prosentase data melebihi baku mutu (%) Prosentase CEM tidak beroperasi (%) Waktu operasi sumber emisi (jam) Jumlah Emisi (Kg/ton) Parameter :... 1

No Tanggal Konsentrasi rata rata harian (mg/nm 3 ) Laju alir rata rata harian (m/detik) Debit (m 3 /det) Prosentase data melebihi baku mutu (%) Prosentase CEM tidak beroperasi (%) Waktu operasi sumber emisi (jam) Jumlah Emisi (Kg/ton) RINGKASAN KEJADIAN TIDAK NORMAL... 20... Penanggung Jawab Kegiatan, (... ) B. FORMAT LAPORAN PEMANTAUAN SECARA MANUAL EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON LAPORAN PEMANTAUAN SECARA MANUAL EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON PERIODE :... TAHUN... Nama Perusahaan : Alamat Kegiatan : Kabupaten/ Kota : Provinsi : No. Telp/Fax : Email : Nama Sumber Emisi Nama/ Kode Cerobong Dimensi Cerobong Diameter : Panjang : Lebar : Tinggi : IDENTITAS SUMBER EMISI Kapasitas Produksi (ton/hari) Waktu operasional (Jam) Flow rate gas (m3/det) Sarana Pengambilan Sampling a. Tangga b. Lubang sampling c. Pagar Pengaman d. Platform/ Lantai Kerja e. Sumber Listrik : ( ) : ( ) : ( ) : ( ) : ( ) Tanggal Sampling : Laboratorium Penguji: HASIL PEMANTAUAN 2

No Parameter Konsentrasi Terukur 1 Terkoreksi 2 Metoda Analisis 1. Carbon Disulfida (CS2) 2. Hidrogen Sulfida (H2S) Keterangan : Lampirkan Hasil Analisa Laboratorium Laju Alir Gas (m/det) Baku Mutu Hasil Pemantauan (Kg/Ton)... 20... Penanggung Jawab Kegiatan, 1. Konsentrasi terukur adalah konsentrasi yang diukur secara langsung secara manual sebelum dilakukan koreksi oksigen 2. Konsentrasi yang telah disesuaikan dengan faktor koreksi oksigen (... ) C. FORMAT LAPORAN PEMANTAUAN UDARA AMBIEN BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON LAPORAN PEMANTAUAN UDARA AMBIEN BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON PERIODE :... TAHUN... Nama Perusahaan : Alamat Kegiatan : Kabupaten/ Kota : Provinsi : No. Telp/Fax : Email : IDENTITAS SUMBER EMISI Lokasi Titik Sampling :... Titik Koordinat : Tanggal Sampling : Laboratorium Penguji: Waktu Pengambilan : sampling Cuaca : HASIL PEMANTAUAN Konsentrasi No Parameter Terukur Metoda Baku Analisis Mutu 1. Carbon Disulfida (CS2) 2. Hidrogen Sulfida (H2S) Laju Alir Gas (m/det) Hasil Pemantauan (µg/m 3) 3

Lokasi Titik Sampling : Titik :... Koordinat Tanggal Sampling : Laboratorium Penguji: Waktu Pengambilan : sampling Cuaca : HASIL PEMANTAUAN Konsentrasi No Parameter Terukur Metoda Baku Analisis Mutu Laju Alir Gas (m/det) 1. Carbon Disulfida (CS2) 2. Hidrogen Sulfida (H2S) Keterangan : Lampirkan Hasil Analisa Laboratorium Hasil Pemantauan (µg/m 3)... 20... Penanggung Jawab Kegiatan, (...) D. FORMAT LAPORAN KEADAAN DARURAT EMISI UDARA KEGIATAN USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON LAPORAN PEMANTAUAN SECARA MANUAL EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON PERIODE :... TAHUN... Nama : Perusahaan Alamat Kegiatan : Kabupaten/ : Kota Provinsi : No. Telp/Fax : Email : Tanggal mulai kejadian/ pukul Ringkasan Kejadian Lokasi (sebutkan nama lapangan/area) Fasilitas/ Unit (sebutkan merk, tahun pembuatan, mulai dioperasikan, kapasitas desain dan operasional) Deskripsi keadaan darurat 4

Penyebab kejadian Apakah kejadian sudah dapat diatasi? Jika Ya, kapan? Apakah ada keluhan dari masyarakat terhadap kejadian ini? Tindakan koreksi yang telah dilakukan? Tindakan koreksi jangka panjang (pencegahan) yang direncanakan? Catatan: lampirkan prosedur Penanggung Jawab Kegiatan (...) Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, ttd BALTHASAR KAMBUAYA Inar Ichsana Ishak 5

LAMPIRAN V PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN/ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON FORMAT LAPORAN PEMANTAUAN DENGAN PERALATAN CONTINUOUS EMISSION MONITORING (CEM) EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON LAPORAN PEMANTAUAN DENGAN PERALATAN CONTINUOUS EMISSION MONITORING (CEM) EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN INDUSTRI RAYON Nama : Perusahaan Alamat : Kegiatan Kabupaten/ : Kota Provinsi : No. Telp/Fax : Email : Sumber Emisi Nama/ Kode Cerobong Dimensi Cerobong Diameter : Panjang : Lebar : Tinggi : No Tanggal Konsentrasi rata rata harian (mg/nm 3 ) IDENTITAS SUMBER EMISI Kapasitas Produksi (Ton/hari) Waktu operasional (jam) Posisi lubang sampling (m) Laju alir rata rata harian (m/detik) HASIL PEMANTAUAN Parameter :... Debit (m 3 /det) Prosentase data melebihi baku mutu (%) Prosentase CEM tidak beroperasi (%) Waktu operasi sumber emisi (jam) Jumlah Emisi (Kg/ton) Parameter :... 1

No Tanggal Konsentrasi rata rata harian (mg/nm 3 ) Laju alir rata rata harian (m/detik) Debit (m 3 /det) Prosentase data melebihi baku mutu (%) Prosentase CEM tidak beroperasi (%) Waktu operasi sumber emisi (jam) Jumlah Emisi (Kg/ton) RINGKASAN KEJADIAN TIDAK NORMAL... 20... Penanggung Jawab Kegiatan, (... ) Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, ttd BALTHASAR KAMBUAYA Inar Ichsana Ishak 2