Oleh : Ni Putu Rossica Sari Dewa Nyoman Rai Asmara Putra Nyoman A Martana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

PUBLIC POLICY SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dunia yang bergerak pesat dan sangat kompetitif. Pemerintah Indonesia pada

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. khususnya di Indonesia mau tidak mau akan menghadapi situasi baru dalam dunia

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *)

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

Oleh: Hengki M. Sibuea *

BAB I PENDAHULUAN. tradisi hukum yang sangat besar, yaitu tradisi hukum eropa-kontinental (civil law)

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam free market dan free competition. Menyadari bahwa hubungan bisnis

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

BAB I PENDAHULUAN. terhadap hukum bisnis internasional dan penanaman modal asing suatu negara

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 T a h u n Tentang Desain Industri

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN AUTENTIK SEWA-MENYEWA TANAH

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EKSEKUSI RIEL PUTUSAN HAKIM TERHADAP BENDA TIDAK BERGERAK

PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC

Perang Gugat Mantan Sahabat

PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP INVESTOR ASING JIKA TERJADI SENGKETA HUKUM DALAM PENANAMAN MODAL

ANALISIS YURIDIS PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITERASE INTERNASIONAL

Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI RANAH PUBLIK PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA 20/05/2017

USU Law Journal, Vol.3.No.3 (November 2015) 51-63

PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA MELALUI MEDIASI DI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA DENPASAR

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG

SISTEMATIKAN PEMBAHASAN I. ENVIRONMENTAL DISPUTE RESOLUTON SECARA UMUM 11/10/2011

Bergabungnya Pihak Ketiga Dalam Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase dan Permasalahan Yang Mungkin Timbul

HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

BAB I PENDAHULUAN. melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL

PENERAPAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG DAN HUKUM ACARA DI INDONESIA. Lu Sudirman 1. Ritaningtyas 2

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 PENJELASAN ATAS TENTANG DESAIN INDUSTRI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

AKIBAT HUKUM BAGI PENANAM MODAL ASING YANG MELAKUKAN PELANGGARAN KONTRAK DALAM BERINVESTASI DI INDONESIA

PROSES PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI UU No. 30 TAHUN 1999 (Studi Putusan No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST)

PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA TELEPON SELULAR TERKAIT PENYEDOTAN PULSA

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut:

PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS PROFESI ADVOKAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAB III PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN KORBAN KECELAKAAN KENDARAAN BERMOTOR TERHADAP PENOLAKAN PEMBERIAN DANA SANTUNAN OLEH PT.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL ASING DI BALI

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih

SENGKETA KOMPETENSI ANTARA SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE

PELAKSANAAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DI KOTA DENPASAR

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN APABILA TIDAK HANYA SATU KONSUMEN YANG MERASA TELAH DIRUGIKAN OLEH PRODUK YANG SAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IZIN DICABUT, CHURCHILL MINING GUGAT PEMERINTAH USD 2 MILIAR

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WEWENANG OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA PASAR MODAL OLEH BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA (BAPMI)

BAB V PENUTUP. Dari rangkaian diskusi dalam bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan,

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting. Oleh sebab itu banyak pengusaha asing yang berlomba

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2000 TENTANG DESAIN INDUSTRI

PERAN BADAN ARBITRASE PASAR MODAL INDONESIA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF

BAB I PENDAHULUAN. dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Keanekaragaman budaya yang dipadukan

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

KEKUATAN HUKUM DARI HASIL MEDIASI DI PENGADILAN

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENYELESAIAN WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK PADA PT. BANK NEGARA INDONESIA (BNI) KANTOR CABANG UNIT (KCU) SINGARAJA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB III PENGAKUAN, PENOLAKAN DAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL. A. Kewenangan Peradilan Indonesia dalam Pengakuan, Penolakan dan

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN MEDIASI SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Penyelesaian Sengketa Dagang Melalui Arbitrase

Transkripsi:

EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE ASING DI INDONESIA DIKAJI DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 K/Pdt.Sus/2010) Oleh : Ni Putu Rossica Sari Dewa Nyoman Rai Asmara Putra Nyoman A Martana Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract There are many ways to settle civil cases in Indonesia. Arbitration is one of the alternative disputes resolution which is chosen by some business people in order to settle the dispute among them. The clauses of arbitration can be made before or after disputes arise among the parties. The arbitration is settle out of the court with contribution of the third party such as arbiter as well as arbitration council which are pointed by the parties who will settle the final and binding punishment either in Indonesia or in other countries. The arbitration decision that is taken in a foreign country can propose the execution in any parties country as long as the parties are bound in an International Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award which is held in New York year 1958. Key words : Alternative Disputes Resolution, Arbitration, Foreign Arbitral Award, Execution. I. Pendahuluan Pembaharuan hukum dan sistem peradilan yang terjadi di Indonesia akan mempengaruhi beberapa bidang hukum diantaranya bidang hukum perniagaan. 1 Kemajuan pesat di bidang perdagangan seperti penanaman modal (investment), joint venture maupun alih teknologi (transfer of technology) memerlukan sarana hukum 1 Cicut Sutiarso, 2011, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, Jilid I, Yayasan Pustaka obor Indonesia, Jakarta, h. 1 1

yang cepat dan tepat manakala terjadi persengketaan 2. Para pelaku bisnis beranggapan bahwa sengketa-sengketa bisnis kurang dipahami oleh hakim-hakim di pengadilan sehingga para pelaku bisnis lebih condong menggunakan alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) sebagai jalur untuk menyelesaikan persengketaan bisnis yang mereka alami. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Selain bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengeta tersebut, dalam upaya penyelesaian sengketa hukum di luar pengadilan juga dikenal alternatif penyelesaian sengketa melalui badan-badan arbitrase. Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesian sengketa lainnya hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Seiring dengan perkembangan dunia usaha, dunia penyelesaian sengketa juga mengalami perkembangan yaitu munculnya sengketa-sengketa internasional yang diselesaikan melalui badan-badan arbitrase internasional. Penyelesain sengketa melalui badan arbitrase internasional inilah yang nantinya menghasilkan putusan arbitrase asing yang akan dimohonkan eksekusi di negara lain. Permohonan eksekusi di negara lain, bukan di tempat putusan arbitrase dijatuhkan inilah yang sering kali menimbulkan permasalahan. Salah satu putusan arbitrase asing yang eksekusinya tidak dapat dilaksanakan di Indonesia adalah Putusan Arbitrase Internasional yang dikeluarkan oleh SIAC Arbitration No. 062 Tahun 2008 (SIAC Arbitration No.062 of 2008). II. ISI MAKALAH 2.1.Metode Penulisan 2 Catur Iriantoro, 2007, Pelaksanaan Klausula-Klausula Arbitrase dalam Perjanjian Bisnis, Jilid I, Inti Media Pustaka, Bandung, h. 4 2

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif dikatakan sebagai : suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai prepenelitian dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. 3 2.2 Pembahasan 2.2.1.Kasus Posisi Putusan Mahkamah Agung No.01 K/Pdt.Sus/2010 Astro Nusantara International B.V., Astro Nusantara Holdings B.V., Astro Multimedia Corporation N.V., Astro Multimedia N.V., Astro Overseas Limited (sebelumnya bernama AAAN (Bermuda) Limited), Astro All Asia Networks PLC, Measat Broadcast Network Systems SDN BHD dan All Asia Multimedia Networks FZ-LLC atau yang secara bersama-sama disebut sebagai Astro Group merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pertelevisian. Pada tanggal 6 Oktober 2008, Astro Group mengajukan permohonan arbitrase terhadap Ayunda Prima Mitra (APM), Perusahaan dan PT Direct Vision (DV) untuk proses arbitrase di Singapore International Arbitration Centre (SIAC), Singapura. Permohonan Arbitrase sesuai Notice of Arbitration tertanggal 6 Oktober 2008 yang isinya adalah menuntut pembayaran restitusi dan/atau kuantum merit (quantum merit) sebesar lebih kurang US$ 245 juta kepada Ayunda Prima Mitra, Astro Group, dan Direct Vision berikut ganti rugi atas Gugatan Perdata di Indonesia. Astro Group sebagai pihak Pemohon Arbitrase dengan PT Direct Vision selaku Termohon Arbitrase sebelumnya terikat dalam perjanjian Subscription and Shareholder Agreement (SSA) pada tahun 2005. Subscription and Shareholder Agreement (SSA) merupakan suatu perjanjian usaha patungan yang disepakati para pihak, dimana Astro Group sebagai pihak penyiar yang akan mendapatkan pasokan siaran dari PT. Direct Vision. Dalam perjanjian 3 Peter Mahmud Marzuki dalam Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34. 3

tersebut juga dicantumkan bahwa selama perjanjian berlangsung, Astro Group merupakan pemegang saham PT. Direct Vision. Permasalahan terjadi pada tahun 2007, para pihak memikirkan pilihan untuk keluar dari perjanjian, sehingga Astro menyatakan tidak akan melanjutkan pemberian dukungan berupa jasa maupun dana kepada PT. Direct Vision. Pada Agustus 2008, Astro mengirimkan tagihan pengembalian kepada PT. Direct Vision atas jasa maupun dana yang telah diberikan. Namun dilain pihak PT. Direct Vision tetap beranggapan bahwa Astro berkewajiban memberikan bantuan jasa maupun dana kepada PT. Direct Vision. Sebelum permasalahan tersebut diajukan kepada Singapore International Arbitration Centre (SIAC), pada tanggal 4 September 2008 PT. Astro All Asia Network PLC telah menggugat PT. Direct Vision di Pengadilan Jakarta Selatan atas dasar perbuatan melawan hukum. Atas pengajuan gugatan tersebut, pada tanggal 13 Mei 2009 Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengeluarkan Putusan Sela No. 1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL yang menyatakan menolak eksepsi yang dikemukakan oleh Tergugat serta menyatakan bahwa Pengadilan Jakarta Selatan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara tersebut. Beberapa waktu sebelum keluarnya Putusan Sela Pengadilan Jakarta Selatan No. 1100/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL tertanggal 13 Mei 2009 yaitu pada tanggal 7 Mei 2009, Tribunal SIAC telah menerbitkan Award on Preliminary Issues of Jurisdiction, Interim Anti-Suit Injunction and Joinder ARB No. 062 of 2008. Putusan SIAC No 062/2008 ini kemudian dimohonkan Pelaksanaan Putusan Arbitrasenya kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Surat No. 209/LSM-TMLIPM/UVII/09. Atas Permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase SIAC No. 062/2008 tertanggal 7 Mei 2009, pihak Termohon dalam Putusan SlAC Arbitration No.062/08 yaitu PT First Media, Tbk, PT Ayunda Prima Mitra dan PT Direct Vision telah mengajukan surat perihal Penolakan Pelaksanaan Putusan SlAC Arbitration No. 062/08 (ARB062/08/JL) ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diterima oleh Bagian umum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 3 Agustus 2009. 4

Kemudian pada tanggal 2 September 2009 PT Ayunda Prima Mitra dan PT Direct Vision kembali mengajukan Permohonan Penolakan Atas Pelaksanaan Putusan Arbitrase SlAC No. 062/2008 tertanggal 7 Mei 2009, masing-masing terdaftar dengan nomor register perkara No.177/PDT.P/2009/PN.JKT.PST dan No.178/PDT.P/ 2009/PN.JKT PST, yang mana permohonan tersebut kemudian dicabut oleh PT Ayunda Prima Mitra dan PT Direct Vision secara bersamaan pada tanggal 30 September 2009. Setelah Ketua Pengadilan Jakarta Pusat memeriksa secara substantif Putusan SIAC Arbitration No. 062/2008 terkait ketentuan Pasal 66 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 dan mempertimbangkan beberapa hal, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan Keputusan berupa Penetapan No.05/PPdt.ARB.INT/2009 tanggal 28 Oktober yang isinya berupa Penolakan Pelaksanaan Putusan Arbitrase SIAC No.062/08, dengan amar sebagai berikut : - Menyatakan permohonan Pemohon tersebut di atas tidak dikabulkan ; - Menyatakan Putusan Arbitrase Internasional berdasarkan Peraturan SIAC Nomor : 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL) yang diputuskan tanggal 07 Mei 2009, Non Eksekuatur (tidak dapat dilaksanakan) ; - Memerintahkan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengirimkan turunan Penetapan non eksekuatur ini kepada para pihak yang berperkara ; Atas Keputusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, pihak Pemohon Eksekusi merasa tidak puas sehingga mengajukan permohonan Kasasi pelaksanaan eksekusi Putusan Arbitrase Asing di Indonesia ke Mahkamah Agung. 2.2.2. Analisis Kasus Berdasarkan Ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 199, suatu putusan arbitrase asing untuk dapat dieksekusi di Indonesia tentunya harus memenuhi prosedur : 1. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik 5

secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional Ketentuan ini merupakan penerapan asas Resiprositas atau asas timbal balik. Artinya bahwa antara negara tempat dijatuhkannya putusan dengan negara tempat dimohonkan pelaksanaan eksekusi memiliki hubungan kerjasama mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Putusan Arbitrase Asing yang dimaksud adalah Putusan SIAC No. 062/2008 yang dijatuhkan di Singapura. Persoalan selanjutnya adalah apakah Singapura sebagai tempat dijatuhkannya putusan dengan Indonesia sebagai negara tempat dimohonkannya eksekusi terikat dalam hubungan kerjasama mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing. Untuk menjawab persoalan tersebut, dalam e-book Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasional karya Ramlan Ginting terdapat sebuah kalimat yang menyatakan bahwa Putusan Arbitrase yang dibuat di Indonesia dapat diakui dan dilaksanakan di Singapura dan di seluruh negara anggota Konvensi New York lainnya, demikian sebaliknya. 4 Dari kalimat ini dapat diketahui bahwa Indonesia dan Singapura terikat dalam perjanjian internasional dalam hal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing yaitu Konvensi New York Tahun 1958. 2. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan Adanya asas pembatasan ini menyebabkan sangat terbatasnya putusan arbitrase asing yang dapat dieksekusi di Indonesia. Untuk menentukan apakah suatu kasus yang terdapat dalam putusan termasuk atau tidak dalam lingkup Hukum Dagang, berpatokan pada ketentuan sistem tata hukum Indonesia. Berdasarkan Penjelasan Pasal 66 huruf b Undang-Undang 4 Ramlan Ginting, 2007, Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasional, Salemba Empat Jakarta, h. 159, available from : http://books.google.co.id/books? id=9nqvcsvgt0uc&pg=pa159&lpg=pa159&dq=singapura+anggota+konvensi+new+york&source=bl &ots=vzkv97fnnh&sig=xfkodshh0cfm9om1g9geq8fwohq&hl=id&sa=x&ei=4fcfumpfe5dprq ehk6s3bg&ved=0ceuq6aewaa#v=onepage&q=singapura%20anggota%20konvensi%20new%20york &f=false 6

Nomor 30 Tahun 1999, yang termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, serta hak kekayaaan intelektual. Penjelasan Pasal 66 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 merupakan suatu batasan sempit mengenai ruang lingkup hukum dagang. Dengan berkembangnya dunia bisnis internasional, definisi hukum perdagangan kini semakin luas dan tidak hanya terbatas pada transaksi yang dapat dilihat secara kasat mata. Dalam kaitannya dengan kasus posisi adalah bahwa antara Pihak Pemohon dengan Termohon arbitrase terikat dalam sebuah perjanjian SSA (Subscription and Shareholder Agrrement) yaitu perjanjian terkait usaha patungan yang telah disepakati pada tahun 2005. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beranggapan bahwa Putusan SIAC tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang dikarenakan salah satu amar dalam Putusan SIAC No. 062/08 menyatakan agar menghentikan proses perkara di Indonesia, yaitu gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hal inilah yang dijadikan dasar pertimbangan dalam Penetapan No.05/PDT/ARB-INT/2009/ PN.JKT.PST dan Putusan Mahkamah Agung No. 01 K/Pdt.Sus/2010 sehingga berpendapat bahwa Putusan SIAC No. 062/08 merupakan lingkup Hukum Acara dan bukan termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang. Menurut penulis disini bahwa pertimbangan tersebut telah keliru karena tidak melihat terlebih dahulu perjanjian awal yang disepakati para pihak. Sudah jelas bahwa perjanjian awal para pihak adalah perjanjian dalam ruang lingkup perdagangan yaitu dalam bentuk usaha patungan. Sehingga jelas Putusan SIAC No.062/08 tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum acara, namun berada dalam lingkup hukum dagang. 3. Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam Putusan No. 01 K/Pdt.Sus/2010 menyatakan bahwa Putusan SIAC No. 062/08 melanggar 7

ketertiban umum sehingga tidak dapat dilaksanakan eksekusinya di Indonesia. Dalam Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung No. 01 K/Pdt.Sus/2010 disebutkan bahwa ketertiban umum yang dimaksud disini tentunya ada pelanggaran terhadap asas hukum acara perdata yang selama ini berlaku di Indonesia. Indonesia menganut asas souvereignty atau prinsip kedaulatan, yang mana bahwa tidak ada suatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia. Termasuk di dalamnya bahwa asas hukum perdata Indonesia yang mengenal adanya pemberikan hak kepada setiap orang yang berkepentingan yang merasa haknya dilanggar untuk mempertahankan hak-haknya yang merasa dilanggar tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan proses beracara secara arbitrase terutama lembaga Arbitrase Internasional. Agak sulit kiranya memang untuk mengukur seberapa jauh suatu putusan arbitrase asing dapat dikatakan melanggar ketertiban umm di Indonesia. Mengingat bahwa sampai saat ini belum adanya kejelasan mengenai pengertian dan batasan ketertiban umum sendiri. Barangkali tidak hanya hal-hal mendasar yang merupakan sendisendi dalam suatu kehidupan bernegara saja yang dilanggar kemudian dikatakan melanggar ketertiban umum, tetapi bisa saja kesalahpahaman ataupun ketersinggungan antar negara dapat dikatakan melanggar ketertiban umum. Sangat sulit memang menentukan hal ini. Sehingga menurut penulis bahwa melanggar atau tidaknya suatu ketertiban umum dilihat dari siapa yang menilai dan memeriksa putusan tersebut. Dengan diratifikasinya Konvensi New York 1958 dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 seharusnya tidak adalagi Putusan Arbitrase asing yang tidak dapat dilaksanakan eksekusinya di Indonesia khususnya yang memiliki hubungan bilateral maupun multilateral dengan Indonesia, namun faktanya ketidakjelasan terhadap batasan suatu aturan dapat menyebabkan masih ada Putusan Arbitrase Asing yang tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. 8

III. Kesimpulan 3.1. Prosedur pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia yaitu : 3.1.1. Putusan arbitrase asing yang sudah final and binding didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk dimohonkan eksekusi. 3.1.2. Putusan arbitrase asing yang sudah didaftarkan kemudian diperiksa secara substantif oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait ketentuan Pasal 66 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yaitu asas resiprositas, berada dalam lingkup hukum dagang, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Apabila putusan arbitrase asing memenuhi ketiga syarat tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat mengeluarkan Penetapan eksekusi. Sebaliknya apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dapat mengeluarkan Penetapan Non Executorial. 3.2. Hal-hal yang menjadi kendala utama dalam pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia adalah tidak adanya pembatasan terhadap pengertian dan pemahaman asas ketertiban umum serta adanya ketumpangtindihan kewenangan antara badan arbitrase dengan Pengadilan Negeri. Daftar Pustaka Catur Iriantoro, 2007, Pelaksanaan Klausula-Klausula Arbitrase dalam Perjanjian Bisnis, Jilid I, Ini Media Pustaka Bandung. Cicut Sutiarso, 2011, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, Jilid I, Yayasan Pustaka obor Indonesia Jakarta Peter Mahmud Marzuki dalam Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Ramlan Ginting, 2007, Transaksi Bisnis dan Perbankan Internasional, Salemba Empat Jakarta, h. 159, available from : http://books.google.co.id/books? id=9nqvcsvgt0uc&pg=pa159&lpg=pa159&dq=singapura+anggota+konvensi +new+york&source=bl&ots=vzkv97fnnh&sig=xfkodshh0cfm9om1g9geq8f 9

wohq&hl=id&sa=x&ei=4fcfumpfe5dprqehk6s3bg&ved=0ceuq6aewaa #v=onepage&q=singapura%20anggota%20konvensi%20new%20york&f=false. Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872). 10