TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA. Oleh : Ahmad Sofian

dokumen-dokumen yang mirip
Perlindungan Anak dalam Rancangan KUHP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

Tindak Pidana Terkait Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) Dalam Rancangan KUHP

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

I. PENDAHULUAN. Negara kesatuan Republik Indonesia dikarunia dengan daerah daratan, lautan dan

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

SANKSI PIDANA DALAM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ANAK DI INDONESIA

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI [LN 2008/181, TLN 4928]

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perdagangan orang merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

Pengertian Anak dan Pentingnya Mendefinisikan Anak Secara Konsisten dalam Sistem Hukum 1 Oleh: Adzkar Ahsinin

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS

PENGATURAN TINDAK PIDANA CYBER PROSTITUTION DALAM UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UU ITE)

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)

SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Perdagangan perempuan dan anak (trafficking) telah lama terjadi di muka

Institute for Criminal Justice Reform

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu

PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 18 TAHUN 2002

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Di masa lalu,

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TIMUR NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Perdagangan dan Eksploitasi Manusia di Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

DBUPATI BATANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G PEMBERANTASAN PELACURAN DI WILAYAH KABUPATEN BATANG

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1980 TENTANG TINDAK PIDANA SUAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya praktek prostitusi. Dalam

Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja. Lusiani Julia Program Officer ILO Jakarta April 2017

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. pelanggaran mendasar atas hak-hak anak. Tekanan fisik dan emosi yang. yang mereka alami bukan karena kehendaknya.

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) tahun 1945

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap orang yang melihat atau memandangnya. 20. penyiksaan dan perlakuan tidak senonoh lainnya terhadap perempuan dapat

2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN [LN 2003/39, TLN 4279] Pasal 184

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

Pelanggaran terhadap nilai-nilai kesopanan yang terjadi dalam suatu. masyarakat, serta menjadikan anak-anak sebagai obyek seksualnya merupakan

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAY KANAN NOMOR : 7 TAHUN 2001 T E N T A N G LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI DAN TUNA SUSILA DALAM DAERAH KABUPATEN WAY KANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. commit to user 1

I. PENDAHULUAN. Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pasal 5: Setiap orang dilarang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

Kekerasan Seksual. Sebuah Pengenalan. Bentuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2000 TENTANG

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

Pasal 48 yang berbunyi :

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENANGGULANGAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG,

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

BAB IV KOMPARASI HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF MENGENAI SANKSI PROSTITUSI ONLINE. A. Persamaan Sanksi Prostitusi Online Menurut Hukum Positif dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI PENJUALAN ANAK, PROSTITUSI ANAK, DAN PORNOGRAFI ANAK

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2006 T E NTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP LEMBAGA PENYIARAN YANG MENYIARKAN KONTEN PORNOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN. antara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

BAB II PENGATURAN TENTANG LARANGAN EKSPLOITASI SEKSUAL PADA PERNIKAHAN ANAK USIA DINI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 6 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN PELACURAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

Transkripsi:

TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA Oleh : Ahmad Sofian Praktek eksploitasi seksual anak terus menerus berlangsung seolah tidak ada hentinya. Anak-anak dihalalkan untuk disantap oleh para pegiat seks anak. Seks anak pun menjadi industri yang luar biasa meraup keuntungan milyaran dollar, sehingga para pengambil keuntungan ini tidak mau begitu saja menghentikan langkah-langkah bisnis seks anak ini. Dalam salah satu bukunya yang best seller, David Brazil (2005) pernah mengatakan bahwa salah satu pusat pelacuran anak di Indonesia yang terkenal di manca negara adalah Batam dan Bintan, di dua tempat ini sangat dikenal dengan istilah kampung cinta dan peternakan ayam yang setiap hari dikunjungi laki-laki Singapura yang membelanjakan dollarnya untuk kenikmatan seksual. Dan di dua wilayah ini sangat mudah dijumpai anak-anak gadis yang di Singapura sendiri sulit ditemukan. Konsepsi Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Anak Secara internasional pengertian tindak pidana eksploitasi seksual adalah pelanggaran terhadap hak anak yang mendasar dimana anak dijadikan objek seksual dan objek komersial. Dalam waktu yang bersamaan anak diperlakukan sebagai komoditas seks bagi keuntungan para pelaku kejahatan ini. Menurut ECPAT international ada 5 bentuk tindak pidana eksploitasi seksual anak yaitu pelacuran anak, pornografi anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual, pariwisata seks anak dan pernikahan anak (http://www.ecpat.net/ei/csec_definition.asp). Namun menurut dokumen lain membagi eksploitasi seksual dalam tiga bentuk yaitu pelacuran anak, pornograpi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual, sementara pernikahan dan pariwisata seks anak hanya merupakan cara untuk dapat mengekploitasi anak-anak tersebut (Antarini Arna dan Mattias Bryneson, 2004). Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak merupakan instrumen yang pertama mendefinisikan eksploitasi seksual anak : Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersebut terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang 1

tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern. Dari definisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual anak, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komoditas. Eksploitasi seksual anak adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual pada anak tersebut. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai bentuk transaksi komersial dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan. Adanya faktor keuntungan ini membedakan antara eksploitasi seksual anak dengan kekerasan seksual anak karena dalam kekerasan seksual anak tidak ada keuntungan komersial walaupun eksploitasi seksual juga merupakan sebuah kekerasan seksual. Kekerasan seksual terhadap anak dapat didefenisikan sebagai hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara kandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah obyek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan yang mengandung kekerasan seksual tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Tindakan tindakan tersebut dapat termasuk ekshibisme atau voyerusme seperti orang dewasa yang menonton seorang anak sedang telanjang atau menuyuruh atau memaksa anakanak untuk melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain sedangkan pelaku tersebut menonton atau merekam kegiatan-kegiatan seksual tersebut (ECPAT International, 2004). Para pelaku sering kali adalah orang yang memiliki tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak tersebut. Dengan demikian, sudah ada hubungan kepercayaan di antara mereka dan pada saat yang bersamaan adanya satu kekuasaan. Tindak pidana eksploitasi seksual anak merupakan satu konsep yang belum banyak dibahas dalam hukum pidana Indonesia. Undang-undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002 yang direvisi melalui UU No. 35/2014) hanya ada menyebut dua pasal tentang larangan melakukan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi pada 2

anak yaitu pasal 76 huruf I dan pasal pasal 88 yang memberikan ancaman hukuman penjara maksimum 10 tahun dan atau denda paling banyak 200 juta rupiah. Namun sayangnya undang-undang ini tidak memberikan penjelasan yang terperinci tentang konsepsi tindak eksploitasi seksual dimaksud. Berbeda halnya dengan tindak pidana perdagangan orang, dimana terminologi ini telah lebih dikenal dalam KUHP maupun di luar KUHP. Pasal 297 KUHP menyebutkan : Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa,diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yaitu UU No. 21/2007 telah mendefinisikan tentang jenis tindak pidana ini, meskipun para ahli sepakat seharusnya UU ini juga mendefinisikan secara khusus tindak pidana perdagangan anak yang konsepsinya berbeda dengan tindak pidana perdagangan orang khususnya terkait dengan elemen atau unsur-unsur deliknya. Di Amerika Serikat tindak pidana eksploitasi seksual sudah menjadi satu konsep dalam tindak pidana yang diatur dalam hukum positifnya (Tracy Agyemang, 2004). Di bawah Protect ACT 2003, maka setiap warga Amerika Serikat yang melakukan eskploitasi seksual baik di dalam negeri maupun di luar negeri maka akan dapat dituntut dengan undang-undang ini. Eksploitasi seksual yang dimaksudkan dalam undang-undang ini meliputi prostitusi anak, pornografi anak dan pariwisata seks anak. Demikian juga dengan Philipina, sejak tahun 1991 telah memberikan kriminalisasi terhadap pelaku eksploitasi seksual anak, meskipun eksploitasi seksual anak masih dibatasi pada bentuk prostitusi anak (Republic of Philipines, Congres of Phiipines, Metro Manila, Republic Act 7610, 21 Juli 1991). Sementara di Thailand sejak tahun 1996 telah memiliki the Prevention and Suppresion for Prostitution Act 1996 (the Act 1996 ). Undang-undang memberikan sanksi pidana (kurungan dan denda) kepada siapa pun mengambil manfaat dari prostitusi anak atau membeli seks pada anak-anak yang belum berusia 18 tahun. Undang-undang yang mengatur tindak pidana eksolloitasi seksual anak di ketiga Negara tersebut menempatkannya dalam tindak pidana khusus (bukan tindak umum), sehingga berada dalam satu undang-undang khusus. Penempatan pengaturan tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam sebuah undang-undang tentu saja sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut dalam suatu negara. Indonesia sendiri tidak memiliki undang-undang khusus tentang eksploitasi seksual anak, tetapi diintegrasikan ke dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, namun sayang undang- 3

undang perlindungan anak tidak menempatkan tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam bab khusus, bahkan yang lebih tragis, masalah pelacuran anak tidak didefinisikan sehingga sulit mempidanakan pelaku tindak pidana ini. Masalah lainnya adalah meskipun sudah ada upaya melakukan unifikasi tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam undang-undang perlindungan anak, namun kenyataannya, beberapa undang-undang lain mengatur persoalan ini, sebut saja Undang-Undang Pornografi (UU No. 44 tahun 2008) mengatur juga tentang tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam konteks pornografi anak yaitu yang melarang memproduksi, membuat dan dan seterusnya konten pornografi anak (pasal 4 sampai dengan 12). Pengaturan dalam R- KUHP Dalam Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (R- KUHP), tindak pidana eksploitasi seksual anak tidak didefinisikan secara khusus sehingga dari diri konseptual tidak menemukan pemaknaan tindak pidana ini. Karena itu, pemaknaan tindak pidana eksoloitasi seksual anak akan dikembalikan kepada doktrin yang telah mendefinisikan. Selain merujuk pada doktrin, maka penting juga merujuk pada instrumen- instrumen hukum internasional yang lebih dahulu mendefinisikannya seperti Deklarasi Stockholm, atau Protocol Optional tentang Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang- Undang No. 10 tahun 2012. Selain itu, lembaga internasional yang khusus memberikan konsern pada masalah ini bisa dijadikan rujukan dalam menemukan definisi alternatif, Misalnya saja ECPAT Internasional telah menerbitkan sejumlah penelitian, dan sejumlah literatur yang membahas secara khusus tindak pidana ini. Tiga jenis tindak pidana eksploitasi seksual anak tergambar dari dari beberapa rujukan tersebut yaitu pelacuran anak, perdagangan seks anak dan pornografi anak. Dalam mengatur jenis- jenis tindak pidana eksploitasi seksual anak tersebut, ternyata R- KUHP tidak menempatkannya dalam satu bab khusus, tetapi tersebar dalam beberapa bab. Bahkan R- KUHP juga menempatkanya dalam bab tentang kesusilaan. Misalnya tindak pidana pornografi anak sebagaimana diatur dalam pasal 384 R- KUHP. Pasal ini berada di dalam bab VIII 4

dengan judul Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang, Kesehatan, Barang dan Lingkungan Hidup. Pasal 384 sendiri mengatur tentang pornografi anak melalui internet. Tindak pidana pornografi yang tidak melalui internet diatur dalam pasal 478 dan 479 yang berada dalam Bab XVI yang berjudul Tindak Pidana Kesusilaan. Dari delik pornografi anak ini saja jelas terlihat bahwa penyusun undang- undang membuat suatu aturan tindak pidana pornografi anak harus jumping dari dari satu bab ke bab lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa penyusun undang- undang kesulitan dalam menempatkan jenis tindak pidana ini dalam satu bab khusus sehingga terjadilah jumping ini atau kemungkinan penyusun undang- undang tidak menemukan landasan teori yang tepat dalam menempatkan tindak pidana ini, sehingga akhirnya terjadi suatu aturan pornograi anak ada di bab tentang Tindak Pidana yang Membahayakan Keamanan Umum dan Bab tentang Tindak Pidana Kesusilaan. Secara teknis penempatan tindak pidana yang sama dalam bab yang terpisah akan menyulitkan penegak hukum dalam menemukan pengaturan delik ini. Secara akademik bab ini juga bermasalah, karena dapat ditafsirkan penyusun undang- undang tidak memahami secara teoritis delik ini. Tindak pidana pelacuran anak, secara spesifik juga tidak disebutkan dalam R- KUHP. Delik ini digolongkan sebagai tindak pidana persetubuhan atau pencabulan pada anak sebagaimana diatur dalam Pasal 486, 487, 493, 495-500 R- KUHP. Kesuluruhan pasal- pasal tersebut berada di dalam Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan. Penempatan tindak pidana pelacuran anak dalam Bab Tindak Pidana Kesulilaan tidaklah tepat karena pada prinsipnya tindak pidana kesusilaan (ontruchte handelingen) merupakan tindak pidana yang terkait dengan pelanggaran susila, yaitu tentang perilaku- perilaku yang menampilkan perilaku seksual yang dinilai bertentangan dengan moral dan norma yang hidup di dalam masyarakat (Simons, Barda Nawawi Arief, 2003). Sedangkan tindak pidana pelacuran anak lebih luas dari sekedar pelanggaran seksual tetapi sudah melingkupi serangan seksual secara sistematis kepada anak yang memiliki dampak jangka panjang. Karena itu tindak pidana pelacuran anak bukan sekedar tindak pidana persetubuhan dan perbuatan cabul, namun di dalamnya ada unsur ekonomi dan transaksional yang diperoleh dari tindak pidana tersebut, karena itu harus masuk dalam kategori delik sendiri. 5

Sebagai komparasi, maka penting juga untuk menyimak KUHP Norwegia yang mengatur tentang tindak pidana pelacuran anak. Dalam KUHP Norwegia, tindak pidana pelacuran anak diartikan sebagai : setiap orang yang demi mendapatkan bayaran, terlibat dalam aktivitas seksual atau melakukan sebuah aktivitas seksual dengan seseorang yang berusia di bawah 18 tahun dapat dikenai denda atau kurangan selama 2 tahun (Penal Code Norway Section 19). Dengan demikian seorang yang mendapatkan layanan seksual anak dengan bayaran kepada anak harus memicu tanggung jawab pidana. Ini artinya bahwa penawaran uang dengan maksud untuk melibatkan seorang anak dalam aktivitas- aktivitas seksual yang bukan saja pertunjukan seksual dapat dikenakan pidana. Demikian juga dengan KUHP Afrka Selatan hasil amandemen tahun 2007 menyatakan bahwa seseorang yang secara tidak sah dan dengan sengaja mendapatkan layanan dari seorang anak dengan izin atau tanpa izin anak tersebut, untuk imbalan uang atau imbalan lain, kebaikan atau kompensasi dengan tujuan untuk terlibat dalam sebuah perbuatan seks dengan anak, tanpa memandang apakah perbuatan seks tersebut dilakukan atau tidak adalah tindak pidana yang dapat dihukum. Dalam KUHP Afrika Selatan ini pelaku tindak pidana pelacuran anak sudah dapat dipidana, meskipun baru sebatas menerima tawaran seks dari anak (Catherine Beaulieu, 2008). Penutup Dari situasi yang digambarkan di atas maka penting untuk memperimbangkan agar penyusunan pasal- pasal terkait dengan tindak pidana eksploitasi seksual anak, harus direformulasi. Tindak pidana ini, tidak ditempatkan dalam bab- bab dan pasal- pasal yang berserakan, tetapi ditempatkan dalam bab khusus. Di samping itu, khusus tindak pidana pelacuran anak, perlu mendapatkan perhatian. Rumusan tindak pidana ini belum ditemukan dalam R- KUHP. Penyusun R- KUHP masih belum mengikuti perkembangan terbaru delik ini, khususnya konvensi internasional yang mengatur masalah ini. Karena itu, tindak pidana pelacuran anak perlu dijadikan 6

tindak pidana pidana persetubuhan pada anak. yang berbeda dengan tindak pidana pencabulan dan tindak (Sebagian besar tulisan ini terbit di : http://business- law.binus.ac.id/2016/08/01/tindak- pidana- eksploitasi- seksual- anak- dalam- hukum- positif- indonesia/ 7