BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kewarisan Kakek

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

BAB II KAKEK DAN SAUDARA DALAM HUKUM WARIS. kakek sahih dan kakek ghairu sahih. Kakek sahih ialah setiap kakek (leluhur laki -

HAK WARIS DZAWIL ARHAM

BAB I PENDAHULUAN. Islam mengajarkan berbagai macam hukum yang menjadikan aturanaturan

KEWARISAN SAUDARA KANDUNG LAKI-LAKI/ SAUDARA SEBAPAK LAKI-LAKI BERSAMA ANAK PEREMPUAN TUNGGAL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. mawaris, yang berarti harta warisan atau harta peninggalan mayyit. 1

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria atau seorang wanita, rakyat kecil atau pejabat tinggi, bahkan penguasa suatu

BAB II AHLI WARIS MENURUT HUKUM ISLAM. ditinggalkan oleh orang yang meninggal 1. Sementara menurut definisi

BAB IV NASAB DAN PERWALIAN ANAK HASIL HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH (INCEST) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Kaidah Fiqh. Perbedaan agama memutus hubungan saling mewarisi juga waii pernikahan. Publication: 1434 H_2013 M KAIDAH FIQH: PERBEDAAN AGAMA

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, baik hubungan dengan Allah swt. maupun hubungan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Kewarisan merupakan salah satu bentuk penyambung ruh keislaman antara

KAIDAH FIQH. Sebuah Ijtihad Tidak Bisa Dibatalkan Dengan Ijtihad Lain. حفظه هللا Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

BAB I PENDAHULUAN. yang ditinggalkan atau berpindah dan menjadi hak milik ahli warisnya. Allah SWT

BAB I PENDAHULUAN. waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni: 3

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS

Kaidah Fiqh. Seorang anak dinasabkan kepada bapaknya karena hubungan syar'i, sedangkan dinasabkan kepada ibunya karena sebab melahirkan

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENDAPAT MAŻHAB ANAK LUAR NIKAH

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Pluraliitas Hukum Waris

BAB II Z\ AWI><L FURU><D{ DAN GARRA<WAIN DALAM HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

BAB IV ANALISA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. BANGIL NOMOR 538/Pdt.G/2004/PA.Bgl PERSPEKTIF FIQH INDONESIA

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA. Dari penelitian yang dilakukan dilapangan, penulis menemukan kasus

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HIJAB DAN KEDUDUKAN SAUDARA DALAM KEWARISAN ISLAM. Menurut istilah ulama mawa>rith (fara>id}) ialah mencegah dan

PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DI TINJAU DARI KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN FIQH WARIS. Keywords: substite heir, compilation of Islamic law, zawil arham

BAB II KERJASAMA USAHA MENURUT PRESPEKTIF FIQH MUAMALAH. Secara bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilath (bercampur), yakni

BAB IV. A. Analisis terhadap Penentuan Bagian Waris Anak Perempuan. 1. Analisis terhadap Bagian Waris Anak Perempuan dan Cucu Perempuan

BAB I PENDAHULUAN. Melakukan kegiatan ekonomi dan bermuamalah merupakan tabi at. manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam melakukan kegiatan

Siapakah Mahrammu? Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

SIAPAKAH MAHRAMMU? 1

BAB II KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM

BAB II PRINSIP-PRINSIP HUKUM TENTANG HADHANAH. yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. 1

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS PENDAPAT PARA HAKIM DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM PASAL 177 KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG BAGIAN WARIS BAGI AYAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK WARIS BAITUL MAL DALAM HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia, khususnya di

Pendapat Ulama Hanafiyah dan Ulama Syafi iyah Tentang Penarikan Kembali Harta yang Sudah Dihibahkan (Studi Komparatif)

KAIDAH FIQH. "Mengamalkan dua dalil sekaligus lebih utama daripada meninggalkan salah satunya selama masih memungkinkan" Publication: 1436 H_2015 M

Hukum Onani. Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah Syaikh Muhammad al-utsaimin rahimahullah

BAB I PENDAHULUAN. kepastian secara hukum bagi umat Islam untuk menyelesaikan berbagai masalah

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN IJAB AKAD NIKAH DALAM FIKIH EMPAT MADZHAB. A. Analisis Persamaan dan Perbedaan Lafadh-Lafadh Ijab yang Sah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN WARIS SECARA PERDAMAIAN DI DESA TAMANREJO KECAMATAN LIMBANGAN KABUPATEN KENDAL

BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN SEBAPAK الا خت لا ب ليست كلا خت الشقيقة ف حال اجتماعهن ف

I l m u W a r i s Oleh : Abu Suhaib Salim Ali Ganim. Surabaya; 11/11/2013 M.

Wa ba'du: penetapan awal bulan Ramadhan adalah dengan melihat hilal menurut semua ulama, berdasarkan sabda Nabi r:

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

Kaidah Fiqh. Keadaan Darurat Tidak Menggugurkan Hak Orang Lain. Publication: 1435 H_2014 M DARURAT TIDAK MENGGUGURKAN HAK ORANG LAIN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JUAL BELI BUNGA KAMBOJA KERING MILIK TANAH WAKAF DI DESA PORONG KECAMATAN PORONG KABUPATEN SIDOARJO

ZAKAT PENGHASILAN. FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor 3 Tahun 2003 Tentang ZAKAT PENGHASILAN

KAIDAH FIQH. Disyariatkan Mengundi Jika Tidak Ketahuan Yang Berhak Serta Tidak Bisa Dibagi. حفظه هللا Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

BAB IV. A. Analisis terhadap Sistem Bagi Hasil Pengelolaan Ladang Pesanggem Antara

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELARANGAN NIKAH DIKALANGAN KIAI DENGAN MASYARAKAT BIASA DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP

Bolehkah melaksanakan perkawinan seorang perempuan dengan seorang laki laki yang bapak keduanya saudara sekandung, yaitu seayah dan seibu?

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 184 K/AG/1995 TENTANG KEDUDUKAN AHLI WARIS ANAK PEREMPUAN BERSAMA SAUDARA PEWARIS

BAB II TINJAUAN UMUM MUNASAKHAH. A. Munasakhah Dalam Pandangan Hukum Kewarisan Islam (Fiqh Mawaris) Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN WASIAT DENGAN KADAR LEBIH DARI 1/3 HARTA WARISAN KEPADA ANAK ANGKAT

ANALISA PENDAPAT IMÂM MÂLIK TENTANG SYARAT KONTAN DALAM JUAL BELI MATA UANG

Satu kambing untuk satu orang, satu sapi/unta untuk tujuh orang dalam berkurban

Praktek Pembagian Harta Waris Masyarakat Suku Lio Perspektif Fikih Mawaris (studi kasus di Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur)

PAKET FIQIH RAMADHAN (ZAKAT FITRAH)

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HADIAH/ UANG YANG DIBERIKAN OLEH CALON ANGOTA DPRD KEPADA MASYARAKAT DI KECAMATAN DIWEK

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB IV SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS DI KAMPUNG ADAT PULO KABUPATEN GARUT DALAM PERSEPSI HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS PENDAPAT TOKOH NU SIDOARJO TENTANG MEMPRODUKSI RAMBUT PALSU

BAB I PENDAHULUAN. Islam di Indonesia, Jakarta, Departemen Agama, 2001, hlm. 14.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

Qasim bin Muhammad. Cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Publication: 1435 H_2014 M. Oleh: Ustadz Abu Minhal, Lc

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HAK KHIYA>R PADA JUAL BELI PONSEL BERSEGEL DI COUNTER MASTER CELL DRIYOREJO GRESIK

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK PEMBIAYAAN MURA<BAH{AH DI BMT MADANI TAMAN SEPANJANG SIDOARJO

SERIAL KAJIAN ULIL ALBAAB No. 22 By : Tri Hidayanda

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang dinamakan adat. Adat ini telah turun-menurun dari generasi. kegerasi yang tetap dipelihara hingga sekarang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARISAN MAZHAB SYAFI I. kewarisan perdata barat atau BW dan kewarisan adat. mengikat untuk semua yang beragama Islam.

BAB III ANALISIS PENGELOMPOKAN AHLI WARIS MENURUT FIQIH JA FARIYAH. A. Pengelompokan Ahli Waris Menurut Fiqih Ja fariyah

Hukum Mengubah Nazar

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam menyalurkan kebutuhan biologisnya. diliputi rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga.

BAB IV ANALISIS AKAD IJA>RAH TERHADAP PERJANJIAN KERJA ANTARA TKI DENGAN PJTKI DI PT. AMRI MARGATAMA CABANG PONOROGO

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

Keutamaan Membaca dan Merenungkan AYAT AL-KURSI حفظه هللا Ustadz Abdullah Taslim al-buthoni, MA

H}AD}A>NAH ANAK BELUM MUMAYYIZ KEPADA AYAH

BAB IV. ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN NAFKAH ANAK ATAS DASAR EX AEQUO ET BONO DALAM STUDI PUTUSAN No.1735/Pdt.G/2013/PA.

BAB I PENDAHULUAN. manusia guna memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat. Salah satu aspek

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN NOMOR: 1685/PDT.G/2013/PA.SBY

BAB IV ANALISIS KOMPARASI ISTINBA<T} HUKUM ANTARA IMA>M MA>LIK DAN IMA>M SYA>FI I> TENTANG JUAL BELI ANJING

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dalam Ilmu-Ilmu Syari ah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN SEWA MENYEWA POHON UNTUK MAKANAN TERNAK

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA A. Analisis Pendapat Imam Abu Hanifah tentang Kewarisan Kakek bersama Saudara Sebagaimana telah penulis sebutkan pada bab sebelumnya, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa para saudara, baik saudara sekandung, saudara seayah, ataupun seibu, terhalang (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. 1 Alasan yang dipakai antara lain: 1. Menganalogikan kakek dengan ayah dan dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki. 2 Menurut Ulama Faraid bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki itu dapat menduduki status anak laki-laki, ketika tidak ada ahli waris anak laki-laki, dalam menghijab saudara, atas dasar pemakaian lafad ibn secara mutlak. Oleh karena itu wajar kalau kakek shahih itu dapat menduduki status bapak, ketika bapak tidak ada, atas dasar pemakaian lafad ab secara mutlak. 3 1 Al-Syaikh Nidham, Jama ah, al-fatawa al-hindiyah, Juz- 6, Dar al-kutub al-ilmiyah, Bairut Libanon, h. 500. 2 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris untuk UIN, STAIN, dan PTAIS, Bandung, Pustaka Setia, 2006, cet. III, h. 168. 3 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung: PT Al-Ma arif, Cet. Kedua, 1981, h. 271. 57

58 2. Keutamaan Kakek daripada saudara a. Sabda Rasulullah saw yang memerintahkan memberikan sisa harta peninggalan kepada orang laki-laki yang lebih utama setelah ahli waris ashabul furud adalah tepat apabila yang dimaksud dengan laki-laki yang lebih utama itu adalah kakek. Hal ini karena, kakek lebih utama dari saudara berdasarkan ketentuan dalam ashabah. Bahwa ashabah dari garis ayah itu harus didahulukan daripada garis saudara. Oleh karena itu, kakek dapat menghijab saudara. b. Kakek hanya terhijab oleh ayah, sedangkan saudara terhijab oleh ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki. 4 c. Kakek dapat mewarisi dengan dua cara, yaitu furud al-muqaddarah dan ashabah, sedangkan saudara hanya menerima melalui ashabah saja. 5 Dalam masalah kewarisan kakek ketika bersama dengan saudara, pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Sahabat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas ud, dan diikuti oleh Imam Malik, Syafi i, Ahmad bin Hanbal, dan dua murid imam Hanafi yaitu Abu Yusuf dan Muhammad, berpendapat bahwa kakek shahih itu bisa menghijab saudara tunggal seibu, sebagaimana ayah, karena ia berstatus sebagai ayah, tetapi tidak dapat menghijab saudara-saudara sekandung dan seayah, karena status kakek dan saudara setara. 4 Dian Khairul Umam, Op.Cit., h. 168-169. 5 Ahmad Rofiq, Op.Cit., h. 112.

59 Oleh karena itu, bila kakek mewarisi bersama dengan saudara-saudara kandung dan seayah, pembagiannya harus merata (muqasamah) seolah-olah mereka tergolong saudara. 6 Sahabat Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas ud, dan diikuti oleh Imam Malik, Syafi i, Ahmad bin Hanbal, dan dua murid imam Hanafi yaitu Abu Yusuf dan Muhammad, mengemukakan alasan sebagai berikut: 1. Adanya persamaan orang yang mempertemukan garis nasab kepada si pewaris antara kakek shahih dengan saudara-saudara, yaitu bapak. Kakek adalah bapaknya bapak, dan saudara adalah anaknya bapak. 2. Saudara-saudara baik sekandung atau seayah, hak waris mereka telah ditetapkan dalam Al-Qur an. Oleh karena itu, mereka tidak boleh terhijab oleh kakek kalau tidak ditentukan oleh nash dan ijma. Padahal tidak ada nash dan ijma yang menetapkan saudara-saudara tersebut dapat terhijab oleh kakek. 3. Penyebutan kakek dengan ayah di dalam Al-Qur an maupun hadits hanya penyebutan secara majazi. Oleh karena itu, tidak memberi pengertian bahwa kakek itu sama benar dengan ayah dalam segala hal. 4. Hubungan nasab dari garis anak (bunuwwah) tidak selalu rendah daripada garis bapak (ubuwwah), bahkan kadang-kadang lebih kuat daripadanya. 5. Terhijabnya kakek hanya oleh ayah saja, sedangkan saudara-saudara dapat terhijab oleh ayah, anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak menunjukkan bahwa kakek lebih utama daripada saudara-saudara. 6 Fatchur Rahman, Op.Cit., h. 272.

60 Sebab dari masing-masing mereka suatu saat tidak dapat terhijab dan kadang-kadang dapat terhijab. Jadi tidak dibedakan apakah penghijaban itu oleh seorang atau lebih. 6. Kakek dapat mewarisi dengan fard dan ashabah, sedangkan saudarasaudara hanya dengan ashabah tidak menunjukkan bahwa mewarisi dengan ashabah lebih utama daripada kakek. 7 7. Kebutuhan para Saudara yang jelas lebih muda daripada kakek terhadap harta jauh lebih besar ketimbang kakek. 8 Dari penjelasan tentang masalah kewarisan kakek bersama saudara tersebut, nampaknya dapat dipahami adanya persamaan dan perbedaan, diantara kedua pendapat tersebut. 1. Persamaan kedua pendapat tersebut, di antaranya: a. Masalah kedudukan kakek dalam kewarisan, di mana kakek mendapat warisan, bila ayah si mayit tidak ada, sebagai pengganti dari ayah. b. Dan bahwa pendapat keduanya berlandaskan dari fatwa sahabat, yaitu Imam Abu Hanifah mengikuti pendapat Abu Bakr As-Siddiq yang mengatakan kakek diposisikan sebagaimana ayah, sehingga bisa menggugurkan hak waris para saudara. Sedangkan pendapat yang diikuti oleh Imam Malik, Syafi i, Ahmad bin Hanbal, dan dua murid imam Hanafi yaitu Abu Yusuf dan Muhammad, mengikuti pendapat Umar, Ali, Ibn Mas ud, dan Zaid Bin Tsabit. Ibnu Hazm menulis 7 Dian Khairul Umam, Op.Cit., h. 169-170. 8 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, Penerjemah: A.M. Basalamah, Jakarta: Gema Insani, cet. 10, 2007, h. 86.

61 sebuah riwayat bahwa menurut Ibrahim an Nakhkha I, Umar pernah menulis surat kepada Ibnu Mas ud yang menyuruh dia memberi saham kepada kakek minimal seperenam apabila bersama-sama dengan saudara. Selang beberapa waktu setelah itu, Umar mengirim surat lain yang maksudnya khawatir bahwa kami telah menyia-nyiakan hak kakek, karenanya berikan kepadanya sepertiga sekiranya mewarisi bersama-sama dengan saudara. Lalu Ibnu Mas ud menetapkan bahwa saham atau bagian minimal kakek adalah sepertiga warisan. 9 2. Sedang Perbedaannya antara lain: a. Dalam fatwanya, Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa para saudara, baik saudara sekandung, saudara seayah, ataupun seibu, terhalang (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. Karena kakek merupakan pengganti ayah ketika ayah tidak ada. Oleh kerena itu, hukum kewarisan kakek juga berlaku seperti hukum kewarisan ayah, yaitu bisa menghalangi para saudara. b. Sedangkan pendapat Imam Malik, Syafi i, Ahmad bin Hanbal, dan dua murid imam Hanafi yaitu Abu Yusuf dan Muhammad, menyatakan, bahwa para saudara sekandung dan saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara sekandung dan yang seayah, bahkan kedua-duanya mendapat hak 9 Al Yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian perbandingan Terhadap Penalaran Hazairan dan Penalaran Fikih Mazhab, Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1998, h. 163.

62 waris secara bersama-sama sesuai ketentuan yang berlaku dengan mengutamakan bagian kakek. Setelah mengetahui pendapat Imam Abu Hanifah dan para Ulama yang mendukung bahwa saudara dan kakek dapat bersama-sama sebagai ahli waris, maka penulis dalam masalah kewarisan kakek bersama saudara ini, lebih condong dengan memberikan harta waris tidak hanya kepada kakek saja, walaupun dalam banyak hal kakek itu dapat menduduki kedudukan sebagaimana ayah ketika ayah tidak ada, tetapi dalam masalah kewarisan kakek ketika dengan saudara, alangkah lebih baik jika saudara kandung atau saudara seayah dan kakek dapat bersama-sama menjadi ahli waris. Karena adanya persamaan orang yang mempertemukan garis nasab kepada si pewaris antara kakek shahih dengan saudara-saudara, yaitu bapak. Kakek adalah bapaknya bapak, dan saudara adalah anaknya bapak. Maka tidak relevan jika arah yang satu diberi warisan dan arah yang lain tidak diberi warisan atau termahjub. Dan saudara-saudara, baik sekandung atau seayah, hak waris mereka telah ditetapkan oleh Al-Qur an. Oleh sebab itu, saudara tidak boleh terhijab oleh kakek kalau tidak ditentukan oleh nash dan ijma. Padahal tidak ada nash dan ijma yang menetapkan saudar-saudara tersebut dapat terhijab oleh kakek. 10 Selain itu, apabila kakek mendapatkan semua harta warisan, kemudian kakek meninggal dunia, harta tersebut akan beralih kepada anak-anaknya. 10 Dian Khairul Umam, Op.Cit., h. 169.

63 Mereka adalah paman dan bibi dari saudara yang tidak mendapatkan harta waris. Dengan demikian, yang menjadi ahli waris adalah paman dan bibinya saudara, sedangkan saudara laki-laki dan perempuan tidak mendapatkan sesuatu dari saudaranya yang meninggal, kecuali kesedihan dan sesal, yaitu sedih atas kematian saudaranya dan sesal tidak mendapatkan bagian harta warisan karena terhijab dengan adanya kakek yang berkedudukan sebagai ayah. 11 B. Analisis Metode Istinbath Hukum Imam Abu Hanifah tentang Kewarisan Kakek bersama Saudara Istinbath merupakan sistem atau metode para ulama guna menemukan atau menetapkan suatu hukum. Istinbath erat kaitannya dengan fiqh, karena fiqh tidak lain adalah ijtihad para ulama dalam menetukan suatu hukum. Dalam hal Istinbath Imam Abu Hanifah tidak menyusun prinsip Istinbath secara terperinci, tidak juga kaidah-kaidahnya dalam melakukan kajian dan ijtihad. Namun ulama fiqih yang datang sesudahnya dan sesudah murid-muridnya merangkum kaidah-kaidah Istinbath dari hukum-hukum cabang yang diriwayatkan dari Abu Hanifah. Hal ini tidak berarti bahwa Abu Hanifah tidak memiliki metode kajian dan ijtihad. Tidak dibukukannya suatu metode bukan berarti tidak ada, sebagaimana fiqih pasti disertai adanya metode dan kaidah Istinbath. Telah diriwayatkan dari Abu Hanifah pendapatpendapat yang menunjukkan garis besar metode Istinbath Abu Hanifah dan dalil-dalil yang digunakannya, di antaranya ia berkata: 11 Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Bandung, CV. Pustaka Setia, cet. I, 2009, h. 241.

64 Aku berpegang pada kitab Allah jika aku dapati hukum padanya. Jika tidak maka aku berpegang pada Sunnah Rasulullah. Jika aku tidak mendapatinya dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang pada ucapan Sahabat, aku berpegang pada ucapan sahabat yang aku kehendaki dan aku tinggalkan siapa yang aku kehendaki, dan aku tidak keluar dari ucapan mereka kepada ucapan selain mereka. Namun ketika sampai pada masa Ibrahim, asy-sya bi, Ibnu Sirin, Atha, dan Sa id bin Musayyib (para mujtahid dari tabi in), aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad. 12 Riwayat dari Abu Hanifah ini menunjukkan bahwa Al-Qur an, Sunnah, qaul Sahabat, kemudian ijtihad. Urutan-urutan ini merupakan sumber hukum bagi Abu Hanifah. Ijtihad di dalamnya mencakup qiyas dan istihsan. Abu Hanifah sangat mahir dan ahli dalam dua perkara ini, sebagaimana ia menggunakan ijma dan urf (kebiasaan) seperti yang diriwayatkan darinya. 13 Imam Abu Hanifah, dalam masalah kewarisan kakek bersama saudara berlandaskan pada pernyataan Abu Bakr al-siddiq, yang mengatakan bahwa kakek adalah ayah. Hal ini sebagaimana dalam penggunaan kata abb (bapak) dalam Al-Qur an maupun Sunnah menunjukkan kata jadd (kakek). 14 Seperti firman Allah: Artinya: Dan Aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, (QS: Yusuf: 38). )* %&'( $ " 1 234 /./0 67. 5(0 12 Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari at, terjemah: M. Misbah, Jakarta: Robbani Press, 2008, h. 200. 13 Ibid., h. 201. 14 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1993, h. 111.

65 Artinya: Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. (QS. Yusuf: 40). 15 Dalam ayat tersebut di atas kata abb (bapak) diartikan sebagai jadd (kakek), maka kakek itu menempati kedudukan bapak ketika bapak tidak ada. Oleh karena itu, kalau bapak dapat menghijab saudara, begitu juga dengan kakek. Dan dalil lain yang dipakai untuk menetapkan kewarisan kakek bersama saudara adalah sabda Nabi Muhammad saw: حدثنا سليمان ابن حرب حدثنا و ه يب عن ابن طاو س عن أبيه عن ابن عباس رضى ب ق ي االله عنهماعن النبي صلي االله عليه وسلم قال ا لح ق وا ال ف ر اي ض ب ا ه ل ه ا ف م ا 16 ف لا و لي ر ج ل ذ ك ر (متفق عليه) Artinya: Sulaiman dan Wahib mengabarkan dari ibn Thawas dari ayahnya dari Ibn Abbas ra. Nabi SAW. Bersabda: Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya). (HR. al- Bukhari dan Muslim). Seperti yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya bahwa kakek lebih utama daripada saudara, keutamaan kakek tidak hanya dalam hal kewarisan, tetapi dalam hal lain seperti, kesaksian kakek terhadap cucunya tidak dapat diterima, sedangkan kesaksian saudara terhadap saudaranya dapat diterima. Dan bekas isteri kakek tidak dapat dinikahi oleh cucunya, begitu juga sebaliknya, sedang bekas isteri saudara dapat dinikahi oleh saudaranya. Maka dengan ini jelaslah bahwa kakek lebih utama dari saudara dalam 15 Departemen Agama R.I, Al-Qur an Dan Terjemahannya. Surabaya: Karya Agung, Edisi Revisi, 2006, h. 323. 16 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-bukhari, Matan al-bukhari, juz. 4, Dar al-fikr, t.t, h. 166.

66 menerima ashabah, dan kakek menjadi pengganti bapak, maka kakek juga dapat menghalangi saudara dalam menghalangi kewarisan. Dasar lain dari Imam Abu Hanifah adalah kaidah umum asabah yaitu: Bila ternyata asabah banyak arahnya, maka yang lebih didahulukan adalah arah anak (bunuwah), kemudian arah ayah (ubuwah), kemudian saudara (ukhuwah), dan barulah arah paman ( umumah). Arah itu tidak akan berubah atau berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu hilang atau habis. 17 Sedangkan dalil yang dipakai oleh Ulama yang berpendapat bahwa para saudara baik kandung maupun sebapak ketika bersama dengan kakek dapat bersama-sama menjadi ahli waris adalah mengqiyaskan saudara laki-laki kepada anak laki-laki dengan persamaan bahwa masing-masing dari keduanya adalah laki-laki yang mengashabahkan saudara perempuannya. Maka sebagaimana kakek tidak menghalangi anak laki-laki, maka dengan demikian pula kakek tidak dapat menghalangi saudara laki-laki. 18 17 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit., h. 86. 18 Muhammad Syaltout, dan M. Ali As-Sayis, Perbandingan Madzhab dalam Masalah Fiqih, alih bahasa: Ismuha, Jakarta: Bulan Bintang, cet. ke-2, 1978, h. 323.