Merawat Hutan menjaga Kehidupan

dokumen-dokumen yang mirip
RENCANA STRATEGIS

KERANGKA ACUAN PELAKSANAAN EVALUASI AKHIR PROGRAM MITRA TFCA- SUMATERA PADA SIKLUS HIBAH 1

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERANGKA KERJA (SCOPE OF WORK) DAN UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

UNDANGAN PENYAMPAIAN PROPOSAL PROGRAM KONSERVASI SPESIES KARISMATIK SUMATRA

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

Gajah Liar Ini Mati Meski Sudah Diobati

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

I. PENDAHULUAN. dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut : a) Hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

IV APLIKASI PERMASALAHAN

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Disampaikan Pada Acara :

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

SMP NEGERI 3 MENGGALA

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

VISI ACEH YANG BERMARTABAT, SEJAHTERA, BERKEADILAN, DAN MANDIRI BERLANDASKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN ACEH SEBAGAI WUJUD MoU HELSINKI MISI

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

ASSALAMU ALAIKUM WR. WB. SELAMAT PAGI DAN SALAM SEJAHTERA UNTUK KITA SEKALIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pariwisata merupakan salah satu sumber devisa negara selain dari sektor

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB. I. PENDAHULUAN A.

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu Negara yang memiliki sumberdaya alam

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

UNDANGAN UNTUK MENYAMPAIKAN PROPOSAL HIBAH KHUSUS PROGRAM FASILITASI MITRA TFCA- SUMATERA

DOKUMEN POTENSI DESA TELUK BINJAI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

TINJAUAN PUSTAKA. di Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan kekayaan keanekaragaman

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan paru-paru dunia karena hutan dapat memproduksi oksigen

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

I. PENDAHULUAN. Pariwisata secara luas adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk

Judul. Rehablitasi Lahan Dan Hutan Melalui Pengembangan Hkm Untuk Peningkatan Daya Dukung DAS Moyo Kabupaten Sumbawa Lembaga Olah Hidup (Loh)

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

Merawat Hutan menjaga Kehidupan Pembelajaran dari Mitra Institut Green Aceh (IGA) Yayasan Leuser Internasional (YLI) PETRA Komunitas Konservasi Indonesia (KKI WARSI) JIKALAHARI TFCA-SUMATERA ADMINISTERED BY KEHATI - THE INDONESIAN BIODIVERSITY FOUNDATION 2012

tentang tfca-sumatera Photo oleh Adi Usman Musa

tentang tfca-sumatera TENTANG TFCA-SUMATERA TFCA-Sumatera adalah program pengalihan utang untuk lingkungan (Debt for Nature Swap-DNS) antara Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia dengan dua mitra LSM yaitu Conservation International dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Program ini menyediakan pendanaan hibah bagi LSM lokal dan Perguruan Tinggi di Indonesia yang bekerja pada isu-isu konservasi dan restorasi hutan Sumatera di tingkat lansekap. Total komitmen pendanaan untuk 8 tahun program (2009-2018) adalah US $ 30 juta Mitra yang dapat menerima dana hibah TFCA-Sumatera adalah lembaga-lembaga lokal berupa Lembaga Swadaya Masyarakat, Kelompok-kelompok Masyarakat, dan Universitas yang berfokus pada upaya melestarikan dan merestorasi hutan Sumatera. Kegiatan TFCA di Sumatera diarahkan pada kawasan-kawasan prioritas yang dinilai penting dan signifikan. Program TFCA- Sumatera berfokus pada 13 bentang alam yang kaya akan keanekaragaman hayati, yang terdiri dari ekosistem penting baik di dalam maupun di luar kawasan lindung, koridor dan ketersambungan antar habitat, serta kawasan ekosistem pertanian yang dikelola oleh komunitas lokal di seluruh Sumatera. Bentang alam yang menjadi prioritas adalah: 1) Kerumutan Semenanjung Kampar -Senepis; 2) Hutan Batang Toru dan TN Batang Gadis; 3) Ekosistem Kerinci Seblat; 4) Ekosistem Leuser dan TN Gunung Leuser; 5) Kawasan Hutan Bukit Barisan Selatan; 6) Sembilang- Berbak; 7) TN Siberut dan Kepulauan Mentawai; 8) Ekosistem Tesso Nilo; 9) TN Bukit Tiga Puluh; 10) TN Way Kambas; 11) DAS Toba Barat; 12) Hutan dataran rendah Angkola; 13) Hutan warisan Ulu Masen/Seulawah. Oversight Committee (OC) merupakan komite yang mengawasi dan mengambil keputusan dalam pelaksanaan Program TFCA- Sumatera. OC TFCA-Sumatera beranggotakan 7 anggota lembaga, dimana 4 lembaga yang terlibat dalam perjanjian konservasi hutan merupakan anggota tetap (permanent members) dan 3 lainnya merupakan lembaga yang ditunjuk (designated members). Lembaga Oversight Committee terdiri dari: Anggota tetap: 1. Kementerian Kehutanan mewakili Pemerintah Indonesia; 2. USAID mewakili Pemerintah Amerika Serikat; 3. Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI); 4. Conservation International (CI) Anggota yang ditunjuk: 1. Transparency International-Indonesia (TI-I); 2. Universitas Syiah Kuala; 3. Indonesia Business Link.

tentang tfca-sumatera Photo oleh Ali Sofiwan

tentang tfca-sumatera KATA PENGANTAR Program TFCA-Sumatera adalah bentuk konkrit implementasi perjanjian pengalihan utang untuk lingkungan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat antara Indonesia dan Amerika Serikat yang ditujukan untuk menyediakan dukungan bagi program program pelestarian hutan di Sumatera. Elemen-eleman dalam masyarakat yang direpresentasikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perguruan Tinggi didorong untuk melakukan aksi yang nyata di tingkat bentang alam untuk mengembalikan daya dukung hutan terhadap kehidupan di Sumatera yang sudah terlanjur rusak akibat tekanan pembalakan liar, perambahan, konversi lahan maupun akibat berbagai kebijakan yang tidak pro lingkungan. Buku ini menggambarkan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mitra untuk merestorasi kawasan dan menyelamatkan berbagai keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya dengan tetap memperhatikan unsur manusia yang memainkan peran utama dalam setiap kegiatan konservasi. Konservasi sendiri seringkali dibenturkan dengan kegiatan pembangunan, dimana konotasi kata konservasi lebih cenderung dianggap sebagai perlindungan semata yang tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk menikmati dan memanfaatkan alam yang merupakan karunia dari Tuhan. Konservasi dianggap menghambat upaya pembangunan. Padahal, menurut UU Kehutanan 41/1999, didalam makna konservasi telah tercakup tiga aspek, yaitu aspek perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan. Dalam menjalankan programnya, mitra TFCA-Sumatera juga seringkali mendpat benturan serupa. Kata konservasi sering membuat alergi masyarakat yang kuatir mereka tidak akan mendapat akses untuk memanfaatkan lingkungan. Namun berkat pendekatan-pendekatan yang baik, para mitra TFCA-Sumatera mengadirkan kegiatan perlindungan, pelestarian dan restorasi yang sejalan dengan pemanfaatan sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat. Menanamkan pengertian dan pentingnya konservasi alam bukanlah pekerjaan yang mudah. Dalam buku ini disajikan perjalanan mitra TFCA-Sumatera bekerja dalam konservasi bersama masyarakat dan stakeholder terkait. Mereka adalah Institut Green Aceh, Konsorsium Sahabat (Petra), Yayasan Leuser Internasional, Jikalahari dan KKI-Warsi. Para mitra ini merupakan mitra dari siklus hibah pertama yang menjalin komitmen untuk menjalankan program dalam durasi sampai dengan 3 tahun terhitung sejak 2011. Buku ini diharapkan dapat menjadi pengantar dan sarana penyebaran informasi bagi publik untuk lebih mengenal program-program yang dilakukan oleh mitra yang mendapat dukungan dari TFCA-Sumatera. Dengan demikian masyarakat diharapkan juga dapat berkontribusi untuk ikut bersamasama berkontribusi menyelamatkan hutan Sumatera. Di masa mendatang masih terbuka kesempatan berkontribusi menyelamatkan hutan Sumatera paling tidak di 13 kawasan prioritas lewat kesempatan yang dibuka dalam siklus-siklus hibah. Apresiasi kami kepada para mitra yang telah memainkan perannya dengan baik dalam mewujudkan cita-cita bersama untuk mengembalikan daya dukung lingkungan Sumatera yang bagi kehidupan masyarakat yang lebih berkualitas. Samedi, Phd Direktur Program

tentang tfca-sumatera Foto oleh Jeri Imransyah

tentang tfca-sumatera DAFTAR ISI Tentang TFCA - SUMATERA Kata Pengantar Ada Apa dengan Hutan Sumatera Polisi Para Gajah Meramu di Hutan Buru Menjaga Harangan di Batang Toru Dengan Adat Menjaga Hutan Berembuk untuk Semenanjung Kampar 03 05 09 17 25 35 45 55 Tropical Forest Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) adalah program bilateral pengalihan utang untuk lingkungan (Debt for Nature- Swap) antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat serta dua lembaga yang menjadi swap partner yaitu Conservation International dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Program ini menyediakan hibah untuk LSM dan Perguruan Tinggi lokal dalam mengelola hutan tropis di Sumatera secara lestari di tingkat bentang alam. Editorial Sunudyantoro Ali Sofiawan Penulis Adiseno KEMENTERIAN KEHUTANAN Photo Cover Adi Usman Musa Ali Sofiawan Universitas Syiah Kuala Administrator

Tutupan hutan tinggal sekitar 29%, padahal Sumatera diperkirakan membutuhkan tutupan lahan minimal 40% untuk menciptakan keseimbangan antara faktor ekologi, sosial dan ekonomi Kawasan konservasi yang ada belum mampu melindungi keanekaragaman hayati Sumatera dan dalam posisi yang terfragmentasi dan tidak berhubungan satu dengan lainnya. Sisa hutan yang ada menjadi sangat penting untuk dilindungi. Foto oleh Ali Sofiawan 8

ada apa dengan hutan sumatera ADA APA DENGAN HUTAN SUMATERA Analisis kesenjangan keterwakilan ekologis di dalam kawasan konservasi memperlihatkan bahwa banyak ekosistem penting Sumatera berada di luar kawasan konservasi terutama di daerahdaerah dataran rendah. Sebagian besar ekosistem penting yang masuk di dalam jaringan kawasan konservasi berada di dataran tinggi. Oleh sebab itu menyelamatkan hutan yang tersisa di Sumatera baik yang berada di kawasan konservasi maupun yang berada di luarnya, menjadi sangat penting untuk saat ini. Penyelamatan tersebut dapat dalam bentuk perluasan atau penetapan kawasan konservasi baru dan pengelolaan hutan secara lestari sehingga mampu berfungsi untuk perlindungan keanekaragaman hayati beserta jasa yang ditimbulkannya. Pemerintah dan dunia internasional menyadari bahwa untuk melindungi kawasan hutan tropis dunia beserta kekayaan hayati yang terkandung di dalamnya perlu diselamatkan kawasankawasan yang bernilai penting. Sumatera termasuk salah satu kawasan yang merupakan hutan bernilai konservasi bernilai tinggi, namun di saat yang bersamaan laju deforestasi (konversi), termasuk yang tertinggi. Data menunjukkan antara 1985 hingga 2007, tutupan hutan di Sumatera mengalami kerusakan sebanyak 12 juta hektar. Ini setara dengan 48 persen tutupan hutan Sumatera. Berdasarkan data Departemen Kehutanan tahun 2008, hutan primer yang tersisa tinggal 29 persen saja. Padahal Sumatera membutuhkan setidaknya 40 persen hutan primer untuk dapat menyangga kehidupan dan melindungi pusat konservasi keanekaragaman hayati yang dimiliki. 9

ada apa dengan hutan sumatera KONFLIK SATWA-MANUSIA Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan contoh nyata problem deforestrasi yang mendapat prioritas penanggulangan. KEL rawan terhadap deforestasi dan kerusakan habitat. Beberapa faktor menjadi penyebabnya. Antara lain, tekanan penduduk, buruknya implementasi tata ruang serta dampak dari faktor politik yang melingkungkupi daerah Aceh sebelumnya. Foto oleh Ali Sofiawan KEL terletak di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara. Kawasan ini memiliki hutan yang menjadi habitat satwa kunci. Ambil contoh hutan Singkil yang masuk dalam kawasan ini. Hutan seluas 11.000 hektar ini sebagian besar terdiri dari lahan gambut di tengah daerah rawa, hutan bakau, dan hutan riparian di sepanjang sungai. Kawasan ini merupakan salah satu sisa habitat yang ideal untuk konservasi orangutan. Di sini, populasi orangutan diperkirakan lebih dari 1.600 ekor. Data menunjukkan antara 1985 hingga 2007, tutupan hutan di Sumatera mengalami kerusakan sebanyak 12 juta hektar. Ini setara dengan 48 persen tutupan hutan Sumatera. Berdasarkan data Departemen Kehutanan tahun 2008, hutan primer yang tersisa tinggal 29 persen saja. Padahal Sumatera membutuhkan setidaknya 40 persen hutan primer Wilayah pergerakan gajah di KEL juga semakin banyak terkikis. Kawasan hutan makin menyempit. Kerusakan ini terutama disebabkan oleh penebangan dan deforestasi untuk dikonversi menjadi lahan pertanian. Atau, konversi menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Akar penyebab utama kerusakan tadi adalah kemiskinan dan ketimpangan. Sejurus itu, terbit kebijakan publik yang tidak tepat. Plus, tidak ditegakkannya hukum secara baik. Untuk itu penting dibangun suatu koridor yang menjadi penghubung antar kawasan hutan yang untuk menjaga habitat gajah. Koridor itu sesungguhnya merupakan tempat untuk bergerak populasi gajah ke dalam kawasan Leuser yang lebih luas. Yayasan Leuser Indonesia yang sudah sejak 1993 bergerak dalam kegiatan pelestarian lingkungan Leuser menyatakan kerusakan habitat ini merupakan ancaman paling berat bagi keselamatan satwa maupun bagi daya dukung hidup masyarakat secara keseluruhan. 10

ada apa dengan hutan sumatera TEKANAN TERHADAP RAWA GAMBUT Harimau juga merupakan satwa kunci lain di Sumatera. Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis) merupakan flag species atau spesies satwa yang menduduki puncak rantai makanan. Harimau juga menjadi spesies payung. Perlindungan terhadap harimau akan melindungi pula keanekaragaman hayati habitatnya. Blok hutan rawa gambut Senepis memiliki populasi harimau yang cukup besar, sekitar 30 ekor. Blok ini masuk dalam bentang alam Kerumutan - Semenanjung Kampar - Senepis dan ekosistemnya masuk dalam ecoregion Sumatra Freshwater Swamp Forest. Kini, hutan rawa gambut tropika di Indonesia merupakan ekosistem yang kondisinya sangat terancam. Terbitnya Rancangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau tahun 2009 malah menambah kekuatiran masyarakat. Isi rancangan itu menyebutkan bahwa arah pemanfaatan ruang adalah bagi pengembangan industri kehutanan. Sebagian kecil untuk perkebunan dan konservasi. Peruntukan bagi industri kehutanan dan perkebunan skala besar di lahan gambut mengancam pengelolaan pertanian dan perikanan masyarakat lokal. Pemanfaatan areal lahan gambut yang tidak berkelanjutan dengan cara membangun kanalkanal untuk mengeringkan gambut menyebabkan terjadinya emisi karbon yang berdampak pada pemanasan global Foto oleh YLI Pemanfaatan areal lahan gambut yang tidak berkelanjutan dengan cara membangun kanal-kanal untuk mengeringkan gambut menyebabkan terjadinya emisi karbon yang berdampak pada pemanasan global. 11

ada apa dengan hutan sumatera Foto olehyli TNKS merupakan salah satu taman nasional terluas di Indonesia. Dengan luas 1.368.000 hektar, keragaman hayati TNKS sangat tinggi. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi tahun 2009 menyebutkan TNKS antara lain memiliki 4.000 macam flora, 352 jenis burung dan 144 jenis mamalia. MENYUSUTNYA KAWASAN HUTAN Sumatera juga punya kekayaan Kawasan Hutan Batang Toru. Kawasan ini terdiri dari Kawasan Batang Toru Barat dengan luas 101.000 hektar, dan Batang Toru Timur yang disebut juga Sarulla Timur atau Selindung dengan luas 62.000 hektar. Ada juga Taman Nasional Batang Gadis dengan luas 108.000 hektar. Kawasan Hutan Batang Toru dan Taman Nasional Batang Gadis berada dalam satu bentang alam Pegunungan Bukit Barisan. Dua kawasan ini masuk dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kedua kawasan tersebut diidentifikasi dan disepakati oleh para ilmuwan sebagai satu dari 62 kawasan penting bagi keanekaragaman hayati (key biodiversity area) yang masih tersisa di Pulau Sumatera. Kawasan tersebut dikategorikan memiliki fungsi ekologis penting. Kawasan ini dikategorikan sebagai Kawasan Rawan Bencana Alam karena terletak di daerah vulkanis aktif. Kawasan Hutan Batang Toru dan Taman Nasional Batang Gadis, dan kawasan penghubung di antara dua kawasan itu kini mengalami deforestasi dan degradasi hutan alam. Di kawasan Batang Toru pada tahun 2003 2007, terdeteksi areal terdeforestasi seluas 882 hektar pada 669 lokasi berbeda. 12

ada apa dengan hutan sumatera Di Taman Nasional Batang Gadis terdeteksi kawasan hutan alam yang terdeforestasi ada pada areal 219 hektar. Titik deforestrasi di kawasan ini tersebar pada 55 lokasi. Pemicu deforestasi adalah ekploitasi tambang swasta, pembangunan infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, dan adanya kawasan hutan produksi. Semua faktor tadi membentuk fragmentasi areal. Sehingga satwa tidak dapat memanfaatkan koridor untuk berpindah antar kedua kawasan tersebut. Bahkan semenjak Mahkamah Agung memenangkan gugatan PT. Sorik Mas Mining atas Menteri Kehutanan melalui keputusan MA no 29/P/ HUM/2004. Kawasan yang disebut Taman Nasional Batang Gadis kini terfragmentasi menjadi 4 bagian kecil-kecil yang makin menyulitkan penjagaan kawasan dan mobilisasi satwa. MENYUSUTNYA KEANEKARAGAMAN HAYATI Kekayaaan lain yang dimiliki Sumatera adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). TNKS merupakan salah satu taman nasional terluas di Indonesia. Dengan luas 1.368.000 hektar, keragaman hayati TNKS sangat tinggi. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Jambi tahun 2009 menyebutkan TNKS antara lain memiliki 4.000 macam flora, beberapa diantaranya merupakan flora langka dan endemik. Misalnya, pinus kerinci (Pinus merkusii strain Kerinci), kayu pacat (Harpulia alborera), bunga Rafflesia (Rafflesia arnoldi), dan bunga bangkai (Amorphophallus titanium dan A. decussilvae). Terdapat pula 352 jenis burung dan 144 jenis mamalia. Berbagai jenis burung seperti rangkong badak (Buceros rhinoceros), enggang (Anthrococeros convexus), merak Sumatera (Polypectron chalcurun) terdapat di sini. Juga berbagai jenis satwa besar seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), siamang (Sympalangus syndactylus), tapir (Tapirus indicus) dan berbagai macam satwa lain terdapat di TNKS. Mengelola TNKS secara bersama-sama dan terpadu sungguh penting. Bukan saja untuk alasan ekologis, tapi juga demi alasan yang berdimensi sosial dan budaya. Kawasan TNKS dan penyangganya merupakan kawasan tempat hidup komunitas tradisional. Di sana ada Orang Rimba, suku Melayu, Orang Kerinci, Suku Rejang, dan Orang Lebong. Orang Rimba merupakan komunitas khusus. Kehidupan mereka sangat bergantung pada sumber daya hutan. Kawasan penyangga TNKS merupakan salah satu home range penting bagi Orang Rimba. 13

ada apa dengan hutan sumatera Di sekitar TNKS juga ada desa-desa tradisional. Secara umum penduduknya merupakan suku Melayu. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok dengan marga berbeda. Kawasan klaim adat mereka juga berbeda. Sebagian besar tumpang tindih dengan kawasan TNKS dan daerah penyangganya. TNKS merupakan taman nasional yang batasnya telah temu gelang dan definitif. Permasalahan pengelolaan kawasan di dalam taman lebih banyak berkaitan dengan agenda penegakan hukum serta koordinasi. Permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan pada kawasan penyangga TNKS jauh lebih kompleks. Persoalan klaim adat, kepentingan sektoral yang beragam, kuatnya ego kedaerahan, ketidakpastian izin pada kawasan hutan produksi pada bekas lahan HPH (Hak Pengusahaan Hutan), konflik satwa dan manusia, serta persoalan lainnya. MELINDUNGI HUTAN UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Fenomena di atas menggambarkan serangkaian masalah yang dihadapi hutan Sumatera. Perlu adanya tindakan nyata untuk menahan laju kerusakan yang sudah terlanjur masif. Tropical Forest Conservation Action for Sumatera merupakan suatu upaya untuk mendukung tercapainya pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan untuk mensejahterakan masyarakat. Keberadaanya diharapkan dapat membantu upaya menahan laju kerusakan hutan yang semakin parah dan meningkatkan daya dukung lingkungan bagi masyarakat, yang tercermin dalam visinya yaitu kelestarian keanekaragaman hayati hutan tropis untuk menopang terciptanya pembangunan berkelanjutan di pulau Sumatera. Di antara banyak masalah lingkungan di Sumatera, TFCA- Sumatera memberi perhatian pada penetapan, restorasi, perlindungan dan pemeliharaan kawasan konservasi, dan kawasan lindung lain. Fokus diarahkan pada pengembangan dan penerapan sistem kelola sumberdaya alam. Termasuk di dalamnya adalah pengelolaan ekosistem dan lahan dan pengembangan sumberdaya manusia, seperti peningkatan kapasitas kelembagaan, program penyadaran publik, dan sebagainya. 14

Photo oleh Ali Sofiawan 15

polisi para gajah Sebagian besar hutan Singkil merupakan hutan gambut di tengah daerah rawa, hutan bakau, dan hutan riparian di sepanjang sungai. Kawasan hutan ini menyimpan karbon dalam jumlah yang cukup baik. Berdasarkan studi lapangan, kawasan Suaka Marga Satwa diperkirakan memiliki 175.180.000 ton karbon. Jumlah ini setara dengan 642.910.000 ton CO 2 yang diserap dari atmosfer. Photo oleh Ali Sofiawan 16

polisi para gajah POLISI PARA GAJAH Konflik antara gajah dan manusia merupakan masalah klasik yang sudah lama terjadi di daerah-daerah yang memiliki persinggungan dengan jalur gajah. Masyarakat merasa hewan berbelalai ini adalah hama pengganggu kebun ladang dan rumah mereka. Setiap rombongan gajah lewat, ada saja kebun yang rusak, sawit yang dicuri dari kebun, tanaman yang terinjak, dan sebagainya. Masyarakat yang merasa berada pada sisi korban, tidak terima dengan keadaan ini hingga kerap kali terdengar di media gajah mati diracun. Kesadaran akan perilaku gajah serta bagaimana cara meminimalisir konflik perlu dilakukan agar kasus-kasus yang merugikan baik manusia maupun gajah tidak lagi terulang. Yayasan Leuser Internasional mencoba menjawab tantangan ini dengan mendirikan Conservation Response Unit (CRU) yang merupakan basecamp bagi patroli gajah untuk mengamankan kawasan dari timbulnya konflik satwa-manusia. Gampong Naca berada di dalam kawasan koridor satwa Singkil Bengkung. Koridor ini terletak di sebelah selatan Kawasan Ekosistem Leuser di provinsi Aceh. Di sini Yayasan Leuser Internasional bekerja untuk Memperkuat Pengamanan Kawasan Strategis Aceh Selatan Singkil bagi Konservasi yang Berbasis Masyarakat Secara Berkelanjutan. Lokasi proyek berada di dalam Taman Nasional Leuser di dalam batas KEL secara keseluruhan. Di dalam Kawasan Ekosistem Singkil terdapat satu dari beberapa kawasan hutan rawa gambut yang masih tersisa di dunia. Hutan rawa gambut Singkil atau Rawa Singkil memiliki luas sekitar 110.000 hektar. Sebagian dari kawasan ini telah ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa. 17

polisi para gajah Hutan Singkil juga menyimpan banyak mamalia, tumbuhan, burung, spesies ikan, dan banyak jenis reptil langka yang terancam punah. Kawasan ini merupakan salah satu sisa habitat yang ideal untuk konservasi orangutan. Diperkirakan, kawasan ini memiliki populasi lebih dari 1.600 orangutan. Wilayah gajah di KEL semakin banyak terkikis. Di kawasan Singkil terdapat satu-satunya koridor yang membuat populasi gajah yang tersisa dapat bertahan. Koridor itu membuat gajah dapat bergerak ke dalam kawasan Leuser yang lebih luas. Photo oleh Ali Sofiawan Yayasan Leuser Internasional mencoba menjawab tantangan ini dengan mendirikan Conservation Response Unit (CRU) yang merupakan basecamp bagi patroli gajah untuk mengamankan kawasan dari timbulnya konflik satwa-manusia. Ancaman paling berat yang dihadapi kawasan itu adalah kerusakan habitat. Terutama disebabkan oleh penebangan dan deforestasi untuk konversi menjadi lahan pertanian atau menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet. Ancaman lain dalam kawasan bentang lahan tersebut adalah hilangnya koridor Singkil-Bengkung yang sempit dengan rentang hanya sekitar 2,5 kilometer yang menghubungkan bagian utara KEL dengan bagian selatan hutan rawa Singkil. Koridor ini mendapat ancaman dari perambahan dan jalan raya yang memotongnya. Situasi masyarakat sekitar yang masih berada di bawah garis kemiskinan dan ketimpangan ekonomi membuat kawasan koridor ini potensial untuk dirambah. Ini ditambah 18

polisi para gajah lagi dengan kebijakan publik yang tidak tepat. Situasi makin mencemaskan akibat penegakan hukum tak berjalan baik. Oleh YLI kawasan tersebut hendak dijadikan kawasan ekosistem. Di dalam kawasan ini, tinggal masyarakat Singkil. Mereka tinggal di 131 desa. Mereka berjumlah sekitar 60 ribu jiwa pada setidaknya 17 ribu rumah tangga. Di kawasan ini, ada Kecamatan Trumon yang terletak dalam jalan penghubung antara ibukota Kabupaten Aceh Selatan, Tapak Tuan ke ibukota Provinsi Sumatera Utara, Medan. Akses dari kota Kecamatan Trumon menuju menuju berbagai desa masih sangat terbatas. Selain masalah akses, hukum juga belum tegak untuk bisa mencegah kecenderungan perusakan hutan. Sumber daya yang ada pun juga terbatas. Alih-alih digunakan untuk kelestarian, insentif keuangan yang dikucurkan justru cenderung untuk kegiatan yang menimbulkan kerusakan pada hutan. Conservation Response Unit Conservation Response Unit (CRU) atau Unit Tanggap Konservasi adalah suatu konsep yang meyakini bahwa diperlukan suatu strategi konservasi untuk mengelola keanekaragaman hayati. Metode CRU merupakan suatu unit yang terdiri dari gajah liar yang dijinakkan beserta para pawangnya untuk mendukung dan menjaga kawanan dan habitat gajah liar dan habitatnya. Abu Hanifah Lubis yang merupakan koordinator Yayasan Leuser Internasional (YLI) untuk Program TFCA-Sumatera mengatakan, YLI bertujuan mempertahankan keanekaragaman hayati dan keutuhan ekologi dengan menjamin kesinambungan manfaat yang menunjang kesejahteraan masyarakat yang hidup di daerah sekitarnya. Peran YLI dalam TFCA-Sumatera, menurut Abu, ada tiga. Pertama, membantu upaya pemerintah menetapkan kepemilikan lahan dan batas kawasan. Kedua, melakukan pengelolaan sehingga tak ada lagi konflik antara manusia dan satwa, khususnya gajah. Ketiga, melakukan rehabilitasi lahan di kawasan suaka margasatwa dan kawasan koridor. Untuk menjalankan kegiatan ini, TFCA -Sumatera menyediakan hibah Rp 5,3 M untuk kegiatan yang dilakukan dalam rentang waktu 3 tahun. Pada tahun pertama (2011), TFCA-Sumatera mengucurkan dana sebesar Rp 1,1 M. YLI memiliki dua tempat wilayah kerja. Pertama, Suaka Margasatwa Rawa Singkil dengan luas 102.500 hektar. Dan, wilayah kerja kedua pada koridor Singkil-Bengkung yang luasnya 2.700 hektar. YLI sudah membuat tim untuk memperbaiki tata batas Suaka Margasatwa Singkil. Demarkasi ini berdiri di Kabupaten Subulussalam dan Aceh Selatan. Tim ini telah melakukan survei lapangan di sepanjang perbatasan. Tim juga sudah mengkomunikasikan ihwal demarkasi ini kepada masyarakat. YLI memiliki dua tempat wilayah kerja. Pertama, Suaka Margasatwa Rawa Singkil dengan luas 102.500 hektar. Dan, wilayah kerja kedua pada koridor Singkil- Bengkung yang luasnya 2.700 hektar. 19

polisi para gajah Dari survei lapangan, tim YLI menemukan bahwa di sepanjang kawasan yang berbatasan dengan demarkasi telah terjadi konversi lahan. Kawasan tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit dan jalan akses. Persoalan seperti ini tentunya tidak bisa dibatasi oleh YLI sendiri, perlu pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan. Tim pun belum melakukan perencanaan lebih lanjut pada program YLI komponen pertama ini. Ada masalah hukum di sana. Selanjutnya, YLI berupaya melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk memecahkan masalah tersebut. YLI berusaha mencari solusi bagaimana kawasan suaka margasatwa tetap terlindungi, dan masyarakat tetap bisa hidup di dalamnya. Saat ini telah terbit Surat Keputusan dari Kabupaten Aceh Selatan, dan dari Wali Kota Subulussalam tentang penetapan batas Rawa Singkil. Surat itu menetapkan pembentukan panitia tata batas Rawa Singkil. Namun, telah terjadi banyak perambahan lahan di sana. Itulah sebabnya, tata batas menjadi sungguh penting. Persoalannya, masyarakat butuh lahan. Padahal, lahan itu berada di dalam kawasan yang sudah ditetapkan sebagai suaka margasatwa. Foto oleh Ali Sofiawan Abu Hanifah optimistis pada untuk dua komponen kegiatan lain, yakni konflik manusia versus satwa, dan rehabilitasi lahan keberhasilan telah dicapai. YLI membentuk dua kelompok masyarakat pembibitan di Desa Ie Jerenih dan Desa Naca. Pembentukan kelompok ini disertai dengan dibuatkannya fasilitas pembibitan. Kelompokkelompok pembibitan telah dilatih oleh YLI dan Badan Penyuluhan Pertanian Aceh Selatan. Kelak, mereka akan menyediakan bibit untuk rencana memulihkan koridor Singkil-Trumon. Suasana peresmian CRU Trumon yangdiresmikan tanggal 28 Juni 2012. Empat ekor gajah siap melakukan patroli rutin. Selama ini rehabilitasi hutan dilakukan dengan cara mendatangkan bibit untuk ditanam oleh masyarakat. Pola itu, kata Abu, diubah. Masyarakat dilibatkan langsung sejak dari awal. YLI bersama masyarakat mencari tanaman asli dari lantai hutan di koridor Singkil-Trumon. Selain menyediakan bibit berupa tanaman hutan, kelompok masyarakat juga menyediakan tanaman produksi. Entah itu duren, atau langsat, kata Abu Hanifah. Tanaman produksi ini ditanam di sekitar desa, seperti di pinggir jalan desa. YLI juga memprioritaskan rehabilitasi pada lahan yang dekat mata air dan pinggir sungai. Menurut Hanifah, 20

polisi para gajah Foto oleh Ali Sofiawan jika pembibitan berhasil, maka masyarakat akan menerima bayaran berdasarkan jumlah bibit yang bisa ditanam. Bayaran ini merupakan insentif atas upaya konservasi. Sedangkan untuk tanaman produksi, jika kelak menghasilkan akan menjadi hak masyarakat. Itu menjadi ekonomi alternatif bagi mereka, kata Abu Hanifah. Pemasangan patok penada kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil PENDIRIAN CONSERVATION RESPONSE UNIT Salah satu program utama YLI adalah mendirikan Conservation Response Unit (CRU) untukmenangani konflik antara gajah dan manusia. Abu Hanifah menyatakan, pada tahun 2010 masyarakat meminta kepada bupati Aceh Selatan agar diadakan patroli gajah di daerah mereka. Resolusi konflik gajah-manusia dilakukan dengan menggunakan patroli gajah jinak. Patroli ini untuk menggiring gajah liar keluar dari pemukiman penduduk. Patroli ini juga untuk menangkap gajah liar. Keberhasilan secara cepat membangun markas patroli gajah di Trumon ini adalah berkat dukungan penuh masyarakat dan lembaga pemerintah. Kendala yang dihadapi saat pembangunan, menurut Abu Hanifah, sulitnya mendapatkan kayu legal. Karena saat pembangunan CRU, moratorium penebangan kayu tengah diterapkan oleh pemerintah sehingga untuk mendapatkan kayu jadi agak susah, tutur Hanifah. 21

polisi para gajah Kini, gajah-gajah beserta pawangnya dari PLG Saree sudah beroperasi di CRU Trumon yang diresmikan tanggal 28 Juni 2012. Empat ekor gajah siap melakukan patroli rutin. Gajah ini lulusan dari sekolah gajah yang didirikan tahun 1994 di Taman Hutan Cut Nyak Dien, sebuah taman hutan yang berada di kaki gunung Seulawah. Patroli gajah jinak ini diharapkan juga dapat membantu untuk mengawasi kegiatan illegal. Jadi, patroli gajah jinak bukan sekadar untuk memantau dan menggiring gajah liar. Patroli ini diharapkan dapat dilaksanakan bersama-sama dengan aparat pemerintah dan masyarakat. Keberhasilan pembentukan CRU-Trumon merupakan buah dukungan semua pihak ini. Patroli gajah jinak ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran terhadap tapal batas. Selain itu, patroli juga untuk memantau kawasan guna membantu upaya rehabilitasi. Penanaman kawasan yang rusak membutuhkan upaya bersama masyarakat dan lembaga pemerintah. CRU-Trumon kelak akan diserahkan kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Merekalah yang untuk selanjutnya mendukung CRU Trumon. Selain itu, patroli gajah jinak merupakan upaya yang mengutamakan kepentingan gajah liar sendiri. Penanggulangan konflik manusia-satwa liar adalah proses dan upaya atau kegiatan mengatasi atau mengurangi konflik antara manusia dan satwa liar dengan mengedepankan kepentingan dan keselamatan manusia tanpa mengorbankan kepentingan dan keselamatan satwa liar, kata Sesdakab Harmaini. Menurut Abu Hanifah, CRU-Trumon kelak akan diserahkan kepada masyarakat dan pemerintah daerah. Merekalah yang untuk selanjutnya mendukung CRU Trumon. YLI pun mempersiapkan pelatihan penanganan konflik bagi masyarakat. Saaat ini anggaran untuk operasional CRU-Trumon ini sudah diajukan ke Kabupaten Aceh Selatan. Harapan kami setahun saja operasional CRU-Trumon dengan dana TFCA-Sumatera. Setelah itu pemerintah kabupaten dan masyarakat yang akan melanjutkan, ujar Hanifah. 22

polisi para gajah Ancaman lain dalam kawasan bentang lahan tersebut adalah hilangnya koridor Singkil-Bengkung yang sempit dengan rentang hanya sekitar 2,5 kilometer yang menghubungkan bagian utara KEL dengan bagian selatan hutan rawa Singkil. Photo oleh YLI 23

meramu di hutan buru Tantangan yang dihadapi kawasan konservasi ini cukup berat. Di antaranya pembalakan liar yang melibatkan banyak pihak, perambahan hutan, perburuan flora-fauna yang dilindungi, kebakaran hutan, dan lainnya. Berbagai kejahatan kehutanan tersebut terjadi dengan berbagai modus. Kejahatan kehutanan terkadang juga memanipulasi masyarakat lokal. Photo oleh Netty Riana Sari 24

meramu di hutan buru MERAMU DI HUTAN BURU Basri gundah gulana. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Resor Aceh Tengah ini hanya bisa tersenyum hambar. BKSDA yang ia pimpin mengelola Taman Buru Linge Isaq seluas 800 juta meter persegi. Tapi, jangan kaget, balai ini hanya punya lima petugas jaga. Basri berusaha membandingkan luas lahan ini dengan lapangan bola Old Trafford milik Manchester United, atau lapangan Santiago Bernabeu milik klub kaya raya Spanyol, Real Madrid. Luas Taman Buru Linge Isaq sama dengan 112.024 kali luas lapangan milik klub papan atas Eropa itu. Basri menggambarkan, untuk satu lapangan bola, ada tiga orang yang menjaga. Yakni, seorang wasit dan dua orang hakim garis. Dengan perbandingan penjaga lapangan bola, menurut Basri, setidaknya 33.615 petugas untuk menjaga Taman Buru Linge Isaq. Tentu, membandingkan lapangan bola Old Trafford atau Santiago Bernabeu dengan Taman Buru Linge Isaq merupakan sesuatu yang tak sepadan. Tapi, ia seperti ingin mengatakan, betapa tak memadainya jumlah petugas BKSDA Resor Aceh Tengah dalam mengelola Taman Buru Linge Isaq. Staf kami hanya punya sepeda motor untuk melakukan monitoring kawasan seluas itu, kata Basri. Kawasan ini sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak 1 Februari 1978 melalui surat keputusan menteri pertanian. Taman Buru Linge Isaq berada di Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah. Isaq adalah nama ibukota Kecamatan Linge. Dari kota Takengon, Isaq dapat dicapai sekitar satu jam perjalanan kendaraan bermotor. Namun, kawasan taman buru terluas di Indonesia ini tidak dikelola secara optimal. Akibatnya kawasan ini pun dirambah oleh masyarakat. Banyak lahan hutan berubah menjadi kebun kopi milik masyarakat. 25

meramu di hutan buru Foto oleh Ali Sofiawan Basri mengatakan, selama ini BKSDA Resor Aceh Tengah menghadapi berbagai kendala dalam pengelolaan Taman Buru Linge Isaq. Selain personel yang terbatas, peralatan yang tersedia juga sangat minim. Kecamatan Linge, yang memiliki 26 kampung, terletak di bagian dalam cincin Taman Buru. Di antara 26 kampung itu, lima kampung di Kemukiman Wihni Dusun Jamat berbatasan langsung dengan Taman Buru: Kampung Jamat, Reje Payung, Delung Sekinel, Kute Reje, dan Kampung Linge. Ada juga beberapa kampung lain yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi ini. Jamat bisa ditempuh dengan empat jam perjalanan darat kendaraan bermotor dari Takengon. Sebagai daerah terpencil dan terisolasi selama bertahun-tahun, Jamat memang sangat tertinggal dari segi infrastruktur seperti jalan, jembatan, sarana pendidikan, dan fasilitas infrastruktur lainnya. Baru pada tahun 2011, ada pengerasan jalan sepanjang 21 kilometer dari Owaq menuju Jamat. Sebagian ruas jalan telah beraspal. Kerisauan Basri senada dengan Adie Usman Musa yang sempat menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute Green Aceh (IGA). Lembaga ini menjadi koordinator konsorsium untuk kegiatan Konservasi Hutan Tropis di Taman Buru Linge Isaq dan Sekitarnya 26

meramu di hutan buru yang diarahkan pada Perbaikan Fungsi Kawasan Konservasi, Keanekaragaman Hayati dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Taman Buru. Lembaga yang menjadi anggota konsorsium ini adalah Yayasan Institut Green Aceh, Yayasan Lebah, Yayasan Ekowisata Aceh, Yayasan Pugar. Mereka adalah LSM konservasi yang bergerak di Aceh dan dalam konsorsium ini mempunyai peran masing-masing untuk mencapai tujuan konsorsium memperbaiki keanekaragaman hayati dan meningkatkan taraf hidup. Menurut Adi, Taman Buru berbeda dengan tempat lain. Pasca konflik Aceh, kata dia, orang tidak peduli pada Taman Buru. Taman Buru seperti tidak bertuan, tidak dikelola, dan tidak ada yang mengelola. Adie juga sedih melihat tak sebandingnya jumlah petugas dan luasnya Taman Buru dengan petugas BKSDA yang menjaga kawasan itu. Dari ujung sini ke ujung, butuh empat jam untuk menjangkau. Itu pun untuk yang ada jalannya. Kalau tak ada jalan, pasti lebih susah, kata Adie. Namun tersedianya prasarana jalan yang baik juga seperti buah simalakama. Sebab, jalan juga menjadi akses bagi tindak kejahatan lingkungan hidup. Perkara jalan ini pula yang membuat kondisi Taman Buru Linge Isaq kian sulit. Pada bagian tengah kawasan Taman Buru Linge Isaq, ada jalan yang menjadi jalur transportasi dari Kota Takengon menuju Kabupaten Gayo Lues. Bagian Kawasan Taman Buru yang terpotong jalan berada di Burlintang dan Ise-Ise. Dua kawasan ini juga menjadi perlintasan satwa. Ada beberapa jenis satwa hidup di kawasan ini. Misalnya, babi hutan (Sus sp), kijang (Muntiacus muntjak), rusa (Cervus unicolor), harimau Sumatera (Panthera tigris), owa (Hylobates moloch), orang utan (Pongo abelii), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), dan macan dahan (Neofelis diardi). Program-program konservasi cenderung ditolak oleh masyarakat. Menurut dia, masyarakat cenderung resisten ketika diajak bicara konservasi. Sebab, ada pandangan di masyarakat bahwa program konservasi itu artinya tak boleh ini tak boleh itu. Padahal, masyarakat juga butuh lahan, kata Adie. Foto oleh Ali Sofiawan Foto oleh Adie Usman Musa Tantangan yang dihadapi kawasan konservasi ini cukup berat. Di antaranya pembalakan liar yang melibatkan banyak pihak, perambahan hutan, perburuan flora-fauna yang dilindungi, kebakaran hutan, dan lainnya. Berbagai kejahatan kehutanan tersebut terjadi dengan berbagai modus. Kejahatan kehutanan 27

meramu di hutan buru terkadang juga melibatkan masyarakat lokal. Menghadapi berbagai kejahatan kehutanan di Taman Buru Linge Isaq dan sekitarnya, Dinas Kehutanan Aceh Tengah menempatkan satu regu Polisi Hutan yang berkedudukan di Isaq, ibukota Kecamatan Linge. Sedangkan pemerintah pusat mempunyai tim di BKSDA Resor Aceh Tengah. Foto oleh Ali Sofiawan Melalui IGA, TFCA-Sumatera mendukung upaya pemerintah dalam memperbaiki manajemen pengelolaan Taman Buru. Upaya membenahi Taman Buru Lingse Isaq menjadi kawasan wisata buru dilakukan melalui pembuatan rencana pengelolaan, konservasi keanekaragaman hayati, rehabilitasi lahan kritis, serta penguatan ekonomi masyarakat sekitar. Ada 3 komponen program yang dijalankan oleh Konsorsium IGA, yaitu komponen konservasi, rehabilitasi, dan pemberdayaan masyarakat. Diharapkan konsorsium IGA dapat berkontribusi untuk menghasilkan rencana pengelolaan kawasan Taman Buru selama 25 tahun. Namun Adie juga menambahkan bahwa program-program konservasi cendrung ditolak oleh masyarakat. Menurut dia, masyarakat cenderung resisten ketika diajak bicara konservasi. Sebab, ada pandangan di masyarakat bahwa program konservasi itu artinya tak boleh ini tak boleh itu. Padahal, masyarakat juga butuh lahan, kata Adie. Itulah sebabnya, IGA tak melakukan program penetapan tapal batas. Sesungguhnya, program ini jadi kebutuhan, misalnya untuk mengimplementasikan perencanaan. Kami tidak sampai tata batas. Itu sangat sensitif. Kami tak masuk ke situ karena tata ruang provinsi belum selesai, kata Adie. Untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap konsep lingkungan hidup agar mereka aktif berpartisipasi mengelola Taman Buru, maka menurut Konsosrsium IGA diperlukan adanya suatu pendampingan intensif. Mendampingi masyarakat, kata Adie, tak bisa seperti turis yang datang sehari lalu pulang. Untuk membangun kepercayaan masyarakat, maka pendamping harus tinggal di lokasi masyarakat yang didampingi tinggal. 28

meramu di hutan buru Foto oleh Ali Sofiawan Dari situ, pendamping bisa melihat banyak sekali kearifan lokal yang selama ini tidak lagi mereka jalankan. Namun, begitu pendamping datang untuk memperkuat agar kearifan lokal dijalankan lagi, maka semangat masyarakat pun tumbuh lagi. Apalagi, jika mampu mengawinkan kearifan lokal itu dengan pengetahuan modern. Kemampuan mereka untuk melihat pentingnya konservasi demi pengelolaan sumber daya berkelanjutan, jadi bagus, kata Adi. KELESTARIAN KEKAYAAN HAYATI LINGE ISAQ Untuk mengubah pandangan masyarakat terhadap konsep lingkungan hidup agar mereka aktif berpartisipasi mengelola Taman Buru, maka menurut konsorsium IGA diperlukan adanya suatu pendampingan intensif. Taman Buru Linge Isaq punya banyak kekayaan vegetasi. Terutama didominasi oleh jenis-jenis vegetasi dari suku Myrtaceae, Annonaceae, Staphyllaceae, Meliaceae, Theaceae, dan Clusiaoeae. Lantai hutan yang ditutupi humus tebal juga banyak ditumbuhi anakan dari tumbuhan tersebut. Orangutan dan harimau sumatera yang merupakan species kunci Sumatera juga ada di sana. Hal ini menjadi pendorong Konsorsium IGA untuk mencari dukungan pendanaan dari TFCA-Sumatera agar memprioritaskan kawasan Taman Buru. Taman Buru Linge Isaq juga terancam oleh usaha ekonomi yang berlangsung di sana. Selain perusahaan HPH/IUPHHK di dalamnya juga terdapat hutan produksi yang dikelola perusahaan swasta. 29

meramu di hutan buru Dari segi perubahan sumber daya alam, terdapat kecenderungan perubahan dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, kawasan konservasi Taman Buru di Jamat. Pada daerah ini konservasi agak terjaga. Meski begitu, tetap saja terjadi ancaman terhadap kondisi fisik kawasan konservasi, dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Ancaman berupa kegiatan illegal logging, kebakaran hutan, perburuan satwa liar yang dilindungi, dan sebagainya sering terjadi di banyak titik yang jadi pintu masuk ke areal Taman Buru. Ini terjadi, misalnya di Jamat, Ise-ise, Pantan Nangka, Serule, Burlintang, dan Jagong. Foto oleh Ali Sofiawan Masyarakat Jamat sudah menerapkan pola agroforestry dalam pengelolaan lahan sejak lama. Pola agroforestry ini memungkinkan kawasan penyangga konservasi yang dikelola masyarakat mempunyai multifungsi terhadap masyarakat dan lingkungan. 30 Masyarakat Jamat sudah menerapkan pola agroforestry dalam pengelolaan lahan sejak lama. Pola agroforestry ini memungkinkan kawasan penyangga konservasi yang dikelola masyarakat mempunyai multifungsi terhadap masyarakat dan lingkungan. Baik dari segi ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya masyarakat. Namun, tetap perlu ada kesepahaman antara masyarakat dan pemerintah serta pihak lain. Tujuannya, untuk memastikan bahwa lahan masyarakat tersebut tidak masuk dalam wilayah Taman Buru yang merupakan kawasan konservasi. Ini semua menjadi modal bagi upaya pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan Konsorsium Insitute Green Aceh. Yakni, melakukan pendekatan melalui pendampingan. Kepada mereka dilakukan pendampingan agar tetap menegakkan kearifan lokal. Di sana, masyarakat berburu tidak menggunakan senapan, tetapi pakai tombak. Mereka tidak menombak induk betina atau anaknya. Mereka akan menombak jantannya, ungkap Adie. Ini merupakan satu contoh pengembangan pemberdayaan masyarakat, sekaligus mempertahankan sumberdaya alam. Mempertahankan status Taman Buru merupakan sebuah pertanyaan besar. Dan, itu perlu dijawab melalui rencana tata ruang wilayah. Perencanaan yang partisipatif tentunya dengan melibatkan masyarakat. Syamsul Hidayat dalam laporan penelitiannya tahun 1997 juga mempertanyakan ihwal ini. Hidayat mengutip penelitian tahun 1981. Penelitian itu menyatakan hanya 20 persen dari luas areal Taman Buru merupakan tempat terbuka dan datar, atau padang rumput. Sehingga, jika ditinjau dari segi letak, keadaan topografi, dan kerapatan hutan, maka kawasan ini kurang ideal sebagai Taman Buru.

meramu di hutan buru Hidayat sendiri berpendapat berdasarkan potensi flora dan fauna yang teramati di kawasan hutan Serule dan lsaq, maka sangat dimungkinkan status Taman Buru Lingse lsaq untuk dikaji ulang. Pengkajian ulang suatu status kawasan tetap berprinsip pada upaya konservasi secara menyeluruh. Tentu dengan melibatkan masyarakat sekitar. Ini seperti tertuang pada pasal 4 UU no.5 tahun 1990 Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Bila ditinjau dari potensi yang ada sekarang, akan Iebih tepat kiranya jika kawasan ini sebagian atau seluruhnya diubah menjadi cagar alam. Yaitu suatu suaka alam yang berbubungan dengan keadaan alamnya yang khas. Termasuk alam hewani dan alam nabati yang dimiliki. Ini perlu dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pertimbangan lain untuk pentingnya mengkaji ulang Taman Buru ini adalah potensi satwa buru yang semakin berkurang. Juga, terancamnya satwa liar yang dilindungi. Konsorsium IGA sendiri sedang melaksanakan survey potensi yang hasil sementaranya tertuang dalam suatu laporan yang berjudul Hasil Survey Potensi Sumberdaya Alam dan Fisiografi Taman Buru Linge Isaq Kabupaten Aceh Tengah. Dari hasil pendataan IGA ke penduduk, terungkap bahwa sebelum masuknya HPH di Taman Buru Linge Isaq, rusa masih bisa dilihat seperti gerombolan sapi. Satwa buru ini bisa dijumpai dalam jarak hanya 20 sampai 30 meter saja. Namun setelah, penebangan pinus untuk kebutuhan pulp kertas, pemandangan seperti ini menghilang. Perburuan mulai banyak, dan kawasan mulai terbuka, kata Adie. Ia mengutip pernyataan orang-orang tua yang tinggal di kawasan dampingannya. Rusa dapat dijumpai dalam jarak hanya 20 sampai 30 meter saja. Namun setelah, penebangan pinus untuk kebutuhan pulp kertas, pemandangan seperti ini menghilang. Perburuan mulai banyak, dan kawasan mulai terbuka, kata Adie. Foto oleh Ali Sofiawan 31

meramu di hutan buru Foto oleh Ali Sofiawan Saat ini sedang dikembangkan juga program-program ekowisata. Pemandangan di sekitar taman buru Linge Isaq sangat indah. Hamparan pegunungan dan lembah berpadu dengan sungai besar dan kecil menciptakan pemandangan yang spektakuler. Udara pun masih bersih karena sangat sedikit polusi di sana. PENGELOLAAN KAWASAN Adie pun juga mendukung agar status Taman Buru dievaluasi secara menyeluruh. Ia menyatakan bahwa mempertahankan status taman buru tidak relevan lagi. Perubahan status kawasan ini, kata dia, memerlukan kebijakan politik. Mengubah status kawasan konservasi seperti Taman Buru perlu persetujuan DPR. Dalam ranah ini, TFCA-Sumatera memang tidak mengambil bagian. Menurut Adie, saat ini ada tarik ulur antara Pemerintah Daerah Aceh dengan Pemerintah Pusat mengenai kewenangan pengelolaan seluruh kawasan konservasi. Pemerintah Daerah Aceh menuntut pengelolaan otonom seluruh kawasan. Ini sesuai janji sebagai Daerah Istimewa. Apa pun hasilnya nanti, kata Adie, yang harus dilakukan adalah menguatkan kapasitas kelembagaan di tingkat desa. Yang sudah dilakukan adalah memperkuat kapasitas masyarakat di lima kampung. TFCA-Sumatera pun mempersiapkan berbagai infrastruktur di sana. Antara lain dibuatkan berbagai pusat pengembangan ekonomi, sehingga bisa mengakses ke berbagai produk. Masyarakat juga mengembangkan tanaman coklat dan kemiri. Ini merupakan salah satu program untuk meningkatkan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi Taman Buru Isaq Linge, kata Adie. Saat ini sedang dikembangkan juga program-program ekowisata. Pemandangan di sekitar taman buru Linge Isaq sangat indah. Hamparan pegunungan dan lembah berpadu dengan sungai besar dan kecil menciptakan pemandangan yang spektakuler. Udara pun masih bersih karena sangat sedikit polusi di sana. 32

meramu di hutan buru Harapannya program ini meningkatkan perekonomian rakyat. Selain menjaga kelestarian cagar budaya tersebut, kami juga mempromosikan situs-situs budaya untuk menarik kunjungan wisatawan, katanya Adie. Selain itu, menurut Adie, di kawasan ini juga dikembangkan Agro Forestry hasil hutan seperti rotan yang kemudian diolah menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi. Kami membuat bengkel kerja kerajinan untuk mengembangkan ini, katanya. Langkah lanjut IGA baru bisa diukur ketika rencana tata ruang, termasuk untuk Taman Buru Linge Isaq sudah jadi. Bersamaan dengan implementasi rencana itu, IGA berharap kapasitas dan kelembagaan di tingkat masyarakat sudah terbentuk. Adie mengatakan, IGA berusaha melakukan implementasi tersebut melebihi dari apa yang sudah terangkum dalam design program. Peningkatan kapasitas dilakukan melalui proses semacam multi level marketing. Para pemimpin atau tokoh masyarakat diberi pelatihan. Harapannya, bisa menular pada orang di sekeliling mereka. Selanjutnya, orang-orang itu pun menularkan pada yang lain. Konsorsium berharap cara kerja ini bisa membuah hasil pada empat komponen: pengelolaan Taman Buru Linge Isaq yang berkelanjutan, konservasi, rehabilitasi, dan pemberdayaan masyarakat. Hutan Buru Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi hutan buru adalah hutan wisata yang di dalamnya terdapat satwa buru yg memungkinkan diselenggarakannya perburuan yg teratur bagi kepentingan rekreasi. Linge Isaq ditetapkan sebagai kawasan pengembangan wisata buru melalui surat Keputusan Menteri Pertanian RI nomor 70/Kpts/um/2/1978 tanggal 7 Februari 1978 dengan luas areal mencapai kurang lebih 80 ribu hektar. Keberadaannya diperkuat kembali melalui keputusan Menteri Kehutanan tentang arahan fungsi hutan dan perairan Provinsi Aceh nomor: 170/kpts-II/2000 dengan luas kurang lebih 86.704 hektar, namun pemanfaatan kawasan tersebut belum berjalan secara optimal. Taman buru Linge Isaq memiliki potensi keanekaragaman hayati cukup tinggi, Kawasan ini sangat strategis sebagai sistem penyangga kehidupan, terutama sebagai hulu dari tiga Daerah Aliran Sungai(DAS) besar, diantaranya DAS Krueng Jambo Aye, DAS Krueng Peusangan dan DAS Simpang Kiri/Gelombang. 33

menjaga harangan di batang toru Salah satu akar masalah konservasi Sumatera adalah terfragmentasinya kawasan-kawasan konservasi. Keberadaannya seperti pulau-pulau terpencil. Isolasi satu sama lain melemahkan daya tahan. Untuk menyambungkan kawasan konservasi perlu dibangun koridor antarkawasan. Satwa di suatu kawasan, masih punya pilihan untuk masuk ke kawasan seberang melalui koridor yang dibangun. Foto oleh Netty Riana Sari 34

menjaga harangan di batang toru MENJAGA HARANGAN DI BATANG TORU Salah satu akar masalah konservasi Sumatera adalah terfragmentasinya kawasan-kawasan konservasi. Keberadaannya seperti pulau-pulau terpencil. Isolasi satu sama lain melemahkan daya tahan. Untuk menyambungkan kawasan konservasi perlu dibangun koridor antarkawasan. Satwa di suatu kawasan, masih punya pilihan untuk masuk ke kawasan seberang melalui koridor yang dibangun. Oleh karena itu Perkumpulan Prakarsa Pengembangan Partisipasi untuk Rakyat (Petra) yang bergiat di Sumatera Utara mengusulkan pada TFCA-Sumatera agar mendukung program mereka dalam Inisiatif Konservasi dan Konektivitas Koridor Lansekap Hutan Batang Toru Taman Nasional Batang Gadis. Program konservasi dan koridor ini menyambungkan tiga lokasi perlindungan habitat alamiah utama. Pertama, Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) yang terdiri dari Kawasan Batang Toru Barat dengan luas 101.000 hektare. Kedua, Batang Toru Timur/Sarulla Timur/Selindung dengan luas 62.000 hektare. Dan ketiga, Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dengan luas 108.000 hektare. Ketiga kawasan itu terletak dalam satu bentang alam yang sama di Pegunungan Bukit Barisan dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Terpisahnya Sungai Batang Toru dan Sungai Batang Gadis menjadi penghalang ekologi bagi distribusi satwa dan tumbuhan liar. Kedua kawasan ini dipisahkan oleh lanskap hutan alam dan lanskap yang termodifikasi oleh kegiatan manusia yang diperkirakan panjangnya 75 100 kilometer. 35

menjaga harangan di batang toru KEKAYAAN HAYATI Kawasan Batang Toru dan Batang Gadis diidentifikasi oleh para ilmuwan sebagai salah satu dari 62 lokasi kawasan penting bagi keanekaragaman hayati (key biodiversity area) yang tersisa di Sumatera. Kawasan TNBG mewakili kawasan biogeografis Danau Toba bagian selatan. Dan, KHBT mewakili kawasan transisi biogeografis Danau Toba bagian selatan dan bagian utara. Foto oleh Netty Riana Sari Di TNBG dapat ditemukan 47 jenis mamalia khas Sumatera. Di antaranya 26 jenis ikategorikan jenis mamalia yang dilindungi undang-undang dan terancam punah secara global. Selain itu, terdapat 247 jenis burung. Di antaranya 47 merupakan jenis burung yang dilindungi undang-undang Indonesia, tujuh jenis secara global terancam punah, 12 jenis mendekati terancam punah. TNBG telah ditetapkan sebagai Daerah Penting Burung (Important Bird Area). Kedua kawasan tersebut masih menyimpan satwa liar karismatik terancam punah secara global. Misalnya, orangutan Sumatera (Pongo abelli), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis), Tapir (Tapirus indicus), Kambing Hutan (Naemorhedus sumatraensis), Elang Wallacea (Spizaetu nanus), bunga terbesar dan tertinggi di dunia, yaitu Raflesia gadutnensis dan Amorphophalus baccari serta Amorphophalus gigas. Kawasan Hutan Batang Toru merupakan habitat bagi setidaktidaknya 67 jenis mamalia, 287 jenis burung, 110 jenis herpetofauna dan 688 jenis tumbuhan. Berdasarkan status konservasinya, teridentifikasi 20 spesies mamalia yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Sebanyak 12 spesies yang terancam punah berdasarkan kategori IUCN dan 14 spesies termasuk dalam kategori CITES (Convention International of Trade of Endagered Species). Untuk spesies burung, tercatat 51 spesies masuk dalam daftar satwa yang dilindungi sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999. Sebanyak 61 spesies masuk kategori IUCN sebagai satwa yang terancam punah secara global. Dan, delapan spesies masuk dalam daftar CITES. Selain jenis burung tersebut, ada 21 jenis burung migran, delapan jenis endemik, dan empat jenis berkontribusi dalam pembentukan kawasan Endemic Bird Area (EBA) 36