UANG PENGGANTI. (Sumber Gambar : tokolarismanis.files.wordpress.com)

dokumen-dokumen yang mirip
2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dapat. disimpulkan sebagai berikut:

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB III HASIL PENELITIAN KESEIMBANGAN SANKSI PIDANA KURUNGAN SEBAGAI SANKSI PENGGANTI SANKSI PIDANA DENDA

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM UU NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNCTO UU NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. Oleh : Ayu Dian Ningtias, SH.MH.

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara atau perekonomian negara yang akibatnya menghambat

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. korupsi telah membuat noda hitam di lembaran sejarah bangsa kita. Bagaimana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

I. PENDAHULUAN. PemberantasanTindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa korupsi sebagai jenis

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

NOMOR 18 TAHUN 1997 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Kasus PDAM Makassar, Eks Wali Kota Didakwa Rugikan Negara Rp 45,8 Miliar

UNIVERSITAS MURIA KUDUS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti

PERAN KEMENTERIAN KEUANGAN DALAM PEMULIHAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KESEPAKATAN BERSAMA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01/KB/I-VIII.

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang berbunyi:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

RAHASIA BANK. Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM

PEMERINTAH KOTA BATU

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

*9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan exra ordinary crime 1, sehingga memerlukan. dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BUPATI SUKABUMI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKABUMI NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK RESTORAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKABUMI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan sekarang tidak terlepas dari suatu krisis moneter yang melanda hampir

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kasus Korupsi PD PAL

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN [LN 1998/82, TLN 3790]

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI BANYUASIN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MUSI BANYUASIN

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kepada Bishop Mabadell Creighton menulis sebuah ungkapan yang. menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yakni: power tends

BAB III PENUTUP. menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : Jaksa Agung Muda, peraturan perihal Jaksa Agung Muda Pengawasan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HALMAHERA BARAT NOMOR : 23 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI IZIN TEMPAT PENJUALAN MINUMAN BERALKOHOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat.

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1997 TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

UANG PENGGANTI (Sumber Gambar : tokolarismanis.files.wordpress.com) I. Latar Belakang Korupsi merupakan kata yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Di negara kita Korupsi telah menjadi suatu hal yang lumrah untuk dilakukan. Bahkan korupsi di Indonesia dapat dikatakan telah membudaya sejak dulu, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, bahkan berlanjut hingga era Reformasi. Korupsi, menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai jenis tindak pidana yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara serta menghambat pembangunan nasional. 1 Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan menjadi faktor penyebab mengapa korupsi masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. 2 Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Disadari memang upaya untuk memberantas korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak cara telah dilakukan oleh pemerintah negara kita, bahkan upaya pemberantasan korupsi tersebut telah dilakukan jauh sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanyan 2 (dua) ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang 1 Konsiderans Menimbang Huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi 2 Amin Rahayu, SS., Sejarah Korupsi di Indonesia, 2005. Sie Infokum Ditama Binbangkum 1

tindak pidana korupsi yang dihasilkan dalam kurun waktu antara tahun 1960 sampai dengan tahun 1998, yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; dan 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3 Disamping kedua peraturan perundang-undangan tersebut, untuk memberantas korupsi juga telah dikeluarkan TAP MPR Nomor IX/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dengan adanya TAP MPR ini, maka amanat telah diberikan negara kepada penyelenggara negara untuk memberantas tindak pidana korupsi. Sejak dikeluarkannya TAP MPR tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan serangkaian undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4 Selain upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan melalui penetapan peraturan perundang-undangan tersebut di atas upaya lain yang dilakukan adalah dengan penetapan pembayaran Uang Pengganti Korupsi. Uang pengganti merupakan salah satu upaya penting dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di negara kita. Dapat dikatakan demikian karena uang pengganti merupakan suatu bentuk pengembalian kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan korup yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri. Namun, sampai saat ini pembebanan uang pengganti bagi para koruptor selain pidana penjara tidak pernah tuntas dibahas. Oleh karena itu, dalam penulisan ini akan dibahas lebih jauh tentang uang pengganti tersebut. II. Permasalahan 1. Apakah yang dimaksud dengan Uang Pengganti dalam perkara korupsi? 2. Bagaimanakah pengaturan pidana uang pengganti khususnya dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi? 3. Bagaimanakah cara pembebanan dan pembayaran uang pengganti? 3 Arief Wahyudi Hertanto,S.H., Arief Nurul Wicakso, Tindak Pidana Korupsi Antara Upaya Pemberantasan dan Penegakan Hukum. 4 Ibid. Sie Infokum Ditama Binbangkum 2

III. Pembahasan Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang yang mengatur masalah korupsi sebelumnya (UU Nomor 3 Tahun 1971) yaitu : 1. menentukan ancaman pidana minimum khusus; 2. pidana denda yang lebih tinggi; dan 3. ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. 5 Perumusan ancaman pidana dalam ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menganut sistem pidana maksimal dan minimal khusus (sistem campuran). 6 Selain dibekali dengan ancaman pidana pokok penjara dan denda dengan minimal khusus dan maksimal, UU No. 31 Tahun 1999 juga dibekali dengan pidana tambahan, hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 17 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa selain dapat dijatuhi pidana pokok terdakwa dalam perkara korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan, salah satu bentuknya adalah pembayaran uang pengganti. 7 1. Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi Pidana pembayaran uang pengganti merupakan konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan suatu bentuk hukuman (pidana) tambahan dalam perkara korupsi. Pada hakikatnya baik secara hukum maupun doktrin, hakim tidak diwajibkan selalu menjatuhkan pidana tambahan. Walaupun demikian, khusus untuk perkara korupsi hal tersebut perlu untuk diperhatikan. Hal tersebut disebabkan karena korupsi adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang merugikan atau dapat merugikan keuangan negara. Dalam hal ini kerugian negara tersebut harus dipulihkan. Salah satu cara yang dapat dipakai guna memulihkan kerugian negara tersebut adalah dengan mewajibkan terdakwa yang terbukti dan meyakinkan telah melakukan tindak 5 Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999 6 Guse Prayudi, Pidana Pembayaran Uang Pengganti (suatu tinjauan terhadap ketentuan pasal 18 angka 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). 7 Ibid. Sie Infokum Ditama Binbangkum 3

pidana korupsi untuk mengembalikan kepada negara hasil korupsinya tersebut dalam wujud uang pengganti. Sehingga, meskipun uang pengganti hanyalah pidana tambahan, namun adalah sangat tidak bijaksana apabila membiarkan terdakwa tidak membayar uang pengganti sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara. Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi terbebas dari kewajiban untuk membayar uang pengganti apabila uang pengganti tersebut dapat dikompensasikan dengan kekayaan terdakwa yang dinyatakan dirampas untuk negara atau terdakwa sama sekali tidak menikmati uang tersebut, atau telah ada terdakwa lain yang telah dihukum membayar uang pengganti, atau kerugian negara masih dapat ditagih dari pihak lain. Jumlah uang pengganti adalah kerugian negara yang secara nyata dinikmati atau memperkaya terdakwa atau karena kausalitas tertentu, sehingga terdakwa bertanggung jawab atas seluruh kerugian negara. Dasar Hukum Pasal 17 jo 18 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi : Pasal 17 Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Pasal 18 Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah : b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; Undang-Undang memberikan penekanan khusus mengenai besaran uang pengganti tersebut yakni sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Secara yuridis hal ini harus diartikan kerugian yang dapat dibebankan kepada terpidana adalah kerugian Negara yang Sie Infokum Ditama Binbangkum 4

besarnya nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja atau lalai yang dilakukan oleh terpidana. Perbedaan Uang Pengganti dan Uang Sitaan Dalam perkara korupsi selain pidana uang pengganti juga terdapat uang sitaan. Kedua jenis pidana tambahan ini perlu untuk diberikan definisi yang tegas karena perbedaan definisi uang pengganti dan uang sitaan tersebut sering menimbulkan polemik. Sehingga antar lembaga pemerintahan harus mempunyai satu pemahaman terkait dengan definisi uang pengganti serta uang sitaan, apalagi keduanya mempunyai muara setoran yang sama, yakni ke kas negara. 8 PERBEDAAN UANG PENGGANTI DAN UANG SITAAN 9 UANG PENGGANTI Disetor jika putusan perkara korupsi telah berkekuatan hukum tetap alias inkracht Uang pengganti tidak dapat dititipkan, tapi langsung disetor ke kas negara. UANG SITAAN Disita aparat kejaksaan sebelum berkekuatan hukum tetap. Selama menunggu putusan inkracht, uang sitaan dititipkan di kejaksaan tanpa bunga. PERBEDAAN MEKANISME PENYETORAN UANG PENGGANTI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG KORUPSI 10 UU NOMOR 3 TAHUN 1971 UU NOMOR 31 TAHUN 1999 Uang pengganti tidak otomatis disetorkan ke kas negara, tapi harus didahului upaya kejaksaan untuk menggugat perdata terpidana. Kalaupun tidak (digugat), kejaksaan hanya mencatat. Bagaimana setorannya, itu urusan belakangan, kata Indriyanto Kejaksaan bisa mengeksekusi aset terpidana, mengingat ada batasan penyetoran uang pengganti maksimal sebulan sejak putusan inkracht. 2. Pengaturan Pidana Uang Pengganti dalam Peraturan Perundang- Undangan Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, dalam rangka melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di negara kita telah mengeluarkan 3 (tiga) peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana korupsi, yaitu Undang- 8 Indriyanto, Guru Besar Pidana Universitas Krisnadwipayana 9 Ibid. 10 Ibid. Sie Infokum Ditama Binbangkum 5

Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketiga peraturan perundang-undangan tersebut mengatur tentang pidana uang pengganti bagi terdakwa kasus korupsi. Pengaturan pidana uang pengganti dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa pembayaran uang pengganti jumlahnya sebanyakbanyaknya sama dengan uang yang dikorupsi. Namun Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tersebut tidak secara tegas menentukan kapan uang pengganti itu harus dibayarkan, dan apa sanksinya bila pembayaran tidak dilakukan. Hanya dalam bagian penjelasan Undang-Undang tersebut disebutkan, apabila pembayaran uang pengganti tidak dapat dipenuhi, berlakulah ketentuanketentuan tentang pembayaran denda. Pada saat itu masalah inilah yang coba diatasi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung pada tahun 1985. Surat Edaran itu mendorong jaksa untuk melakukan gugatan perdata apabila eksekusi atas uang pengganti tidak bisa dilaksanakan karena berbagai hal. 11 Kelemahan hukum ini telah dikoreksi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undamg Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam kedua Undang- Undang tersebut, ketentuan mengenai uang pengganti sudah lebih tegas, yaitu apabila tidak dibayar dalam tempo 1 (satu) bulan, terhukum segera dieksekusi dengan memasukkannya ke dalam penjara. Hukuman penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan hakim, yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum pidana pokoknya. 12 3. Pembebanan dan Pembayaran Uang Pengganti A. Pembebanan Pada dasarnya terdapat 2 (dua) model pembebanan yang selama ini diterapkan oleh hakim yang memutus perkara korupsi. Model pembebanan tersebut terdiri dari : 13 11 Abdul Rahman Saleh Jaksa Agung RI, Oktober 2004-Mei 2007. 12 Ibid. 13 Uang Pengganti (2) : Eksekusi dan Masalah Tanggung Renteng,hukumonline.com,2006. Sie Infokum Ditama Binbangkum 6

1. Pembebanan Tanggung-Renteng Tanggung-renteng (tanggung-menanggung bersama), yang lebih dikenal dalam ranah hukum perdata, adalah cara terjadinya suatu perikatan dengan jumlah subjek yang banyak. Dalam konteks hukum perdata, dikenal ada 2 (dua) bentuk tanggung-renteng yakni aktif dan pasif. Tanggung-renteng dapat dikatakan aktif apabila jumlah pihak yang berpiutang (kreditur) lebih dari satu, dan sebaliknya, tanggung renteng pasif terjadi apabila jumlah pihak yang berutang (debitur) lebih dari satu. 14 Merujuk pada konsep tanggung-renteng tersebut, maka tanggungrenteng dalam konteks pemidanaan uang pengganti dapat dikategorikan sebagai tanggung-renteng pasif, dimana negara dalam hal ini berkedudukan sebagai kreditur dan para terdakwa sebagai debitur. Artinya apabila negara melalui majelis hakim telah menjatuhkan pidana uang pengganti secara tanggung-renteng kepada lebih dari satu terdakwa maka tiap-tiap dari mereka memiliki kewajiban untuk memenuhi hukuman tersebut. Menurut konsep keperdataan, apabila salah satu dari terdakwa telah melunasi seluruh jumlah uang pengganti maka otomatis kewajiban terdakwa lain gugur secara otomatis. Dengan model tanggung-renteng, majelis hakim dalam putusannya hanya menyatakan para terdakwa dibebani pidana uang pengganti sekian rupiah dalam jangka waktu tertentu. Majelis hakim (negara) sama sekali tidak menghiraukan bagaimana cara para terdakwa mengumpulkan sejumlah uang pengganti tersebut, entah itu ditanggung sendiri oleh salah satu terdakwa atau urunan dengan porsi tertentu. Sesuai dengan spirit yang melatarbelakangi konsep pemidanaan uang pengganti, negara hanya peduli bagaimana uang negara yang telah dirugikan dapat kembali lagi. 2. Pembebanan Secara Proporsional Pembebanan secara proporsional adalah pembebanan pidana uang pengganti dimana majelis hakim dalam amarnya secara definitif menentukan berapa besar beban masing-masing terdakwa. Penentuan jumlah uang pengganti tersebut didasarkan pada penafsiran hakim atas kontribusi masing-masing terdakwa dalam tipikor terkait. Pada prakteknya, kedua model tersebut diatas diterapkan secara acak tergantung penafsiran hakim. Ketidakseragaman ini kemungkinan besar terjadi karena tidak jelasnya aturan yang ada. Berdasarkan sifat 14 Pengajian Hukum Perdata Belanda karya C. Asser s, hal. 119 Sie Infokum Ditama Binbangkum 7

masing-masing model, model proporsional memang yang paling minim memiliki potensi masalah yang akan dimunculkan. Berbeda dengan model proporsional, model tanggung-renteng berpotensi memunculkan masalah. Pertama, penerapan model ini dapat memunculkan sengketa perdata diantara para terdakwa. Hal ini sangat mungkin terjadi karena dengan tidak menetapkan beban uang pengganti kepada masing-masing terdakwa, majelis hakim berarti telah melemparkan bola panas. Masing-masing terdakwa bisa saja saling menuding dan mengklaim mengenai berapa beban yang mereka harus tanggung. Bahkan, tidak menutup kemungkinan perselisihan ini akan bermuara di pengadilan, apabila salah satu atau kedua pihak mengajukan gugatan perdata. Alhasil, eksekusi pidana uang pengganti kemungkinan akan berlarut-larut dengan dalih menunggu putusan pengadilan atas gugatan perdata yang diajukan salah satu terpidana. B. Pembayaran UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melalui Pasal 18 ayat (2), memang menetapkan jangka waktu yang sangat singkat yakni 1 (satu) bulan bagi terpidana untuk melunasi pidana uang pengganti. Masih dalam ayat yang sama, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menyediakan cadangan pidana berupa penyitaan harta terpidana yang kemudian akan dilelang untuk memenuhi uang pengganti. Dalam ayat berikutnya, terpidana bahkan diancam dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya. Jadi, terpidana sebenarnya tidak akan lolos walaupun berdalih ada gugatan perdata yang sedang diproses. Uang Pengganti dan Pidana Subsider Pidana Subsider atau pidana kurungan pengganti sangat dihindari dalam rangka menggantikan pidana uang pengganti bagi Terdakwa perkara korupsi yang telah terbukti dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Karena pada dasarnya terdakwa yang terbukti melakukan korupsi wajib mengembalikan uang hasil korupsi sebagai cara untuk memulihkan kerugian negara. Pidana penjara subsider dapat menutup kesempatan negara untuk memperoleh kembali kerugian akibat korupsi. Mahkamah Agung (MA) contohnya dalam banyak putusan hanya menjatuhkan uang pengganti tanpa Sie Infokum Ditama Binbangkum 8

pidana penjara subsider sebagai cara untuk memaksa terdakwa mengembalikan uang negara. 15 Pidana penjara subsider dapat dijatuhkan terhadap korupsi dengan jumlah kerugian negara yang kecil, atau karena keadaan tertentu terdakwa tidak mungkin membayar. Apabila karena ketentuan hukum harus ada pidana penjara subsider maka pidana kurungan pengganti tersebut harus diperberat. 16 Eksekusi Uang Pengganti Mahkamah Agung berpendirian, eksekusi uang pengganti tidak memerlukan gugatan tersendiri. Pidana uang pengganti adalah satu kesatuan putusan pidana yang dijatuhkan majelis hakim. Wewenang eksekusi setiap putusan pidana ada pada Jaksa Penuntut Umum, termasuk pidana uang pengganti. Apabila eksekusi uang pengganti menggunakan gugatan tersendiri maka akan bertentangan dengan pelaksanaan pemidanaan. 17 Uang pengganti bukan utang terdakwa (terpidana). Tidak ada hubungan keperdataan antara terdakwa (terpidana) yang telah merugikan negara sehingga negara perlu menggugat secara keperdataan baik atas dasar wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Pidana uang pengganti adalah putusan hakim yang wajib serta merta dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Setiap kekayaan terdakwa dapat dikuasai negara untuk membayar uang pengganti. 18 IV. Penutup Uang pengganti dalam perkara korupsi sampai saat ini tidak pernah tuntas dibahas. Banyak permasalahan yang timbul terkait dengan pidana uang pengganti tersebut dan semua itu disebabkan karena pengaturan yang tidak jelas dan tegas. Sehingga dirasakan perlu untuk dapat membuat suatu peraturan yang lebih jelas dan lengkap tentang uang pengganti dan wadah yang tepat untuk mencantumkan hal tersebut adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Korupsi yang sampai saat ini masih dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, hal tersebut merupakan solusi jangka panjang mengingat suatu RUU memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menjadi UU. Untuk itu, diterbitkannnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undanga-Undang (PERPU) atau Peraturan Pemerintah (PP) mungkin akan menjadi solusi 15 Kebijakan Peradilan, Sambutan Ketua MA pada Rakernas MA di Makassar September 2007. 16 Ibid. 17 Ibid. 18 Ibid. Sie Infokum Ditama Binbangkum 9

yang tepat dan cepat dalam menjawab permasalahan-permasalahan terkait dengan uang pengganti ini. 19 Dengan pengaturan yang jelas dan tegas terkait dengan pidana uang pengganti tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera kepada para koruptor sekaligus dapat mengembalikan uang negara yang telah dikorup tersebut. Sumber-Sumber Informasi : UU Nomor 3 Tahun 1971 UU Nomor 31 Tahun 1999 UU Nomor 20 Tahun 2001 Amin Rahayu, SS., Sejarah Korupsi di Indonesia, 2005. hukumonline.com, Uang Pengganti (2) : Eksekusi dan Masalah Tanggung Renteng,2006. Abdul Rahman Saleh Jaksa Agung RI, Oktober 2004-Mei 2007. Kebijakan Peradilan, Sambutan Ketua MA pada Rakernas MA di Makassar September 2007 Arief Wahyudi Hertanto,S.H., Arief Nurul Wicakso, Tindak Pidana Korupsi Antara Upaya Pemberantasan dan Penegakan Hukum. Guse Prayudi, Pidana Pembayaran Uang Pengganti (suatu tinjauan terhadap ketentuan pasal 18 angka 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Indriyanto, Guru Besar Pidana Universitas Krisnadwipayana C. Asser s, Pengajian Hukum Perdata Belanda, hal. 119 19 Uang Pengganti (2) : Eksekusi dan Masalah Tanggung Renteng,hukumonline.com,2006. Sie Infokum Ditama Binbangkum 10