INTISARI PEMODELAN SPASIAL KONEKSITAS KAWASAN KONSERVASI DI PULAU JAWA BAGIAN TENGAH 1. Tim Peneliti:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

VIII REKAPITULASI KEGIATAN TEKNIS TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

19 Oktober Ema Umilia

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Hampir separuh wilayah daratnya berupa hutan. Untuk itu pemerintah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BALAI KSDA DAN PELESTARIAN ALAM

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang


KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa Indonesia. Keberadaan hutan di Indonesia mempunyai banyak fungsi dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Yogyakarta yang memiliki luasan 1.485,36 kilometer persegi. Sekitar 46,63 %

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

I. PENDAHULUAN. 2007:454). Keanekaragaman berupa kekayaan sumber daya alam hayati dan

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

IV APLIKASI PERMASALAHAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

2 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembar

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

V PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN KAWASAN KONSERVASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2831); PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TENGAH NOMOR 21 TAHUN 2003

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB. I. PENDAHULUAN A.

2015 KESESUAIAN LAHAN D I TAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI KIARA PAYUNG UNTUK TANAMAN END EMIK JAWA BARAT

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Transkripsi:

INTISARI PEMODELAN SPASIAL KONEKSITAS KAWASAN KONSERVASI DI PULAU JAWA BAGIAN TENGAH 1 Tim Peneliti: Hero Marhaento, S.Hut., M.Si 2 Dr. Ir. Lies Rahayu W.F., M.P 3 Pulau Jawa bagian tengah saat ini mengalami ancaman kepunahan keanekaragaman hayati yang disebabkan tingginya laju konversi lahan hutan menjadi non hutan. Keberadaan kawasan konservasi yang dikelola oleh BKSDA Yogyakarta dan BKSDA Jawa Tengah, ternyata belum mampu mendukung kelestarian keanekaragaman hayati karena dalam proses penunjukkannya belum berdasarkan pada konsep jaringan kawasan konservasi. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengidentifikasi koneksitas antar kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah, 2) Mengidentifikasi kawasan konservasi yang terisolasi dari kawasan konservasi lainnya di Pulau Jawa Bagian Tengah, dan 3) Menyusun strategi pembuatan koneksi antar kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah berdasarkan faktor yang paling berpengaruh Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemodelan spasial dengan tools Least Cost Path menggunakan software ArcGIS 10.1. Unit kawasan knservasi yang dianalisis adalah adalah 37 kawasan konservasi terestris dari total 44 kawasan konservasi yang ada di wilayah penelitian. Dalam mengidentifikasi konektivitas dan keterisolasian antar kawasan konservasi, digunakan target spesies mamalia kecil. Koneksitas dan keterisolasian antar kawasan konservasi ditentukan berdasarkan keterhubungan antar pulau (patch) kawasan konservasi oleh jalur hijau dengan faktor pembatas pemilihan jalur adalah kondisi topografi. Kriteria jalur hijau yang mampu menjadi media koneksitas target spesies mamalia kecil adalah hutan, kebun campuran, tegalan, dan semak. Kriteria faktor pembatas pemilihan jalur adalah skor kelas kelerengan yang semakin tinggi tingkat kecuraman, semakin tinggi nilai pembatasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Pulau Jawa Bagian Tengah terdapat 4 blok jaringan kawasan konservasi yang mampu mengkoneksikan 27 kawasan konservasi melalui kombinasi tutupan lahan hutan, tegalan, semak, dan kebun campuran. Blok 1 menghubungkan 19 kawasan konservasi, yaitu: CA Jatinegara, CA Comal/Bantarbolang, CA Guci, CA Telaga Ranjeng,CA Telogo Dringo, CA Telogo Sumurup, TWA Telogo Warno Pengilon, CA Peson Subah I, CA Kecubung U., CA Pringamba I, CA Pringamba II, CA Pantodomas, SM 1 Dilaksanakan atas biaya Anggaran Dana Masyarakat UGM Sesuai Surat Tugas Pelaksanaan Kegiatan Penelitian DPP Nomor: 162/KS/2012 2 Staf Pengajar Bagian Konservasi SDH Fakultas Kehutanan UGM 3 Staf Pengajar Bagian Konservasi SDH Fakultas Kehutanan UGM 1

Sermo, CA Pagerwunung D., CA Gebugan, CA Sepakung, TN Gunung Merbabu, dan TN Gunung Merapi. Blok 2 menghubungkan antara CA Gunung Butak, TWA Sumber Semen, CA Cabak I/II, dan CA Bekutu. Blok 3 menghubungkan CA Keling II/III dengan CA Kembang. Blok 4 menghubungkan SM Paliyan dengan CA Imogiri. Terdapat 4 kawasan konservasi yang terisolasi dari kawasan konservasi lainnya, yaitu : TWA Gunung Selok, SM Gunung Tunggangan, CA Donoloyo, dan CA/TWA Gunung Gamping. Faktor yang paling berpengaruh dalam koneksitas antar kawasan konservasi adalah keberadaan penggunaan lahan kebun campuran. Strategi pembuatan koneksitas antar kawasan konservasi dilakukan dengan menambah jumlah dan luasan kebun campuran pada jalur-jalur yang berpotensi untuk menghubungkan kawasan konservasi yang terisolasi dengan jaringan kawasan konservasi yang lebih besar. Kata kunci : kawasan konservasi, koneksitas, pemodelan spasial BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju penyusutan luasan tutupan hutan yang ada di Pulau Jawa saat ini telah menjadi ancaman serius bagi eksistensi keanekaragaman hayati yang ada di Pulau Jawa. Tercatat beberapa satwa endemic Jawa yang terancam punah akibat rusaknya hutan di Jawa antara lain lutung jawa (Trachypithecus auratus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan merak (Pavo muticus). Satwa langka ini terancam punah bukan hanya karena hutan yang menjadinya habitat semakin berkurang, namun juga perburuan untuk diperdagangkan. Solusi untuk mempertahankan keragaman spesies dan ekosistem di Pulau Jawa dikedepankan dengan memperbanyak jumlah kawasan konservasi. Tidak kurang dari 133.000 ha kawasan konservasi tersebar di Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Namun pada kenyataannya, luasan tersebut tidak menjamin kelestarian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Bahkan pada tahun 2006, praktik pembabatan dan perambahan hutan 2

(deforestasi) di kawasan konservasi di Pulau Jawa mencapai lebih dari 40.000 ha (www.greenomics.org). Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah merupakan penyumbang deforestasi terbesar di Pulau Jawa. Kondisi tersebut terjadi dalam periode dua tahun saja. Selain mempermasalahkan tingginya tekanan terhadap kawasan konservasi, pertanyaan juga ditujukan pada desain kawasan konservasi yang ada. Proses penunjukkan kawasan konservasi yang terkesan main tunjuk tanpa konsep pengelolaan yang jelas dan transparan menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi menjadi tidak optimal dan rawan terjadi kerusakan (Wiratno, 2001). Menurut teori biogeografi pulau, desain kawasan konservasi harus memungkinkan terjadinya aliran genetic spesies di dalamnya sehingga kelestariannya dapat terjaga. Salah satu strategi untuk mengurangi dampak fragmentasi habitat dan mendukung terjadinya aliran genetic adalah dengan menyatukan kawasan-kawasan konservasi baik berukuran besar maupun kecil, agar membentuk suatu jaringan kawasan konservasi dengan ukuran lebih besar dengan membentuk koridor habitat (Balmford et al 2003; Bruinderink et al 2003). Dengan adanya jaringan tersebut, beberapa kawasan konservasi yang terisolasi dapat dihubungkan satu sama lain. Pulau Jawa bagian tengah memiliki kondisi biogeofisik yang cukup unik dengan adanya variasi bentukan pegunungan dan lembah, hingga bukit kapur dan pesisir pantai. Secara administrative, pulau Jawa bagian tengah terbagi dalam 2 wilayah provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hingga saat ini, di wilayah tersebut sudah ditetapkan 44 kawasan konservasi yang ditujukan untuk menjaga kelestarian biodiversitas ekosistem khas pulau Jawa bagian tengah. Namun, tingginya kejadian fragmentasi habitat yang berupa pembangunan jalan raya, permukiman, rel kereta api, dan bangunan fisik lainnya menyebabkan keseluruhan kawasan konservasi tersebut menjadi terisolasi. Akibatnya, aliran genetic yang diharapkan terjadi antar kawasan konservasi menjadi terhambat dan menyebabkan spesies yang ada di dalamnya terancam punah. 3

1.2. Rumusan Masalah Kebutuhan koneksitas antar kawasan konservasi dibutuhkan untuk dapat menjaga aliran genetic sehingga kepunahan jenis dapat terhindarkan. Selain itu, keberadaan kawasan konservasi yang saling terkoneksi dapat memudahkan pengelolaan kawasan konservasi dalam menjalankan fungsinya melindungi sistem penyangga kehidupan dan keanekaragamanhayati. Beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah: 1. Apakah kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah saling terkoneksi? 2. Adakah kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah yang terisolasi dari kawasan konservasi lainnya? 3. Apa faktor yang paling berpengaruh dalam koneksitas kawasan konservasi dan bagaimana desain spasial koneksitas antar kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah? 1.3. Tujuan Penelitian Pemodelan Spasial Koneksitas Kawasan Konservasi di Pulau Jawa Bagian Tengah bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi koneksitas antar kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah 2. Mengidentifikasi kawasan konservasi yang terisolasi dari kawasan konservasi lainnya di Pulau Jawa Bagian Tengah 3. Menyusun strategi pembuatan koneksi antar kawasan konservasi di Pulau Jawa bagian tengah berdasarkan faktor yang paling berpengaruh. 1.4. Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah terkait dengan upaya menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang terancam punah akibat tingginya laju 4

pengurangan habitat di wilayah Pulau Jawa bagian tengah. Selain itu, pengembangan metode dan hasil penelitian ini akan bermanfaat sebagai pengkaya materi perkuliahan Pengelolaan Kawasan Konservasi. BAB II STUDI PUSTAKA 2.1. Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas diartikan sebagai kawasan di darat maupun di laut yang berfungsi untuk melindungi keanekaragaman hayati dan budaya asli masyarakat yang ada di dalamnya (World Research Institute, 2003 dalam Indrawan, M., dkk. 2007). Dalam penyelenggaraannya, pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kehutanan telah menyusun berbagai landasan hukum pengelolaan kawasan konservasi. Namun menurut Wiryono (2003), sebenarnya pengertian dan definisi kawasan konservasi di Indonesia masih kurang jelas dan memiliki perbedaan antar berbagai peraturan yang ada. Bahkan menurut Sembiring, dkk (1999), peraturan perundang-undangan yang ada tidak ada yang memuat definisi yang jelas mengenai kawasan konservasi. Pada UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tidak disebutkan istilah kawasan konservasi, namun dipergunakan istilah Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Sementara itu, UU No 41/1999 tentang Kehutanan tidak menggunakan istilah kawasan konservasi, tapi memakai istilah hutan konservasi, yang terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru. Undang-undang tersebut juga membedakan antara fungsi lindung dan konservasi, sehingga hutan lindung terpisah dari hutan konservasi. Sedangkan dalam Keputusan Presiden No 32/1990 tentang Pengelolaan kawasan Lindung juga tidak menggunakan istilah kawasan konservasi, namun menggunakan istilah kawasan lindung. Istilah kawasan konservasi kemudian muncul dalam SK Dirjen 5

Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) No 129/1996, yang didefinisikan sebagai kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, taman buru, dan hutan lindung. Pengelolaan Kawasan Konservasi memfokuskan pemahaman tentang aspek-aspek pengelolaan untuk berbagai macam kawasan konservasi. Definisi kawasan konservasi tersebut merujuk pada pasal 7 UU No 41/1999, yaitu kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Suaka Alam (KSA), Kawasan Pelestarian Alam (KPA), dan Taman Buru. Menurut UU No 5/1999, KSA terbagi menjadi Cagar Alam (CA) dan Suaka Margasatwa (SM), sedangkan KPA terbagi menjadi Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (Tahura), dan Taman Wisata Alam (TWA). Apabila merunut sejarahnya, kategorisasi kawasan konservasi mengalami perubahan dari waktu kewaktu. Semenjak UU No 5 tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan disahkan, kawasan konservasi dibagi menjadi Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dan Hutan Wisata. Seiring berjalannya waktu, pengklasifikasian ini pun dipengaruhi beberapa hal, seperti adanya Kongres Taman Nasional dan Kawasan Lindung Sedunia serta terbitnya panduan IUCN. Terlebih ketika UU No 5/1990 ditetapkan. Berikut berbagai kategori kawasan konservasi di Indonesia berdasarkan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia. Tabel 1. Kategori Kawasan Konservasi di Indonesia Berdasarkan Perundangundangan yang Berlaku Sumber Kategori UU No 5/1967 Cagar Alam Suaka Margasatwa Hutan Wisata (Taman Buru dan Hutan Wisata) Direktorat Cagar Alam Perlindungan Taman Nasional dan Pelestarian Penampungan Satwa Alam Taman Wisata Darat Taman Laut 6

Taman Buru UU No 5/1990 Kawasan Suaka Alam, yang terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Kawasan Pelestarian Alam, yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Rakyat UU No 41/1999 Kawasan Suaka Alam, yang terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Kawasan Pelestarian Alam, yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan Rakyat Taman Buru Sumber: Wiratno, dkk. (2004) Secara umum, hutan/kawasan konservasi terdiri dari dua kategori utama, yaitu Kawasan Suaka Alam yang terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, dan Kawasan Pelestarian Alam yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Selain dua pilar ini, masih ada kawasan lain yang juga diklasifikasikan sebagai kawasan konservasi, yaitu Taman Buru. Perbedaan antara KSA dan KPA terletak pada ciri dan fungsinya masing-masing (tabel 2). Tabel 2. Ciri dan Fungsi KSA dan KPA menurut UU No 5/1990 Kategori Kawasan Ciri dan Fungsi Kawasan Suaka Alam (KSA) Memiliki ciri khas tertentu Di darat dan perairan Memiliki fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan Kawasan Pelestarian Alam Memiliki ciri khas tertentu (KPA) Di darat dan perairan 7

Memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, serta pemanfaaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Sumber: Wiryono, 2003 Untuk mempermudah proses pemahaman masing-masing kategori kawasan konservasi, maka digunakan dasar Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 1. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam ini mencakup: a. Kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. b. Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. 2. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun diperairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang mencakup : 8

a. Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. b. Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. c. Kawasan taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan konservasi di Indonesia sepenuhnya dikelola oleh Departemen Kehutanan Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Kawasan konservasi dipahami sebagai rumah/habitat alami bagi berbagai spesies endemik dan dipandang sebagai benteng terakhir eksistensi keterwakilan ekosistem hutan alam di Indonesia. 2.2. Teori Pulau Biogeografi dan Hubungannya dengan Fragmentasi Habitat Teori biogeografi pulau menjelaskan bahwa kelimpahan jenis yang ada pada suatu wilayah dapat diprediksi dengan melihat factor ketersediaan habitat, laju kepunahan lokal dan rata-rata imigrasi yang terjadi (MacArthur and Wilson, 1967). Dalam teori tersebut juga dijelaskan bahwa pulau yang berukuran sepuluh kali lebih besar akan mencakup spesies dua kali lebih banyak. Rata-rata imigrasi berhubungan dengan tingkat isolasi pulau. Pulau-pulau yang jauh mempunyai spesies yang lebih sedikit daripada pulau yang dekat ke pusat (Indrawan dkk., 2007). 9

Gambar 1. Rancangan Teori Biogeografi Pulau (MacArthur and Wilson, 1967) Teori bioegeografi pulau sangat berkaitan erat dengan tingkat kepunahan karena sesuai pendapat dalam teori tersebut bahwa luas area pulau akan menentukan jumlah spesies yang dapat menghuninya. Pendapat tersebut kemudian dijelaskan dalam suatu model yang menjelaskan hubungan tersebut untuk memprediksi jumlah dan presentase spesies yang akan punah ketika habitat alaminya dirusak. Teori tersebut memiliki asumsi bahwa suatu luasan hanya dapat mendukung sejumlah tertentu spesies yang dapat hidup di habitat tersebut. Ketika 10

luas habitat alami suatu pulau berkurang, maka pulau itu hanya mampu mendukung spesies sebanyak yang hidup pada pulau yang lebih kecil ukurannya (Supriatna, 2008). Teori biogeografi pulau bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena kepunahan spesies yang ada di kawasan konservasi. Kawasan konservasi dianggap sebagai suatu pulau yang dikelilingi oleh habitat yang rusak. Ketika pulau itu rusak akibat tingginya tekanan dari sekelilingnya, maka spesies yang hidup di pulau tersebut akan musnah. Pemodelan yang dilakukan MacArthur and Wilson (1967) menyebutkan bahwa apabila 50% dari luasan pulau rusak, maka 10% spesies yang ada di dalamnya punah. Teori biogeografi pulau sangat dekat hubungannya dengan teori fragmentasi habitat dan teori efek tepi. Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan utuh menjadi berkurang atau terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Antara satu fragmen dengan lainnya seringkali terjadi isolasi oleh bentang alam yang terdegradasi atau telah diubah. Efek tepi adalah kondisi dimana setiap aktivitas manusia dan perubahan lansekap akan membuat efek terhadap populasi dan ekologi spesies tertentu. Fragmentasi habitat dan efek tepi merupakan kondisi yang saling terkait. Aktivitas manusia yang banyak melakukan kegiatan eksploitasi menyebabkan habitat-habitat yang semula luas, kini terbelah-belah menjadi beberapa bagian. Pembangunan jalan raya, rel kereta api, lapangan olah raga, pembangunan permukiman (kota), dan berbagai pembangunan konstruksi yang dilakukan manusia telah menyebabkan habitat terfragmentasi. Efek tepi yang terjadi adalah kepunahan keanekaragaman hayati karena tingginya tekanan terhadap kawasan yang terfragmen. Strategi untuk mengurangi efek tepi dari fragmentasi habitat suatu kawasan konservasi adalah dengan mengembangkan suatu desain untuk menyatukan kawasan yang dilindungi baik berukuran besar maupun kecil, agar membentuk suatu jaringan kawasan konservasi dengan ukuran lebih besar (Balmford et al. 2003; Bruinderink et al. 2003). Kawasan konservasi dalam kenyataannya seringkali 11

menyatu dengan matriks habitat yang digunakan manusia untuk berbagai kegiatan ekstraksi (kayu, penggembalaan, dan lahan pertanian). Dampak fragmentasi dapat dikurangi sekalipun habitat telah dimanfaatkan sebagai sumber ekstraksi namun seringkali masih dapat dijadikan sebagai kawasan sekunder yang berfungsi sebagai koridor perpindahan atau pergerakan populasi dan hidupan liar pada umumnya (Indrawan dkk., 2007). 2.3. Koneksitas dan Koridor Antar Kawasan Konservasi Dalam teori Island Biogeography dari MacArthur dan Wilson (1967) dijelaskan bahwa jumlah jenis organisme di suatu pulau berbanding lurus dengan luasannya dan berbanding terbalik dengan jarak dari pulau sumber organisme. Teori ini berasumsi bahwa suatu lanskap hanya terdiri atas pulau yang bisa dihuni yang dikelilingi lautan yang tidak bisa ditempati. Selanjutnya teori ini diterapkan ke daratan dengan memodifikasi asumsinya bahwa pulau merupakan suatu patch vegetasi asli yang dikelilingi lautan yang berupa non vegetasi. Teori ini dikenal dengan teori patch-matrix-corridor, dengan pemahaman patch adalah pulau, matrix adalah lautan, dan corridor adalah penghubung antar pulau (patch). Teori ini kemudian dikembangkan menjadi teori variegation model yang memperbaiki teori sebelumnya dengan mengkategorikan lanskap tidak hanya patch-matrix (binary) namun juga ada kondisi diantara patch dan matrix. Kondisi ini terjadi karena fragmentasi adalah suatu proses dan menghasilkan output (fragmented). Untuk menjamin kelestarian, dibutuhkan koneksitas antar patch dalam suatu matrix, yang selanjutnya diperankan oleh koridor. Koridor adalah jalur lahan yang menjadi penghubung antara satu kawasan konservasi dan kawasan konservasi lain yang berdekatan (Simberloff et al., 1992). Koridor berfungsi untuk menghubungkan (koneksitas) kawasan konservasi yang terisolasi agar dapat membentuk suatu sistem kawasan yang lebih besar (Indrawan dkk., 2007). Kawasan koridor dapat berupa kawasan hutan produksi, perkebunan, bahkan lahan budidaya milik masyarakat, yang apabila dirancang dengan baik akan menjadi alat konservasi yang sangat bernilai (Beier & Noss, 1998). Selain 12

itu, sungai juga dapat berfungsi sebagai penghubung kawasan karena merupakan habitat alami yang penting sehingga secara umum menjadi koridor yang cukup bermanfaat (Indrawan dkk., 2007). Adanya koridor dan koneksitas antar kawasan konservasi akan memungkinkan tumbuhan dan satwa untuk menyebar dari satu kawasan ke kawasan yang lain, serta memungkinkan aliran gen dan bahkan kolonisasi habitat yang sesuai. Melalui jaringan koridor tersebut, beberapa kawasan yang terisolasi dapat dihubungkan satu sama lain. Populasi-populasi pun dapat saling berinteraksi sebagai suatu metapopulasi. Bagi satwa yang melakukan migrasi musiman, dan harus melintasi berbagai habitat yang berbeda untuk memperoleh air dan makanan, koridor akan menunjang ketahanan hidup berbagai individu dan populasi satwa tersebut. Koridor berfungsi untuk menghubungkan wilayah terisolasi atau habitat yang terfragmentasi, yang dahulu pernah terhubung satu sama lain dalam tatanan sejarahnya. Koridor akan memberikan perlindungan pada lingkungan yang sensitif dengan menciptakan penghubung pada suatu lanskap dan berpotensi sebagai penyangga antar alam dengan komunitas manusia. Koridor merupakan ekosistem yang kompleks, yang meningkatkan pergerakan satwa liar, menjaga kelestarian sumberdaya alam dan ruang penyangga hijau bagi manusia. Terdapat empat peran penting yang diperankan oleh koridor yang memiliki hubungan khusus dengan konservasi biologi, yakni : (1) mendukung kelestarian populasi jenis-jenis, (2) mengatur pergerakan organisme, (3) menyangga kawasan yang sensitif dan kawasan lindung, dan (4) menjaga integritas ekosistem akuatik (Subeno, 2011). Pembangunan koridor antar habitat alamiah untuk membentuk jalur koneksi antar kawasan konservasi telah menjadi salah satu pilihan strategi konservasi alam untuk mengatasi fragmentasi habitat pada suatu kawasan. Konservasi pada kawasan koridor merupakan suatu alat atau strategi untuk pencapaian tujuan konservasi alam, berupa petak lahan yang berkesinambungan yang diharapkan akan menjadi rute terbaik bagi satu spesies fokus, misalnya 13

banteng untuk melakukan perjalanan dari populasi inti dalam satu blok habitat alamiah ke blok habitat lainnya. Penerapan strategi konservasi melalui pembangunan koridor akan memberikan manfaat secara luas, bukan hanya bagi spesies khusus yang dilindungi. Multi manfaat penerapan strategi konservasi melalui pembangunan koridor meliputi (dirangkum dari berbagai sumber) : a) membantu pergerakan individu satwa liar melalui lanskap yang telah terganggu (disturbed landscapes), khusus jenis-jenis yang mempunyai daerah jelajah yang luas, jenis nomadik atau migran, b) meningkatkan laju imigrasi satwa liar ke habitat-habitat terisolasi yang akan memelihara kekayaan dan diversitas jenis, mengurangi resiko kepunahan jenis, meningkatkan variasi genetis dan mengurangi resiko depresi perkawinan sesama jenis, c) memfasilitasi keberlanjutan proses ekologi alamiah di lanskap yang telah berkembang, d) menyediakan habitat bagi banyak jenis hidupan liar sebagai daerah pengungsian/tempat perlindungan sementara dan sumber pakan, e) menyediakan jasa-jasa lingkungan tambahan, seperti memelihara kualitas air, mengurangi erosi dan longsor, stabilitas siklus air, pembersih udara, dan penyimpan karbon, f) meningkatkan daya adaptasi hidupan liar, khususnya satwa liar dari dampak perubahan iklim, dan g) meningkatkan estetika lanskap alamiah dan kawasan destinasi ekowisata. 2.4. Pemodelan Spasial Model merupakan suatu perwakilan atau abstraksi dari suatu obyek atau situasi aktual. Model melukiskan hubungan-hubungan langsung dan tidak langsung serta kaitan timbalbalik dalam terminologi sebab akibat. Oleh karena suatu model adalah abstraksi dari realita, maka pada wujudnya lebih sederhana 14

dibandingkan dengan realita yang diwakilinya. Model dapat disebut lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realita yang sedang dikaji. Model spasial merupakan representasi dunia nyata yang berhubungan dengan kondisi geografis yang dinyatakan dalam simbol titik, garis, dan poligon. Salah satu metode analisis yang menggunakan pemodelan spasial dalam pengambilan keputusan adalah Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA). Prinsip dalam metode tersebut adalah penggunaan berbagai parameter (kriteria) yang diberikan bobot sesuai kepentingannya. Tools yang digunakan dalam SMCA adalah perangkat Sistem Informasi Geografis. Pemodelan spasial dengan SMCA mengharuskan parameter yang diusulkan ditransformasikan dalam bentuk peta, kemudian kriteria yang memiliki peran penting akan diberikan bobot yang lebih besar dibandingkan kriteria lainnya, hasil akhir diperoleh dengan melakukan tumpang susun (overlay) seluruh kriteria untuk menjadi satu informasi yang akomodatif. Terdapat dua hal penting dalam penyusunan SMCA (Carver, 1991; Jankowski, 1995), yaitu : 1. Komponen Sistem Informasi Geografis, yang meliputi: perolehan data spasial, input data, pengolahan data, pemanggilan data, hingga penyajian data. 2. Komponen analisis multi kriteria, yang meliputi: penentuan kriteria dan bobot, mekanisme dan hasil tabulasi data, serta proses pengambilan keputusan. Secara kontekstual, terdapat 3 tahap dalam analisis pemodelan spasial dengan SMCA, yaitu : intelligence, design, dan choice (Simon, 1960). Tahap intelligence meliputi kegiatan-kegiatan dalam pengambilan data, produksi data spasial, dan pemrosesan data. Tahap design meliputi penggunaan pemodelan spasial dalam Sistem Informasi Geografis. Tahap terakhir adalah choice, yang meliputi kegiatan pengambilan keputusan dengan melakukan seleksi kriteria dan penentuan bobot. Ketiga tahap tersebut tidak selalu dilakukan secara berurutan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan dan ketersediaan data (Malczewski, 2000). 15

Dalam penelitian ini, konsep pemodelan spasial dengan SMCA dilakukan dalam proses pemilihan kriteria kawasan koridor yang dapat menjadi jalur koneksitas antar kawasan konservasi. 2.5. Keterbaruan Penelitian Dalam teori pulau biogeografi dijelaskan bahwa antar kawasan konservasi harus dekat dan atau terhubung (koneksi) sehingga cukup untuk memungkinkan untuk pelestarian skala besar proses ekologi dan evolusi, seperti aliran gen, migrasi, dan proses adaptasi dan mitigasi dalam menanggapi perubahan iklim. Dalam penelitiannya di Amerika Serikat, Minor & Lookingbill (2010) menjelaskan bahwa dalam membentuk model koneksitas kawasan konservasi dibutuhkan berbagai pendekatan spesies, bukan hanya satu kelas spesies tertentu saja. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kawasan konservasi yang termasuk dalam jaringan kawasan konservasi besar untuk mamalia besar ternyata tidak cukup mendukung hidupan mamalia kecil. Pendekatan spesies payung sebagai target spesies untuk menyusun strategi desain jaringan konservasi masih belum mampu untuk melindungi banyak spesies. Perlu adanya pendekatan hubungan strategis lahan yang menjadi prioritas konservasi bagi mamalia kecil. Konektivitas jaringan kawasan konservasi tergantung pada elemen kunci yang terletak di posisi strategisnya dalam lanskap, yang berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidup keanekaragaman hayati. Perencanaan lanskap memerlukan pendekatan obyektif dan kuantitatif untuk mengidentifikasi elemen kunci tersebut untuk memperkuat koherensi desain spasial koneksitas kawasan konservasi. Dalam penelitian Gurrutxaga, M. (2011), digunakan pendekatan indeks konektivitas yang memungkinkan mengevaluasi peran dari tiap matriks lanskap antar kawasan konservasi dalam suatu jaringan. Pada penelitiannya di area lindung (protected area) antara Cantabrian ke pegunungan Alpen Barat, peneliti berhasil mengidentifikasi daerah-daerah yang perlu dilindungi dan yang paling berkontribusi dalam menjalankan konektivitas fungsional. Kuantifikasi terhadap kriteria-kriteria yang digunakan 16

dilakukan dengan menggunakan software open source. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu tools yang dapat digunakan dalam menyusun model koneksitas antar kawasan konservasi. Dengan kemampuannya dalam proses data query, proses pemilihan rute koneksitas antar kawasan konservasi dapat dipilih secara otomatis. Penelitian Nikolakaki, P. (2004) menggunakan applikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk memperkirakan konektivitas antar pulau (patch) habitat. Setiap pulau diberikan sebuah nilai biaya (hambatan) yang merupakan representasi tingkat kesulitan dalam koneksitas antar pulau. Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti adalah pendekatan umum yang berlaku untuk setiap jenis spesies. Dengan memperhitungkan nilai biaya terkecil (least cost) yang dibutuhkan untuk mencari lokasi potensial dalam rangka memenuhi persyaratan minimum dari spesies untuk berpindah ke pulau lain. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan tersebut, model koneksitas antar pulau (patch) habitat atau kawasan konservasi selalu menjadi informasi penting untuk pengelolaan tingkat lanskap. Model penyusunan koneksitas antar pulau sangat tergantung dengan pemilihan target spesies dan kriteria penyusunnya. Semakin kompleks dan bervariasi jenis spesies yang menjadi obyek kajian, maka kriterianya pun semakin beragam. Model koneksitas dapat disusun dengan memperhitungkan nilai hambatan terkecil yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan antar pulau (kawasan konservasi) yang lebih besar. 17

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Secara administratif, kawasan Pulau Jawa bagian tengah terbagi menjadi 2 provinsi, yaitu : Jawa Tengah dan D.I.Yogyakarta. Saat ini tercatat terdapat 44 kawasan konservasi yang ada dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (CA, SM, TWA), Balai Taman Nasional (TN), dan Dinas Kehutanan Provinsi (Tahura) dengan total luas kawasan 128.666,788 Ha (didominasi oleh Taman Nasional Laut Karimunjawa yang mencapai 86,75%). Data selengkapnya mengenai kawasan konservasi di wilayah Pulau Jawa bagian tengah dapat dilihat pada tabel 1. Potensi keanekaragaman hayati di wilayah penelitian cukup beragam sesuai tipe ekosistem yang ada di kedua provinsi tersebut, yaitu mulai dari ekosistem terumbu karang, mangrove, gumuk pasir, karst, dataran rendah, hingga ekosistem pegunungan. Tercatat berbagai fauna dan flora endemis yang dilindungi berhabitat di hutan-hutan konservasi yang ada di provinsi tersebut, misalnya : lutung jawa (Trachypithecus auratus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), Anggrek Kantong Semar (Phaphiopedilum javanicum), Anggrek Pandan (Vanda tricolor), dll. Pada kenyataannya, jenis-jenis endemis tersebut saat ini terancam punah (Red List Data Book, 2007) sehingga perlu dilestarikan. 18

Tabel 3. Data Kawasan Konservasi di Pulau Jawa Bagian Tengah yang dikelola oleh BKSDA Jawa Tengah dan BKSDA Yogyakarta NO NAMA KAWASAN LOKASI KAWASAN LUAS (Ha) SK KAWASAN PEJABAT NOMOR TANGGAL 1 2 3 4 5 6 7 TAMAN NASIONAL 1 TN. Karimunjawa Jepara, Jawa Tengah 111.625,00 Menhut 74/Kpts-II/2001 15 Februari 2001 2 TN. Gunung Merapi Magelang, Klaten, Boyolali, Jawa Tengah 6.410,00 Menhut 134/Menhut-II/2004 04 Mei 2004 Sleman, D.I. Yogyakarta 3 TN. Gunung Merbabu Magelang, Semarang, Boyolali 5.725,00 Menhut 1 3 5 / K p t s - 04 Mei 2004 CAGAR ALAM 1 CA. Ulo Lanang Kecubung Batang, Jawa Tengah 71,00 - GB. 25, Stbl.765 18 Agustus 1922 2 CA. Curug Bengkawah Pemalang, Jawa Tengah 1,50 - GB. 25 01 Januari 1924 3 CA. Guci Pemalang, Jawa Tengah 2,00 - Local degree tahun 1924 01 Januari 1924 4 CA. Moga Pemalang, Jawa Tengah 1,00 - GB. 25 01 Januari 1924 5 CA. Telogo Ranjeng Pemalang, Jawa Tengah 18,50 - GB. 01 Januari 1924 6 CA. Gebugan (Gunung Ungaran) Semarang, Jawa Tengah 1,80 - GB.36, Stbl.43 04 Februari 1924 7 CA. Sepakung Semarang, Jawa Tengah 2,50 - GB.36, Stbl.43 04 Februari 1924 8 CA. Pringombo I/II Banjarnegara, Jawa Tengah 58,00 - GB.1 1 09 Oktober 1924 9 CA. Getas Semarang, Jawa Tengah 1,00 - GB. 01 Januari 1930 10 CA. Bantar Bolang Pemalang, Jawa Tengah 24,10 Menhut 756/Kpts-1999 19 Mei 1999 11 CA. Sub Vak 18c dan 19b Tegal, Jawa Tengah 6,60 - GB. 2980 19 Mei 1930 12 CA. Vak 50 Comal Pemalang, Jawa Tengah 24,10 - GB. 2980 19 Mei 1930 13 CA. Pager Wunung Daruprono Kendal, Jawa Tengah 33,20 - Gb.19, Stbl. 965 21 Januari 1933 14 CA. Karang Bolong Cilacap, Jawa Tengah 0,50 - GB.34, Stbl.369 06 April 1937 15 CA. Nusakambangan Timur Cilacap, Jawa Tengah 277,00 - GB.34, Stbl.369 06 April 1937 16 CA. Nusakambangan Barat Cilacap, Jawa Tengah 928,00 - GB.34, Stbl.369 07 April 1937 17 CA. Wijaya Kusuma Cilacap, Jawa Tengah 1,00 - GB.34, Stbl.369 04 Juni 1937 18

18 CA. Telogo Dringo Banjarnegara, Jawa Tengah 26,00 - GB.26, Stbl.376 07 Oktober 1940 19 CA. Telogo Semurup Banjarnegara, Jawa Tengah 20,00 - GB.26, Stbl.376 07 Oktober 1940 20 CA. Cabak Blora, Jawa Tengah 30,00 - GB.6, Stbl.90 21 Februari 1975 21 CA. Gunung Butak Rembang, Jawa Tengah 45,10 Mentan 55/Kpts/Um/12/1975 17 Desember 1975 22 CA. Bekutuk Blora, Jawa Tengah 25,00 Mentan 596/Kpts/Um/9/1 979 21 Nopember 1979 23 CA. Gunung Celereng Jepara, Jawa Tengah 1.368,40 Menhut 75/Kpts-II/1989 16 Desember 1989 24 CA. Keling I/II/III Jepara, Jawa Tengah 61,70 - GB.6, Stbl.96 21 Februari 1919 25 CA. Peson Subah I/II Batang, Jawa Tengah 30,00 - GB.83, Stbl.392 07 Nopember 1919 26 CA. Pantodomas Wonosobo, Jawa Tengah 4,10 Menhut 359/Menhut-II/2004 1 Oktober 2004 27 CA. Donoloyo Wonogiri, Jawa Tengah 8,30 Menhut 359/Menhut-II/2004 1 Oktober 2004 28 CA. Teluk Baron Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta 2,40 - GB.379/321/16 24 Maret 1933 29 CA. Batu Gamping Sleman, D.I. Yogyakarta 0,038 Menhut 758/Kpts-II/1 989 16 Desember 1989 30 CA. Mangunan Imogiri Bantul, D.I. Yogyakarta 11,40 Menhut 171/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 TAMAN WISATA ALAM 1 TWA. Grojogan Sewu Karang Anyar, Jawa Tengah 64,30 GB.6, Stbl.90 01 Januari 1975 2 TWA. Sumber Semen Rembang, Jawa Tengah 17,10 GB.6, Stbl.90 01 Januari 1975 3 TWA. Tuk Songo Kopeng Semarang, Jawa Tengah 6,50 GB.6, Stbl.90 01 Januari 1975 4 TWA. Gunung Selok Cilacap, Jawa Tengah 126,20 GB.6, Stbl.90 11 Oktober 1975 5 TWA. Telogo Warno dan Pengilon Wonosobo, Jawa Tengah 39,60 Mentan 740/Kpts/Um/1/1 978 11 Oktober 1976 6 TWA. Batu Gamping Sleman, D.I. Yogyakarta 1,05 Menhut 758/Kpts-II/1 989 16 Januari 1989 TAMAN HUTAN RAYA 1 TAHURA Ngargoyoso Karang Anyar, Jawa Tengah 231,30 Menhutbun 849/Kpts-II/1999 11 Oktober 1999 2 TAHURA Bunder Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta 617,00 Menhut 353/Menhut-II/2004 28 September 2004 SUAKA MARGASATWA 1 SM. Gunung Tunggangan Sragen, Jawa Tengah 103,90 4603/UM/V/6/Ska 2 Agustus 1961 2 SM. Sermo Kulonprogo, D.I. Yogyakarta 181,00 Menhut 171/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 3 SM Paliyan Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta 434,60 Menhut 171/Kpts-II/2000 29 Juni 2000 Sumber : Statistik BKSDA Jawa Tengah 2007 dan Statistik BKSDA Yogyakarta 2009 19

3.2. Alat dan Bahan Bahan yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini, meliputi: Peta batas kawasan konservasi BKSDA Jawa Tengah dan BKSDA Yogyakarta (BPKH XI); Peta Rupa Bumi Indonesia Digital skala 1 : 25.000, dengan turunan data : o Peta topografi/kontour skala 1 : 25.000 o Peta Penggunaan lahan skala 1 : 25.000 o Peta Jaringan Jalan skala 1 : 25.000 Citra ASTER GDEM resolusi 30 m, dengan turunan data : o Peta DEM o Peta Kelas Kelerengan (topografi) Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi: 1. Peralatan untuk observasi lapangan, seperti: GPS dan kamera digital 2. Perangkat komputer yang sudah terinstall software ENVI 4.5., dan ArcGIS 9.3. 3.3. Tahapan Penelitian Secara garis besar, tahapan penelitian Pemodelan Spasial Koneksitas Kawasan Konservasi di Pulau Jawa Bagian Tengah terdiri dari : 3.3.1. Identifikasi Tingkat Isolasi Antar Kawasan Konservasi Identifikasi tingkat isolasi antar kawasan konservasi merupakan prosedur awal dalam proses penelitian ini. Metode untuk mengetahui tingkat isolasi antar kawasan konservasi adalah dengan melakukan tumpangsusun (overlay) peta kawasan konservasi dengan peta penggunaan lahan, peta jaringan jalan (Sumber : Peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1 : 25.000), dan peta topografi yang diperoleh dari analisis DEM citra SRTM. Identifikasi tingkat keterisolasian dilakukan secara otomatisasi dengan tools Least Cost Path pada software ArcGIS 9.3. Logika analisis dengan Least cost path adalah pemilihan jalur antara dua 20

titik yang mempertimbangkan hambatan (biaya) paling kecil untuk mencapai tujuan di titik yang lain. Dalam pemodelan spasial, nilai satu pixel akan dianalisis dengan delapan nilai pixel tetangga yang lain dan pemilihan jalur adalah ke pixel dengan nilai akumulasi hambatan (biaya) terkecil. Proses berulang secara terus menerus hingga selesai sampai ke titik tujuan. Gambar 2. Logika Analisis Least Cost Path, pemilihan jalur berdasarkan nilai pixel dengan nilai hambatan (biaya) terkecil Proses pemilihan jalur bukan hanya bisa dilakukan pada 2 titik saja, namun bisa dikombinasikan dengan banyak jalur dengan banyak tujuan. Dengan logika yang sama, pemilihan banyak jalur menuju banyak tujuan dilakukan dengan mempertimbangkan nilai hambatan (biaya) terkecil yang dibutuhkan untuk mencapai obyek tujuan. Gambar 3. Pemilihan jalur ke banyak tujuan berdasarkan logika Least Cost Path 21

3.3.2. Penentuan Jalur Koneksitas Antar Kawasan Konservasi Dalam logika penentuan jalur koneksitas antar kawasan konservasi atau perancangan koridor, diharuskan untuk menentukan target spesies. Hal ini untuk menentukan kriteria jalur koneksitas yang memungkinkan untuk dibuat. Penelitian ini menggunakan target spesies untuk kelas mamalia kecil, yang saat ini mengalami kelangkaan local karena perburuan dan pengurangan habitat. Definisi mamalia kecil adalah mamalia yang berat dewasanya kurang dari 5 kilogram (Stoddart, 1979). Beberapa jenis yang termasuk dalam kelas mamalia kecil antara lain : bajing, tupai, landak, dan lain-lain. Tidak banyak penelitian mengenai ekologi mamalia kecil karena sifat hidupnya yang banyak beraktivitas pada malam hari (nocturnal) dan banyak menghabiskan waktu pada strata tajuk tinggi (arboreal). Mamalia kecil dapat ditemukan di berbagai penggunaan lahan, mulai dari hutan alami hingga lahan pertanian sebagai habitatnya. Beberapa masuk kategori hama pertanian karena mencari makan di lahan pertanian dan berlindung di hutan-hutan sekitarnya (Alikodra, 1990). Kawasan pinggiran hutan yang berbatasan dengan perkebunan atau lahan pertanian penduduk sering mendukung berbagai spesies binatang, terutama mamalia kecil, dengan kepadatan yang relatif lebih tinggi (Payne dkk., 2000). Dalam penelitian ini, jalur koneksitas antar kawasan konservasi dibangun dengan kerangka logika ekologi yang mampu mendukung pergerakan jenis mamalia kecil. Pemodelan spasial pemilihan jalur koneksitas antar kawasan konservasi dilakukan dengan menggunakan dasar pixel sebagai satuan nilai analisis. Terdapat 2 kriteria yang digunakan sebagai dasar analisis Least Cost Path, yaitu : 1. Kriteria berdasarkan Klasifikasi Penggunaan lahan. Sesuai dengan hasil penelitian Payne dkk. (2000) dan Alikodra (1990) bahwa habitat target spesies mamalia kecil adalah penggunaan lahan Hutan, kebun campuran, semak, dan padang rumput. Semua kelas penggunaan lahan tersebut memiliki derajad (nilai) yang sama sebagai habitat target spesies, sehingga dalam pemodelan spasial dengan analisis 22

Least Cost Path, keseluruhan penggunaan lahan tersebut memberikan nilai hambatan yang sama. Pada kelas penggunaan lahan selain kelas tersebut, diberikan nilai hambatan yang lebih tinggi, sehingga pemilihan jalur adalah berdasarkan pada kelas penggunaan lahan yang disukai oleh target spesies. Dalam pembuatan data spasial penggunaan lahan, digunakan klasifikasi penggunaan lahan berdasarkan klasifikasi Bakosurtanal. Peta yang dirujuk sebagai peta dasar penggunaan lahan adalah peta Rupa Bumi Indonesia skala 1 : 25.000. Data spasial penggunaan lahan tersebut disajikan dalam bentuk format data pixel yang sudah dilakukan resample dengan ukuran 30 m. 2. Kriteria berdasarkan kemiringan lereng. Target spesies mamalia kecil memiliki kecenderungan untuk memilih jalur yang memiliki kondisi topografi relative datar. Semakin berat topografi, maka akan memberikan kontribusi yang negative dalam penentuan jalur koneksitas. Dalam pembuatan data spasial kemiringan lereng digunakan citra ASTER GDEM dengan resolusi spasial 30 m. Proses analisis yang dilakukan pada citra tersebut sebelum dilakukan analisis adalah pembuatan topographic modelling untuk membangun peta kemiringan lereng. Dalam logika yang dibangun dalam analisis Least Cost Path, pemilihan jalur akan didasarkan pada nilai pixel kemiringan lereng yang terkecil. Dalam penelitian ini, proses pemetaan sebaran kawasan konservasi dilakukan dengan menggunakan peta dasar Kawasan Konservasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI, dan dari data hasil rekonstruksi tata batas yang dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah dan BKSDA Yogyakarta. 23

Bagan alir penelitian selengkapnya tersaji pada gambar 4 berikut. ASTER GDEM Peta RBI Skala 1 : 25.000 Peta Sebaran Kawasan Konservasi Digital Elevation Model Peta Lereng Peta Tutupan Lahan Peta Jaringan Jalan Corridor Design tools Mengidentifikasi isolasi Analisis Least Cost Path Peta Koneksitas Kawasan Konservasi Groundcheck hasil Pemodelan Strategi Pembuatan Jaringan Kawasan Konservasi Gambar 4. Bagan Alir Penelitian 24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Kawasan Konservasi di Pulau Jawa Bagian Tengah Dalam penelitian ini, dari 44 kawasan konservasi yang ada di Pulau Jawa Bagian Tengah (tabel 2), hanya 37 kawasan yang dimasukkan sebagai unit analisis. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dalam penyediaan data spasial (Tahura Ngargoyoso, Tahura Bunder) dan karena ketidakrelevanan dengan tema penelitian, hal ini dikarenakan bentuk kawasan adalah kawasan konservasi laut dan kepulauan (CA Karang Bolong, CA Nusa Kambangan Barat, CA Nusa Kambangan Timur, CA Wijaya Kusuma, TN Karimunjawa). Kawasan konservasi yang menjadi bahan kajian tersaji pada tabel berikut. Tabel 4. Kawasan Konservasi yang Dianalisis Nama Kawasan Konservasi Koord Point Lokasi Luas Kabupaten Provinsi X Y (Ha) Taman Nasional Gunung Merapi 437161.51 9164693.9 Magelang Jawa Tengah 2456.34 Boyolali Jawa Tengah 1081.85 Klaten Jawa Tengah 834.75 Sleman D.I.Y 1772.52 Taman Nasional Gunung Merbabu 436386.99 9176958.5 Magelang Jawa Tengah 2600.24 Boyolali Jawa Tengah 2368.12 Semarang Jawa Tengah 1724.17 SM Sermo 403521.19 9134341.7 Kulonprogo D.I.Y 187.19 SM Paliyan 446411.79 9113523.7 Gunungkidul D.I.Y 422.04 CA Imogiri 433173.68 9124479.3 Bantul D.I.Y 12.27 CA/TWA Gunung Gamping 425044.45 9137215.5 Bantul D.I.Y 0.48 Sleman D.I.Y 0.43 CA Jatinegara 306004.38 9228429.8 Tegal Jawa Tengah 6.86 CA Bantarbolang 322311.46 9224707.3 Pemalang Jawa Tengah 24.64 CA Pagerwunung Darupono 418907.91 9223170.1 Kendal Jawa Tengah 34.02 SM Gunung Tunggangan 512818.62 9169405.4 Karanganyar Jawa Tengah 0.65 Sragen Jawa Tengah 101.72 CA Donoloyo 521558.88 9130200.0 Wonogiri Jawa Tengah 10.05 CA Peson Subah I 374703.80 9235254.0 Batang Jawa Tengah 9.72 25

CA Kecubung Ulolanang 375002.44 9231329.6 Batang Jawa Tengah 83.32 CA Telogo Dringo 372723.09 9205495.0 Banjarnegara Jawa Tengah 13.69 Batang Jawa Tengah 16.88 CA Guci 297384.21 9203846.6 Tegal Jawa Tengah 2.85 TWA Gunung Selok 298115.82 9150184.7 Cilacap Jawa Tengah 113.51 CA Gebugan 430114.78 9206984.3 Semarang Jawa Tengah 1.82 CA Sepakung 434412.62 9186831.4 Semarang Jawa Tengah 10.49 CA Pringamba I 361770.47 9177302.8 Banjarnegara Jawa Tengah 11.67 CA Pringamba II 366344.42 9176897.5 Banjarnegara Jawa Tengah 46.66 CA Pantodomas 386456.00 9173223.6 Wonosobo Jawa Tengah 3.97 TWA Telogo Warno Pengilon 380369.33 9202422.5 Wonosobo Jawa Tengah 35.76 CA Telogo Sumurup 378484.64 9202364.3 Banjarnegara Jawa Tengah 21.8 CA Keling II/III 482003.30 9290566.3 Jepara Jawa Tengah 56.96 CA Gunung Butak 556445.85 9244681.2 Rembang Jawa Tengah 47.67 TWA Sumber Semen 560944.89 9240038.2 Rembang Jawa Tengah 14.69 CA Cabak I/II 557778.69 9222111.4 Blora Jawa Tengah 30.87 CA Bekutuk 540675.44 9213299.1 Blora Jawa Tengah 25.11 CA Kembang 477696.48 9281183.4 Jepara Jawa Tengah 2.1 CA Comal 323030.71 9225055.7 Pemalang Jawa Tengah 24.03 CA Telaga Ranjeng 290651.23 9195372.7 Brebes Jawa Tengah 53.43 Tahura Baturaden 301464.09 9193412.7 Banyumas Jawa Tengah 83.51 TWA Grojogan Sewu 514032.77 9152915.4 Karanganyar Jawa Tengah 102.05 CA Curug Bengkawah 307538.09 9226249.0 Tegal Jawa Tengah 23.96 CA Gunung Celering 491836.48 9288514.8 Jepara Jawa Tengah 1403.97 CA Getas 447459.76 9196713.5 Semarang Jawa Tengah 19 Sumber : BKSDA Yogyakarta dan BKSDA Jawa Tengah, dengan modifikasi (2012) 26

Gambar 5. Peta Sebaran Kawasan Konservasi di Pulau Jawa Bagian Tengah 27

4.2. Pemetaan Penggunaan lahan Peta penggunaan lahan dibutuhkan dalam analisis koneksitas antar kawasan konservasi terutama terkait dengan kriteria yang berhubungan dengan kebutuhan ruang untuk pergerakan mamalia kecil. Pemetaan tutupan lahan dilakukan dengan menggunakan dasar Peta Rupa Bumi (dibuat oleh Bakosurtanal) skala 1 : 25.000 untuk seluruh wilayah Pulau Jawa Bagian Tengah. Gambar 6. Peta Penggunaan lahan di Pulau Jawa Bagian Tengah 28

4.3. Koneksitas Antar Kawasan Konservasi Sesuai dengan yang ditetapkan sebelumnya bahwa jalur koneksitas antar kawasan konservasi ini ditujukan untuk mendukung pergerakan kelas mamalia kecil. Kriteria yang digunakan dalam mendukung koneksitas antar kawasan konservasi melalui jalur hijau adalah penggunaan lahan berupa hutan, kebun campuran, dan tegalan/semak. Masing-masing memiliki kontribusi yang sama dalam mendukung pergerakan mamalia kecil, sehingga dapat diidentifikasikan sebagai jalur koneksi antar kawasan konservasi. Dalam analisis koneksitas melalui jalur hijau ini, peneliti membagi jalur koneksitas antar kawasan konservasi yang dihubungkan langsung oleh hutan, kebun campuran, tegalan/semak, kombinasi hutan-kebun campuran, kombinasi hutan-tegalan/semak, kombinasi kebun campuran-tegalan/semak, dan kombinasi hutan-kebun campuran-tegalan/semak. Maksud dari pemisahan unit analisis adalah untuk mengetahui nilai penting masing-masing penggunaan lahan dalam kontribusinya menghubungkan (koneksi) antar kawasan konservasi. Berikut adalah hasil analisis koneksitas antar kawasan konservasi melalui jalur hijau, berdasarkan masing-masing pembagian jalur koneksitas. 1. Hutan Tidak ada koneksi antar kawasan konservasi yang langsung dihubungkan oleh tutupan hutan. 2. Kebun campuran Terdapat 5 jalur koneksi, dengan menghubungkan 12 kawasan konservasi, yang dihubungkan oleh kebun campuran, antara lain : a. Jalur koneksi pertama menghubungkan antara CA Jatinegara dengan CA Comal/Bantarbolang. Jalur pertama ini melewati kecamatan Kedungbanteng, Jatinegara, Randudongkal dan Bantarbolang dengan panjang mencapai ±20 km b. Jalur koneksi kedua menghubungkan antara CA Peson Subah I dengan CA Kecubung U. Jalur ini melewati kecamatan Subah, Kabupaten Batang, dengan panjang ±4,8 km 29

c. Jalur koneksi ketiga menghubungkan antara CA Pagerwunung D. dengan CA Gebugan. Jalur ini melewati Kecamatan Kaliwungu, Singorojo, Limbangan dan Klepu, dengan panjang mencapai ±29,56 km. d. Jalur koneksi keempat menghubungkan antara CA Pringamba I, CA Pringamba II, CA Pantodomas, dan SM Sermo. Jalur ini memiliki panjang mencapai ±101, 25 km dan melewati Kecamatan Banjarnegara, Sigaluh, Kalipiro, Sapuran, Wadaslintang, Bener, Kajoran, Loano, Samigaluh, Kaligesing, Girimulyo, dan Kokap. e. Jalur koneksi kelima menghubungkan antara CA Cabak I/II dengan CA Bekutuk. Jalur ini melewati Kecamatan Randublatung, Banjarejo, Jepon, dan Jiken, dengan panjang ±21,45 km. Gambar 7. Jalur koneksi kawasan konservasi pada lahan kebun campuran 30

3. Tegalan/Semak Terdapat 3 jalur koneksi yang menghubungkan 7 kawasan konservasi, yang dihubungkan oleh tegalan/semak, yaitu: a. Jalur koneksi pertama menghubungkan antara CA Guci dengan CA Telaga Ranjeng. Rute ini melewati Kecamatan Paguyangan, Sirampok, dan Bumijawa, dengan panjang kurang lebih 16, 92 km. b. Jalur koneksi kedua menghubungkan antara CA Telogo Dringo, CA Telogo Sumurup, dan TWA Telogo Warno Pengilon. Jalur ini melewati Kecamatan Batur dan Kejajar dengan panjang ±9,25 km. c. Jalur koneksi ketiga menghubungkan antara CA Gunung Butak dengan TWA Sumber Semen. Jalur ini memiliki panjang ±8,14 km, melewati Kecamatan Gunem dan Sale. Gambar 8. Jalur koneksi kawasan konservasi pada lahan tegalan & semak 31

4. Kombinasi Hutan dan Kebun Campuran Terdapat 6 jalur koneksi yang menghubungkan 15 kawasan konservasi, yang dihubungkan oleh kombinasi hutan dan kebun campuran, yaitu: a. Jalur koneksi pertama menghubungkan antara CA Jatinegara dengan CA Comal/Bantarbolang. Jalur pertama ini melewati kecamatan Kedungbanteng, Jatinegara, Randudongkal dan Bantarbolang dengan panjang mencapai ±20 km b. Jalur koneksi kedua menghubungkan antara CA Peson Subah I dengan CA Kecubung U. Jalur ini melewati kecamatan Subah, Kabupaten Batang, dengan panjang ±4,8 km c. Jalur koneksi ketiga menghubungkan antara CA Pagerwunung D. dengan CA Gebugan. Jalur ini melewati Kecamatan Kaliwungu, Singorojo, Limbangan dan Klepu, dengan panjang mencapai ±29,56 km. d. Jalur koneksi keempat menghubungkan antara CA Pringamba I, CA Pringamba II, CA Pantodomas, dan SM Sermo. Jalur ini memiliki panjang mencapai ±101, 25 km dan melewati Kecamatan Banjarnegara, Sigaluh, Kalipiro, Sapuran, Wadaslintang, Bener, Kajoran, Loano, Samigaluh, Kaligesing, Girimulyo, dan Kokap. e. Jalur koneksi kelima menghubungkan antara CA Cabak I/II dengan CA Bekutuk. Jalur ini melewati Kecamatan Randublatung, Banjarejo, Jepon, dan Jiken, dengan panjang ±21,45 km. f. Jalur koneksi keenam menghubungkan antara CA Keling II/III dengan CA Kembang. Jalur ini melewati Kecamatan Bangsri dan Keling, dengan panjang ±17,81 km. 32

Gambar 9. Jalur koneksi kawasan konservasi pada lahan kombinasi antara hutan dan kebun campuran 5. Kombinasi Hutan dan Tegalan/Semak Terdapat 4 jalur koneksi yang menghubungkan 9 kawasan konservasi, yang dihubungkan oleh kombinasi hutan dan tegalan/semak, yaitu: a. Jalur koneksi pertama menghubungkan antara CA Guci dengan CA Telaga Ranjeng. Rute ini melewati Kecamatan Paguyangan, Sirampok, dan Bumijawa, dengan panjang kurang lebih 16, 92 km. b. Jalur koneksi kedua menghubungkan antara CA Telogo Dringo, CA Telogo Sumurup, dan TWA Telogo Warno Pengilon. Jalur ini melewati Kecamatan Batur dan Kejajar dengan panjang ±9,25 km. c. Jalur koneksi ketiga menghubungkan antara CA Gunung Butak dengan TWA Sumber Semen. Jalur ini memiliki panjang ±8,14 km, melewati Kecamatan Gunem dan Sale. 33

d. Jalur koneksi keempat menghubungkan antara TN G Merbabu dengan TN G Merapi. Jalur ini melewati Kecamatan Getasan, Ampel, Selo, Cepogo, Musuk, Kemalang, dan Pakem, dengan panjang ±28,43 km. Gambar 10. Jalur koneksi kawasan konservasi pada lahan kombinasi antara hutan dan tegalan/semak 6. Kombinasi Kebun Campuran dan Tegalan/Semak Terdapat 4 jalur koneksi yang menghubungkan 27 kawasan konservasi, yang dihubungkan melalui kombinasi kebun campuran dan tegalan/semak, yaitu: a. Jalur koneksi pertama menghubungkan 19 kawasan konservasi, yaitu: CA Jatinegara, CA Comal/Bantarbolang, CA Guci, CA Telaga Ranjeng,CA Telogo Dringo, CA Telogo Sumurup, TWA Telogo Warno Pengilon, CA Peson Subah I, CA Kecubung U., CA Pringamba I, CA Pringamba II, CA Pantodomas, SM Sermo, CA Pagerwunung D., CA Gebugan, CA 34

Sepakung, TN G Merbabu, dan TN G Merapi. Jalur tersebut melewati 68 kecamatan di 15 kabupaten, dengan panjang mencapai ±522,39 km. b. Jalur koneksi kedua menghubungkan antara CA Gunung Butak, TWA Sumber Semen, CA Cabak I/II, dan CA Bekutuk. Jalur ini melewati Kecamatan Randublatung, Banjarejo, Jepon, Jiken, Bogorejo, dan Sale, dengan panjang mencapai ±51,86 km. c. Jalur koneksi ketiga menghubungkan antara CA Keling II/III dengan CA Kembang. Jalur ini melewati Kecamatan Bangsri dan Keling, dengan panjang ±17,81 km. d. Jalur koneksi keempat menghubungkan SM Paliyan dengan CA Imogiri. Jalur ini melewati Kecamatan Paliyan, Playen, Dringo, dan Imogiri, dengan panjang ±21,59 km. Gambar 11. Jalur koneksi kawasan konservasi pada lahan kombinasi antara kebun campuran dan tegalan/semak 35