BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang dipangkunya karena budaya merupakan landasan filosofi yang mendasari setiap perilaku manusia itu. Sehingga dengan demikian seringkali manusia secara tidak sadar bersikap tertutup terhadap kemungkinan perubahan dalam nilai-nilai budaya yang dipangkunya. Mereka juga sering merasa bahwa nilai-nilai yang selama ini dimilikinya merupakan yang terbaik, dan karenanya harus dipertahankan. Menurut para ahli, kebudayaan dapat diartikan sebagai cara hidup menyeluruh sekelompok orang. Dari definisi itu dapat dipahami bahwa kebudayaan suatu komunitas masyarakat selalu memberikan legitimasi identitas bagi setiap individu ketika berhadapan dengan komunitas lain. Legitimasi tersebut akan membuat seseorang merasa sebagai bagian dari komunitasnya sehingga kemudian memunculkan fanatisme yang berlebihan dan pada akhirnya dapat menimbulkan konflik sosial diantara kelompok. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa budaya merupakan faktor pembentuk identitas setiap masyarakat kesukuan akan tetapi budaya seringkali mengalami degradasi dalam perkembangan selanjutnya bahkan kehilangan kekuatannya ketika bertemu dengan budaya lain. 13
Di dalam kehidupan manusia di masyarakat terdapat dua potensi yang saling bertolak belakang antara satu dengan yang lainnya yaitu potensi konflik dan potensi damai. Kedua potensi itu bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dan lainnya. Jadi potensi konflik dan damai menyatu dalam kehidupan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat muncul silih berganti. Potensi konflik akan muncul lebih kuat apabila manusia terlalu mengutamakan kepentingan individu sehingga terjadi persaingan untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, potensi damai akan lebih dominan bilamana manusia lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang dilandasi oleh nilai dan norma sosial yang pada gilirannya akan menciptakan suatu kedamaian. Konflik sosial dalam masyarakat seringkali diperparah dengan anggapan bahwa hanya budayanya sendiri yang paling baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila identitas budaya mendominasi identitas kesukuan namun tidak dibarengi semangat persatuan yang tinggi maka konflik akan dengan mudah dapat terjadi. Hal ini juga disebabkan karena setiap individu menempati ruang dan waktu yang berbeda dan sistem budaya yang berbeda pula. Kepribadian yang dimaksud menunjukkan cara-cara khusus individu berpikir, merasa dan berlaku yang diatur oleh seperangkat sistem norma. Sistem norma untuk mencapai tujuan atau tendensi sentral masyarakat yang dipandang penting atau secara formal sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu pokok kegiatan manusia oleh Horton dan Hunt (1993 : 244) dinamakan lembaga. 14
Oleh karena sistem nilai atau norma dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting maka setiap gerak perubahan masyarakat sebagai akibat dari inovasi kebudayaan luar yang dirasa mengancam tatanan nilai dan norma-norma masyarakat perlu mendapat perhatian semua pihak. Fungsi manifes maupun fungsi laten dari lembaga-lembaga kemasyarakatan tidak boleh diabaikan begitu saja. Seperti diketahui bahwa masyarakat dewasa ini menjadi lebih terbuka menerima nilai-nilai baru yang berorientasi ke masa depan sehingga ada kecenderungan nilai-nilai budaya atau kearifan lokal diabaikan. Peran dan fungsi lembaga kemasyarakatan sebagai sosial kontrol mengalami degradasi. Sejalan dengan itu para ahli ilmu sosial mengatakan bahwa gerak perubahan masyarakat akan langsung menyentuh lembaga-lembaga kemasyarakatan sehingga mengaburkan fungsi lembaga terutama fungsi manifes seperti menyelesaikan konflik. P. Wehr (Candra, 1992 : 29) mengatakan bahwa konflik tidak perlu dipandang sebagai hal yang buruk dan secara mutlak harus dihindarkan. Konflik itu harus ada dan wajar dalam kehidupan sosial. Sejalan dengan pemikiran di atas dapat dikemukakan bahwa konflik itu akan senantiasa mewarnai kehidupan sosial suatu masyarakat karena setiap individu yang membentuk masyarakat tersebut dilingkupi oleh berbagai kepentingan. Dalam kaitan dengan model kehidupan sosial yang demikian maka diperlukan suatu lembaga yang berfungsi menyelesaikan konflik. 15
Konflik bisa juga berawal dari perencanaan yang tidak mengadopsi aspirasi warga, sehingga terkesan pemaksaan oleh sikap pemimpin yang berkuasa. Fenomena seperti ini sering terjadi di wilayah desa adat yang kehidupan masyarakatnya masih mengedepankan sosok pemimpin ''abadi'' dengan menganut pemimpin yang mentradisi secara turun temurun berdasarkan garis keturunan. Ada kalanya di beberapa desa adat, model kepemimpinan seperti ini mampu menjalankan roda kehidupan desa adat dengan mulus, tanpa memunculkan konflik. Tetapi hal ini secara tidak disadari telah memasung hakhak warga untuk berinovasi, bebas berpendapat dan menghambat kaderisasi sebagai bagian dari pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) di desa adat tersebut. Dibalik posisinya yang sangat strategis, tidak jarang pula lembaga desa adat dibelit oleh ketidakmampuan masyarakatnya mengatasi konflik-konflik internal yang muncul. Walaupun fenomena ini dialami hanya sebagian kecil dari desa adat di Ile Ape, kesan yang muncul tetap mengindikasikan ketidakberdayaan pengurus atau tokoh adat yang berwenang, bersama-sama warganya untuk menyelesaikan konflik-konflik yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Wilayah adat Napaulun yang mencakup wilayah pemerintahan Desa Bungamuda dan Napasabok di Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata, memiliki suatu kebiasaan yang berlaku turun-temurun dan dikenal dengan istilah Hamang Utan yang dalam bahasa setempat diartikan sebagai pesta makan kacang (Hamang : Tarian, Utan : Kacang). Lembaga Hamang Utan ini, 16
merupakan perangkat aturan atau norma yang diwariskan oleh leluhur. Tujuannya untuk mengikat hubungan persaudaraan antar warga di wilayah adat Napaulun. Hubungan persaudaraan ini ditunjukkan lewat acara makan kacang bersama yang bahan dasarnya berasal dari kacang nasi berwarna merah dan telah disembahyangkan. Hamang Utan ini merupakan pranata adat yang mula-mula terbentuk dan melembaga dalam masyarakat untuk menghormati Lera Wulan Tana Ekan (Wujud Tertinggi yang menciptakan dan mempunyai bumi), serta benda-benda peninggalan nenek moyang yang mengandung nilai pengajaran akan pentingnya hidup bersama. Benda-benda peninggalan atau simbol adat berupa perlengkapan dapur yang dipakai untuk acara ritual makan bersama seluruh warga pada saat itu merupakan gambaran perilaku masyarakat yang sangat menjunjung kebersamaan (Liliweri, 1997 : 130). Dalam upaya mencermati permasalahan ini, penulis mendapatkan informasi dari masyarakat adat Napaulun bahwa generasi sebelum tahun 1980-an menjalankan kehidupan sosialnya dalam suasana yang begitu harmonis. Konflikkonflik yang pernah terjadi antar warga di wilayah adat Napaulun sebelumnya seperti masalah batas tanah, harta warisan serta belis dapat diselesaikan lewat ritual Hamang Utan yang rutin digelar setiap tahun. Namun sepanjang tahun 1987-2008, ritual ini menjadi tidak rutin dan bahkan jarang digelar karena karena pemimpin adat yang tidak menjalankan fungsi kepemimpinannya dalam menyelenggarakan ritual Hamang Utan. Akibatnya konflik-konflik yang terjadi baik antar kampung, suku maupun individu yang harus diselesaikan dalam kurun 17
waktu setahun, misalnya masalah batas tanah, harta warisan serta belis dibiarkan begitu saja. Menurut kepercayaan adat masyarakat setempat, apabila Hamang Utan tidak digelar maka konflik dalam masyarakat selama rentang waktu setahun terus bertambah. Bagi para kepala suku bisa kembali menikmati hasil panen kacang baru, karena selama setahun melakukan pantangan makan kacang. Selain itu ritual ini digelar sebagai ungkapan rasa syukur terhadap hasil panen juga penghormatan terhadap leluhur. Masyarakat adat Napaulun mempercayai Hamang Utan ini sebagai sebuah lembaga adat untuk menyelesaikan konflik. Dampak nyata yang dirasakan masyarakat sekarang adalah terpecahpecahnya golongan suku besar menjadi suku-suku kecil. Lebih dari itu adalah adanya tuntutan antar suku akan harta warisan. Salah satu contoh mengenai konflik perebutan harta warisan (gading) yang juga merupakan belis dalam adat perkawinan masyarakat setempat antara kelompok masyarakat suku Kolimaking dengan suku Lemanuk diselesaikan melalui lembaga Hamang Utan. Adanya keinginan masyarakat untuk mengembalikan fungsi manifes lembaga Hamang Utan masih jelas dari sikap hidup masyarakat yang tetap telaten merawat simbolsimbol lembaga berupa benda peninggalan. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi masyarakat untuk mengembalikan fungsi lembaga warisan leluhur ini terasa sulit terpecahkan, untuk itu penulis merasa tertarik mengkaji masalah ini dengan judul : Hamang Utan Sebagai Lembaga Penyelesaian Konflik Studi Budaya Pada Masyarakat Di Wilayah Adat Napaulun Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata. 18
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : 1) Faktor-faktor apa yang menyebabkan Lembaga Hamang Utan dalam menyelesaikan konflik antar warga di wilayah adat Napaulun Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata tidak dapat dilaksanakan? 2) Bagaimana strategi untuk menghidupkan kembali lembaga yang telah melemah perannya ini? 1.3 Tujuan dan Kegunaan 1.3.1 Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang membuat pelaksanaan ritual Hamang Utan tidak dapat dilaksanakan. b. Untuk mengetahui strategi yang digunakan dalam menghidupkan kembali lembaga yang telah melemah perannya ini. 1.3.2 Kegunaan Penelitian Kegunaan hasil penelitian ini dibedakan atas aspek teoritis dan aspek praktis. Kegunaan teoritis berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan sedangkan kegunaan praktis berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dari berbagai pihak yang memerlukannya. a. Kegunaan Teoritis 19
Dari aspek teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi akademik bagi pengembangan ilmu sosial pada umumnya dan ilmu komunikasi khususnya, yaitu : - Bagi almamater, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam melengkapi kepustakaan ilmu sosial umumnya di universitas ini dan kepustakaan ilmu komunikasi khususnya di lingkungan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. - Bagi penulis/peneliti dan para peneliti lainnya, hasil penelitian ini dapat berguna sebagai sarana peneliti untuk mengetahui lebih jauh tentang lembaga-lembaga kemasyarakatan di desa dan sebagai informasi atau masukan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang sama. b. Kegunaan Praktis Secara praktis hasil penelitian ini bisa berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya. - Bagi pemerintah Kabupaten Lembata terutama instansi-instansi terkait tentang pentingnya memberikan rangsangan kepada masyarakat untuk mempertahankan sistem-sistem norma yang berlaku dalam masyarakat. - Bagi warga masyarakat di wilayah adat Napaulun, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi kepada masyarakat 20
untuk sama-sama berupaya mengembalikan fungsi lembaga Hamang Utan. 1.4 Kerangka Pikir dan Asumsi 1.4.1 Kerangka Pikir Penelitian Dalam kehidupan bermasyarakat manusia selalu memperlihatkan sifat yang paradoks dengan lingkungan serta norma-norma yang diberlakukan. Hal ini lebih disebabkan karena satu pihak dia menjadi anggota dari jenisnya, tetapi di pihak lain dia juga menjadi makhluk sosial dan diatur oleh norma-norma yang membatasi cara berpikir, pengungkapan perasaan serta tindakan. Sebagai individu dia bertindak dan bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sedangkan sebagai makhluk sosial dia harus bertindak sesuai aturan yang telah melembaga dalam masyarakat, dan mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat. Oleh karena itu di wilayah adat Napaulun Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata memiliki sebuah lembaga adat yang diyakini dapat mengatur pola hidup serta dapat menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Pola hidup masyarakat yang mengalami perubahan (peningkatan) ternyata turut mempengaruhi keberadaan lembaga ini. Bergesernya nilai-nilai sosial yang berpengaruh terhadap perubahan tingkah laku masyarakat perlu tetap diantisipasi. Untuk lebih mempermudah penulis melakukan penelitian, maka ditetapkan beberapa variabel penelitian sebagai berikut : 21
Fungsi Lembaga Hamang Utan : a. Fungsi Manifes atau fungsi utama menyelesaikan konflik. b. Fungsi Laten atau fungsi tambahan/terselubung yaitu mempertahankan struktur Penerapan pola wewenang tradisional yang tidak relevan dengan realitas kehidupan masyarakat sekarang praktis membuat macetnya fungsi lembaga ini secara keseluruhan. Untuk mengatasi kondisi ini, penulis merasa sangat penting diadakan suatu penelitian demi menyelamatkan keberadaan lembaga ini, lewat penelitian ini diharapkan dapat tercipta hubungan sosial : a. Meningkatkan rasa kekeluargaan dan kebersamaan. b. Meningkatkan partisipasi masyarakat. Untuk lebih jelas, dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 01. Skema Kerangka Pikir Penelitian Fungsi Lembaga Hamang Utan Fungsi Manifes/ Utama : Menyelesaikan Konflik Fungsi Laten/ Tambahan : Mempertahankan Struktur Dampak sosial 1. Meningkatkan rasa kekeluargaan dan kebersamaan 2. Meningkatkan partisipasi 22
1.4.2 Asumsi Penelitian Asumsi penelitian merupakan proposisi-proposisi anteseden dalam penalaran yang tersirat pada kerangka pemikiran yang dijadikan sebagai pegangan penelitian untuk sampai pada kesimpulan penelitian. Adapun asumsi yang dipegang oleh peneliti sebelum melakukan penelitian ini yaitu konflik dapat dihindari jika Hamang Utan rutin digelar setiap tahun. 23