BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia. Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
KETERKAITAN PERBANKAN DALAM TRANSAKSI WAREHOUSE RECEIPT 1. Oleh: Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M 2

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/11 /PBI/2003 TENTANG PEMBAYARAN TRANSAKSI IMPOR GUBERNUR BANK INDONESIA,

TATA CARA PEMBAYARAN TRANSAKSI DALAM KONTRAK

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 5/6/PBI/2003 TENTANG SURAT KREDIT BERDOKUMEN DALAM NEGERI GUBERNUR BANK INDONESIA,

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Aset. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu pakar ekonomi dari Inggris, David Ricardo, menyatakan dalam teori

Syarat Pembayaran dlm Jual Beli Perniagaan

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Jasa Bank. Pembayaran Transaksi Impor

Pembayaran Transaksi Ekspor Impor. Pertemuan ke-13

BAB I PENDAHULUAN. barang antar pengusaha yang masing masing bertempat tinggal di negara negara

PRODUK & LAYANAN VALUTA ASING. Surabaya, 15 Desember 2016

Materi Minggu 7. Prosedur Dasar Pembayaran Internasional

BAB I PENDAHULUAN. Pengenalan transaksi ekspor impor

BAB I PENDAHULUAN. memegang peranan penting bagi perkembangan ekonomi Indonesia. bagi masing-masing pihak yaitu pihak penjual diwajibkan melakukan

I. PENDAHULUAN. internasional negara-negara di dunia, khususnya yang didasarkan pada kepentingankepentingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pesatnya perkembangan dalam bidang usaha pada zaman modern

BAB I PENDAHULUAN. dalam suatu perdagangan yang lazim dikenal dengan perdagangan ekspor-impor.

di Pasar MODAL 1. Surat Berharga yang diperjual belikan

LALU LINTAS PEMBAYARAN LUAR NEGERI dan DALAM NEGERI. By : Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI

BAB II TINJAUAN UMUM RED CLAUSE L/C DALAM TRANSAKSI PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BAB III SISTEM PEMBAYARAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 20 /PBI/2011 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI

BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN 182

MANAJEMEN KEUANGAN DAN SISTEM AKUNTANSI INTERNASIONAL

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Sistem Informasi Debitur. Peraturan Bank Indonesia No. 7/8/PBI/ Januari 2005 MDC

Box 2 : Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah melalui Arus masuk Devisa (Peraturan Bank Indonesia No 13/20/PBI/2011 ttg Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan

BAB I PENDAHULUAN. mempercepat penyaluran dana-dana dari Surplus Spending Unit (SSU) ke

Materi Minggu 6. Lalu Lintas Pembayaran Internasional

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 23 /PBI/2012 TENTANG TRANSFER DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

MANAJEMEN JASA-JASA BANK. /

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bank Indonesia : Apa, Siapa dan Bagaimana

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 20 /PBI/2011 TENTANG PENERIMAAN DEVISA HASIL EKSPOR DAN PENARIKAN DEVISA UTANG LUAR NEGERI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

No. 15/16/DInt Jakarta, 29 April 2013 SURAT EDARAN. Perihal : Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Berupa Realisasi dan Posisi Utang Luar Negeri

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/ 8 /PBI/2004 TENTANG SISTEM BANK INDONESIA REAL TIME GROSS SETTLEMENT GUBERNUR BANK INDONESIA,

Diubah dengan PBI No. 3/4/PBI/2001 tanggal 12 Maret 2001 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/13/PBI/2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 41.

Anita Asnawi, S.Sos., MM.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENYIMAK KASUS LC FIKTIF BNI KEBAYORAN BARU

SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA. Perihal: Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum

No.15/ 9 /DSM Jakarta, 27 Maret 2013 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA EKSPORTIR, PEMILIK BARANG DAN/ATAU PENERIMA DEVISA HASIL EKSPOR DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, kesinambungan dan. peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang berasaskan

Pendanaan Ekspor dan Impor

2. Proses dan langkah langkah L/C:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI

No. 17/48/DPD Jakarta, 7 Desember SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA

BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN 47

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/24/PBI/2015 TENTANG REKENING GIRO DI BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. Berdasarkan uraian pada Bab-bab sebelumnya dapat diambil

BAB II TINJAUAN PERBANDINGAN STANDBY LETTER OF CREDIT DENGAN BANK GARANSI DALAM TRANSAKSI PERBANKAN

No. 6/7/DPM Jakarta, 16 Februari 2004 November 2003 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK DI INDONESIA. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum

2 bagi pelaku ekonomi untuk melakukan transaksi lindung nilai; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huru

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 11. SISTEM PEMBAYARAN DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL LETTER of CREDIT (L/C)

BAB I PENDAHULUAN. Penulis memilih Penelitian hukum dengan judul: Problematika Hukum

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

No. 15/12/DASP Jakarta, 8 April SURAT EDARAN Kepada BANK, PERUSAHAAN EFEK, DEALER UTAMA DAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perdagangan internasional kegiatan beli disebut impor dan

BAB I PENDAHULUAN. dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian negara. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir merupakan refleksi minat masyarakat terhadap ekonomi syariah

BAB II LANDASAN TEORI

No. 15/6/DPNP Jakarta, 8 Maret 2013 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL

Yang dimaksud dalam Surat Edaran ini dengan:

Module Asuransi Kredit

- 1 - PENJELASAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/ 34 /PBI/2008 TENTANG TRANSAKSI PEMBELIAN WESEL EKSPOR BERJANGKA OLEH BANK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sehingga barang dan jasa yang diproduksi pun berbeda. Untuk memenuhi

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG TRANSFER DANA

DAFTAR PUSTAKA. a) Peraturan Perundang-undangan :

No. 16/10/DSta Jakarta, 26 Mei 2014 SURAT EDARAN. Kepada: SEMUA DEBITUR DEVISA UTANG LUAR NEGERI DI INDONESIA

Bab 11 Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK)

PEMERINTAH DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. ke dalam bisnis utama dan bisnis penunjang. Bisnis utama suatu bank adalah

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/24/PBI/2000 TENTANG HUBUNGAN REKENING GIRO ANTARA BANK INDONESIA DENGAN PIHAK EKSTERN GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

SURAT KEPUTUSAN DIREKSI BANK INDONESIA TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DIREKSI BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/11/PBI/2012

BAB I PENDAHULUAN. dan pendapatan negara (export earnings) yang merupakan salah satu sumber

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL *) Oleh: Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M **)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 2/26/PBI/2000 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA

Alamat Redaksi: Grup Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik Departemen Statistik Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 15 Jl.

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 179/KMK.017/2000 TENTANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/ 11 /PBI/2010 TENTANG OPERASI MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/2/PBI/2004 TENTANG BANK INDONESIA - SCRIPLESS SECURITIES SETTLEMENT SYSTEM (BI-SSSS) GUBERNUR BANK INDONESIA,

Manajemen Treasury INTRODUCTION

Prosedur Dasar Pembayaran Internasional. By : Afrila Eki Pradita, S.E., MMSI

SKBDN. 1. Konsep SKBDN (Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri) 1.2 Tujuan Penerbitan SKBDN

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode

Syariah Mandiri (BSM) menerapkan produk L/C ini untuk melayani transaksi. hanya terietak pada saat pembayaran weselnya saja. Untuk sight L/C, bank

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

CARA PEMBAYARAN JUAL BELI: JENIS, KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DR. YETTY KOMALASARI DEWI KULIAH 5

SURAT EDARAN. Kepada BANK, BADAN USAHA BUKAN BANK, DAN PERORANGAN DI INDONESIA. Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri

Kodifikasi Peraturan Bank Indonesia. Jasa Bank. Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri oleh Bank Umum

Transkripsi:

Volume 2, Nomor 3, Desember 2004 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Roswita Roza, Ahmad Fuad, Oey Hoey Tiong, Ramlan Ginting Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Hernowo Koentoadji, Musliha, Kesumawati Syafei, Anton Purba, Indah Wulandari Dewan Redaksi Suchaemi Sy. Maarif, Hendrikus Ivo, Wahyudi Santoso, Rudiatin S. Djatmiko, Tini Kustini Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim RUU dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Namun mulai tahun 2004 buletin ini akan terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember. Peminat yang ingin memperoleh buletin ini dapat menghubungi Tim RUU dan Pengkajian Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt. 10, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10100, telepon (021) 3817416, facsimile (021) 2311743, email : buletinhukum_dhk@bi.go.id Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksentralan. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links kemudian publikasi BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

DARI MEJA REDAKSI Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan tetap berusaha untuk memberikan suatu bacaan dan wacana yang akurat dan proporsional mengenai hukum perbankan dan kebanksentralan, maka Buletin ini terbit untuk yang terakhir kali di tahun 2004. Selain itu Redaksi juga tetap memberikan tampilan cover merah dan biru yang merupakan corporate identity Bank Indonesia agar Buletin ini mudah dikenali oleh pembaca. Konsisten mewujudkan visi Buletin, yaitu memperluas wawasan di bidang hukum perbankan dan kebanksentralan, maka sistematika isi Buletin tetap dipertahankan sebagaimana halnya pada edisiedisi sebelumnya. Dalam edisi kali ini Redaksi menampilkan 5 artikel yang merupakan pemikiran atas beberapa topik yaitu Peranan Bank Indonesia Dalam Mendorong Ekspor Melalui Pengaturan Metode Pembayaran dan Metode Pembiayaan Perdagangan Internasional, Pembahasan Terhadap Draft RUU Amandemen UU Koperasi Berkenaan Dengan Pengaturan Koperasi Simpan Pinjam, Transfer Dana Melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI RTGS), Sekuritisasi Aset Sebagai Salah Satu Alternatif Sumber Pendanaan Bagi Dunia Usaha, dan Arah Kebijakan Liberalisasi Jasa Perbankan Indonesia. Rubrik Resensi Buku edisi ini mengetengahkan judul buku Hukum Sebagai Panglima yang ditulis oleh Prof. DR. Charles Himawan, S.H., LL.M. dan diterbitkan pada bulan Mei 2003, sedangkan untuk Rubrik Komentar Atas Putusan Pengadilan, Redaksi mengangkat topik Masalah Tanggung Jawab Penjamin (Avalist) Hutang Bank Terhadap Debitur Wan-Prestasi. Selain itu, Buletin ini juga menampilkan hasil Seminar Nasional Mencari Solusi Pembiayaan Bagi Hasil Perbankan Syariah dan Sidang Ke 44 Pokja IV Electronic Commerce United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL). Kemudian sebagai salah satu media informasi yang disampaikan kepada masyarakat luas, Buletin ini juga memuat informasi tentang peraturan-peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia, yaitu berupa daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia yang dikeluarkan pada Oktober Desember 2004. Dengan informasi dan wacana yang cukup beragam, semoga Buletin ini dapat bermanfaat bagi semua pembacanya Selamat membaca. Jakarta, Desember 2004 Redaksi BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 2, Nomor 3, Desember 2004 Halaman Dari Meja Redaksi Daftar Isi Peranan Bank Indonesia Dalam Mendorong Ekspor Melalui Pengaturan Metode Pembayaran dan Metode Pembiayaan Perdagangan Internasional.... 1-20 Þ Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL. M. KSP Model Baru Atau Pemberdayaan Bank Koperasi? (Pembahasan Terhadap Draft RUU Amandemen UU Koperasi Berkenaan Dengan Pengaturan Koperasi Simpan Pinjam).... 21-29 Þ Agus Santoso, S.H., LL.M. Transfer Dana Melalui Sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (Sistem BI RTGS)....... 30-34 Þ Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran Sekuritisasi Aset : Suatu Alternatif Sumber Pendanaan Bagi Dunia Usaha... 35-47 Þ Anton Purba, S.H., LL.M. Sekelumit Renungan Mengenai Arah Kebijakan Liberalisasi Jasa Perbankan Indonesia... 48-52 Þ Tim Perbankan dan Enquiry Point Direktorat Hukum Resensi Buku : Hukum Sebagai Panglima... 53-54 Þ Hernowo Koentoadji, S.H., dan Yulita Kuntari, S.H. Komentar atas Putusan Pengadilan : Masalah Tanggung Jawab Penjamin (Avalist) Hutang BankTerhadap Debitur Wan-Prestasi... 55-59 Þ Suyud Margono, SH., MH. dan Arus Akbar Silondae, SH., LLM. Cakrawala Hukum : Seminar Nasional Mencari Solusi Pembiayaan Bagi Hasil Perbankan Syariah dan Sidang Ke 44 Pokja IV Electronic Commerce United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL)... 60-63 Þ Redaksi BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia Oktober - Desember 2004..... 64-65 Þ Tim Administrasi dan Informasi Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN

PERANAN BANK INDONESIA DALAM MENDORONG EKSPOR MELALUI PENGATURAN METODE PEMBAYARAN DAN METODE PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Oleh : Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL. M. I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dalam perdagangan internasional pertumbuhan ekspor dapat dipengaruhi oleh kelancaran pelaksanaan metode pembayaran perdagangan internasional yang dapat berupa Letter of Credit (L/C) dan non L/C yang terdiri dari Advance Payment, Collection, Open Account dan Consignment. Di Indonesia, metode pembayaran perdagangan internasional dimaksud dinyatakan dalam PP No. 1 Tahun 1982 dan PP ini mengamanatkan kepada Bank Indonesia agar mengeluarkan peraturan pelaksanaan atas metode pembayaran tersebut. Namun, hingga kini Bank Indonesia belum melaksanakannya. Selain itu, dalam perdagangan internasional terdapat juga metode pembiayaan perdagangan internasional yang juga turut mempengaruhi pertumbuhan ekspor. Semasa berlakunya UU No. 13 Tahun 1968, Bank Indonesia telah pernah mengatur penyediaan fasilitas pembiayaan impor dan ekspor kepada dunia usaha melalui bank. 1 Namun, Bank Indonesia pada dasarnya belum mengatur penyediaaan fasilitas pembiayaan perdagangan internasional yang dapat disediakan perbankan kepada importir dan eksportir. Mengingat dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 Bank Indonesia tidak boleh lagi menyediakan fasilitas pembiayaan perdagangan internasional, maka pemerintah mendirikan PT. Bank Ekspor Indonesia (Persero) pada bulan November 1999 untuk menyediakan fasilitas pembiayaan perdagangan internasional menggantikan fasilitas yang sama dari Bank Indonesia. Namun, PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) kurang berhasil dalam pelaksanaannya karena mengenakan bunga komersial 2 atas fasilitas pembiayaan tersebut. 1 Sebelum berlakunya Undang-undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia menyediakan fasilitas pembiayaan impor dan pembiayaan ekspor kepada importir dan eksportir melalui bank umum yang telah memperoleh izin melakukan kegiatan internasional. Namun, dengan berlakunya Undang-undang tersebut Bank Indonesia menghentikan penyediaan fasilitas pembiayaan impor dan pembiayaan ekspor dimaksud karena dianggap bertentangan dengan Undang-undang dimaksud. 2 PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) menyediakan fasilitas pembiayaan impor (refinancing) dan pembiayaan ekspor (refinancing) kepada dunia usaha melalui bank dengan tingkat bunga sebesar Prime Lending Rate PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) ditambah marjin Bank. Seharusnya, PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) dapat menetapkan tingkat bunga di bawah tingkat bunga pasar sehingga fasilitas pembiayaan impor dan ekspor yang disediakan menjadi lebih menarik. Untuk pelaksanaannya sebaiknya ada Undang-undang PT Bank Ekspor Indonesia (Persero) yang mengaturnya. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 1

Kemudian, dalam upaya memperlancar pelaksanaan metode pembayaran dan metode pembiayaan perdagangan internasional adalah suatu kebutuhan bisnis untuk melibatkan forum Arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin timbul berkenaan dengan pelaksanaan kedua metode. Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang selanjutnya akan ditelaah sebagai berikut: 1. Sejauhmana pentingnya Bank Indonesia mengatur metode pembayaran perdagangan internasional?, 2. Sejauhmana pentingnya Bank Indonesia mengatur metode pembiayaan perdagangan internasional?, 3. Apakah perlu Bank Indonesia mengatur pembentukan forum Arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan mengenai pelaksanaan metode pembayaran dan metode pembiayaan perdagangan internasional? II. METODE PEMBAYARAN DAN METODE PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL 2.1. Metode Pembayaran Perdagangan Internasional a. Letter of Credit Letter of Credit (L/C) 3 adalah janji membayar dari bank penerbit (issuing bank) kepada eksportir (beneficiary) senilai L/C sepanjang eksportir memenuhi persyaratan L/C. Persyaratan L/C adalah persyaratan berupa pemenuhan dokumendokumen yang dinyatakan dalam L/C baik secara fisik maupun secara isi dokumen. Pemikiran yang melatarbelakangi penggunaan L/C ialah terjaminnya pembayaran kepada eksportir dan terjaminnya pemenuhan dokumen untuk kepentingan importir sesuai dengan ketentuan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) dengan tetap memperhatikan hukum nasional. L/C melibatkan para pihak minimal importir, eksportir, bank penerbit dan bank koresponden. Namun, L/C adalah kontrak antara bank penerbit dan eksportir. Dalam pelaksanaan L/C para pihak hanya berurusan dengan dokumen, tidak dengan transaksi barang, jasa atau pelaksanaan lainnya. Dan, L/C merupakan kontrak yang independen terhadap kontrak terkait seperti kontrak jual beli. Transaksi L/C melibatkan minimal empat macam kontrak yang terdiri dari kontrak jual beli, kontrak penerbitan L/C, L/C, dan kontrak keagenan. Masing-masing kontrak secara bisnis terkait satu sama lain namun secara ketentuan terpisah satu sama lain. Prinsip pemisahan kontrak ini diperlukan untuk keperluan kelancaran pelaksanaan L/C itu sendiri. Pelaksanaan L/C tidak boleh dikaitkan dengan tiga kontrak lainnya karena apabila dikaitkan akan menghambat pelaksanaan L/C tersebut. Hakekat L/C adalah perwujudan 3 Lebih jauh lihat, Ramlan Ginting, Letter of Credit Tinjauan Aspek Hukum dan Bisnis, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta, 2002. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2

pembayaran atas dasar penyerahan dokumen yang sesuai dengan persyaratan L/C. Hakikat kontrak penjualan adalah realisasi jual beli secara aktual. Hakekat kontrak penerbitan L/C adalah perwujudan pemberian fasilitas kredit dari bank penerbit kepada applicant. Akhirnya, hakekat kontrak keagenan adalah perwujudan pelaksanaan instruksi bank penerbit oleh bank koresponden. Jika masing-masing kontrak dikaitkan satu sama lain maka dalam pelaksanaannya akan terjadi perbenturan kepentingan antara sesama kontrak. Perbenturan kepentingan dapat mengakibatkan terhambatnya atau gagalnya pelaksanaan L/C. Dalam pelaksanaannya L/C pada umumnya dibuat tunduk pada Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) 4 yang merupakan ketentuan L/C yang berlaku universal. Walaupun bukan merupakan produk hukum, UCP telah dianut oleh lebih kurang 160 negara termasuk Indonesia. Pemberlakuan UCP dilaksanakan secara sukarela yang didasarkan pada kesepakatan bank penerbit dan eksportir yang dinyatakan dalam L/C. Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/34/ ULN tanggal 17 Desember 1993 mengatur cara pemberlakuan UCP. Dikatakan, L/C yang diterbitkan oleh bank penerbit di Indonesia dapat tunduk atau tidak pada UCP 5. Namun, secara tersirat Bank Indonesia menghendaki agar UCP diberlakukan terhadap setiap L/C yang diterbitkan bank di Indonesia demi keseragaman pelaksanaan L/C secara universal. Tetapi, ketentuan mengenai metode pembayaran L/C secara komprehensif belum ada di Indonesia. Bank Indonesia dalam hal ini Direktorat Luar Negeri sedang menyusun ketentuan dimaksud. Khusus untuk transaksi jual beli domestik di Indonesia pembayarannya dapat menggunakan metode L/C Dalam Negeri. L/C Dalam Negeri dinamakan juga L/C Lokal atau L/C Domestik atau L/C Antar Pulau namun sebutan resminya adalah Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN) yang telah diatur terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia No.5/6/PBI/ 2003 tentang Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (PBI SKBDN). Bank Indonesia mengatur SKBDN dalam upaya mendorong ekspor juga. Ketentuan SKBDN yang menjadi materi aturan PBI SKBDN pada dasarnya diambil alih dari ketentuan UCP 500 yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Berbeda dengan UCP 500, PBI SKBDN merupakan produk hukum yang wajib diikuti perbankan dan dunia usaha dalam pelaksanaan SKBDN. Menurut PBI SKBDN, SKBDN digunakan untuk transaksi dalam negeri sehingga semua pihak dan perpindahan barang dilakukan di dalam negeri. Namun demikian, jika SKBDN diterbitkan atas dasar L/C yang diterima dari luar negeri 4 UCP yang berlaku saat ini adalah Uniform Customs and Practice for Documentary Credits, 1993 Revision, ICC Publicatioan No. 500, sering disingkat sebagai UCP 500. 5 Pengaturan yang bersifat pilihan yang demikian ini dibuat agar secara formal Bank Indonesia tidak memaksakan bahwa L/C harus tunduk pada UCP mengingat UCP bukan produk hukum. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3

atau berdasarkan transaksi non L/C dari luar negeri, maka dalam hal ini perpindahan barang dapat dilakukan dari dalam negeri ke luar negeri. Hal demikian ini diperkenankan karena tujuan utama pengaturan SKBDN adalah untuk turut mendorong ekspor, namun hal sebaliknya yakni mendorong pertumbuhan impor tidak boleh terjadi. Mekanisme dan prosedur pelaksanaan SKBDN pada dasarnya sama dengan yang berlaku atas L/C karena ketentuan PBI SKBDN pada dasarnya sesuai dengan ketentuan UCP 500. b. Non Letter of Credit Metode pembayaran non L/C terdiri dari Advance Payment, Collection, Open Account dan Consignment. b1. Advance Payment Advanced Payment (Pembayaran Dimuka) adalah pembayaran yang dilakukan oleh importir kepada eksportir sebelum barang dikapalkan. Kesepakatan cara pembayaran ini dicantumkan dalam kontak jual beli antara eksportir dan importir. Advance Payment ini dapat dilakukan melalui bank atau langsung kepada eksportir. Sementara, dokumen komersial pada umumnya dikirim langsung oleh eksportir kepada importir. Biasanya Advance Payment hanya dilakukan untuk transaksi yang nilainya tidak besar, atau jika importir sangat percaya kepada eksportir atau apabila importir sangat membutuhkan barang sedangkan eksportir lain tidak ada. Advance Payment belum memiliki ketentuan internasional. Pelaksanaannya didasarkan pada kebiasaan internasional. Untuk keperluan Indonesia, Bank Indonesia juga belum mengatur Advance Payment Dalam Negeri. Pelaksanaan Advance Payment, jika ada, didasarkan pada kebiasaan praktik perbankan Indonesia. b 2. Collection Collection (Inkaso) adalah pengiriman dan penagihan dokumen ekspor oleh eksportir kepada importir dengan menggunakan jasa bank untuk pelaksanaannya. Collection terdiri dari documentary collection yaitu pengiriman dokumen komersial dan wesel untuk ditagihkan kepada importir, dan clean (bill) collection yaitu pengiriman wesel untuk ditagihkan kepada importir. Dalam hal documentary collection, eksportir dapat meminta kepada bank agar dokumen diserahkan kepada impotir atas dasar Documents Against Payment (D/P) yaitu penyerahan dokumen komersial kepada importir setelah adanya pembayaran, atau Documents Against Acceptance (D/A) yaitu penyerahan dokumen komersial kepada importir setelah wesel berjangka diaksep importir. Kesepakatan menggunakan Collection dituangkan dalam kontrak jual beli antara eksportir dan importir. Metode Collection dapat berjalan lancar jika eksportir dan importir sudah saling percaya dan terdapat keyakinan bahwa pemerintah negara importir tidak akan melakukan kebijakan devisa ketat. Metode Collection telah memiliki ketentuan internasional yakni Uniform Rules for Collections, 1995 Revision, International Chamber of Commerce BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4

Publication No. 522 (URC). Sebagaimana halnya UCP, URC juga bukan merupakan produk hukum. URC bertujuan menciptakan keseragaman pelaksanaan Collection secara internasional. Sebagaimana UCP, pemberlakuan URC juga bersifat sukarela dalam arti didasarkan pada kesepakatan eksportir dan bank pengirim. Pemberlakuan URC dinyatakan dalam collection instruction dari eksportir kepada bank pengirim. Berbeda dengan UCP, Bank Indonesia belum mengatur cara pemberlakuan URC. Selain itu, berbeda dengan metode L/C, Bank Indonesia juga belum memprakarsai penyusunan ketentuan komprehensif mengenai metode Collection. Kemudian, tidak seperti SKBDN, Bank Indonesia juga belum mengatur metode Collection Dalam Negeri. Dalam praktik Collection di Indonesia ada bank yang menyatakan Collection yang dilakukannya tunduk pada URC namun ada juga bank yang melaksanakan Collection tidak tunduk pada URC tetapi berdasarkan kebiasaan praktik perbankan Indonesia. Hal demikian ini mengakibatkan pelaksanaan metode Collection Dalam Negeri tidak seragam dan juga tidak memiliki kepastian hukum seperti halnya metode SKBDN. b 3. Open Account Open Account (Perhitungan Kemudian), kebalikan dari Advanced Payment, adalah pengiriman dan penagihan dokumen keuangan oleh eksportir kepada importir dengan menggunakan jasa bank. Dalam Open Account eksportir dan importir sepakat bahwa penyelesaian pembayaran jual beli di antara keduanya akan diperhitungkan dalam pembukuan masingmasing atau importir akan melunasi pembayaran pada tanggal yang disepakati. Kesepakatan penggunaan Open Account dicantumkan dalam kontrak jual beli antara eksportir dan importir. Dokumen komersial dikirim langsung oleh eksportir kepada importir supaya dapat mengambil barang setelah tiba di pelabuhan tujuan di negara importir. Metode Open Account dapat digunakan jika eksportir percaya bahwa importir dapat dan mau melaksanakan pembayaran, eksportir percaya pemerintah negara importir tidak akan memberlakukan kebijakan devisa ketat, dan eksportir memiliki likuiditas yang cukup untuk memberikan kredit kepada importir. Metode Open Account belum memiliki ketentuan internasional. Pelaksanaan metode Open Account didasarkan pada kebiasaan internasional. Demikian juga khusus untuk kebutuhan di Indonesia Bank Indonesia belum mengatur metode Open Account Dalam Negeri. Pelaksanaannya juga didasarkan pada praktik perbankan Indonesia. b 4. Consignment Consignment (Konsinyasi) adalah pengiriman barang yang belum terjual ke luar negeri. Barang hanya dititipkan oleh eksportir kepada importir di luar negeri untuk dijual kepada pihak lainnya. Pembayaran harga barang oleh importir kepada eksportir dilakukan setelah barang terjual. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5

Untuk mengurangi risiko, eksportir dapat menggunakan jasa bank untuk pengiriman dokumen komersial dan penggunaan jasa bonded warehouse untuk tempat penitipan barang sampai terjual. Kepada bank pengirim dokumen komersial diminta agar bank korespondennya di luar negeri menyerahkan dokumen komersial kepada bonded warehouse dan meminta warehouse receipt dari bonded warehouse. Ketika importir berhasil menjual barang, importir menyerahkan pembayaran kepada bank koresponden untuk ditransfer kepada eksportir. Dan, bank koresponden menyerahkan kepada importir Delivery Instruction untuk mengambil barang dari bonded warehouse. Consignment belum memiliki ketentuan internasional, sehingga pelaksanaannya didasarkan pada kebiasaan internasional. Untuk keperluan dalam negeri Bank Indonesia juga belum mengaturnya sehingga pelaksanaannya juga berdasarkan praktik perbankan Indonesia. 2.2. Metode Pembiayaan Perdagangan Internasional Sebenarnya antara metode pembayaran dan metode pembiayaan perdagangan internasional sulit dipisahkan karena keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Metode pembiayaan perdagangan internasional pada dasarnya mencakup juga metode pembayaran L/C dan non L/ C. Hanya saja pada metode pembiayaan lebih difokuskan pada sumber dan mekanisme pembiayaannya bukan pada ketentuan-ketentuan pembayarannya. Sebagaimana halnya metode pembayaran, metode pembiayaan juga berperan mendorong ekspor. Perbankan internasional menyediakan fasilitas pembiayaan perdagangan internasional baik untuk transaksi impor maupun ekspor. Namun, fasilitas pembiayaan perdagangan internasional belum begitu berkembang di Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika, Ingggris, dan Singapura. Di Amerika, Inggris, dan Singapura dikenal model-model pembiayaan perdagangan internasional 6 yang disediakan perbankan seperti fasilitas overdraft, pinjaman, advance against collection, negotiation of bill, documentary acceptance credit, dan acceptance credit line. Fasilitas overdraft merupakan fasilitas pembiayaan bank berupa penarikan uang yang melebihi saldo giro eksportir yang ada pada bank. Di Indonesia fasilitas overdraft sudah digunakan sebelum pengiriman barang namun nilai dan jangka waktunya dibatasi. Fasilitas pinjaman merupakan pemberian kredit oleh bank kepada eksportir. Fasilitas ini sudah ada di Indonesia dan digunakan sebelum pengiriman barang sebagai modal kerja eksportir. 6 Jane Kingman-Brundage and Susan A. Schulz, The Fundamentals of Trade Finance: The Ins and Outs of Import-Export Financing, New York, John Wiley & Sons, 1986. Kemudian, BPP, Trade Finance Payments and Services, BPP Publising Limited, London, Desember 1991. Dan, Kantor Perwakilan Bank Indonesia Singapura, Lembaga dan Skim Pembiayaan Ekspor di Singapura, Juni 1996. Juga, OCBC Bank, Trade Finance, OCBC Bank Singapore, 2000 2003. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6

Fasilitas advance against collection merupakan pemberian pembiayaan bank dengan cara mengambil alih dokumen ekspor dari eksportir dan bank akan menerima penggantian pembayaran dari importir di luar negeri dengan mengirimkan dan menagihkan dokumen ekspor kepada importir. Bank yang mengambil alih mempunyai hak regres terhadap eksportir. Di Indonesia fasilitas advance against collection ini pada dasarnya belum berkembang. Fasilitas Collection masih dilakukan secara konvensional dalam arti bank melakukan pengiriman dan penagihan dokumen kepada importir di luar negeri dan bila hasilnya (hasil ekspor) telah diperoleh akan dibayarkan kepada eksportir. Fasilitas negotiation of bill merupakan fasilitas pembiayaan bank dengan cara mengambil alih wesel ekspor yang pembayarannya berdasarkan metode pembayaran Open Account atau Collection. Pengambilalihan dilakukan sebelum wesel ekspor ditagihkan pembayarannya ke luar negeri, sementara eksportir menerima pembayaran ketika pengambilalihan dilakukan. Indonesia mengenal fasilitas negotiation of bill namun pada dasarnya atas wesel ekspor yang pembayarannya berdasarkan metode L/C. Fasilitas documentary acceptance credit merupakan fasilitas pembiayaan bank dengan cara eksportir menerbitkan wesel ekspor berjangka dan meminta bank mengaksep dan mendiskontokannya pada discount market serta membayarkan hasilnya kepada eksportir. Fasilitas documentary acceptance credit ini dapat berdasarkan metode L/C dan metode non L/C. Di Indonesia fasilitas documentary acceptance credit ini sudah dikenal namun pelaksanaannya belum seperti di Amerika, Inggris, dan Singapura. Wesel ekspor berjangka yang diterbitkan atas dasar metode L/C dapat didiskontokan kepada bank. Namun karena di Indonesia masih sering tidak dibedakan antara fasilitas negosiasi (pengambilalihan) dan fasilitas diskonto atas wesel ekspor berjangka maka diskonto pada dasarnya dilakukan tanpa akseptasi atas wesel ekspor berjangka yang seharusnya dilakukan terlebih dahulu. Fasilitas acceptance credit line merupakan fasilitas pembiayaan metode Collection. Dalam hal ini eksportir meminta bank untuk melakukan Collection atas trade bill. Kemudian eksportir menarik acceptance bill atau sering juga disebut accomodation bill pada bank sebesar jumlah yang disepakati dari nilai trade bill. Bank mengaksep accommodation bill dan mendiskontokannya pada discount market dan hasilnya dibayarkan kepada eksportir. Bank akan memperoleh pembayaran dari importir atas dasar hasil pembayaran trade bill. Indonesia pada dasarnya belum mengenal fasilitas acceptance credit line ini. Selain fasilitas pembiayaan perbankan di atas terdapat metode pembiayaan perdagangan internasional lain yakni Countertrade, Factoring dan Forfaiting. Ketiga jenis metode pembiayaan perdagangan internasional ini juga melibatkan perbankan walau pada dasarnya ketiganya bukan merupakan produk perbankan. Pada Countertrade yang merupakan perdagangan imbal beli BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7

internasional antara eksportir dan importir yang berasal dari dua negara yang berbeda, pembayaran transaksi pertukaran barang (imbal beli) antara eksportir dan importir dilakukan dengan metode L/C atau non L/C yang nilainya didasarkan pada nilai barang yang saling dipertukarkan. Dan, transaksi Countertrade ini dapat tanpa diikuti dengan aliran devisa namun dapat juga diikuti dengan aliran devisa sebagaimana halnya pada perdagangan internasional yang normal. Sementara, pada Factoring yang merupakan transaksi pembelian piutang dagang eksportir berjangka pendek, pembelian piutang dagang pada umumnya dilakukan oleh factoring company namun dapat juga pembeliannya dilakukan bank. Transaksi Factoring ini didasarkan pada jual beli yang pembayarannya disepakati dengan metode non L/C. Kemudian, pada Forfaiting yang merupakan transaksi pembelian piutang ekspor berjangka menengah dan panjang, bank akan dilibatkan untuk membiayai transaksi jual beli yang dilakukan eksportir dan importir dengan membeli tagihan ekspor. Selain itu, bank juga akan diminta untuk menjamin pembayaran promissory note yang diterbitkan importir atau mengaksep wesel ekspor berjangka yang diterbitkan eksportir. Transaksi jual beli dapat dilakukan dengan metode L/C atau metode non L/C. Pengaturan produk pembiayaan perdagangan internasional itu pada dasarnya belum dilakukan oleh Bank Indonesia. Ketiadaan pengaturan ini berdampak pada tingkat pengembangan produk pembiayaan perdagangan internasional di Indonesia yang berdampak pula pada pertumbuhan ekspor nasional. III. PENGATURAN BANK INDONESIA ATAS METODE PEMBAYARAN DAN METODE PEMBIAYAAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL 3.1. Metode Pembayaran Perdagangan Internasional a. Dasar Hukum Pengaturan metode pembayaran perdagangan internasional sebenarnya telah memiliki dasar hukum yaitu Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982 Tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan Lalu Lintas Devisa (PP No. 1 Tahun 1982). Namun, PP No. 1 Tahun 1982 tidak memuat aturan rinci mengenai metode pembayaran perdagangan internasional itu. PP No. 1 Tahun 1982 hanya menyatakan bahwa metode pembayaran perdagangan internasional dilakukan dengan tunai atau kredit (Pasal 3 ayat (1)). Kemudian, dalam Penjelasan PP No. 1 Tahun 1982 dinyatakan bahwa metode pembayaran perdagangan internasional dapat dilakukan dengan : 1. Advance Payment, 2. Letter of Credit, 3. Collection dengan kondisi Documents Against Payment dan Documents Against Acceptance, 4. Open Account, 5. Consignment, dan 6. Metode pembayaran lain yang lazim dalam perdagangan internasional sesuai kesepakatan antara eksportir dan importir. Selanjutnya, PP No. 1 Tahun 1982 mengamanatkan agar Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan Gubernur Bank Indonesia bersamasama atau masing-masing dalam bidangnya mengeluarkan peraturan BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8

pelaksanaan atas metode pembayaran perdagangan internasional, namun hingga saat ini tindak lanjut amanat PP No. 1 Tahun 1982 belum terlaksana sebagaimana seharusnya. Bank Indonesia selama ini beranggapan bahwa pelaksanaan metode pembayaran perdagangan internasional cukup didasarkan pada ketentuan internasional atau kebiasaan dan praktik internasional. Metode pembayaran L/C misalnya agar dilaksanakan sesuai dengan UCP dan demikian juga dengan metode Collection agar dilaksanakan sesuai dengan URC. Namun, UCP dan URC bukanlah produk hukum sehingga pemberlakuan UCP dan URC tidak mengikat dalam arti para pihak dapat menggunakannya dan juga dapat tidak menggunakannya. Kemudian, bila terdapat kasus hukum mengenai pelaksanaan metode pembayaran perdagangan internasional maka Indonesia belum memiliki landasan hukum yang dapat digunakan para penegak hukum untuk menyelesaikannya. Dalam praktik selama ini para penegak hukum sering meminta Bank Indonesia agar dapat menyediakan saksi ahli untuk membantu penyelesaian kasus hukum mengenai metode pembayaran perdagangan internasional. Sekiranya telah ada peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia mengenai metode pembayaran perdagangan internasional maka kehadiran saksi ahli paling tidak dapat dikurangi frekuensinya dan hal ini berarti mengurangi beban tugas Bank Indonesia. Bayangkan kalau sebagian besar pengadilan negeri selalu meminta bantuan saksi ahli dari Bank Indonesia betapa sulitnya Bank Indonesia memenuhinya. Belum lagi memenuhi permintaan pihak kepolisian dan kejaksaan. b. Pengaturan L/C Pasar sebenarnya mengharapkan agar Bank Indonesia mengatur metode pembayaran perdagangan internasional. Dan, khusus untuk metode pembayaran L/ C Bank Indonesia dalam hal ini Direktorat Luar Negeri 7 sedang memprakarsai pembuatan Peraturan Bank Indonesia tentang Letter of Credit (PBI L/C). Perlunya pembuatan PBI L/C ini telah mendapatkan dukungan terutama dari kalangan perbankan, KADIN, Depperindag, Depkeh dan HAM, dan Mahkamah Agung. Pembahasan PBI L/C juga mengikutsertakan wakil dari lembaga atau instansi tersebut. PBI L/C ini akan memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan L/C internasional di Indonesia. Kepastian hukum diperlukan oleh bank dan dunia usaha dalam pelaksanaan L/C sehari-hari. Secara khusus, PBI L/C ini akan sangat diperlukan dalam menyelesaikan kasus hukum mengenai L/C terutama di pengadilan. Dengan adanya ketentuan hukum mengenai pelaksanaan transaksi L/C diharapkan penggunaan L/C akan semakin lancar dan meningkat sehingga 7 Lihat, Direktorat Luar Negeri - Bank Indonesia, Kajian Pengaturan Letter of Credit di Indonesia, Jakarta, Desember 2003. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9

berdampak positif bagi pertumbuhan perdagangan internasional. Ketentuan PBI L/C dibuat sejalan dengan ketentuan UCP 500 dan hukum L/C internasional sehingga materi PBI L/C berskala internasional. PBI L/C tidak akan menghambat praktik L/C yang selama ini telah dilakukan oleh perbankan dan dunia usaha. PBI L/C justru memayungi secara hukum praktik L/C. PBI L/C mengatur prinsip-prinsip L/C, bank pelaksana L/C, biaya pelaksanaan L/C, dokumen L/C, cara pembayaran L/C, penggantian pembayaran (reimbursement), penipuan dalam transaksi L/C, ganti rugi, pilihan hukum dan pilihan forum. UCP 500 yang berlaku universal sebagai acuan dalam pelaksanaan L/C sehari-hari ternyata dianggap masih belum cukup untuk melindungi kepentingan bank dan dunia usaha dalam melaksanakan transaksi L/C terutama terkait dengan aspek hukum. Bagaimanapun juga UCP 500 tetaplah bukan produk hukum sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menyelesaikan kasus hukum mengenai L/C. Untuk mengatasi kekurangan ini diperlukan pengaturan L/C minimal berupa PBI L/C. Kiranya suatu kekeliruan bila selama ini pelaksanaan L/ C dianggap aman dengan hanya mendasarkannya pada UCP 500. Di Amerika, sebagai contoh, L/C diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu Article 5 Uniform Commercial Code. c. Pengaturan Non L/C Terhadap metode pembayaran non L/C Bank Indonesia belum memprakarsai pembuatan PBI non L/C. Bila perbankan, KADIN, Pemerintah dan Mahkamah Agung telah mengakui bahwa pelaksanaan L/C memerlukan payung hukum nasional minimal setingkat PBI L/ C, maka sudah dapat dipastikan bahwa pelaksanaan non L/C juga membutuhkan ketentuan hukum nasional yang minimal juga berupa PBI non L/C. Alasan utama adalah bahwa pelaksanaan metode non L/ C belum memiliki ketentuan internasional, kecuali untuk metode Collection, sehingga pengaturannya minimal dalam bentuk PBI sangat diperlukan. Kecenderungan penggunaan metode non L/C juga relatif meningkat dalam perdagangan internasional terutama di negara-negara maju mengingat biayanya relatif lebih kecil dan prosesnya lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan metode L/C. Penggunaan metode non L/ C pada umumnya dilakukan dunia usaha dari perusahaan yang sama atau satu grup yang melakukan bisnis di negara yang berbeda. Para eksportir yang pembayaran hasil ekspornya didasarkan pada metode non L/C ini cenderung mengharapkan mendapatkan perlakuan yang sama dengan metode L/C pada saat menjual tagihan ekspornya kepada bank. Para eksportir mengharapkan kepastian pembayaran hasil ekspor walau didasarkan pada metode non L/C. Perlakuan pembayaran yang sama ini telah dapat diperoleh di negara lain seperti Amerika, Inggris dan Singapura. Di ketiga negara tersebut eksportir yang memiliki tagihan ekspor yang pembayarannya berdasarkan metode Collection atau Open Account dapat memperoleh pembayaran segera dari bank sebagaimana umumnya dilakukan BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10

terhadap pembayaran tagihan ekspor yang pembayarannya berdasarkan metode L/C. 8 Dalam pelaksanaan pembayaran berdasarkan metode non L/C sudah tentu bank memerlukan perlindungan agar terhindar dari risiko non payment oleh importir di luar negeri. Berkenaan dengan itu, maka bank akan melakukan pembayaran (pengambilalihan) tagihan ekspor dengan syarat tagihan ekspor dimiliki eksportir yang bonafid atau tagihan ekspor dijamin dengan Jaminan Bank atau Jaminan Export Credit Agency. 9 Pembayaran tagihan ekspor yang demikian ini belum lazim dalam praktik perbankan Indonesia. Untuk pelaksanaannya Bank Indonesia perlu mengatur dalam PBI non L/C mekanisme dan prosedur pembayaran, institusi pelaksana, institusi penjamin, biaya, ganti rugi, penipuan, pilihan hukum dan pilihan forum. Kehadiran PBI non L/C ini akan sangat membantu dan menambah kepercayaan dunia usaha Indonesia dalam melakukan perdagangan internasional yang pembayarannya menggunakan metode non L/C. Kepercayaan ini tentunya sangat diharapkan dalam upaya mendorong pertumbuhan ekspor nasional. Selain itu, sama halnya dengan PBI L/C, PBI non L/C ini juga akan menjadi ketentuan hukum yang dapat digunakan lembaga peradilan untuk menyelesaikan kasus hukum mengenai metode pembayaran non L/C. d. Peranan Banking Arrangement dan Memorandum of Understanding Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekspor melalui kerjasama antar bank sentral Bank Indonesia telah menendatangani sejumlah Banking Arrangement (BA) atau Memorandum of Understanding (MOU) dengan beberapa bank sentral. BA atau MOU bertujuan untuk turut membantu kelancaran pelaksanaan metode pembayaran perdagangan internasional yang dilakukan oleh perbankan di masing-masing negara bank sentral. Bila ada kemacetan dalam pelaksanaan metode L/C atau metode non L/C maka masing-masing bank sentral akan berupaya mengatasi kemacetan dengan melakukan pendekatan kepada bank terkait di negaranya. Namun, bila pendekatan itu kurang berhasil atau gagal sama sekali maka bank sentral tidak bertanggung jawab secara finansial. Bank sentral hanya bertanggung jawab secara moral. Bank Indonesia telah menandatangani BA atau MOU antara lain dengan bank sentral Irak, Iran, Rumania, dan Rusia. 10 3.2. Metode Pembiayaan Perdagangan Internasional a. Ketiadaan Ketentuan Internasional Pembiayaan perdagangan internasional belum diatur secara internasional 8 Jane Kingman-Brundage and Susan A. Schuld, Loc.Cit. Alasdair Watson, The Finance of International Trade, The Institute of Bankers, London, 1976. BPP, Loc.Cit. Goh Tianwah, Handbook on Trade Financing, Rank Books, Singapore, 1987. 9 BPP, Op.Cit., hal. 187, 294. 10 Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia, 2004. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11

sebagaimana halnya terhadap metode pembayaran L/C dan Collection. Oleh karena itu produk-produk pembiayaan perdagangan internasional pun bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Produk-produk metode pembiayaan perdagangan internasional di Amerika, Inggris, Singapura, dan Malaysia sebagai contoh jauh lebih berkembang dari yang ada di Indonesia. b. Perlunya Pengaturan di Indonesia Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekspor nasional maka untuk kondisi saat ini nampaknya Bank Indonesia perlu mengatur produk-produk metode pembiayaan perdagangan internasional dalam praktik perbankan Indonesia. Untuk itu, Bank Indonesia mengatur dalam PBI mengenai mekanisme dan prosedur pembiayaan, instrumen pembayaran, institusi pelaksana, institusi penjamin, biaya, penetapan harga, ganti rugi, penipuan, pilihan hukum, dan pilihan forum. Pengaturan produk-produk sebagaimana telah dikemukakan dalam Angka II. 2.2. dapat dilakukan secara bertahap dan dimulai dengan pengaturan fasilitas diskonto atau rediskonto atas bankers acceptance baik yang pembayarannya didasarkan pada metode L/C maupun Collection atau Open Account. Bankers acceptance adalah wesel berjangka yang diaksep oleh bank pengaksep dan membayarnya pada saat jatuh tempo. Bankers acceptance adalah instrumen pembayaran. Terkait dengan pembiayaan perdagangan internasional D.P. Gupta sebagai penasehat senior di UNCTAD mengatakan: Central banks have a dominant role to play in export financing. Yet in many developing countries their export financing functions have been passive. Many of them do not have a special scheme for developing and promoting export. Some central banks do not take an active part in assisting the export sector on the grounds that such a role is not strictly a legitimate central banking function. In a developing economy, however, a central bank should formulate its policies and gear its operations so as to find solutions to the country s overall economic problems. 11 Di Amerika, bankers acceptance sudah lama berkembang. Bankers acceptance adalah akseptasi wesel berjangka yang dilakukan bank pengaksep dan pembayarannya dilaksanakan bank pengaksep pada saat jatuh tempo. Pembayaran bankers acceptance telah terjamin pada saat jatuh tempo. Bank di Amerika dapat mengaksep wesel berjangka menjadi bankers acceptance dan bahkan dapat juga mendiskonto bankers acceptance-nya sendiri. Dalam hal ini, Comptroller of the Currency di Amerika 12 mengatakan: by accepting the draft, the bank makes an unconditional promise to pay the holder of the draft a stated amount at a specified date. 11 D.P. Gupta (The Senior Advisor, International Trade Centre), dalam International Trade Centre UNCTAD/ GATT, The Financing of Exports from Developing Countries, ITC, Geneva, 1984, hal. 16. 12 Comptroller of the Currency-Administrator of National Bank, Bankers Acceptance, September 1999, hal.1 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12

Importir Amerika dapat memohon kepada banknya untuk mendapatkan acceptance financing bila tidak dapat memperoleh pembiayaan dari eksportir luar negeri. Untuk memperoleh acceptance financing importir dan bank menyetujui acceptance agreement yang intinya adalah bahwa bank setuju mengaksep wesel berjangka untuk keperluan importir dan importir setuju membayar wesel berjangka yang diaksep bank. Atas dasar acceptance agreement importir menerbitkan wesel berjangka kepada bank dan bank mengaksepnya sehingga menjadi bankers acceptance dan mendiskontonya. Hasil diskonto digunakan oleh importir untuk membayar harga barang kepada eksportir. 13 Bank sendiri dapat menahan bankers acceptance dalam portofolionya atau bank dapat merediskontonya pada pasar sekunder. Sebelum atau pada saat bankers acceptance jatuh tempo importir membayar kepada bank pengaksep sebesar nilai nominal bankers acceptance. Bila bank merediskonto bankers acceptance pada pasar sekunder, maka bank pengaksep membayar kepada holder sebesar nilai nominal bankers acceptance pada saat jatuh tempo. 14 Selain importir, eksportir Amerika juga dapat memperoleh acceptance financing dari bank atas penjualan barangnya secara kredit kepada importir yang memiliki reputasi internasional. Setelah menyetujui acceptance agreement eksportir menerbitkan wesel berjangka atas banknya. Bank mengaksep wesel berjangka sehingga menjadi bankers acceptance dan mendiskontonya. 15 Dalam hal ini juga bank dapat menahan bankers acceptance hingga jatuh tempo atau merediskontonya pada pasar sekunder. Sebelum atau pada saat jatuh tempo eksportir membayar kepada bank pengaksep sebesar nilai nominal bankers acceptance. Bila bank pengaksep merediskonto bankers acceptance pada pasar sekunder maka bank pengaksep akan membayar kepada holder sebesar nilai nominal bankers acceptance pada saat jatuh tempo. 16 Sesuai dengan Federal Reserve Act 1913, as amended, bankers acceptance juga dapat didiskontokan pada Federal Reserve jika memenuhi kriteria: 1. Banker s acceptance harus membiayai transaksi impor atau ekspor, pengapalan barang dalam negeri dan transaksi devisa. 2. Banker s acceptance memiliki jangka waktu tidak melebihi enam bulan. 3. Total nilai wesel yang diaksep bank tidak boleh melampaui sepuluh persen dari jumlah modal bank ditambah surplus. 13 Robert K. LaRoche, Bankers Acceptances, Federal Reserve Bank of Richmond Economic Quarterly, Volume 1993, hal. 75-6. Tulisan ini dipublikasikan kembali oleh Federal Reserve Bank of Richmond, Virginia, 1998. Ia mengatakan: A bankers acceptance, or BA, is a time draft drawn on and accepted by a bank 14 Ibid, hal. 76. 15 Ibid. 16 Ibid. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 13

Ketentuan diskonto bankers acceptance di Amerika bertujuan memperbaiki likuiditas pasar banker s acceptance sehingga mendorong pertumbuhan perdagangan internasionalnya. Pada awalnya selama bertahun-tahun Federal Reserve Bank membeli banker s acceptance di pasar (open market) dengan tingkat bunga di bawah tingkat bunga pasar. 17 Federal Reserve Bank saat itu tidak mendiskonto bankers acceptance yang ditawarkan bank pengaksep sebagaimana diharapkan Congress Amerika. Pada kurun waktu 1925 hingga 1931 bankers acceptance membiayai impor dan ekspor Amerika rata-rata sepertiga dari total impor dan ekspor. Bahkan pada tahun 1931 bankers acceptance membiayai perdagangan internasional Amerika hampir setengah dari total nilai perdagangan internasionalnya. 18 Pada tahun 1932 dukungan Federal Reserve Bank terhadap pasar bankers acceptance menurun tajam. Pada kurun waktu pertengahan 1943 hingga akhir 1946 peranan Federal Reserve Bank di pasar bankers acceptance sangat berkurang. Kemudian, mulai pada tahun 1955 peranan Federal Reserve Bank dalam pasar bankers acceptance kembali meningkat ketika Federal Open Market Committee memberi kewenangan kepada Federal Reserve Bank of New York untuk melakukan repurchace agreement atas bankers acceptance dan melakukan jual beli bankers acceptance sesuai dengan tingkat bunga pasar sebagai upaya melaksanakan keputusan Committee di bidang kebijakan moneter. 19 Saat itu bankers acceptance digunakan sebagai instrumen moneter juga. Pada tahun 1970- an Federal Reserve Bank menetapkan bahwa pasar bankers acceptance telah matang dan telah dapat berdiri sendiri. Federal Reserve Bank pun pelan-pelan menarik dukungannya terhadap pasar bankers acceptance dan sejak tahun 1984 telah berhenti melakukan jual beli bankers acceptance untuk kepentingannya sendiri. Namun, bankers acceptance dapat digunakan sebagai kolateral untuk mendapatkan fasilitas tertentu dari Federal Reserve Bank. 20 Banker s acceptance yang diciptakan bank-bank diatur oleh Federal Reserve System. Sama dengan Amerika, di Inggris bankbank juga dapat melakukan akseptasi atas wesel berjangka menjadi bankers acceptance. Bankers acceptance merupakan wesel berjangka yang dijamin pembayarannya oleh bank pengaksep pada saat jatuh tempo. 21 Dikatakan: bankers acceptance dapat dijual dengan diskonto ke discount market yang pembeli dan penjualnya adalah bank, dunia usaha dan perorangan. Bank pengaksep dapat juga bertindak sekaligus sebagai bank 17 Ibid, hal. 80. 18 Ibid. 19 Ibid. 20 Ibid. 21 Bandingkan, Robert K. LaRoche, Ibid., hal. 75. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 14

pendiskonto. Bila bank ini memerlukan likuiditas maka bankers acceptance dapat didiskonto ke discount market. 22 Namun, bankers acceptance juga dapat dijual secara diskonto ke Bank of England dengan tingkat diskonto yang lebih menarik dibanding dengan tingkat diskonto yang diberikan discount market. Tetapi, tidak semua bankers acceptance dapat didiskontokan ke Bank of England. Bank of England secara periodik menentukan bank-bank yang bankers acceptance-nya dapat didiskontokan ke Bank of England. Per 15 Desember 2003 bank yang bankers acceptance-nya dapat didiskontokan ke Bank of England berjumlah 51 bank yang antara lain adalah ABN AMRO Bank NV, BNP Paribas, Dresdner Bank AG, Deutsche Bank AG, HSBC Bank plc, Lloyds TSB Bank plc dan Royal Bank of Canada yang ada di Inggris. Bank of England membeli bankers acceptance dalam rangka money market operation. Selain membatasi jumlah bank yang eligible Bank of England juga membatasi nilai bankers acceptance per bank. 23 Selain fasilitas diskonto, Bank of England juga menyediakan fasilitas rediskonto kepada bank-bank yang eligible bila bank-bank itu disamping mengaksep juga mendiskonto wesel berjangka. 24 Bankers acceptance dapat berupa wesel berjangka yang diterbitkan importir atau eksportir. Importir menerbitkan wesel berjangka atas kemungkinan penerimaan hasil penjualan barang impor dan diaksep oleh bank pengaksep menjadi bankers acceptance. Sementara, eksportir menerbitkan wesel berjangka atas hasil penjualan barang ekspor dan kemudian diaksep oleh bank pengaksep menjadi bankers acceptance. 25 Sama dengan Amerika dan Inggris, Malaysia juga memiliki pasar uang untuk bankers acceptance. Bankers acceptance digunakan untuk membiayai transaksi impor dan ekspor serta perdagangan dalam negeri Malaysia. Banker s Acceptance juga dapat didiskonto atau dirediskonto pada pasar sekunder dengan suku bunga yang menarik. Diskonto dapat dilakukan atas transaksi impor dan ekspor baik yang pembayarannya menggunakan metode L/ C maupun metode non L/C. Banker s acceptance diatur oleh Bank Negara Malaysia. 26 Untuk transaksi impor, importir Malaysia dapat memperoleh acceptance financing berdasarkan acceptance agreement yang disepakati terlebih dahulu antara importir dan banknya. Dalam acceptance 22 Fiona Collinson, Michael Giddings and Malcolm Sullivan, Financial Products: A Survival Guide, Euromoney Publications PLC, London, 1996, hal. 51. 23 Bank of England, Banks Whose Bankers Acceptance are Eligible for Discount at the Bank of England, 15 December 2003. 24 Fiona, Michael Giddings, Malcolm Sullivan, Loc.Cit. 25 Ibid. 26 Abdul Latiff Abdul Rahim, Guide to Bankers Acceptance and Export Credit Refinancing, Institute of Bankers Malaysia, Pelanduk Publications, Malaysia, Oktober 1990, hal. 2 14. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 15

agreement itu ditentukan credit line untuk importir. Sebagai syarat lainnya maka importir wajib menerima wesel tunai dari eksportir luar negeri. Setelah isu acceptance agreement dan wesel tunai selesai maka importir menerbitkan wesel berjangka kepada bank untuk diaksep menjadi bankers acceptance dan mendiskontonya atau meminta bank lain mendiskontonya. Hasil diskonto atas bankers acceptance digunakan untuk membayar wesel tunai yang diterbitkan eksportir luar negeri. Ketika jatuh tempo bankers acceptance importir membayar kepada bank pengaksep sebesar nilai nominal bankers acceptance. 27 Kemudian untuk ekspor, eksportir Malaysia juga dapat memperoleh fasilitas bankers acceptance. Dasar pemberiannya juga adalah acceptance agreement antara eksportir dan banknya. Setelah acceptance agreement disepakati maka eksportir menerbitkan wesel berjangka (export bill) yang tertariknya adalah importir di luar negeri. Export bill ini diserahkan kepada bank untuk ditagihkan pada waktunya. Kemudian, eksportir menerbitkan wesel berjangka ( accommodation bill) kepada bank untuk diaksep menjadi bankers acceptance dan mendiskontonya atau meminta bank lain mendiskontonya. Hasil diskonto atas bankers acceptance diberikan kepada eksportir. Ketika export bill jatuh tempo bank pengaksep menerima pembayaran dari importir sebagai pengganti dana bank pengaksep yang telah diberikan kepada eksportir. 28 Di Indonesia, sebelum berlakunya UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia menyediakan fasilitas rediskonto kepada semua bank devisa yang mendiskonto wesel ekspor berjangka yang diterbitkan eksportir. 29 Pada saat itu, semua bank devisa yang telah mendiskonto wesel ekspor berjangka dapat merediskonto tagihan ekspor tersebut dengan menerbitkan wesel bank (bank s draft) tanpa membatasi limit per masing-masing bank. Tujuan fasilitas rediskonto Bank Indonesia saat itu adalah untuk mendorong pertumbuhan ekspor dan sekaligus memupuk cadangan devisa. Menurut data Direktorat Luar Negeri Bank Indonesia selama tahun 1990 sampai dengan Mei 1999 melalui fasilitas rediskonto Bank Indonesia berhasil mengumpulkan devisa hasil ekspor sebesar USD 23,2 miliar. Namun, dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 penyediaan fasilitas rediskonto dihentikan oleh Bank Indonesia karena dianggap bertentangan dengan undang-undang tersebut. Sebenarnya dalam upaya Bank Indonesia mendorong pertumbuhan ekspor maka fasilitas diskonto dan rediskonto atas bankers acceptance seperti yang terdapat di Amerika, Inggris, dan Malaysia dapat diterapkan di Indonesia dengan modifikasi. Bank Indonesia dapat menentukan bank pengaksep yang eligible untuk mengaksep wesel dalam hal ini wesel ekspor 27 Ibid, hal. 9-10. 28 Ibid, hal. 10. 29 Lihat, Direktorat Luar Negeri - Bank Indonesia, Kajian Kemungkinan Penerapan Skim Rediskonto Wesel Ekspor, Jakarta, Desember 2003, hal. 5. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 16