Membedah Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 35/PUU-X/2012 Mia Siscawati, Ph.D. Sajogyo Institute

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.25/Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

SVLK DALAM KONTEKS OTONOMI KHUSUS PROVINSI PAPUA 5 Kasus Terkait Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI DI PROVINSI RIAU

Masa Depan Hak-Hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum

Bagaimana Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur

Tata Guna Lahan di Kalimantan Tengah

PROFIL ORGANISASI. NAMA Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERTANAHAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Dalam Hukum Agraria Nasional. Oleh : Iswantoro *

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAFTARAN HAK PAKAI ATAS TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN

Dewan Kehutanan Nasional dan UN-REDD Programme Indonesia. Disusun dari hasil konsultasi dengan multi pihak pemangku kepentingan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2007 TENTANG

Pengakuan atas Hutan Kelola Rakyat: Jalan Menuju Kawasan Hutan yang Berkepastian Hukum dan Berkeadilan Oleh Budiman Sudjatmiko 1

Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT. BAB I KETENTUAN UMUM.

PROGRAM INVESTASI KEHUTANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mekanisme Penyusunan Kebijakan Daerah di Bidang Kehutanan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Indonesia Bagaimana Pemohon Bisa Memanfaatkan Hak atas Informasi

PENUTUP. Fondasi Tahun Politik 139

(Studi Kasus Pada Tanah Bekas Kawasan Hotel Indonesia) Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S2 Program Studi Magister Kenotariatan

PROYEK TINDAK LANJUT PROSES PERDAMAIAN ACEH

PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15/PMK.07/2014 NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

Transkripsi:

Membedah Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 35/PUU-X/2012 Mia Siscawati, Ph.D. Sajogyo Institute Pelatihan awal REDD+, Tindak Lanjut MK 35, MRV dan Pemanfaatan CLASLite untuk Analisis Deforestasi Bali, 18-22 November 2013

Outline Presentasi Sejarah Penguasaan Hutan Indonesia: Warisan Kolonial Perlawanan Akademik terhadap Konsep Penguasaan Negara di Masa Kolonial Penguasaan Hutan Indonesia Paska Kolonial Perlawanan Masyarakat Sipil dan Akademisi terhadap Konsep Hutan Politik pada Masa Orde Baru Gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atas UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 Putusan MK Respon terhadap Putusan MK Masyarakat Adat Presiden Republik Indonesia Kementrian Kehutanan UKP4 Kementrian Dalam Negeri

Sejarah Penguasaan Hutan: Warisan Kolonial Kawasan hutan sebagai sebuah bentuk penguasaan tanah-wilayah hutan pertama kali diciptakan pada masa kolonial Belanda ketika sejumlah besar wilayah di Pulau Jawa dan Madura serta sejumlah kecil wilayah di selatan pulau Sumatra ditetapkan sebagai hutan negara. Untuk mengatur hutan pemerintah kolonial mengadopsi suatu sistem hukum yang menjadi landasan bagi suatu pendekatan administrasi hutan negara dan menempatkan penguasaan eksklusif sumberdaya hutan di tangan pemerintah

Kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial sebagai hutan disebut oleh Peluso dan Vandergeest (2001) sebagai "hutan politik Jawatan kehutanan kolonial Belanda (Boschwezen) menetapkan wilayah hutan politik melalui undang-undang kehutanan kolonial dengan membuat batasan antara lahan pertanian dan hutan, dan mengklaim semua lahan hutan sebagai domain negara (Peluso dan Vandergeest, 2001, Peluso, 1992). Konsep hutan politik tersebut memainkan peran penting dalam pembentukan teritorialisasi dan kerangka hukum tentang hutan pada masa kolonial. Institusionalisasi "hutan politik" selama era kolonial (Peluso dan Vandergeest, 2001) memberikan kontribusi terhadap perumusan penguasaan hutan dan tata kelola hutan di Indonesia pada masa paska kolonial.

Momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan (Boschreglement) 1865. Reglemen Hutan 1865 tersebut merupakan awal adanya instrumen hukum tertulis yang secara juridis formal telah meniadakan hak dan kekuasaan masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat dengan hak ulayat di sekitarnya. (Sumber: Sejarah Pengelolaan Hutan http://www.kph.dephut.go.id/)

Perlawanan Akademik terhadap Konsep Penguasaan Negara di Masa Kolonial Di dalam buku berjudul De Indonesiër en Zijn Grond (Orang Indonesia dan Tanahnya), seorang ahli hukum Belanda bernama Van Vollenhoven menguraikan ketidakadilan/pelanggaran hak (onrecht) (disebutnya sebagai seabad ketidakadilan ) yang ditimpakan pada masyarakat pribumi melalui pelaksanaan hukum agraria yang membatasi secara sistematis hak-hak penguasaan rakyat atas wilayah adatnya. Menurut van Vollenhoven, perampasan tanah yang terjadi dimana-mana dan secara besar-besaran itu mendapatkan pembenaran melalui penggunaan/penyalahgunaan secara sistematis oleh administratur kolonial mengenai Domein Verklaring dan hak penguasaan atas wilayah adat (beschikkingsrecht).

Penguasaan Hutan Indonesia Paska Kolonial Sejak rejim orde baru memegang tampuk kekuasaan, dengan berlandaskan pada Undang-Undang Kehutanan No. 5 tahun 1967, pemerintah menetapkan berbagai wilayah yang sebetulnya merupakan ruang hidup berbagai komunitas menjadi kawasan hutan. Kawasan hutan pertama kali digunakan sebagai terminologi hukum pada UU Kehutanan Tahun 1967 dan menjadi satu satuan pembatas yurisdiksi Departemen Kehutanan seperti tertuang pada UU Kehutanan Tahun 1999. Terminologi kawasan hutan tidak ada hubungannya dengan kondisi tutupan hutan aktual

Perlawanan Masyarakat Sipil dan Akademisi terhadap Konsep Hutan Politik pada Masa Orde Baru Pada periode akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an, organisasi masyarakat sipil gencar menyarakan perlunya perubahan Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967 Pada akhir masa Orde Baru (1997-1998), organisasi masyarakat sipil dan sejumlah akademisi kehutanan merumuskan naskah akademik untuk perubahan UU Pokok Kehutaan No. 5 tahun 1967. Ketika rejim Orde Baru tumbang, naskah akademik tsb dikembangkan menjadi naskah akademik usulan rancangan undang-undang kehutanan dan diajukan secara resmi kepada pihak eksekutif dan legislatif. Naskah akademik rancangan undang-undangan kehutanan tersebut tersebut berisi tuntutan kepada negara untuk mengakui hak-hak masyarakat adat dalam mengelola sumber daya hutan dalam wilayah mereka sekaligus mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. Naskah tersebut menyarankan tiga kategori status hutan: 1) hutan negara: 2) hutan adat dan 3) hutan milik (milik perorangan, kelompok atau pihak swasta). UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 tidak mengadopsi usulan tersebut di atas.

Gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atas UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 Menyadari sepenuhnya bahwa UU Kehutanan No 41 tahun 1999 menjadi rujukan untuk melegalkan klaim atas tanah dan wilayah adat sebagai kawasan hutan negara, AMAN mengajukan permohonan judicial review atas undang-undang tersebut. Pada tanggal 19 Maret 2012, permohonan tersebut diserahkan oleh AMAN bersama dengan dua masyarakat adat anggotanya yaitu masyarakat adat Kasepuhan Cisitu dari Banten dan masyarakat adat Kenegerian Kuntu dari Riau. Dengan mengajukan judicial review atas sejumlah pasal UU Kehutanan No. 41/1999 untuk menguji konstitusionalitas status hutan adat, dan beberapa pasal lain, AMAN menantang suatu categorical inequality (ketidakadilan kategoris) dalam sistem penguasaan tanah-tanah kehutanan Indonesia.

Putusan MK atas Perkara No. 35/PUU-X/2012: Masyarakat Hukum Adat adalah Bukan Penyandang Hak, dan Bukan Subjek Hukum atas Wilayah Adatnya Pada 16 May 2013 Mahkamah Konstitusi mengumumkan Putusan atas perkara No. 35/PUU-X/2012. Bahwa hutan adat tidak lagi bagian dari hutan negara, melainkan bagian dari hutan hak. Hal ini berarti bahwa masyarakat hukum adat diakui sebagai penyandang hak, dan subjek hukum atas wilayah adatnya.

Apa yang berubah Pasal 1.6 Pasal 4.3 Asli Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak. Revisi Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat Pasal 5.2 Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat. (dihapus)

Putusan MK tersebut mengakui masyarakat adat sebagai penyandang hak (rights-bearer), dan subjek hukum atas wilayah adatnya. Putusan MK perlu dimaknai sebagai pemulihan kewarganegaraan masyarakat adat

Setelah Putusan MK atas perkara No 35/PUU-X/2012 itu, tantangan terbesar saat ini adalah mewujudkan ralat konsep pembangunan dan ralat kebijakan secara menyeluruh Putusan MK perlu dijadikan rujukan bagi perubahan mendasar dalam pengelolaan kekayaan alam dan sumber-sumber agraria lainnya

Respon terhadap Putusan MK

Pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia (R)ecently the Indonesian Constitutional Court has decided that customary forest, or hutan adat, is not part of the state forest zone. This decision marks an important step towards a full recognition of land and resources rights of adat community and forest-dependent communities. This will also enable Indonesia s shift toward sustainable growth with equity in its forests and peatlands sector. I am personally committed to initiating a process that registers and recognizes the collective ownership of adat territories in Indonesia. This is a critical first step in the implementation process of the Constitutional Court s decision. (Pidato pada saat pembukaan the International Workshop on Tropical Forest, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2013)

Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan Republik Indonesia negara mengakui keberadaan hutan adat yang merupakan hak adat dan ulayat, namun terlebih dahulu harus ada peraturan daerah (Perda) yang mengaturnya kementeriannya berposisi menunggu, sebaliknya pemerintah kabupatan atau kota yang harus aktif mengajukan Perda tersebut mengingat yang mengetahui kawasan hutan adat adalah pemerintah daerah ( Perda harus tetapkan hutan adat Antara News 18 mei 2013)

Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE-1/Menhut-III/2013

Inisiatif Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) dan Kementerian Kordinator untuk Kesejahteraan Rakyat Menyelenggarakan serangkaian pertemuan antar Kementerian dan Lembaga. Pada pertemuan tanggal 09 Oktober merumuskan suatu usulan berisi 5 (lima) program aksi, sebagai berikut: Pembentukan Satgas Implementasi Putusan MK 35 yang siap beroperasi Pembentukan rencana Aksi Masa Transisi Konsolidasi isu-isu utama dalam pengaturan terkait MHA Pemetaan MHA dan wilayahnya serta penyelesaian konflik Penyusunan regulasi masa transisi

Inisiatif Kementrian Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD-Kemendagri) Menyelenggarakan serangkaian pertemuan antar Kementerian dan Lembaga, dengan tema Pemetaan Masyarakat Hukum Adat, pada 30 September 2013, yang menyusulkan Menteri Dalam Negeri untuk mengusulkan Presiden untuk membuat Instruksi Presiden khusus yang membentuk Satuan Tugas Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara no 35/PUU-X/2012, beserta tugas-tugasnya.