PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERBUATAN SUMBANG (INCEST) DALAM KONSEP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BARU

dokumen-dokumen yang mirip
UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU SODOMI TERHADAP KORBAN YANG TELAH CUKUP UMUR

ANALISA YURIDIS PEMIDANAAN PADA TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR (STUDI KASUS PUTUSAN NO.85/PID.SUS/2014/PN.DPS.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBANTU KEJAHATAN TERHADAP NYAWA

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR

KEBIJAKAN DALAM PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PELACURAN SESUAI DENGAN PERDA KOTA DENPASAR NO. 2 TAHUN

TINDAK PIDANA ASUSILA TERHADAP HEWAN DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

PIDANA KERJA SOSIAL DALAM RANGKA MENCAPAI TUJUAN PEMIDANAAN DI INDONESIA

DASAR KUALIFIKASI CURI PATOLOGIS (KLEPTOMANIA) DI DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK (SUATU KAJIAN TERDAPAT PASAL 310 KUHP)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

PENERAPAN SANKSI YANG BERKEADILAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA EKSIBISIONISME DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

KAJIAN YURIDIS PIDANA DENDA TERHADAP KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DIBAWAH UMUR

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

ANALISIS YURIDIS MENGENAI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGGUNA JASA PROSTITUSI DALAM PERSPEKTIF KUHP

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA AHLI GIGI DALAM MELAKUKAN SUATU MALPRAKTIK DALAM PERSFEKTIF KUHP dan UU NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

ANALISIS MENGENAI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PERZINAHAN DALAM PERSPEKTIF KUHP

BAB I PENDAHULUAN. hukum Indonesia, hal seperti ini telah diatur secara tegas di dalam Kitab Undangundang

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP KEJAHATAN YANG MENGHILANGKAN NYAWA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU KEJAHATAN PERKOSAAN TERHADAP LAKI-LAKI

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

BAB I PENDAHULUAN. pembunuhan. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah kasus. pembunuhan, dan tahun 2015 menjadi 48 kasus pembunuhan.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP LESSEE DALAM HAL OBJEK LEASING MENGANDUNG CACAT TERSEMBUNYI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Oleh. I Gusti Ngurah Bayu Pradiva I Gusti Agung Mas Rwa Jayantiari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana

II. TINJAUAN PUSTAKA. KUHP tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan bertanggung jawab. Yang

TINJAUAN YURIDIS TERKAIT FAKTOR DAN UPAYA MENANGGULANGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI INDONESIA Oleh :

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

ABSTRAK. ANALISIS PUTUSAN BEBAS PADA PERKARA NOMOR : 241/Pid.B/2011/PN.Mgl TENTANG TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI MENGGALA.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PENGGUNA BAHAN BAKAR MINYAK ECERAN YANG TIDAK MEMILIKI IZIN PENJUALAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO.

I. PENDAHULUAN. yang melakukan tindak pidana. Dengan lahirnya konsepsi baru dalam hukum pidana modern,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

Reni Jayanti B ABSTRAK

BAB II PENGATURAN INCEST DALAM BERBAGAI PERATURAN HUKUM. A. Hubungan Seksual Sedarah (Incest) ditinjau dari Kitab Undang- UndangHukum Pidana(KUHP)

ANALISIS TERHADAP VOORGEZETTE HANDELING

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana. Moeljatno menyatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembunuhan anak kandung diterangkan oleh undang-undang. yang penuh, dan belum sempat timbul rasa kasih sayang.

I. PENDAHULUAN. harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

KEBIJAKAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH PELAKU KEJAHATAN TERHADAP HARTA BENDA ( STUDI KASUS TERHADAP RECIDIVIS )

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

RINGKASAN SKRIPSI AKIBAT HUKUM DARI PEMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP STATUS ANAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

PENERAPAN PASAL 285 KUHP TENTANG PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN DOORTJE D. TURANGAN, SH, MH

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PEMIDANAAN ANAK DI BAWAH UMUR

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP PEMIDANAAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA MENGEKSPLOITASI EKONOMI ATAU SEKSUAL ANAK

UPAYA PENYIDIK DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DALAM LINGKUNGAN KELUARGA (Studi di Wilayah Hukum Polresta Malang)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

PERSPEKTIF KRIMINOLOGI DALAM MENGKAJI PERKOSAAN TERHADAP LAKI-LAKI Di INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 2/PID.SUS.ANAK/2015/PN DPS

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

PENANGGULANGAN PERDAGANGAN ORANG DALAM (INSIDER TRADING) DI BIDANG PASAR MODAL DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap orang yang melihat atau memandangnya. 20. penyiksaan dan perlakuan tidak senonoh lainnya terhadap perempuan dapat

(Law in Books) atau hukum yang dikonsepsikan sebagai kaidah atau. terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

Oleh : I Gusti Ngurah Bima Prastama I Gusti Ketut Ariawan A.A. Ngurah Wirasila Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

ANALISIS HUKUMAN KEBIRI UNTUK PELAKU KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK DITINJAU DARI PEMIDANAAN DI INDONESIA

TINJAUAN HUKUM PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PENIPUAN

Transkripsi:

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PERBUATAN SUMBANG (INCEST) DALAM KONSEP KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) BARU Oleh Nyoman Mahadhitya Putra I Wayan Sutara Djaya Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT Incest is one of the criminal perpetration which regulated in article 294 paragraph (1) of the Indonesian Criminal Code. However, this regulation still limited to the requirement that the incestuous relationship is done with his biological children who are not old enough. Whereas, incest itself contains a broad sense, so that on the Indonesian Criminal Code Bill, criminalizing incest to be one attention through the establishment of new regulations on this matter. Such changes certainly would inflict of change also in determining of criminal responsibility against the offender. Keywords: Incest, Criminal Responsibility, Criminal Code Bill ABSTRAK Inses merupakan salah satu tindak pidana yang diatur dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP. Namun, peraturan tersebut masih terbatas pada persyaratan bahwa hubungan inses tersebut dilakukan dengan anak kandungnya yang belum cukup umur. Padahal, inses itu sendiri mengandung pengertian yang luas, sehingga dalam RUU KUHP, kriminalisasi inses menjadi salah satu perhatian melalui pembentukan ketentuan baru mengenai hal ini. Perubahan tersebut tentu akan mengakibatkan perubahan pula dalam menentukan pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya. Kata kunci: Inses, Pertanggungjawaban pidana, RUU KUHP I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tindak pidana incest atau biasa disebut sebagai perbuatan sumbang merupakan salah satu perbuatan yang oleh KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Incest atau inses menurut Nina Surtiretna adalah hubungan seks antara seseorang dengan keluarga sedarah atau orang-orang yang tidak sah menikah, baik adik atau kakak kandung, bibi, paman bahkan ibu atau ayah sendiri. 1 Dalam hal ini, Incest dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu yang sifatnya sukarela atau suka sama suka dan ada yang bersifat paksaan. 1 Nina Surtiretna, 1997, Bimbingan Seks Bagi Remaja, Remaja Rosdakarya, Bandung, Hal. 71. 1

Incest itu sendiri merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan nilai agama, susila yang dianut oleh masyarakat. Namun, tindak pidana incest oleh KUHP cenderung dibatasi oleh persyaratan usia korbannya dan unsur bahwa korban merupakan anak kandungnya. Padahal tindak pidana incest dalam perkembangannya tidak hanya terjadi antara seseorang dengan anak yang belum cukup umur, maupun antara ayah dengan anak kandungnya, begitu pula tidak hanya dilakukan dengan tekanan fisik maupun psikis tertentu, tetapi juga dapat dilakukan secara volunter atau sukarela, hal ini memperlihatkan adanya kekosongan norma di dalam KUHP. Oleh sebab itu kriminalisasi tindak pidana incest menjadi salah satu perhatian dalam konsep KUHP baru. Dalam RUU KUHP tahun 2010, tindak pidana incest mengalami beberapa perubahan baik penambahan maupun pengurangan dalam rumusannya. Sejalan dengan adanya kriminalisasi tindak pidana incest tersebut, tentu masalah pertanggungjawaban pidana terhadap pelakunya-pun mengalami perubahan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka menggugah penulis untuk membahas permasalahan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perbuatan sumbang (incest) dalam konsep KUHP baru. 1.2. TUJUAN Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini, yaitu untuk mengetahui bagaimana pengaturan tindak pidana incest dalam konsep KUHP yang baru, dan mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana incest menurut RUU KUHP tersebut. 1.3. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu jenis penelitian hukum normatif yang dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. 2 Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum dari penelitian normatif yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik analisis terhadap hasil penelitian dilakukan melalui teknik deskripsi dan teknik argumentasi. Jakarta, Hal. 118. 2 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, 2

II. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertanggungjawaban pidana pada dasarnya mengarah pada pemahaman pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Dalam hal ini, pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan dapat atau tidaknya seseorang dimintakan pertanggungjawabannya atas suatu tindak pidana yang terjadi. Di dalam hukum pidana dikenal asas yang berkaitan erat dengan pertanggungjawaban pidana, yaitu asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan yang merupakan dasar dipidananya pembuat. 3 Oleh karena itu, dalam sebuah pertanggungjawaban pidana terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yakni tindak pidana dan pelaku tindak pidana. Di dalam KUHP memang tidak diberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana, namun dalam RUU KUHP Tahun 2010, pertanggungjawaban pidana sudah diatur dalam Bab II, yaitu pada Pasal 36, yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku incest, sehingga terhadapnya dapat dipidana, maka pelakunya haruslah memenuhi unsur-unsur: (1) melakukan perbuatan pidana, (2) mampu bertanggung jawab; (3) dengan sengaja atau karena kealpaan; (4) tidak adanya alasan pemaaf. 4 Dalam Pasal 294 ayat (1) KUHP, bentuk incest terbatas pada melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum cukup umur, sehingga terhadap hubungan incest yang dilakukan dengan orang dewasa maupun yang dilakukan terhadap anggota keluarga sedarah selain anak kandungnya tidak dapat dituntut berdasarkan pasal ini. Berbeda dengan KUHP, dalam RUU KUHP bentuk perbuatan pidana incest diatur dalam Pasal 496 ayat (1), yaitu melakukan perbuatan cabul dengan anak kandungnya, tanpa mensyaratkan bahwa anak tersebut belum cukup umur. Dalam RUU KUHP ini juga terdapat penambahan Pasal incest, yaitu Pasal 489 ayat (1) dengan bentuk perbuatan pidananya adalah melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya masih anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga. Adanya ketentuan baru ini, 3 Roeslan Saleh, 1968, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Djawab Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana), Centra, Jakarta, Hal. 57. 4 Ibid, Hal. 60. 3

membuat hubungan incest yang didasarkan kesukarelaan atau suka sama suka, maupun dilakukan oleh pasangan dewasa menjadi dapat dipersalahkan menurut pasal ini. Sedangkan, menurut Pasal 489 ayat (2), perbuatan pidananya adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin. Adanya perbuatan pidana tersebut, belumlah cukup untuk dapat dipertanggungjawabkannya pelaku incest, sehingga harus ada unsur kesalahan pelaku. Mengenai unsur kesalahan itu sendiri, dalam RUU KUHP diatur secara tegas dalam Pasal 37, yakni mencakup kemampuan bertanggungjawab, kesengajaan, kealpaan dan tidak ada alasan pemaaf. Dalam tindak pidana incest, unsur kesalahan ini merupakan unsur-unsur yang mengarah pada unsur subyektif dari pelakunya. Dalam Pasal 489 RUU KUHP, unsur kesengajaan memang tidak dicantumkan dengan tegas, namun dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan kesalahan disini adalah (1) adanya kehendak, maksud, atau niat pelaku untuk mengadakan persetubuhan; dan (2) adanya kehendak pengetahuan pelaku bahwa seseorang yang disetubuhinya masih anggota keluarga sedarah. Dengan kata lain, pelaku incest dapat dipertanggungjawabkan pidana apabila dalam melakukan perbuatannya, ia mempunyai bentuk kesengajaan berupa pengetahuan bahwa seseorang yang disetubuhinya tersebut adalah anggota keluarga sedarahnya dalam garis lurus maupun ke samping sampai derajat ketiga. Apabila dicermati prihal pertanggungjawaban pidana pelaku incest menurut RUU KUHP tersebut, masih terdapat kelemahan yang mungkin dapat menjadi hambatan saat diberlakukan, yaitu: 1. Adanya unsur yang diketahuinya dalam Pasal 489 ayat (1) sebagai unsur yang harus dipenuhi guna dapatnya pelaku dipertanggungjawabkan pidana. Hal ini disisi lain dapat dijadikan alasan bagi pelaku untuk mengelak dari tuntutan hukum telah melakukan incest dengan alasan ia tidak mengetahui bahwa yang disetubuhinya masih anggota keluarga sedarah, sehingga bila unsur pengetahuan terdakwa tersebut tidak dapat dibuktikan, maka hakim akan memberikan putusan bebas bagi terdakwa. 5 2. Adanya penentuan pelaku dalam Pasal 489 ayat (2), yaitu dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin. Unsur ini jika dicermati, maka akan berakibat apabila pelakunya adalah seorang perempuan, 5 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 109. 4

terhadapnya justru tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 489 ayat (2) tersebut. III. KESIMPULAN Pertanggungjawaban pidana timbul dengan diteruskannya celaan obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan perundangundangan yang berlaku, dan secara subyektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Sehingga, pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku incest menurut RUU KUHP timbul bilamana ia telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam pasal-pasal incest dalam RUU tersebut dan secara subyektif ia memiliki unsur kesalahan dalam melakukan perbuatannya. Unsur kesalahan yang menjadi syarat dapat dipertanggungjawabkannya pelaku tindak pidana incest tersebut terdiri dari mampu bertanggung jawab, adanya bentuk kesengajaan berupa (1) kehendak mengadakan persetubuhan atau perbuatan cabul, dan (2) pengetahuan pelaku bahwa yang disetubuhi atau dicabulinya adalah anak kandungnya atau seseorang yang masih anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga, serta tidak adanya alasan yang memaafkan perbuatan pelaku. DAFTAR PUSTAKA Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Lamintang, P.A.F., dan Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatutan, Sinar Grafika, Jakarta. Saleh, Roeslan, 1968, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Djawab Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana), Centra, Jakarta. Surtiretna, Nina, 1997, Bimbingan Seks Bagi Remaja, Remaja Rosdakarya, Bandung. Undang-Undang: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Terjemahan Moeljatno, 2008, Bumi Aksara, Jakarta). Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Tahun 2010, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/prolegnas-2010-2014/133-daftar-rancangan-undang-undang.html, (diakses 30 April 2013). 5