Perkawinan Campuran. Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki

dokumen-dokumen yang mirip
SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq ABSTRACT

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I

BAB I PENDAHULUAN. Perceraian pasangan..., Rita M M Simanungkalit, FH UI, 2008.

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

KONTROVERSI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh Dr. ABDUL MAJID Harian Pikiran Rakyat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia


PELAKSANAAN PERKAWINAN BAGI ORANG YANG BERBEDA AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

Lex et Societatis, Vol. III/No. 4/Mei/2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONTROVERSI PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Sri Wahyuni, M.Ag., M.Hum. 1

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan

Akibat hukum..., Siti Harwati, FH UI, Universitas Indonesia

BAB II LEGALITAS PERKAWINAN CAMPURAN YANG KELENGKAPAN PERSYARATANNYA TIDAK SEMPURNA. A. Latar Belakang Sejarah Pengaturan Hukum Perkawinan Campuran

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA. Islam. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah sebagai berikut: 28

TINJAUAN YURIDIS PENYELUNDUPAN HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Dalam era globalisasi ini, Indonesia mengalami perkembangan di

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RAHMAD HENDRA FAKULTAS HUKUM UNRI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN DAMPAKNYA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN INDONESIA

VAGUE NORM PENGATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA (KAJIAN NORMATIF PENETAPAN NO.382/PDT/P1986/PN.JKT.PST JO PUTUSAN REG.NO.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat luas. Pengertian "ikatan lahir batin" dalam perkawinan berarti

PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN. sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan. 1

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana di nyatakan dalam UU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. makhluk yang tidak bisa tidak harus selalu hidup bersama-sama. bagaimanapun juga manusia tidak dapat hidup sendirian, serta saling

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

MEMUTUSKAN: : U N D A N G-U N D A N G T E N T A N G PER K A W I N A N BAB I. P a s a l 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

PELAKSANAAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU POLIGAMI BERDASARKAN PASAL 279 KUHP DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI KLAS I B BUKITTINGGI Oleh : Nofil

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN CAMPURAN BEDA KEWARGANEGARAAN. 1. Pengertian Perkawinan Secara Umum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran agama 2. Oleh

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANALISA YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA 1 Oleh : Anggreini Carolina Palandi 2

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut

BAB II STATUS KEWARGANEGARAAN DALAM PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT PERATURAN PERUNDANGAN

BAB I PENDAHULUAN. suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat 2. Pada

Bentuk: UNDANG-UNDANG. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 4 TAHUN 1961 (4/1961) Tanggal: 25 PEBRUARI 1961 (JAKARTA)

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1961 TENTANG PERUBAHAN ATAU PENAMBAHAN NAMA KELUARGA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERKAWINAN CAMPURAN DAN AKIBAT HUKUMNYA. Oleh : Sasmiar 1 ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, maka ia tidak akan lepas dari permasalahan tersebut. Ia ingin memenuhi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN DITINJAU DARI HUKUM POSITIF INDONESIA 1 Oleh: Laurensius Mamahit 2

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

Lembaran Informasi untuk Pernikahan di Indonesia/Pernikahan di Jerman

Lex Privatum, Vol.I/No.4/Oktober/2013

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

PUTUSAN. Nomor : XX/Pdt.G/2012/PA.Ktb BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

ANALISIS YURIDIS PENGESAHAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN AKIBAT HUKUMNYA (STUDI PENETAPAN NO. 156/PDT.P/2010/PN.SKA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA)

BAB II SISTEM PERKAWINAN CAMPURAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB 1 PENDAHULUAN. rumah tangga yang kekal, tenteram dan teratur serta memperoleh keturunan. Akan

Universitas Sumatera Utara BAB II PENGATURAN LARANGAN PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. A. Hukum Perkawinan Di Indonesia

PRAKTEK PERMOHONAN PENGESAHAN PERKAWINAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Tesis S-2 Magister Kenotariatan

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan

PERAN NEGARA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI CALON PASANGAN KAWIN BEDA AGAMA (KBA) DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) (Diumumkan dengan Maklumat tgl. 30 April 1847, S ) BUKU PERTAMA ORANG

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan

2. SETIAP PERKAWINAN HARUS DICATAT Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 ayat 2)

Transkripsi:

Hukum Antar Tata Hukum: Perkawinan Campuran Prof. Dr. Zulfa Djoko Basuki Fakultas Hukum Universitas Indonesia Depok,, 13 Juli 2009

GHR, Stb 1898 No. 158 Regeling op de Gemengde Huwelijken. Koninklijk Besluit van 29 Desember 1896 No. 23, Staatsblad 1898 No. 158. Pasal 1: Perkawinan-perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berbeda-beda,disebut perkawinan campuran. Huwelijken tusschen personen, die in Indonesië aan een verschillend recht onderworpen zijn, worden gemengde huwelijken genoemd. Pasal 2: Istri yang melakukan perkawinan campuran, selama dalam perkawinannya mengikuti kedudukan suaminya dalam hukum publik dan hukum perdata. De vrouw, die een gemengd huwelijk aangaat, volgt staande huwelijk, publiek- en privaatrechterlijk, den staat van haren man. 2

INTI dari GHR Karena perkawinan campuran, istri memperoleh status hukum suaminya. Terdapat anasir memilih, yaitu: Persetujuan/pilihan dari pihak perempuan selalu disyaratkan sebelum perkawinan campuran dilangsungkan. 3

Pasal 2 GHR Pasal ini merupakan pasal terpenting dalam GHR karena mencerminkan asas persamarataan dari semua stelsel hukum. Tidak ada kesan mengeloni salah satu stelsel hukum. Pasal 2 GHR merupakan kebalikan dari pasal 15 OV (S. 1840-10, lahirnya perundang-undangan baru). Kesimpulannya: Pasal 15 OV mencerminkan Hukum perdata Eropa dianggap lebih tinggi Tidak ada penundukkan hukum secara sukarela dari pihak laki-laki non-eropa. Hal ini merupakan keharusan. 4

Pengecualian atas Pasal 15 OV Pasal 12 dan 13 Stb. 1861-38 jo. Stb. 1874-63: Diberi keleluasaan pada laki-laki Indonesia Nasrani untuk melakukan pilihan hukum, yaitu perkawinannya dengan orang Eropa harus dilakukan menurut hukum sang suami (pasal 12); Diberi kebebasan kepada pihak laki-laki bukan Eropa, jika dikehendakinya melakukan pilihan hukum untuk tunduk secara sukarela pada pasal 15 OV, kepada hukum perdata dan dagang Eropa. 5

Luas Lingkup GHR Aliran Luas: GHR meliputi perkawinan antargolongan (HAG), perkawinan antaragama (AA), dan perkawinan antartempat (AT). Penganut: Nederburgh, Lemaire, Kollewijn, Gautama. Gautama: masalah HAT terasa pengaruh daripada masalah percampuran dengan suku bangsa asli dan persatuan dengan masyarakat hukum setempat. Aliran Sempit Hanya meliputi HAG. Penganut: van Vollenhoven, Wincke, dan Carpentir Alting. Wincke: GHR tidak berlaku untuk HAA, dan HAT. Sulit dikatakan suami ikut istri, bila keduanya dari golongan bangsa yang sama. Aliran Setengah Luas, Setengah Sempit GHR = HAG + HAA Penganut: van Hasselt Dalam HAT sering sang suami yang mengikuti status istri, misalnya perkawinan laki-laki Palembang dengan perempuan Sunda. Yurisprudensi: GHR berlaku untuk perkawinan antaragama. 6

Yurisprudensi GHR berlaku untuk perkawinan antar-agama. Pengecualian dari pasal 2 GHR 1. Pasal 75 HOCI Lelaki Indonesia bukan Nasrani dapat melakukan pilihan hukum ke arah Hukum Nasrani sewaktu mengawini perempuan Indonesia Nasrani. 2. Pasal 73 HOCI Bagi kedua mempelai (suami-istri) dapat mengajukan permohonan supaya untuk selanjutnya perkawinan mereka diatur oleh HOCI, apabila salah seorang mempelai sudah menjadi Nasrani. a. Apabila pihak suami menjadi Nasrani, maka tidak terjadi penyimpangan, karena istri akan mengikuti hukum suami (sesuai dengan pasal 2 GHR). b. Tetapi bila yang menjadi Nasrani adalah istri, maka suami mengikuti status istri. Dalam hal ini terjadi penyimpangan dari pasal 2 GHR. 7

Peralihan Agama Apakah arti peralihan agama? Bilamanakah terjadi peralihan agama? Apakah akibat dari peralihan agama? 8

Peralihan Agama: dalam HATAH Peralihan agama, misalnya, ke agama Islam tidak cukup dengan hanya mengucapkan kalimat syahadat. Peralihan agama, misalnya, dari agama Islam tidak cukup dengan murtad saja. Dalam HATAH peralihan agama tersebut harus diikuti dengan peralihan sosial: Yang bersangkutan sudah diterima oleh golongan penduduk (hukum) yang baru; Tidak mempedulikan lagi golongan hukum yang ditinggalkan; Cara hidup, cara ybs diperlakukan oleh golongan hukum baru dianggap sama. 9

Tujuan dari Syarat Peralihan Sosial 1. Mencegah peralihan agama secara purapura 2. Mencegah penyelundupan hukum Misalnya untuk bisa kawin lagi, kasus Tjoa Peng An. 10

Akibat Peralihan Agama terhadap Perkawinan Peralihan agama tidak membubarkan perkawinan. Pendapat ini merupakan pendapat terbanyak para sarjana (communis opinio doctorum), antara lain Lemaire dan van Hasselt. Hanya dapat dijadikan alasan oleh yang tidak turut berali agama untuk mengajukan tuntutan perceraian. Contoh: Putusan Landraad Banyumans 1934, di mana istri mengajukan tuntutan cerai dengan alasan suami menjadi bukan Kristen (masuk Islam dan kawin lagi dengan perempuan lain); Sekarang, menurut Kompilasi Hukum Islam, murtadnya salah satu pasangan suami atau istri, merupakan alasan untuk bercerai. 11

Yurisprudensi: Keputusan Menyimpang Kasus mr.. I. Tj. Perkawinan dilangsungkan di depan Penghulu antara mr. I. Tj (seorang Bumiputera) dengan Nn. JMR (seorang Eropa) secara Islam. Kehidupan perkawinan kurang harmonis, dan istri menginginkan perceraian, tetapi suami tidak bersedia menjatuhkan talak. Istri, kemudian, pergi ke Labuhan Bilik (Sumatera Utara) dan melakukan murtad dengan mengucapkan ikrar di depan Kerapan Negeri Panai di hadapan Tengku Sultan, Raja Negeri Panai, dan pejabat yang berwenang (gedelegeerde gezaghebber): Mulai hari ini saya murtad dari Agama Islam dan menerangkan sekali-kali saya tidak percaya yang Nabi Muhammad itu Pesuruh Tuhan Allah. Raad Agama memberikan pendapat: Jika sudah murtad, cukup tunggu waktu 3 bulan (3 x suci). Bila tetap murtad, talak akan jaturh, yaitu tanggal nikahnya. Putusan ini dikecam oleh banyak sarjana. 12

Akibat Peralihan Agama terhadap Status Perkawinan (Monogami/Poligami) 1. Terhadap perkawinan campuran (enkelvoudig): 1. Pasal 2 GHR, istri ikut status suami apabila suami pindah agama. Dalam hal ini istri sudah berubah statusnya, sesuai dengan status suami; 2. Jadi status perkawinan berubah sesuai dengan status sang suami. 2. Terhadap perkawinan intern (enkelvoudig): Pasal 2 GHR tidak diikuti, bila hanya salah satu pihak yang beralih agama. Hukum perkawinan berubah bila keduanya beralih agama. 3. Terhadap perkawinan meervoudig: Hukum yang lama tetap berlaku: poligami. Misalnya suami/istri menjadi Kristen, akan menyulitkan bila tibatiba berlaku hukum monogami, karena ini juga menyangkut status istri (-istri) lain, serta anak-anak dari istri (-istri) tersebut. 13

Pasal 72 HOCI Peralihan ke agama Kristen baru memperoleh akibat berlakunya HOCI bila kedua mempelai menjadi Kristen. Bila hanya satu pihak yang menjadi Kristen, hukum perkawinan lama tetap berlaku. Kecuali bila kedua pihak mempergunakan kesempatan untuk melakukan pilihan hukum sesuai dengan pasal 73 HOCI. Pasal 72 HOCI: 1. Terhadap perkawinan-perkawinan yang telah dilaksanakan tidak menurut ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan peraturan penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen (S. 1933-75), ordonansi ini berlaku, bila kedua suami-istri telah atau baru masuk agama Kristen, tidak dibedakan apakah perkawinan itu telah dilaksanakan sebelum atau sesudah berlakunya ordonansi ini, kecuali dalam hal-hal di mana suami terikat oleh perkawinan dengan lebih dari satu orang istri. 2. Kecuali apa yang ditentukan dalam pasal berikut, perkawinan-perkawinan yang dilaksanakan sebelum perpindahan salah seorang dari suami-istri ke agama Kristen tetap dikuasai oleh hukum yang berlaku terhadap perkawinan pada waktu peralihan itu terjadi. 14

Pasal 74 HOCI: Sekali HOCI, tetap HOCI Pasal 74 HOCI: Terhadap suatu perkawinan yang telah dilaksanakan dengan memperlakukan apa yang ditentukan dalam ordonansi ini, atau yang kemudian atasnya berlaku ordonansi ini, tetap berlaku ordonansi ini, juga bila suami-istri itu atau salah seorang dari mereka pindah lain daripada agama Kristen. Peralihan agama ke agama bukan Kristen tidak membawa akibat berlakunya hukum yang baru atau tidak ada perubahan status hukum. Juga apabila salah satu pihak atau keduanya menjadi bukan Kristen atau pindah ke luar lingkungan HOCI. 15

Perkawinan Antaragama (1) Pasal 1 GHR: Perkawinan-perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berbeda-beda,disebut perkawinan campuran. Huwelijken tusschen personen, die in Indonesië aan een verschillend recht onderworpen zijn, worden gemengde huwelijken genoemd. Contoh: Medelu v. Sumarni, dasar hukumnya pasal 7 ayat (2) jo. pasal 6 ayat (1) GHR: Pasal 7 ayat (2) GHR: Perbedaan agama, bangsa atau keturunan sama sekali bukanmenjadi penghalang terhadap perkawinan. Verschil van godiesnt, landaard of afkomst kan nimmer als beletsel tegen het huwelijk gelden. Pasal 6 ayat (1) GHR: Pelaksanaan perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang berlaku terhadap suaminya,dengan tidak mengurangi persetuiuan suanii-istri yang selalu dipersyaratkan. De voltrekking van gemengde huwelijken geschiedt volgens het voor den man geldende recht, behoudens de toestemming der aanstaande echtgenooten, welke steeds wordt vereischt. 16

Perkawinan Antaragama (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) tidak mengatur perkawinan antaragama. Perkawinan Campuran, menurut pasal 57 UUP, adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 17

Perkawinan Antaragama Pasca UU Perkawinan (1) Pendapat semula menyatakan bahwa perkawinan antaragama masih bisa dilaksanakan berdasarkan pasal 66 UUP jo. Pasal 7 ayat (2) GHR jo. pasal 6 ayat (1) GHR: Pasal 66 UUP: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuanketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturanperaturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Contoh: perkawinan Jamal Mirdad & Lydia Kandouw 18

Perkawinan Antaragama Pasca UU Perkawinan (2) Pendapat yang lebih banyak dianut sekarang: tidak boleh. Alasannya: 1. Tidak ada lagi perkawinan di luar hukum agama dan kepercayaannya itu. Sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UUP: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Kantor Catatan Sipil tidak lagi berfungsi sebagai instansi yang mengawinkan, tetapi hanya mencatatkan perkawinan, perceraian, dan kematian bagi mereka yang non-islam. Sejak 1 Januari 1989 Kantor Catatan Sipil tidak lagi mencatat perkawinan beda agama, yang salah satunya beragama Islam. 19

Perkawinan Antaragama Pasca UU Perkawinan (3) Sebagian lain (minoritas) berpendapat perkawinan beda agama diperbolehkan. Alasannya: 1. Pasal 29 jo. pasal 27 UUD 1945 Pasal 29 (1): Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa Pasal 29 (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 27 (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 (2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 2. Pasal 10 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Ayat (1): Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Ayat (2): Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Apabila pemohon hendak melangsungkan perkawinan tidak secara Islam dan mengajukan permohonan perkawinan ke Kantor Catatan Sipil, berarti pemohon tidak lagi menghiraukan status agamanya (Islam). Contoh: Kasus Andi Vonny Gani. 20

Jalan Keluar? Menikah di dua instansi, yaitu sekali di KUA dan kali kedua di Gereja, atau sebaliknya. Ini tidak dianjurkan. Hal ini menimbulkan kesulitan bila keduanya atau salah satu pihak ingin bercerai. Menikah di luar negeri secara sipil, dan kembali ke Indonesia untuk melaporkan perkawinan ke Kantor Catatan Sipil. Ini juga tidak dianjurkan. Hal ini menimbulkan kesulitan bila keduanya atau salah satu pihak ingin bercerai. Ingat: pasal 16 dan 18 AB! 21