BAB I PENDAHULUAN. Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan zat adiksi lainnya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 : PENDAHULUAN. Narkoba(Narkotika dan obat/bahan berbahaya) sebagai kelompok obat, bahan, atau zat

BAB I PENDAHULUAN. Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif. Semua istilah ini baik narkoba atau napza

17. Keputusan Menteri...

2015 PUSAT REHABILITASI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PRIA

BAB I PENDAHULUAN. anastesi yang dapat mengakibatkan tidak sadar karena pengaruh system saraf

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun elektronik sering menunjukkan adanya kasus penyalahgunaan NAPZA.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akronim dari NARkotika, psikotropika, dan Bahan Adiktif lainnya.

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI

BAB V PENUTUP. yang telah dilakukan oleh peneliti. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif

BAB I PENDAHULUAN. Disisi lain, apabila disalahgunakan narkoba dapat menimbulkan ketergantungan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sosialisasi, transisi agama, transisi hubungan keluarga dan transisi moralitas.

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang. Perancangan Interior Panti Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkoba

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

ABSTRAK Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. mengancam hampir semua sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Masalah

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya (Waluyo, 2011).

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

Ratna Indah Sari Dewi 1. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Syedza Saintika Padang 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengkonsumsi alkohol dapat berpengaruh langsung pada lingkungan masyarakat

2011, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan NAPZA merupakan suatu pemakaian obat yang bukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DRUG ABUSE KELOMPOK 5

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mental adiktif, karena zat yang terkandung di dalam NAPZA menimbulkan adiksi atau

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

DAMPAK PERILAKU PENGGUNAAN MINUMAN KERAS DI KALANGAN REMAJA DI KOTA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Adiktif lainnya. Kata lain yang sering dipakai adalah Narkoba (Narkotika,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah penyalahgunaan narkoba, khususnya di Indonesia, saat ini

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan peredaraan dan penyalahgunaan obat-obatan. mengkhawatirkan. Badan Narkotika Nasional (2008) sendiri setidaknya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengguna Narkoba. Pengguna napza atau penyalahguna napza adalah individu yang

BAB VII ZAT ADIKTIF DAN PSIKOTROPIKA

DUKUNGAN PSIKOSOSIAL KELUARGA DALAM PENYEMBUHAN PASIEN NAPZA DI RUMAH SAKIT JIWA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. menggolongkan perbedaan antara jenis obat psikotropika dan obat narkotika, serta

BAB I PENDAHULUAN. berkembang dengan pesat, secara garis besar masalah kesehatan jiwa. Masalah psikososial membutuhkan kemampuan penyesuaian dan

BAB 1 PENDAHULUAN. lainnya) bukan merupakan hal yang baru, baik di negara-negara maju maupun di

BAB I PENDAHULUAN. coba-coba (bereksperimen) untuk mendapatkan rasa senang. Hal ini terjadi karena

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

2016, No Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lemb

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Meningkatnya penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dapat dikatakan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. cepat dari proses pematangan psikologis. Dalam hal ini terkadang menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keterbatasan pengetahuan tentang narkoba masih sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. NARKOBA adalah singkatan Narkotika dan Obat/Bahan berbahaya.

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

KATA PENGANTAR. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. positif ataupun negatif. Perilaku mengonsumsi minuman beralkohol. berhubungan dengan hiburan, terutama bagi sebagian individu yang

BAB I PENDAHULUAN. saja fenomena - fenomena yang kita hadapi dalam kehidupan sehari - hari dalam

BAB I PENDAHULUAN. Panti Rehabilitasi Ketergantungan NAPZA Arsitektur Perilaku. Catherine ( ) 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. medis merupakan suatu bentuk penyalahgunaan yang dapat berakibat fatal di

Hubungan Self Hypnotherapy pada Persentase Relapse (kekambuhan) Pengguna NAPZA

BAB I PENDAHULUAN. tergolong makanan jika diminum, diisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan,

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih mudah dengan berbagai macam kepentingan. Kecepatan


BAB VI PENUTUP. penulis membuat kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia sesuai Visi Indonesia Sehat 2010 ditandai dengan

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

BAB I PENDAHULUAN. menjadi masalah bagi sebagian besar negara di dunia. Hal ini dapat dimengerti

BAB I PENDAHULUAN. (NAPZA) atau yang lebih sering dikenal masyarakat dengan NARKOBA

INTERVENSI ORGANISASI PADA MASALAH KESEHATAN KERJA KARYAWAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja. Perubahan yang dialami remaja terkait pertumbuhan dan perkembangannya harus

BAB 1 : PENDAHULUAN. sekedar untuk, misalnya bersenang-senang, rileks atau relaksasi dan hidup mereka tidak

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 996/MENKES/SK/VIII/2002 TENTANG

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya yang lebih dikenal dengan

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. juga dianggap sebagai pelanggaran hukum.

BAB II LANDASAN TEORI. merupakan zat psikoaktif yang bersifat adiksi atau adiktif. Zat psikoaktif adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. konsekuen dan konsisten. Menurut NIDA (National Institute on Drug Abuse), badan

MAKALAH. ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR (ISBD) Bahaya Narkoba Bagi Remaja. Teknik Komputer Golongan B Muh. An im Fatahna D

BAB I PENAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan suatu proses perkembangan antara masa anakanak

PENTINGNYA PERAN ORANGTUA DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA

NAPZA. Priya - PKBI. Narkotika Psikotropika dan zat adiktif lainnya atau di singkat dengan NAPZA.

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dunia khususnya bangsa Indonesia, saat ini sedang dihadapkan

REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan masyarakatnya. Kondisi masyarakat yang sehat dan cerdas akan. tantangan global di masa kini dan di masa yang akan datang.

BUPATI KULON PROGO Sambutan Pada Acara UPACARA BENDERA 17 JUNI 2013 TINGKAT KABUPATEN KULON PROGO Wates, 17 Juni 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sedang berkembang (developing

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sintia Dewi,2013

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada remaja biasanya disebabkan dari beberapa faktor

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat, bangsa dan umat manusia. yang sangat mengkhawatirkan. Terutama pada remaja-remaja saat ini yang makin

REHABILITASI PADA LAYANAN PRIMER

Lampiran 1 KUESIONER PERILAKU PENGGUNA NAPZA SUNTIK DI DALAM MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

I. PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (narkotika,

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN MASYARAKAT

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.l. Latar Belakang Penelitian Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan zat adiksi lainnya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan / Obat berbahaya) merupakan masalah yang sangat kompleks dan memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan konsisten. Dalam bidang kedokteran sebagian besar golongan NAPZA masih bermanfaat bagi pengobatan, meskipun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan, terlebih lagi bila disertai peredaran di jalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Diindikasikan besarnya jumlah ini disebabkan Indonesia, terutama beberapa kota besar menjadi daerah tujuan pasar narkotika internasional, dan bukan lagi sekadar tempat transit saja. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah target utama pasar narkotika ini adalah para remaja. Misalnya di Jakarta saja, pada tahun 2000 ditengarai ada lebih dari 166 SMP dan 172 SMA yang menjadi pusat peredaran narkotika dengan lebih dari 2000 siswa terlibat di dalamnya. Angka ini pun masih akan lebih besar karena fenomena ini seperti gunung es, yaitu yang tampak hanya permukaannya saja dan sebagian besar yang lain belum terlihat. 1

2 Diperkirakan setiap 1 penyalahguna narkotika yang dapat diidentifikasi, ada 10 orang lainnya yang belum diketahui. Dari data singkat mengenai peredaran narkotika di Indonesia dan Jakarta ini, terlihat betapa mengkhawatirkannya ancaman narkotika bagi generasi muda Indonesia. Apalagi jika melihat akibatakibat yang ditimbulkannya. Padahal, narkotika hanyalah satu dari beberapa zat berbahaya yang bisa disalahgunakan, di samping alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Remaja merupakan tahapan yang paling sering memulai kegiatan merokok, meminum alkohol, maupun menggunakan NAPZA daripada tahapan lainnya dalam rentang kehidupan. Kebanyakan remaja menggunakan marijuana sebelum mereka lulus sekolah menengah atas (Johnston, Bachman, & O'Malley, 1982, dalam Santrock, 1992). Terdapat banyak alasan remaja mabuk, merokok maupun mengonsumsi NAPZA (Hansen et al., 1987; Stein, Newcomb, & Bentler, 1987, dalam Santrock, 1992). Faktor yang paling kuat dalam tahap awal penggunaan NAPZA didapatkan dari pengaruh teman sebaya dan orang tua. Studi membuktikan bahwa remaja lebih mudah menggunakan marijuana dan zat adiktif lainnya jika orang tua dan teman sebayanya menggunakan NAPZA (Brook, Whiteman, & Gor Jessor & Jessor, 1977; Stein, Newcomb, & Bentler, 1987, dalam Santrock, 1992). Pengenalan pertama mereka pada NAPZA umumnya melalui teman sebaya (Kandel, 1974,dalam Santrock, 1992). Berdasarkan survei awal dan wawancara dengan tiga orang remaja pengguna NAPZA, didapatkan hasil bahwa remaja pengguna NAPZA mendapatkan informasi awal mengenai NAPZA, baik terkait informasi mengenai jenis maupun efek yang ditimbulkan

3 ketika menggunakan NAPZA, melalui teman sebayanya yang telah menggunakan NAPZA terlebih dahulu. Hal ini dijadikan pengenalan awal mereka terhadap NAPZA. Bagi remaja korban ketergantungan NAPZA diperlukan layanan yang terpadu untuk menghindari gangguan fisik; yang dapat menyebabkan komplikasi penyakit pada seluruh organ tubuh dan sistem syaraf bahkan dapat menimbulkan kematian, dan untuk membawa mereka kembali ke tengah masyarakat (Moeliono, Laurike, 2003). Hal ini dapat dilakukan dengan mengikuti berbagai terapi, baik terapi medis maupun psikologis (Husin, Al Bachri, 2002). Detoksifikasi, salah satu terapi medis, merupakan proses menghilangkan racun (narkotika atau zat adiktif lain) dari tubuh dengan cara menghentikan total pemakaian semua NAPZA yang dipakai atau dengan penurunan dosis obat pengganti. Program ini bertujuan untuk mengurangi, meringankan, atau meredakan keparahan gejala-gejala putus zat (pengaruh fisik dari NAPZA / sakau ), serta untuk mengurangi keinginan (craving), tuntutan dan kebutuhan mengonsumsi NAPZA. Menurut ketiga remaja pengguna NAPZA, selain mengikuti program detoksifikasi mereka juga tergabung dalam rumah terapi NAPZA di rumah terapi NAPZA Bandung. Di dalam rumah terapi ini, mereka diikutkan pada program konseling yang dibimbing oleh sesama mantan pecandu NAPZA. Di sini mereka diminta untuk mengungkapkan baik terkait perasaan maupun pengalaman saat menggunakan NAPZA. Salah satu dari remaja pengguna NAPZA juga telah mengikuti program pesantren yang diyakini dapat menghilangkan ketergantungannya kepada NAPZA. Menurut remaja, dalam pesantren ia

4 dikenakan pengaturan jadwal aktivitas. Di sini remaja pengguna NAPZA tersebut ditindak secara fisik oleh pengurus pesantren, seperti jika sedang berada dalam kondisi craving mereka ditampar atau dibiarkan dalam kamarnya. Di sisi lain, menurut pengakuan ketiga remaja pengguna NAPZA, setelah menjalani program detoksifikasi hingga tuntas (tes urin sudah negatif), bergabung dalam rumah terapi, bahkan mengikuti terapi di pesantren dan sudah tidak merasakan keadaan gejala putus zat ( sakau ), namun keinginan mengonsumsi NAPZA (craving) masih terus membuntuti pikiran dan perasaan remaja. Dalam upaya rehabilitasi terhadap remaja pengguna NAPZA, sangat penting diperhatikan adanya faktor kekambuhan (relapse) yang sangat rentan terjadi pada para pengguna NAPZA. Relapse adalah kondisi individu yang gagal mempertahankan kondisi sehat (sober) setelah ia melakukan usaha-usaha pemulihan sebelumnya (Marlatt dan Gordon, 1985). Remaja yang telah sembuh dari kondisi sakit dan telah memasuki periode stabil namun kembali mengalami simptom-simptom penyakitnya dikatakan mengalami relapse. Pada tahapan inilah kemampuan remaja benar-benar diuji dalam rangka mempertahankan kondisi tanpa obat. Menurut penelitian keadaan relapse mencapai 50% - 90%, baik bagi para pecandu yang telah melalui perawatan formal maupun yang tidak. Bahkan 60% pecandu dapat mengalami relapse setelah tiga bulan keluar dari perawatan pemulihan (Mckay, J. R., 1999). Pola penyalahgunaan NAPZA oleh remaja ditentukan oleh struktur kognitif maladaptif remaja mengenai NAPZA (drug-related belief) yang mengarah pada emosi dan perasaan, sehingga mengakibatkan penyalahgunaan

5 terhadap NAPZA. Dengan demikian, remaja memerlukan terapi yang diarahkan pada pengubahan cara berpikir dan belief yang lebih positif mengenai NAPZA, sehingga dapat mengubah pemikiran negatif dan kemudian membawa perubahan dalam perilaku ketergantungan terhadap NAPZA (Milkman, Harvey B., dan Wenberg, Kenneth W., 2005). Penting juga untuk memahami bahwa zat psikoaktif dapat mengatur suasana hati dengan segera. Sebagai contoh, alkohol dan benzodiazapines memberikan efek anti kecemasan; amphetamines kokain, nikotin dan kafein memberikan stimulasi segera; dan hampir semua obat-obatan digunakan sebagai anti kebosanan. Sebagian individu memiliki ketagihan terhadap NAPZA tergantung dari efek pengaturan suasana hati (Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996, dalam Salkovskis, 1996). Jika remaja pengguna NAPZA sudah melakukan terapi detoksifikasi, pengaruh fisik atas pengaturan suasana hati akan hilang. Hanya saja, pengalaman remaja mengenai pengaturan suasana hati yang pernah dirasakan ketika mengonsumsi NAPZA, dapat memperkuat belief remaja mengenai NAPZA (drug-related belief). Dalam penelitian ini akan diambil sampel remaja pengguna NAPZA yang telah mengikuti terapi detoksifikasi, sehingga pengaruh fisik terhadap NAPZA sudah hilang. Dari hasil wawancara terhadap tiga orang remaja pengguna NAPZA, mengenai alasan menggunakan NAPZA kembali, remaja A (usia 17 tahun, pendidikan SMU dan sudah 5 tahun menggunakan NAPZA) mengakui bahwa penyalahgunaan NAPZA dikarenakan keyakinan mereka terhadap efek menyenangkan yang dapat ditimbulkan oleh NAPZA, seperti dapat menimbulkan

6 perasaan gembira, yang dilakukan untuk menghilangkan kebosanan dan membebaskan dari tekanan tugas sekolah. Sedangkan remaja B (usia 18 tahun, pendidikan SMU dan sudah 3 tahun menggunakan NAPZA) mengakui bahwa pengonsumsian NAPZA didasari keyakinan bahwa tidak ada kegiatan lain yang lebih menyenangkan dibandingkan dengan penggunaan NAPZA. Pengonsumsian ini dilakukan ketika remaja mengalami keadaan craving. Keyakinan atas efek positif dalam penggunaan NAPZA dinamakan anticipatory belief (Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996, dalam Salkovskis, 1996). Sementara remaja C (usia 16 tahun, pendidikan SMU dan sudah 4 tahun menggunakan NAPZA) mengatakan bahwa ia yakin jika menggunakan NAPZA, akan memberikan perasaan tenang dan nyaman yang dapat membantunya melupakan konflik dengan teman dekatnya. Keyakinan bahwa NAPZA dapat memulihkan dari keadaan fisik yang tidak nyaman dinamakan relief-oriented belief (Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996, dalam Salkovskis, 1996). Menurut pengakuan remaja, keyakinannya terhadap efek positif atau menyenangkan yang dapat ditimbulkan oleh NAPZA, maupun harapan mereka terkait penggunaan NAPZA yang dapat memulihkan dari keadaan fisik yang tidak nyaman, mengaktifkan keyakinan mereka mengenai NAPZA (drug-related belief, Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996). Remaja A dan B pada akhirnya mengembangkan keyakinan bahwa penggunaan NAPZA merupakan satu-satunya kegiatan yang dapat menimbulkan perasaan bersemangat dan kegembiraan. Sementara remaja C mengembangkan keyakinan bahwa NAPZA merupakan obat yang dapat membuat ia selalu berada dalam keadaan tenang dan

7 membantunya melupakan konflik dengan teman dekatnya. Dengan demikian mereka memiliki pemikiran bahwa, NAPZA memberikan kesenangan, sehingga saya akan mengonsumsi NAPZA, dan mengonsumsi NAPZA memberikan perasaan tenang dan nyaman. Pemikiran yang merupakan ide secara spontan terlintas dalam pikiran individu dinamakan automatic thoughts (Lisa M., Najavits, Bruce S Liese & Melanie S Harred, 2005). Pikiran otomatis akan memimpin ke arah urge (dorongan) dan craving (keinginan) remaja pengguna NAPZA untuk menggunakan NAPZA. Akhirnya para remaja pengguna NAPZA memiliki pemikiran yang mengijinkan untuk mengonsumsi NAPZA. Remaja A memberikan ijin terhadap tindakan mengonsumsi NAPZA atas dasar keyakinan bahwa hanya dengan menggunakan NAPZA sekali saja, tidak dapat menyebabkan gangguan terhadap fisik maupun ketergantungan terhadap NAPZA. Remaja B, mengijinkan penggunaan NAPZA atas dasar keyakinan bahwa craving merupakan keadaan yang tidak menyenangkan, sehingga menurutnya tidak masalah mengonsumsi NAPZA untuk mengatasi craving. Sedangkan remaja C, mengijinkan penggunaan NAPZA karena meyakini bahwa ia akan dapat menghentikan secepatnya penggunaan NAPZA setelah masalah yang dihadapi dengan pasangannya dapat ia lupakan dan merasakan perasaan tenang. Keyakinan atas pemberian ijin dalam penggunaan NAPZA dinamakan facilitating beliefs (Lisa M., Najavits, Bruce S Liese & Melanie S Harred, 2005). Keyakinan ini dapat memimpin para remaja pengguna NAPZA ke dalam pengonsumsian NAPZA kembali dan jatuh ke dalam kondisi relapse. Remaja menjadi terjebak dalam lingkaran setan penggunaan NAPZA dan

8 penguatan mengenai drug-related belief yang memperluas kecanduan remaja (Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996, dalam Salkovskis, 1996). Lingkaran setan ini bermula dari pengaktifan stimulus (high-risk situation) yang dapat menyebabkan relapse. Seperti yang terungkap di wawancara, remaja A meyakini penggunaan NAPZA dapat membantunya menghadapi situasi tertekan dan perasaan bosan. Situasi ini dinamakan negative emotional states (Marlatt dan Gordon, 1985), yaitu situasi yang melibatkan keadaan emosi, suasana hati, atau perasaan negatif (tidak menyenangkan). Remaja B memiliki keyakinan bahwa penggunaan NAPZA dapat menyelamatkannya dari keadaan craving. Situasi ini dinamakan giving in to temptations or urges (Marlatt dan Gordon, 1985), yaitu merupakan dorongan "internal" atau keinginan subyektif yang intens terhadap penggunaan NAPZA dengan tidak adanya faktor-faktor interpersonal yang terlibat. Sedangkan remaja C meyakini penggunaan NAPZA dapat membantunya menghadapi konflik yang dihadapi dengan teman dekatnya. Situasi ini dinamakan interpersonal conflict (Marlatt dan Gordon, 1985), yaitu situasi konflik saat ini atau yang relatif baru terkait dengan hubungan interpersonal seperti pernikahan, persahabatan, keluarga, dan hubungan pekerjaan. Situasi ini merupakan beberapa kategori yang disebut oleh Marlatt dan Gordon (1985), sebagai situasi berisiko tinggi (high-risk situation). Keadaan relapse yang dihadapi para remaja pengguna NAPZA disebabkan karena adanya belief yang tidak tepat mengenai NAPZA (drug-related belief) yang didapatkan dari pengalaman pengaturan suasana hati sebagai akibat

9 pengonsumsian NAPZA yang pernah mereka alami. Dalam hal ini belief yang terbentuk lewat proses kognitif terhadap pengalaman mengenai NAPZA (drugrelated belief), dalam Cognitive Behavior Therapy (CBT) disebut dengan negative automatic thoughts. Negative automatic thoughts pada remaja pengguna NAPZA terhadap NAPZA (drug-related belief), dapat memicu keyakinan remaja pengguna NAPZA atas penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation (Bruce S. Liese dan Robert A. Franz, 1996, dalam Salkovskis, 1996). Berangkat dari fakta serta ditambah dengan pemikiran di atas mengenai ketergantungan pada NAPZA, peneliti tertarik untuk melakukan intervensi terhadap remaja pengguna NAPZA dengan memberikan Cognitive Behavior Therapy (CBT) dalam mengubah negative automatic thoughts mengenai drugrelated belief. Alasan utama peneliti ingin memberikan CBT dalam bentuk terapi individual karena relapse merupakan perilaku yang didasari oleh belief yang salah dari remaja pengguna NAPZA. Belief negatif ini dapat dirubah menjadi positif, salah satunya dengan menggunakan Cognitive Behavior Therapy (CBT), yang merupakan bentuk cognitive behavior modification (dalam Martin & Pear, 1992). Tujuan CBT dalam menangani ketergantungan terhadap NAPZA adalah menolong remaja untuk mengidentifikasi pemikiran yang salah (negative automatic thoughts), perasaan dan tingkah laku maladaptif yang dipelihara atau penggunaan NAPZA yang lebih buruk, dan untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi permasalahan di kehidupan pada umumnya dengan menggunakan problem solving skills (Rotgers, Frederick dan Davis, Arburn, 2005).

10 Aplikasi CBT meliputi konsep kognitif yang dirancang dengan prinsip dasar dari model kognitif. Penerapan CBT sebagai terapi untuk mengubah negative automatic thoughts remaja mengenai keyakinan penggunaan NAPZA dalam menghadapi high-risk situation, merupakan bentuk cognitive behavior modification (dalam Martin & Pear, 1992), sedangkan model Relapse Prevention oleh Marlatt dan Gordon (1985) didasarkan pada psikologi social-cognitive yang menggabungkan antara model konseptual relapse dan serangkaian strategi cognitive-behavior untuk mencegah atau membatasi masa relapse (Dimeff dan Marlatt, 1998; Marlatt, 1996; Marlatt dan Gordon, 1985). Didasari hal ini, peneliti tertarik untuk menyelidiki apakah terapi individual dengan pendekatan cognitive behavior therapy terhadap drug-related belief dapat mengubah negative automatic thoughts mengenai penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation pada remaja pengguna NAPZA, menjadi keyakinan positif terhadap kemampuan menghadapi high-risk situation dengan problem solving skills yang lebih efektif dan tanpa diikuti penggunaan NAPZA. Hal ini secara langsung dapat mengendalikan relapse pada remaja. Cognitive Behavior Therapy (CBT) memfokuskan untuk menolong remaja yang memiliki ketergantungan agar tetap berada dalam keadaan abstinence dan sehat (sober). Proses belajar memegang peranan penting dalam perkembangan, kelanjutan penggunaan dan ketergantungan terhadap NAPZA. Proses belajar yang sama pun dapat digunakan untuk menolong remaja dalam mengurangi penggunaan NAPZA. CBT berupaya menolong remaja untuk mengenali, menghindari dan menghentikan kecanduannya. Mengenali negative automatic

11 thoughts mengenai drug-related belief, situasi-situasi sebagai pencetus yang memimpin remaja menggunakan NAPZA kembali (high-risk situation), keadaan craving, menghindari situasi tersebut dengan tepat, menghentikan dengan menggunakan problem solving skills yang lebih efektif dalam menangani highrisk situation yang di hadapi remaja (M.D., Rockville, 1998). Melalui terapi ini, pemikiran-pemikiran terhadap drug-related belief akan digali dengan memancing mereka untuk menemukannya sendiri, kemudian melalui proses dalam terapi kepada remaja akan diajarkan cara untuk mengubah negative automatic thoughts. Rancangan penelitian bertujuan untuk melihat perubahan keyakinan negatif menjadi keyakinan positif remaja terhadap penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation. Hal ini dilakukan dengan memberikan problem solving skills, yang bertujuan untuk menyadarkan remaja bahwa dengan problem solving skills dapat menangani permasalahan yang remaja hadapi secara lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan NAPZA. Dengan peningkatan kemampuan remaja dalam menyelesaikan masalah melalui problem solving skills, diharapkan dapat membantu remaja mencapai perubahan negative automatic thoughts mengenai drug-related belief yang membantu mengubah keyakinannya tentang penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation dalam pengendalian terhadap relapse. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana efektifitas Cognitive Behavior Therapy terhadap drug-related belief sehingga dapat mengubah negative automatic thoughts

12 penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation pada remaja pengguna NAPZA di rumah terapi X Bandung. 1.3 Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk melihat efektifitas CBT dalam mengubah keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation dengan cara mengubah negative automatic thoughts terhadap drug-related belief dengan pendekatan CBT pada remaja pengguna NAPZA. 1.3.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektifitas CBT dalam mengubah keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation melalui CBT pada remaja pengguna NAPZA. Selain itu diharapkan juga melalui CBT remaja pengguna NAPZA dapat memahami cara mengubah negative automatic thoughts menjadi positif, agar remaja dapat menghindari penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation dan mengembangkan problem solving skills yang lebih efektif dalam menangani high-risk situation. 1.3.3 Kegunaan Penelitian 1.3.3.1 Kegunaan Teoretis Kegunaan teoretis penelitian ini adalah untuk: Memberi sumbangan pengetahuan, khususnya bagi psikologi kesehatan dan psikologi klinis mengenai peran CBT dalam mengendalikan relapse dengan

13 mengubah keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation pada remaja pengguna NAPZA. Menjadi sumber informasi dan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penggunaan CBT terhadap berbagai permasalahan psikologis. Memberikan masukan bagi remaja pengguna NAPZA untuk memahami bagaimana negative automatic thoughts terhadap drug-related belief dapat menghambat proses pengendalian relapse. Dengan pemahamannya tersebut, remaja pengguna NAPZA mampu mempertahankan kondisi tanpa NAPZA saat menghadapi high-risk situation. 1.3.3.2 Kegunaan Praktis Adapun kegunaan praktis penelitian ini adalah untuk: Memberi informasi tambahan bagi lembaga yang menangani remaja pengguna NAPZA mengenai peran CBT dalam mengendalikan relapse. Memberi informasi bagi lembaga formal dan non formal yang menangani pasien remaja pengguna NAPZA, bahwa penerapan pendekatan CBT dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan terapi utuk mengurangi relapse terhadap NAPZA. 1.4 Metode Penelitian Penelitian ini mencoba untuk menghasilkan modul Cognitive Behavior Therapy dan melihat signifikansinya terhadap perubahan keyakinan penggunaan

14 NAPZA saat menghadapi high-risk situation sebelum dan sesudah diberikan terapi individual pada remaja pengguna NAPZA di rumah terapi X Bandung. Rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi highrisk situation Modul Cognitive Behavior Therapy Perubahan keyakinan penggunaan NAPZA saat menghadapi high-risk situation dengan problem solving yang lebih efektif dan tanpa diikuti penggunaan NAPZA Bagan 1.1. Rancangan Penelitian