BAB II KLASIFIKASI SEORANG PENYALAHGUNA NARKOTIKA DAPAT DIKATAKAN SEBAGAI SEORANG PECANDU NARKOTIKA.

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PELAKSANAAN TUGAS INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR DI PUSKESMAS PERKOTAAN RASIMAH AHMAD BUKITTINGGI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku

BAB II JENIS-JENIS NARKOBA DAN SIFAT PENGGUNANYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

2011, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

STRUKTUR ORGANISASI BNNK SLEMAN

BUPATI BULUNGAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

BAB II. A. Sebelum Undang-Undang Nomor 35 Tahun ) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

PENYALAHGUNAAN NARKOBA DI KALANGAN REMAJA Oleh: Bintara Sura Priambada, S.Sos, M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2

2013, No.96 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari ta

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keterbatasan pengetahuan tentang narkoba masih sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA

I. PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (narkotika,

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENINGKATAN KEMAMPUAN LEMBAGA

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

persepsi atau mengakibatkan halusinasi 1. Penggunaan dalam dosis yang 2

BAB I PENDAHULUAN. hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan dapat menangkal. tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. bius (Chloric Ether atau Chloroform), yang dipergunakan hingga sekarang.

BAB I PENDAHULUAN. Disisi lain, apabila disalahgunakan narkoba dapat menimbulkan ketergantungan dan

17. Keputusan Menteri...

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi. Seiring dengan perkembangan

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA BAB I KETENTUAN UMUM

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. mengubah pikiran, perasaan, mental, dan perilaku seseorang. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. atau kesulitan lainnya dan sampai kepada kematian tahun). Data ini menyatakan bahwa penduduk dunia menggunakan

3 Badan Narkotika Provinsi Sulut, Op Cit, h.43 4 Pasal 1 angka 16 UU No 35 tahun 2009 tentang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1. adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

JURNAL ILMIAH KOORDINASI ANTARA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI) DAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM MENCEGAH

No II. anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlu diberi landasan hukum ya

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG FASILITASI PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

SOSIALISASI INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR (IPWL) OLEH : AKBP AGUS MULYANA

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan narkoba ataupun dalam penyalahgunaanya merupakan masalah. perkembangan tingkat peradaban umat manusia serta mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Masalah

BAB V PENUTUP. Penyalahguna magic mushroom dapat dikualifikasikan sebagai. golongan I sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.

BAB I PENDAHULUAN. tergolong makanan jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan,

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Transkripsi:

BAB II KLASIFIKASI SEORANG PENYALAHGUNA NARKOTIKA DAPAT DIKATAKAN SEBAGAI SEORANG PECANDU NARKOTIKA. A. Sekilas Tentang Narkotika Kurang lebih tahun 2000 SM di Samaria ( wilayah Palestina bagian utara ) dikenal sari bunga opion (opium) yang tumbuh di daerah dataran tinggi. Mereka menyebutnya "Hul Gill" yang artinya 'tumbuhan yang menggembirakan' karena efek yang diberikan tumbuhan tersebut bisa melegakan rasa sakit dan memudahkan penggunanya cepat terlelap. 81 Memasuki abad XVII opium (candu) menjadi masalah nasional bahkan di abad XIX terjadi perang candu antara Inggris dan Cina. Tahun 1806 Friedrich Wilhelim Sertuner (dokter dari jerman ) memodifikasi candu yang dicampur amoniak dikenal sebagai morphin. Tahun 1856 morphin digunakan untuk penghilang rasa sakit luka-luka perang. Tahun 1874 Alder Wright (ahli kimia dari London) merebus morphin dengan asam anhidrat. Namun tahun 1898 pabrik obat Bayer memproduksi obat dengan nama heroin sebagai alat penghilang sakit. Dan di akhir tahun 70 an diberi campuran khusus agar candu tersebut didapat dalam bentuk obat-obatan. 82 Penggunaan obat-obatan jenis opium sudah lama dikenal di Indonesia, jauh sebelum pecahnya Perang Dunia ke-2 pada zaman penjajahan Belanda. Pada umumnya para pemakai candu (opium) tersebut adalah orang-orang Cina. 81 http://id.answers.yahoo.com, question, Penemu narkoba pertama, diakses 15 5 2012 82 www.treest.wordpress.com, Sejarah Narkotika, diakses 1 April 2012

Pemerintah Belanda memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan (supply) secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang. Orang-orang Cina pada waktu itu menggunakan candu dengan cara tradisional, yaitu dengan jalan menghisapnya melalui pipa panjang. Hal ini berlaku sampai tibanya Pemerintah Jepang di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menghapuskan Undang-Undang itu dan melarang pemakaian candu (Brisbane Ordinance). 83 Ganja (Cannabis Sativa) banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Tanaman Erythroxylon Coca (Cocaine) banyak tumbuh di Jawa Timur dan pada waktu itu hanya diperuntukkan bagi ekspor. Menghindari pemakaian dan akibat-akibat yang tidak diinginkan, Pemerintah Belanda membuat Undang- Undang (Verdovende Middelen Ordonantie) yang mulai diberlakukan pada tahun 1927 (State Gazette No.278 Juncto 536). Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan) tidak dimasukkan dalam perundang-undangan tersebut. 84 Setelah kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia membuat perundangundangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya (Dangerous Drugs Ordinance) dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya (State Gazette No.419, 1949). Pada waktu tahun 1970, masalah obat-obatan berbahaya jenis narkotika menjadi masalah besar 83 www.kapanlagi.com, Narkoba-di-indonesia.html, diakses 11 April 2012 84 Ibid.

dan nasional sifatnya. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970 an, maka hampir di semua negeri, terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan obat (narkotika) sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda. Nampaknya gejala itu berpengaruh pula di Indonesia dalam waktu yang hampir bersamaan. 85 Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK INPRES No 6 Tahun 1971, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan (antar departemen) semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orangorang asing. 86 Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap ( illicit traffic ). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotika (Pasal 32), dengan menyebutkan secara 85 Ibid 86 Ibid

khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan. 87 Penyalahgunaan narkotika di Indonesia semakin marak, maka Undang - Undang Anti Narkotika mulai direvisi. Berpijak dari keadaan itu disusunlah Undang - Undang Tentang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997, menyusul dibuatnya Undang - Undang Tentang Psikotropika Nomor 5 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang tersebut mulai diatur pasal-pasal ketentuan pidana terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan pemberian sanksi terberat berupa hukuman mati. Sekarang telah diperbarui lagi dengan Undang - Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 88 B. Definisi Narkotika Narkotika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yang artinya kelenger merujuk sesuatu yang bisa membuat seseorangan tak sadarkan diri (fly), sedangkan dalam bahasa Inggris narkotika lebih mengarah ke obat yang membuat penggunanya kecanduan. 89 Narkotika adalah zat yang bermanfaat dan berkhasiat, yang dibutuhkan bagi kepentingan umat manusia terutama sudut medis. 90 Pengertian narkotika menurut soedjono adalah zat yang biasa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya dengan memasukannya ke dalam tubuh. Pengaruh tubuh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan 87 Ibid 88 Ibid 89 Warta Edisi 401 April 2008 Warta Bea Cukai Hal 15 90 Soedjono, Narkotika dan Remaja. ( Bandung: Alumni, 1989), hal 3

halusinasi atau khayalan-khayalan. Sifat tersebut diketahui dan di temui dalam dunia medis bertujuan untuk dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia, seperti di bidang pembedahan untuk menghilangkan rasa sakit. 91 Narkotika yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu : 92 a.mempengaruhi kesadaran b.memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku. c.pengaruh pengaruh tersebut dapat berupa : a) Penenang b) Perangsang ( bukan rangsangan sex ) c) Menimbulkan halusinasi ( pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat ) Sehubungan dengan pengertian narkotika, menurut Prof. Sudarto, S.H. dalam bukunya Kapita Selekta Hukum Pidana mengatakan bahwa : Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani Narke, yang berarti terbius, sehingga tidak merasa apa-apa. 93 Sedangkan Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan definisi tentang narkotika. Narcotic are drugs which product insensibillity or stuporduce to their depresant offer on central nervous sistem, included in this definition are 91 Soedjono, Hukum Narkotika Indonesia. ( Bandung:Alumni, 1987 ), hal 3 92 M Taufik Makaro, Op cit hal 17. 93 Ibid

opium-opium derivativis (morphine, codein, methadone). Artinya lebih kurang ialah : Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu ( morphine, codein, methadone ). 94 Nakotika yang terkenal di Indonesia sekarang ini berasal dari kata Narkoties, yang sama artinya dengan kata narcosis yang berarti membius. Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi, disamping dapat digunakan untuk pembiusan. Di Malaysia benda berbahaya ini disebut dengan dadah, dulu di Indonesia dikenal dengan sebutan madat. 95 Pasal 1 ayat (1) Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatakan bahwa Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan - golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. 94 Taufik Makaro, Op.cit, hal 22 95 Taufik Makaro, Op.cit.hal 21

C. Jenis jenis narkotika Jenis jenis narkotika didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan seperti yang telah diatur dalam Pasal 6 Undang Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi : (1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan ke dalam: a. Narkotika Golongan I; b. Narkotika Golongan II; dan c. Narkotika Golongan III. (2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini. (3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 96 Penjelasan Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menjelaskan lebih terperinci lagi mengenai maksud dari tiap - tiap golongan dari narkotika tersebut, yaitu : 1. Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. 2. Narkotika golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan 96 Lihat Pasal 5 Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mengakibatkan potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. 3. Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Kita dapat lihat pada Lampiran Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, disana telah terjadi Perluasan Jenis dan Golongan sebagaimana yang kita ketahui, pada undang-undang mengenai narkotika sebelum Undang - Undang No 35 tahun 2009 ini disahkan, Negara kita dulu mengacu pada Undang - Undang No 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang - Undang No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Pada undang-undang terdahulu, jenis golongan untuk masing-masing Narkotika dan Psikotropika dipisahkan secara jelas melalui lampiran jenis golongan di tiap Undang-Undang. Hal ini diatur pada Pasal 2 ayat (2) Undang - Undang No 22 tahun 1997 yang diikuti dengan lampiran untuk setiap jenis golongannya. Pada lampiran Undang - Undang No 22 tahun 1997 dinyatakan bahwa Narkotika Golongan I terdiri dari 26 jenis narkotika, sedangkan pada Undang - Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada bagian lampirannya terdapat 65 jenis narkotika golongan I. Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I dan II kedalam kategori Narkotika Golongan I.

Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh para pecandu narkoba adalah jenis shabu dan ekstasi. Hal ini diperkuat dalam Pasal 153 point b yang menyatakan bahwa Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 97 Hal ini dimungkinkan karena maraknya penggunaan shabu dan ekstasi dikalangan masyarakat Indonesia, sehingga secara serta merta ancaman pidana yang mengatur mengenai penggunaan shabu dan ekstasi pada jenis Narkotika Golongan I semakin bertambah berat dengan keluarnya Undang - Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini dipertegas dalam Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Pada Pasal 8 ayat (2) Undang Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dilanjutkan dengan pernyataan bahwa dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Hal ini berarti ada upaya untuk menekan penggunaan Narkotika Golongan I kepada 97 Lihat Lampiran Undang Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

hal yang mengarah pada penyalahgunaan, dimana selanjutnya pada bagian penjelasan dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai: 98 a. Reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan. b. Reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan. D. Manfaat Narkotika Narkotika banyak jenisnya diantaranya morphin, heroin, ganja, kokain, opium, putaw, mariyuana, dan lain lain, lebih banyak dampak negatifnya daripada Positifnya. Narkotika sebenarnya adalah zat yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu, pada mulanya dapat dikatakan bahwa zat narkotika ini ditemukan ditujukan guna kepentingan umat manusia khususnya di bidang pengobatan. Namun kini presepsi itu disalahgunakan akibat pemakaian yang diluar batas dosis, dan dijual bebas di pasaran, apalagi setelah belakangan diketahui pula bahwa zat zat narkotika memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya terus menerus pada narkotika itu, 98 http://ferli1982.wordpress.com, Kajian Umum Perbandingan Undang - Undang No 22 Tahun 1997 Dengan Undang - Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Diakses 31 1 2012

maka kini penggunaan narkotika harus diatur secara ketat. 99 Jenis Morphin sangat populer dipergunakan untuk penghilang rasa sakit luka-luka perang. 100 Dalam bidang kedokteran beberapa jenis narkotika biasa digunakan misalnya : 101 a. Kokain digunakan sebagai penekan rasa sakit dikulit, digunakan untuk anestesi ( bius ) khususnya untuk pembedahan mata, hidung dan tenggorokan. b. Kodein merupakan analgesic lemah. Kodein tidak digunakan sebagai analgesic tetapi sebagai anti batuk yang kuat. c. Morfin adalah hasil olahan dari opium atau candu mentah. Morfin mempunyai rasa pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau cairan berwarna putih. Morfin terutama digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri yang hebat yang tidak dapat diobati dengan analgetik non narkotika. Apabila rasa nyeri makin hebat maka dosis yang digunakan juga makin tinggi. Morfin juga digunakan untuk mengurangi rasa tegang pada penderita yang akan dioperasi. d. Heroin digunakan sebagai obat penghilang sakit ( pain killer ). 102 Heroin merupakan abat bius yang sangat mudah membuat seseorang kecanduan karena efeknya sangat kuat. Heroin disebut juga putaw. 99 Taufik makaro, Op.cit 100 www. id.answers.yahoo.com diakses 31 3 2012 101 www. mukhlissilo.blogspot.com, manfaat-narkoba-bagi-kesehatan, html diakses 31 3 2012 102 www. id.answers.yahoo.com, Op.cit

e. Methadone, saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opium. Analgetik narkotika, telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan digunakan sebagai analgesia bagi penderita rasa nyeri. Narkotika jenis ganja telah dikenal manusia sejak lama dan digunakan sebagai bahan pembuat kantung karena serat yang dihasilkannya kuat, biji ganja juga digunakan sebagai sumber minyak, Sebelum ada larangan ketat terhadap pelarangan ganja, di Aceh daun ganja menjadi komponen sayur dan umum disajikan. 103 Narkotika memang memiliki manfaat yang cukup signifikan bagi manusia tapi disisilain narkotika juga memiliki dampak negatif bagi manusia jika penggunaannya tidak sesuai dengan ketentuan, Jeanne Mandagi mengatakan bahwa bahaya yang dapat ditimbulkan akibat penyalahgunaan narkotika antara lain adalah: 104 1. Gangguan fisik dan psikis, yaitu berupa emosi yang lebih mudah marah, gangguan daya ingat, rangsangan seksual yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan prilaku menyimpang; 2. Gangguan kesehatan seperti penyakit syaraf, alergi, dan reaksi anapektis yang menunjukkan kepekaaan berlebihan; 103 Majalah Sinar BNN, Edisi 12 Tahun 2010, hal 26 104 www.aidsindonesia.or.id, Totok Yuliyanto, kedudukan hukum pengguna narkotika Dalam Undang - Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dialog satu tahun pelaksanaan Undang - Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang - Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam upaya pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, diakses 22 April 2012

3. Gangguan kesehatan jiwa, sehingga menyebabkan aktivitas dan produktivitas hidup menurun sehingga dapat merugikan diri sendiri bahkan bangsa dan negara; 4. Gangguan fungsi sosial, seperti sikap acuh tak acuh terhadap masyarakat sekitarnya dan dirinya sendiri; 5. Gangguan kamtibmas, seperti melakukan tindakan kriminal bahkan khusus untuk kaum hawa tidak segan untuk terjun ke dunia pelacuran. Berdasarkan uraian di atas semakin memperjelas bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian narkotika ternyata meliputi aspek yang luas, tidak saja yang bersifat internal bagi pemakainya tetapi juga bersifat eksternal termasuk lingkungan masyarakat sekitarnya. Narkotika memang seperti pisau jika digunakan dengan itikad baik maka ia akan sangat berguna tapi jika digunakan dengan itikad yang tidak sesuai dengan aturan maka ia akan memberikan efek negatif bagi manusia, bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan ketersediaan Narkotika. Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Beberapa pasal dalam Undang Undang Republik Indonesia No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, mengatur mengenai manfaat narkotika bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan bidang pengobatan serta tanggung jawab pemerintah untuk

menjamin ketersediaan narkotika, misalnya dalam Pasal 4 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatakan bahwa tujuan dari Undang Undang ini adalah untuk memberikan acuan bagi pemerintah untuk menjamin ketersediaan Narkotika yang akan digunakan bagi kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian pemerintah juga berkewajiban mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika maka kita bersama pemerintah diharapkan oleh Undang Undang ini agar dapat berperan dalam memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika selanjutnya tujuan dari Undang Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika ini juga berfungsi untuk menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalahguna dan pecandu Narkotika. Pasal 7 mempertegas bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, jadi segala sesuatu tentang narkotika harus diatur secara baik dan profesional. Inti dari hal tersebut di atas menegaskan bahwa Narkotika harus tetap dijamin ketersediaannya untuk digunakan bagi kepentingan pelayanan kesehatan dan perkembangan IPTEK juga dimanfaatkan dalam upaya rehabilitasi medis bagi pecandu maupun penyalahguna narkotika. Pemerintah sesuai dengan uraian diatas memiliki tanggung jawab dalam penyediaan narkotika bagi kebutuhan nasional, maka pemerintah harus menyusun rencana kebutuhan tahunan narkotika, yang hal tersebut dituangkan dalam Pasal 9 pada Undang Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur tentang

Rencana Kebutuhan Tahunan Narkotika di Indonesia dalam pasal tersebut dikatakan bahwa Menteri menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Keperluan ketersediaan narkotika akan diatur dalam rencana kebutuhan tahunan Narkotika dan Rencana Kebutuhan Tahunan Narkotika disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan Narkotika secara nasional. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan Narkotika diatur dengan Peraturan Menteri. Penggunaan narkotika memang memiliki dampak negatif jika penggunaanya tidak sesuai aturan, tetapi akan memiliki dampak positif jika digunakan dengan itikad baik maka dari itu pemerintah juga mengatur penggunaan narkotika untuk hal hal yang bersifat positif seperti telah diatur dalam Undang - Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada Pasal 13, pasal ini menyebutkan bahwa bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan, Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan Narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi setelah mendapatkan izin Menteri Narkotika juga dapat digunakan untuk keperluan pengobatan, itu dikatakan dalam Pasal 53 Undang Undang No 35 tahun 2009 dimana dalam pasal itu selama digunakan untuk kepentingan pengobatan dan berdasarkan indikasi medis, dokter

dapat memberikan Narkotika Golongan II atau Golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu kepada pasien sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasien tersebut dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa Narkotika untuk dirinya sendiri, tetapi pasien tersebut harus mempunyai bukti yang sah bahwa Narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. E. Pecandu Narkotika Pada Undang Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sulit untuk untuk menemukan apa yang dimaksud sebagai pecandu narkotika. Menurut kamus bahasa Indonesia istilah Pecandu adalah orang yang menggunakan candu ( narkotika ), bila dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang - Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, maka dapat dikaitkan bahwa Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang - Undang Narkotika. Penggunaan istilah pecandu narkotika digunakan untuk memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan narkotika dalam kondisi

ketergantungan, untuk membedakan dengan penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika. 105 Penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan yang dilakukan tidak untuk maksud pengobatan, tetapi karena ingin menikmati pengaruhnya, dalam jumlah berlebih, kurang teratur, dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, mental dan kehidupan sosial. Penyalahgunaan narkotika yang dilakukan secara terus menerus akan mempengaruhi fungsi berfikir, perasaan dan perilaku orang yang memakainya. Keadaan ini bisa menimbulkan ketagihan (addiction) yang akhirnya mengakibatkan ketergantungan (dependence). 106 Ketergantungan narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas. 107 Addiksi adalah istilah yang dipakai untuk melukiskan keadaan seseorang yang menyalahgunakan obat sedemikian rupa sehingga badan dan jiwanya memerlukan obat tersebut untuk berfungsi secara normal. Ketergantungan, kecanduan, addiksi disebut penyakit, bukan kelemahan moral, meskipun ada unsur moral pada awalnya. Sebagai penyakit, penyalahgunaan narkotika dapat dijelaskan gejalanya yang khas, 105 www.aidsindonesia.or.id, Totok Yuliyanto, Op.cit 106 Badan Narkotika Nasional, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Dini, ( Jakarta: 2009 ), hlm. 36. 107 www.abymaulana-initulisanku.blogspot.com, Aby Maulana, Tindak Pidana Narkotika; Penyalahguna Dan Pecandu Narkotika (Penjatuhan Tindakan Rehabilitasi), diakses 4 4 2012

yang berulang kali kambuh (relaps), dan berlangsung progresif artinya semakin memburuk, apabila tidak ditolong dan dirawat dengan baik. 108 Bila dikaitkan dengan dengan orang yang menggunakan narkotika, dalam Undang Undang Narkotika dapat ditemukan berbagai istilah antara lain : 109 a. Pecandu Narkotika sebagai orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13 Undang - Undang Narkotika) b. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.( Pasal 1 angka 14 Undang - Undang Narkotika ) Ketergantungan fisik adalah suatu keadaan dimana tubuh membutuhkan rangsangan narkotika dan apabila pemakaiannya dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala putus zat. Sedangkan ketergantungan psikis adalah suatu keinginan yang selalu berada dalam ingatan, maka apabila pemakaian narkoba dihentikan akan menimbulkan kecemasan, kegelisahan dan depresi. 110 c. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15 Undang - Undang Narkotika) 108 Ibid 109.www.aidsindonesia.or.id, Totok Yuliyanto, Op.cit 110 www.scribd.com, Penyuluhan Tentang Dampak Peredaran Dan Penyalahgunaan Narkoba Dalam Upaya Menciptakan Kalianda Bebas Narkoba, diakses 8 April 2012

d. Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika (Penjelasan Pasal 54 Undang - Undang Narkotika) e. Pasien sebagai orang yang berdasarkan indikasi medis dapat menggunakan, mendapatkan, memiliki, menyimpan dan membawa narkotika golongan II dan golongan III dalam jumlah terbatas dan sediaan tertentu; f. Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis (Penjelasan Pasal 58 Undang - Undang Narkotika) Bab ini penulis akan mengerucutkan pada penjelasan yang dimaksud dengan pecandu menurut Undang Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika melalui pengamatan pada pasal pasal yang mengatur tentang pecandu narkotika dan Peraturan Perundang undangan lainya yang berkaitan dengan Pecandu Narkotika. Undang - Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatakan bahwa Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Namun susahnya buat para pecandu atau Penyalahguna Narkotika juga ternyata ditempatkan pada posisi yang sulit. Sebagai bagian dari Victimless Crime, seharusnya para pecandu atau penyalahguna tidak ditempatkan sebagai suatu kejahatan, kecuali apabila kelompok tersebut terbukti menjadi pengedar bagian dari jejaring peredaran Narkotika.

F. Parameter Penyalahguna Narkotika Dapat dikatakan sebagai Pecandu Narkotika. Seseorang yang terlibat narkotika biasanya mengalami gangguan fungsi kerja tubuh dan perilaku dikarenakan oleh zat adiktif / candu yang terkandung dalam berbagai jenis narkotika. Mereka tidak dapat mengendalikan diri untuk berhenti begitu saja, sehingga menghilangkan kontrol sosial mereka. Keadaan seperti ini membuat mereka siap melakukan apa saja untuk mendapatkan narkotika. Inilah yang membentuk karakteristik para pemakai narkotika. 111 Menteri kesehatan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 422/menkes/sk/iii/2010 tentang Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan Napza, memberikan gambaran bagaimana karakteristik / parameter seorang pecandu narkotika yang dapat disimpulkan bahwa seseorang penyalahguna narkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika adalah seseorang yang memiliki ciri sebagai berikut: 112 a. Ciri pecandu narkotika secara umum: 1. Suka berbohong 2. Delusive (tidak biasa membedakan dunia nyata dan khayal) 3. Cenderung malas 4. Cendrung vandalistis (merusak) 5. Tidak memiliki rasa tanggung jawab 111 www. Elib.unikom.ac.id, jenis-jenis narkoba dan sifat penggunanya, diakses 4 7 2012 112 Lihat Lampiran Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 422/menkes/sk/iii/2010 tentang Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan Napza

6. Tidak bisa mengontrol emosi dan mudah terpengaruh terutama untuk hal - hal yang negatif b. Gejala dan ciri ciri seorang pecandu narkotika secara fisik: 113 Yang dimaksud dengan ketergantungan fisik mencakup gejala gejala yang timbul pada fisik pecandu yang menyebabkan pecandu tidak dapat melepaskan diri dari ketergantungannya pada narkotika. Hal ini dipengaruhi oleh sifat toleransi yang dibawa oleh narkotika itu sendiri, yaitu keadaan dimana pemakaian narkotika secara berulang ulang membentuk pola dosis tertentu yang menimbulkan efek turunnya fungsi organ organ sehingga untuk mendapatkan fungsi yang tetap diperlukan dosis yang semakin lama semakin besar. Seseorang dikatakan sebagai pecandu menurut petugas assessment di Primansu adalah ketika seseorang itu telah menggunakan narkotika selama 3 tahun, pemakaian mencapai 4 kali atau lebih dalam satu hari, dan telah addicted ( kecanduan ), tahapan seseorang menggunakan narkotika dapat dibagi menjadi 3 tahap: 1. Tahap coba coba, 2. Tahap pengguna, 3. Tahap Pecandu Narkotika, namun secara fisik dapat disimpulkan bahwa ciri ciri pecandu narkotika adalah : Ciri fisik yang sering timbul pada pecandu narkotika antara lain: 1. Pusing / sakit kepala 2. Berat badan menurun, malnutrisi, penurunan kekebalan, lemah tanggal 5 7 2012 113 Hasil wawancara dengan Fitri Yanti, S.Sos (divisi jaringan & komunikasi) Primansu, dilakukan

3. Mata terlihat cekung dan merah, muka pucat, dan bibir kehitam-hitaman. 4. Bicara cadel 5. Mual 6. Badan panas dingin 7. Sakit pada tulang- tulang dan persendian 8. Sakit hampir pada seluruh bagian badan 9. Mengeluarkan keringat berlebihan. 10. Pembesaran pupil mata 11. Mata berair 12. Hidung berlendir 13. Batuk pilek berkepanjangan 14. Serangan panik 15. Ada bekas suntikan atau bekas sayatan di tangan. Ciri ciri pecandu narkoba secara psikologis: 1. Halusinasi Pemakai biasanya merasakan dua perasaan berbeda yang intensitasnya sama kuat. Akibat dari ini menimbulkan penglihatan penglihatan bergerak, warna warna dan mata pemakai akan menjadi sangat sensitif terhadap cahaya terang. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan terhadap hewan percobaan, efek hallucinogen ini mempengaruhi beberapa jenis zat kimia yang menyebabkan tertutupnya system penyaringan informasi. Terblokirnya

saluran ini yang menghasilkan halusinasi warna, suara gerak secara bersamaan. Biasanya halusinasi ini merupakan efek dari penggunaan narkotika yang bersifat organic (ganja) tetapi dapat juga ditimbulkan oleh narkotika sintetis seperti putauw. 2. Paranoid Penyakit kejiwaan yang biasanya merupakaan bawaan sejak lahir ini juga dapat ditimbulkan oleh pengguna narkoba dengan dosis sangat besar pada jangka waku berdekatan. Pengguna merasa depresi, merasa diintai setiap saat dan curiga yang berlebihan. Keadaan ini memburuk bila pengguna merasa putus obat, menyebabkan kerusakan permanen dalam system saraf utama. Hasilnya adalah penyakit jiwa kronis dan untuk menyembuhka membutuhkan waktu sangat lama. Efek ini ditimbulkan oleh jenis shabu shabu yang memancing keaktifan daya kerja otak sehingga melebihi porsi kerja otak normal. 3. Ketakutan pada bentuk bentuk tertentu Pengguna narkoba pada masa putus zat (sakau) memiliki kecenderungan pisikologis ruang yang serupa diantaranya: a. Takut melihat cahaya b. Mencari ruang sempit dan gelap c. Takut pada bentuk ruang yang menekan

d. Mudah terpengaruh oleh warna warna yang merangsang. 4. Histeria Pengguna cenderung bertingkah laku berlebihan diluar kesadarannya, ciri cirinya adalah: a. Berteriak teriak b. Tertawa tawa diluar sadar c. Menangis d. Merusak Efek ini dapat ditimbulkan dari berbagai macam jenis narkotika karena pada dasarnya, efek pisikologis yang ditimbulkan narkotika juga dipengaruhi oleh pembawaan pribadi pecandu. Tingkat ketergantungan dari pengguna narkoba terbagi tiga tahap: 114 a. Toleransi Pada tahap ini narkoba hanya berpengaruh pada fisik pengguna narkoba. Tahap ini adalah tahap dimana tubuh seorang pengguna menjadi terbiasa dengan narkoba dengan dosis rendah. Pada umumnya pengguna tidak akan bertahan lama pada dosis ini, karena tubuh pengguna akan terus meminta dosis yang lebih tinggi untuk merasakan efek yang diinginkan. 114 www. Elib.unikom.ac.id, Op.cit

b. Kebiasaan Pada tahap ini narkoba berpengaruh pada fisik dan mental pengguna narkoba. Tahap ini merupakan tahap seorang pengguna narkoba memiliki keinginan untuk terus menerus mengkonsumsi narkoba. Pengguna merasa tanpa mengkonsumsi narkoba mereka tidak dapat melakukan pekerjaan dengan baik. c. Addict Pada tahap ini narkoba mempengaruhi pengguna dalam segala aspek, mereka merasa tidak dapat hidup tanpa narkoba. Kematian karena over dosis sering terjadi pada tahap ini. Masalah penyalahgunaan narkotika bukan merupakan aib keluarga, tetapi merupakan masalah nasional tanggung jawab bersama yang harus ditanggulangi secara terpadu, terkoordinir, terarah dan berkelanjutan serta dilakukan secara serius/sungguh-sungguh. Semua komponen bangsa harus merasa terpanggil untuk melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan melakukannya dengan penuh keikhlasan sebagai suatu ibadah. Pecandu narkotika secara kenyataan belum dapat dikatakan sebagai pecandu secara yuridis atau menurut hukum jika pecandu tersebut belum melakukan kewajiban dan hak pecandu yang telah diatur dalam peraturan perundang undangan tentang narkotika.

Menurut peraturan perundang undangan yang mengatur tentang narkotika pecandu narkotika yang diakui secara hukum di bagi menjadi dua yaitu : 1. Pecandu Narkotika Karena Melapor Kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Indonesia telah memiliki Undang - Undang N0 35 tahun 2009 tentang narkotika yang dalam Pasal 54 menyatakan bahwa Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Bagi pecandu, terapi dan rehabilitasi adalah langkah terbaik. Ketergantungan adalah penyakit yang harus disembuhkan dan bukan dihukum. Ketentuan tentang wajib lapor bagi seorang penyalahguna narkotika yang merupakan pecandu narkotika semakin dipertegas dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, diterangkan dalam Peraturan Pemerintah ini bahwa wajib lapor adalah kegiatan melaporkan diri yang dilakukan oleh pecandu narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya, dan/atau orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur kepada institusi penerima wajib lapor untuk mendapatkan pengobatan dan /atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 ini mengatur secara lebih jelas menerangkan bahwa Institusi Penerima Wajib Lapor adalah pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah. Wajib Lapor dapat dilakukan oleh orang tua atau wali Pecandu

Narkotika yang belum cukup umur dan Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur atau keluarganya. Pasal 4 mengatakan bahwa Wajib Lapor Pecandu Narkotika dilakukan di Institusi Penerima Wajib Lapor, Pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh Menteri kesehatan, Lembaga rehabilitasi sosial sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Peraturan Pemerintah ini juga mengatur tentang tata cara wajib lapor, seperti diterangkan dalam Pasal 6 yang mengatakan Wajib Lapor sebagaimana dilakukan dengan melaporkan Pecandu Narkotika kepada Institusi Penerima Wajib Lapor, dalam hal laporan dilakukan selain pada Institusi Penerima Wajib Lapor, petugas yang menerima laporan meneruskannya kepada Institusi Penerima Wajib Lapor. Pasal 7 menjelaskan bahwa Institusi Penerima Wajib Lapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib melakukan asesmen (asesmen yaitu suatu tahap dalam pra terapi bagi calon pasien untuk menilai tingkat keparahan dan atau menentukan kebutuhan penyembuhan) 115 terhadap Pecandu Narkotika untuk mengetahui kondisi Pecandu Narkotika, Asesmen meliputi aspek medis dan aspek sosial. Pasal 8 mengatakan Asesmen sebagaimana dilakukan dengan cara wawancara, observasi, serta pemeriksaan fisik dan psikis terhadap Pecandu Narkotika. Wawancara meliputi riwayat kesehatan, riwayat penggunaan Narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada tindak kriminalitas, riwayat psikiatris, serta 115 Majalah Sinar BNN, edisi 11, 2010. Hal 32

riwayat keluarga dan sosial Pecandu Narkotika. Observasi yang dilakukan meliputi observasi atas perilaku Pecandu Narkotika. Pasal 9 menjelaskan fase setelah asesmen yaitu hasil asesmen dicatat pada rekam medis atau catatan perubahan perilaku Pecandu Narkotika, hasil asesmen bersifat rahasia dan merupakan dasar dalam rencana rehabilitasi terhadap Pecandu Narkotika yang bersangkutan, kerahasiaan hasil asesmen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rencana rehabilitasi kemudian disepakati oleh Pecandu Narkotika, orang tua, wali, atau keluarga Pecandu Narkotika dan pimpinan Institusi Penerima Wajib Lapor. Pasal 10 menjelaskan Pecandu Narkotika yang telah melaporkan diri atau dilaporkan kepada Institusi Penerima Wajib Lapor diberi kartu lapor diri setelah menjalani asesmen. Kartu lapor diri berlaku untuk 2 (dua) kali masa perawatan, Kartu lapor diri diberikan oleh Pimpinan Institusi Penerima Wajib Lapor. Undang Undang No 35 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 dengan jelas mengatur bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai seorang pecandu narkotika ketika ia melaporkan diri kepada Institusi Penerima Wajib Lapor ( IPWL ), Untuk melaksanakan wajib lapor pecandu narkotika tersebut maka perlu ditetapkan Institusi Penerima Wajib Lapor ( IPWL ), menyikapi hal tersebut Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1305 / Menkes / SK/ VI/ 2011 yang menetapkan RSUP H. Adam Malik Medan, Puskesmas Tanjung Morawa Deli Serdang dan Rumah Sakit Jiwa Medan sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor

, untuk daerah Sumatera Utara. Menteri Sosial juga menyiapkan beberapa IPWL di Sumatera Utara yaitu : Sibolangit Center dan Panti Sosial Pamardi Putra (Panti Insaf). 2. Pecandu Narkotika Karena Mengajukan Permohonan Pada Saat Menjalani Proses Peradilan Kewajiban rehabilitasi medis dan / atau rehabilitasi sosial ini juga berlaku pada pecandu narkotika yang masih berada pada tahap tahap peradilan walaupun belum jatuh vonis seperti yang tertuang dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika dalam Pasal 13 menjelaskan Kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berlaku juga bagi Pecandu Narkotika yangdiperintahkan berdasarkan: 1. Putusan pengadilan jika Pecandu Narkotika terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, 2. Penetapan pengadilan jika Pecandu Narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. Pasal 13 ini juga mengatakan bahwa Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud uraian diatas merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Dokter. Ketentuan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial berlaku juga bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika.

Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 sebenarnya sangat memberi kewenangan kepada para penegak hukum untuk dapat memeriksa secara benar apakah seseorang itu penyalahguna murni atau memang dia juga seorang pecandu, jika dia adalah seorang pecandu maka ia harus segera di rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan. Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011 ini di perkuat dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika Di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial, dalam SEMA No 3 Tahun 2011 ini Mahkamah Agung menyatakan bahwa dengan adanya aturan aturan dalam Undang - Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, yang juga mengatur mengenai rehabilitasi bagi korban narkotika, memberikan posisi yang sangat sentral kepada Polisi, Jaksa dan Hakim khususnya terkait dengan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial sejak dalam proses penyidikan, penuntutan sampai proses pemeriksaan di persidangan untuk membentuk penetapan, namun demikian hakim tetap diminta dalam memberikan perintah penetapan maupun putusan tetap memperhatikan dan merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010. 116 Badan Narkotika Nasional dalam menyikapi Peraturan Pemerintah No 25 Tahu 2011 ini telah mengeluarkan Peraturan yaitu Peraturan Kepala Badan Narkotika 116 Lihat SEMA No 3 Tahun 2011

Nasional Republik Indonesia No 2 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Penanganan Tersangka atau Terdakwa Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan, Dan Pecandu Narkotika, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa penyalahguna, korban penyalahgunaan dan pecandu narkotika yang ditetapkan sebagai tersangka atau Terdakwa dalam perkara tindak pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika selama proses peradilan perlu penanganan secara khusus melalui penempatannya dalam lembaga Rehabilitasi Medis dan/atau Rehabilitasi Sosial guna memperoleh pengobatan dan Perawatan dalam rangka pemulihan. Peraturan Kepala BNN ini memberikan pedoman teknis dalam penanganan penyalahguna yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa untuk dapat menjalani rehabilitasi medis dan/atau Rehabilitasi sosial selama proses peradilan berlangsung. Pada Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Peraturan ini dijelaskan tata cara pengajuan permohonan agar tersangka atau terdakwa dapat di rehabilitasi yaitu, tersangka atau terdakwa harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada penyidik, Jaksa Penuntut Umum, atau Hakim sesuai tingkat pemeriksaan, dalam Pasal 6 Peraturan ini juga dijelaskan syarat syarat yang harus dilengkapin agar permohonan dapat diproses lebih lanjut. 117 Pada Pasal 8 dijelaskan bahwa untuk penanganan permohonan yang telah diterima yaitu, Kepala BNN membentuk Tim Penanganan Penyalah guna, dimana susunan tim meliputi : a. Kepala BNN sebagai pelindung 117 Lihat Pasal 6, Peraturan kepala BNN No 2 Tahun 2011

b. Inspektur Utama BNN sebagai pengawas c. Sekretaris Utama BNN sebagai Penasenat d. Deputi Rehabilitasi BNN sebagai Penanggung jawab e. Deputi Hukum dan kerjasama BNN sebagai ketua Tim f. Deputi Pemberantasan BNN sebagai Koordinator Kajian Jaringan Narkotika g. Direktur Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat BNN sebagai Koordinator Kajian Medis. h. Direktur Hukum Deputi Hukum dan Kerjasama BNN Koordinator Kajian hukum i. Perwakilan dari Deputi Bidang Pemberantasan BNN, Deputi Bidang Rehabilitasi, dan Direktorat Hukum Deputi Bidang Hukum dan Kerjasama BNN sebagai Sekretaris dan Anggota Tim. 118 Prosedur Penanganan permohonan oleh Tim BNN dijelaskan dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 20 Peraturan ini dimana dalam Pasal tersebut dikatakan bahwa setelah tim menerima permohonan maka berkas akan diperiksa oleh ketua tim, setelah diteliti kelengkapan persyaratan dokumen permohonan selanjutnya tim melakukan pembagian tugas dan membentuk tim untuk melakukan asesmen dan kajian medis, psiko dan sosial terhadap tersangka atau terdakwa. Asesmen dan kajian medis meliputi beberapa kegiatan yaitu wawancara, tentang riwayat kesehatan, riwayat penggunaan narkotika, riwayat pengobatan dan perawatan, riwayat keterlibatan pada 118 Lihat Pasal 8, Peraturan Kepala BNN No 2 Tahun 2011

tindak kriminalitas, riwayat psikiatris, riwayat keluarga dan sosial tersangka atau terdakwa, observasi atas perilaku tersangka atau terdakwa, serta pemeriksaan fisik dan psikis. 119 Kajian selanjutnya yang harus dilakukan adalah kajian narkotika dan prekusor narkotika dimana kegiatan kajian ini meliputi pencocokan identitas tersangka, seperti photo, sidik jari, ciri-ciri fisik, dan nama/alias, dengan data jaringan narkotika yang ada di database Deputi Bidang Pemberantasan BNN, analisis data intelijen terkait, serta telaah Berita Acara Pemeriksaan Tersangka atau Terdakwa yang terkait lainnya. Terakhir kajian yang dilakukan adalah Kajian Hukum yaitu meliputi telaah tentang hasil asesmen dan hasil kajian medis serta hasil kajian jaringan narkotika dan prekusor narkotika, telaah penerapan pasal pasal Undang - Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010, dan pembuatan pendapat hukum. Tim dapat meminta keterangan kepada tersangka atau terdakwa dan pihak lain yang terkait ketika melakukan asesmen dan kajian, hasil asesmen dan kajian medis, hasil kajian jaringan narkotika dan prekusor narkotika, dan hasil kajian hukum di sampaikan kepada ketua Tim, kemudian ketua tim mengadakan rapat pengambilan keputusan paling lambat 3 ( tiga ) hari sejak tanggal menerima hasil asesmen dan 119 Lihat Pasal 11 Pasal 20, Peraturan kepala BNN No 2 Tahun 2011

kajian, Tim asesmen dan kajian melaksanakan tugasnya dalam jangka waktu paling lambat 15 hari kerja. Asesment dan kajian dilaksanakan di Kantor BNN. 120 Keputusan tim dapat berupa permohonan di kabulkan, dan tim akan memberikan rekomendasi penempatan Tersangka dalam lembaga Rehabilitasi Medis dan/atau Rehabilitasi Sosial, Rekomendasi diberikan dalam bentuk Surat Keterangan yang ditandatangani oleh ketua tim disampaikan kepada pemohon. Keputusan juga dapat berupa penolakan permohonan, penolakan tersebut diberitahukan kepada pemohon disertai alasan penolakan. Tersangka atau terdakwa yang diduga sebagai pengedar narkotika dan/atau prekusor narkotika dan tersangka atau terdakwa yang terbukti memiliki narkotika melebihi jumlah tertentu dan terbukti positif memakai narkotika sesuai hasil asesmen tetap ditahan dirumah tahanan BNN dengan tetap mendapatkan pengobatan dan perawatan dalam rangka pemulihan baik secara medis maupun secara sosial. 121 120 Ibid 121 Ibid