KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN

dokumen-dokumen yang mirip
KEPPRES 55/1999, PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH FEDERASI RUSIA MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPPRES 114/1993, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM MENGENAI PELAYARAN NIAGA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pasal 1. Kedua pihak sepakat untuk meningkatkan dan saling tukar menukar pengalaman di bidang penerangan, mencakup :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

REPUBLIK INDONESIA PERSETUJUAN

MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANTARA INSTITUT PENELITIAN EKONOMI UNTUK ASEAN DAN ASIA TIMUR DENGAN SADAN PUSAT STATISTIK REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Departemen Luar Negeri Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Romania (selanjutnya disebut sebagai "Para Pihak";

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH TURKMENISTAN MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK

REPUBLIK INDONESIA. SESUAI dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di masing-masing negara; PASAL 1 PEMBEBASAN VISA

PENGATURAN ANTARA. MENGINGAT hubungan dan kerjasama yang bersahabat yang telah ada antara Republik Indonesia dan Kerajaan Kamboja;

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH NEGARA PALESTINA TENTANG KERJASAMA Dl BIDANG PARIWISATA

SALING PENGERTIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DENGAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRASI MYANMAR

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok,

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Parlemen Republik Fiji, yang selanjutnya disebut sebagai "Para Pihak";

~ REPUBLIK INDONESIA PERSETUJUAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

PERSETUJUAN PERDAGANGAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK YAMAN PASAL 1 PASAL 2

PENYUSUNAN NASKAH PERJANJIAN INTERNASIONAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura (selanjutnya disebut "Para Pihak");

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DJIBOUTI MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

~. -~ :~~ \ ) ) '../ft

PERSETUJUAN PERDAGANGAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN KAMBOJA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERHASRA T unruk meningkatkan hubungan baik berdasarkan kemitraan clan kerjasama antara penduduk kedua kota;

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK MOZAMBIK MENGENAI KERJSAMA EKONOMI DAN TEKNIK

KEPPRES 91/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN PERDAGANGAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK YAMAN

disebut sebagai "Para Pihak";

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1973 TENTANG PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

REPUBLIK INDONESIA PEMBUKAAN

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINT AH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH FEDERASI MIKRONESIA MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK SINGAPURA TENTANG PENETAPAN GARIS BATAS LAUT WILAYAH KEDUA NEGARA DI SELAT SINGAPURA

MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANT ARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERSETUJUAN PERDAGANGAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN MAROKO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEMORANDUM SALING PENGERTIAN TENTANG K.ERJA SAMA EKONOMI DAN TEKNIS ANTARA PEMERINTAH REPUBUK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

REPUBLIK INDONESIA PASAL1

REPUBLIK INDONESIA CONCERNING SISTER CITY COOPERATION

REPUBLIK INDONESIA MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANT ARA KEMENTERIAN PEROAGANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Pemerintah Australia, selanjutnya disebut 'Para Pihak';

PERJANJIAN. '.,...,'. ANTARA '. l1. - I. PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA. - DAN,.. ". PEMERINTqH.., REPUBLIK RAKYAT CHINA ' MENGENAI

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Denmark yang selanjutnya secara tunggal disebut "Pihak" dan secara bersama disebut "Para Pihak";

REPUBl.JK INDONESIA. Pemerintah Kata Jayapura, Republik Indonesia dan Pemerintah Kata Wewak, Papua Nugini, selanjutnya disebut sebagai para "Pihak";

Jamaica selanjutnya disebut sebagai "Para pihak". Didorong keinginan untuk saling memperdalam dan. tali persaudaraan yang telah ada diantara kedua

REPUBLIK INOONESIA MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANT ARA KOMISI PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA DAN KANTOR PEMILIHAN FIJI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERASI NIGERIA MENGENAI KERJASAMA EKONOMI DAN TEKNIK

Mengakui pentingnya asas-asas persamaan dan saling menguntungkan; Sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di rnasingmasing

Dalam rangka untuk lebih memperkuat dan memperdalam hubungan persahabatan dan kerja sama yang telah ada antara Para Pihak;

REPUBLIK INDONESIA PASAL1 TUJUAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

bidang penanggulangan bencana untuk kesejahteraan dan keselamatan rakyat di kedua negara;

~ ' REPUBLIK INDONESIA


PASALI TUJUAN PASAL II RUANG LINGKUP KERJASAMA. Ruang lingkup kerjasama di bawah Memorandum Saling Pengertian ini adalah sebagai berikut:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

===========================================

PERSETUJUANPERDAGANGAN ANT ARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN KAMBOJA

REPUBLIK INDONESIA. SESUAI dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di masing-masing negara; PASALI TUJUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

REPlJBLIK INDONESIA. SESUAI dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di PASAL 1 PEMBEBASAN VISA

PASAL1 "PASAL4 MITRA KERJA

EMORANDUM SALING PENGERTIAN ANTARA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DAN ARSIP NASIONAL PUSAT REPUBLIK YAMAN MENGENAI KERJASAMA KEARSIPAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2005

REPUBLIK INDONESIA. Memorandum Saling Pengertian an tara. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia dan

REPUBLIK INDONESIA. MEMPERCAYAI bahwa kerja sama yang dilakukan akan membawa manfaat bagi para Pihak;

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Australia; menimbulkan ancaman yang nyata terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat kedua negara;

KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


(selanjutnya masing-masing disebut sebagai "Pihak" dan secara bersama sebagai "Para Pihak"),

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON TEMPORARY ADMISSION (KONVENSI TENTANG PEMASUKAN SEMENTARA)

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON TEMPORARY ADMISSION (KONVENSI TENTANG PEMASUKAN SEMENTARA)

MEMORANDUM SALING PENGERTIAN ANT ARA DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN LAUT KEMENTERIAN PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA DAN OTORITAS MARITIM NORWEGIA

KEPPRES 53/1998, PENGESAHAN PROTOCOL TO IMPLEMENT THE INITIAL PACKAGE OF COMMITMENTS UNDER THE ASEAN FRAMEWORK AGREEMENT ON SERVICES

P E R S E T U J U A N

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARANPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa di Jakarta, pada tanggal 28 Oktober 1996 Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal Jerman di bidang Pelayaran, sebagai hasil perundingan antara Delegasi-delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal Jerman; b. bahwa sehubungan dengan itu, dan sesuai dengan Amanat Presiden Republik Indonesia kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara Lain, dipandang perlu untuk mengesahkan Perjanjian tersebut dengan Keputusan Presiden; Mengingat: Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945; MEMUTUSKAN: Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMAN DI BIDANG PELAYARAN. Pasal 1 Mengesahkan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal Jerman di bidang Pelayaran, yang telah ditandatangani Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta, pada tanggal 28 Oktober 1996, sebagai hasil perundingan antara Delegasi-delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal Jerman yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia, Jerman dan Inggeris sebagaimana terlampir pada Keputusan Presiden ini. Pasal 2 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. *35385 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakartapada tanggal 11 Juni 1999PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttdbacharuddin JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakartapada tanggal 11 Juni 1999MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA ttdmuladi LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 107 --------------------------- CATATAN PERJANJIAN ANTARAPEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DANPEMERINTAH REPUBLIK FEDERAL JERMANDI BIDANG PELAYARAN Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal Jerman, Berkeinginan meningkatkan hubungan Pelayaran antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Federal berdasarkan kepentingan timbal balik dari kedua negara dan kebebasan perdagangan luar negeri, dan sedapat mungkin mendorong kerjasama internasional dibidang ini. Menyadari bahwa pertukaran barang-barang antara kedua negara sebaiknya diikuti oleh pertukaran jasa-jasa yang berdaya guna, Telah Menyetujui Hal-Hal Sebagai Berikut: Pasal 1 Definisi Dalam perjanjian ini yang dimaksudkan dengan: 1. "Instansi yang berwenang dibidang pelayaran" adalah: a) Untuk Republik Indonesia adalah Departemen Perhubungan *35386 b) Untuk Republik Federal Jerman adalah Kementrian Transportasi Federal dan Instansi yang berada dibawahnya. 2. "Kapal dari salah satu Pihak Penanda Tangan" adalah setiap kapal yang berlayar dengan bendera kebangsaan dan telah didaftarkan dalam pendaftaran kapal sesuai dengan peraturan yang berlaku pada Pihak Penanda Tangan yang bersangkutan. Istilah tersebut tidak mencakup kapalkapal perang dan kapal-kapal ikan. 3. "Perusahaan pelayaran dari salah satu Pihak Penanda Tangan" adalah perusahaan angkutan yang berdomisili diwilayah Pihak Penanda Tangan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan hukumnya yang berlaku dan menyelenggarakan pelayaran internasional.

4. "Awak Kapal" adalah nakhoda kapal dan setiap orang yang selama pelayaran melaksanakan tugas di atas kapal. Orang-orang tersebut harus mempunyai dokumen perjalanan seperti tercantum dalam Pasal 11 dari Perjanjian ini. Nama-nama mereka harus termasuk dalam daftar Awak Kapal. 5. "Penumpang" adalah setiap orang yang berada di atas kapal dari masing-masing Pihak Penanda Tangan yang tidak dipekerjakan atau tidak terikat dalam sesuatu bidang tugas di atas kapal, dan yang namanya tercantum dalam daftar penumpang kapal tersebut dan mempunyai dokumen perjalanan yang sah. 6. "Wilayah" dimaksudkan: - Dalam kaitan dengan Republik Indonesia, adalah wilayah Republik Indonesia sebagaimana disebutkan dalam perundang-undangannya. - Dalam kaitan dengan Republik Federal Jerman, adalah wilayah dimana undang-undang dasar Republik Federal Jerman berlaku (Grundgesetz). Pasal 2 KEBEBASAN BERLALU LINTAS (1) Para Pihak Penanda Tangan bersepakat untuk mendukung pengembangan pelayaran diantara kedua negara. (2) Kapal-kapal dari masing-masing Pihak Penanda Tangan berhak untuk berlayar diantara pelabuhan-pelabuhan kedua belah Pihak Penanda Tangan yang terbuka untuk perdagangan internasional dan mengangkut barang dan penumpang diantara kedua belah pihak Penanda Tangan maupun diantara masing-masing Pihak Penanda Tangan dan negara-negara Pihak ketiga. (3) Perjanjian ini tidak mengurangi hak kapal yang berlayar dengan bendera negara pihak ketiga untuk berpartisipasi dalam pengangkutan penumpang dan barang yang terdapat dalam perdagangan bilateral diantara para *35387 Pihak Penanda Tangan. (4) Kapal-kapal yang menggunakan bendera negara ketiga, dioperasikan oleh perusahaan angkutan dari salah satu Pihak Penanda Tangan menurut ketentuan yang berlaku di negara Pihak Penanda Tangan yang bersangkutan, akan memperoleh hak yang timbul akibat dari perjanjian ini. Pasal 3 IKATAN-IKATAN INTERNASIONAL Perjanjian ini tidak berpengaruh terhadap setiap ikatan yang timbul dari perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang telah diadakan oleh salah satu Pihak Penanda Tangan. Pasal 4 NON DISKRIMINASI PERUSAHAAN PELAYARAN Berdasarkan prinsip persaingan yang bebas dan adil masing-masing Pihak Penanda Tangan harus menghindari setiap tindakan diskriminasi terhadap setiap kapal dari Pihak Penanda Tangan lainnya.

Pasal 5 PERATURAN MENGENAI KEPELABUHANDAN PERAIRAN WILAYAH (1) Salah satu Pihak Penanda Tangan, berdasarkan prinsip timbal balik, akan memberikan perlakuan yang sama terhadap kapal-kapal milik Pihak Penanda Tangan ke dua, seperti kepada kapal-kapal milik Pihak Penanda Tangan pertama di pelabuhan-pelabuhan, perairan wilayah maupun perairan lainnya yang berada dibawah kedaulatan Pihak Penanda Tangan pertama, khususnya untuk memasuki, berlabuh dan berangkat dari pelabuhan-pelabuhan dengan menggunakan fasilitas pelabuhan untuk angkutan penumpang dan barang, maupun terhadap pungutan-pungutan dan biaya kepelabuhan, jasa-jasa dan fasilitas-fasilitas lainnya. (2) Masing-masing Pihak Penanda Tangan, atas dasar timbal balik, memberikan persyaratan yang layak kepada perusahaan pelayaran Pihak Penanda Tangan lainnya untuk mendirikan kantor-kantor perwakilan dan kegiatan-kegiatan pelayaran lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional masing-masing Pihak Penanda Tangan. Pasal 6 TRANSFER TANPA PEMBATASAN Masing-masing Pihak Penanda Tangan memperbolehkan perusahaan-perusahaan pelayaran Pihak Penanda Tangan lainnya untuk menggunakan pendapatan yang diperoleh dari jasa-jasa pelayaran di dalam wilayah Pihak Penanda Tangan lainnya untuk keperluan pembayaran yang berkaitan dengan pelayaran *35388 atau untuk mentransfer pendapatan tersebut ke luar negeri dalam mata uang yang dapat ditukarkan secara bebas.transfer tersebut dilaksanakan sesuai dengan Kurs Valuta Asing yang berlaku dan dalam batas waktu yang lazim. Pasal 7 DAERAH-DAERAH YANG TIDAK TERMASUK DALAM RUANG LINGKUPPENERAPAN PERJANJIAN Perjanjian ini tidak boleh mempengaruhi ketentuan hukum yang berlaku di salah satu Pihak Penanda Tangan mengenai: a) Hak-hak istimewa bendera nasional berkaitan dengan cabotage, salvage, penundaan, pemanduan dan jasa-jasa lainnya yang disediakan bagi perusahaan pelayaran nasional dari Pihak Penanda Tangan tersebut atau kepada perusahaan lainnya dan kepada para warga negaranya, namun demikian, pelayaran suatu kapal milik salah satu Pihak Penanda Tangan diantara pelabuhan-pelabuhan Pihak Penanda Tangan lainnya untuk maksud menurunkan penumpang dan membongkar barang yang diangkut dari suatu negara Pihak ketiga atau menaikkan penumpang dan memuat barang yang akan diangkut ke suatu negara Pihak Ketiga tidak dianggap sebagai cabotage. b) Kewajiban untuk menaikkan seorang pandu di atas kapal. c) Kapal-kapal yang melaksanakan fungsi pelayanan umum. d) Kegiatan yang termasuk ke dalam riset kelautan.

e) Hak istimewa atas survey Hydrographi pada perairan wilayah dari kedua belah Pihak Penanda Tangan. Pasal 8 KESESUAIAN DENGAN KETENTUAN HUKUM DARIPIHAK PENANDA TANGAN LAINNYA DIDALAM WILAYAHNYA (1) Kapal-kapal masing-masing Pihak Penanda Tangan serta kapal-kapal dari perusahaan pelayaran kedua belah Pihak Penanda Tangan selama berada di wilayah Pihak Penanda Tangan lainnya harus tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Pihak Penanda Tangan lainnya tersebut. Hal ini berlaku khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan mengenai kedatangan dan atau keberangkatan dari wilayah masing-masing bagi kapal-kapal yang digunakan dalam pelayaran internasional serta pengoperasiannya dan penguasaan kapal-kapal tersebut. (2) Para penumpang, awak kapal dan pengirim barang harus mematuhi peraturan perundangundangan yang berlaku diwilayah masing-masing Pihak Penanda Tangan berkenaan dengan ketibaan, tinggal dan keberangkatan para penumpang dan awak kapal, atau impor, ekspor dan penyimpanan barang di gudang, khususnya yang berkenaan dengan ketentuan mengenai pesiar, keimigrasian, kepabeanan, perpajakan dan karantina. *35389 Pasal 9 KEMUDAHAN ANGKUTAN LAUT Dalam penerapan peraturan-peraturan kepelabuhan kedua belah Pihak Penanda Tangan harus mengambil semua langkah-langkah yang diperlukan guna memberi kemudahan dan mendorong angkutan laut, guna menghindari perpanjangan waktu berlabuh yang tidak diperlukan, dan kalau mungkin mempercepat serta menyederhanakan prosedur kepabeanan dan formalitas lainnya yang harus dipatuhi di pelabuhan, serta mempermudah penggunaan instalasi pembuangan yang ada. Pasal 10 PENGAKUAN TIMBAL BALIK ATAS SURAT UKURDAN DOKUMEN KAPAL LAINNYA (1) Masing-masing Pihak Penanda Tangan harus saling mengakui kebangsaan kapal berdasarkan surat pendaftaran yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi internasional yang bersangkutan oleh pejabat yang berwenang dari kedua belah Pihak Penanda Tangan. (2) Masing-masing Pihak Penanda Tangan harus saling mengakui surat ukur dan dokumen kapal lainnya yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi internasional yang bersangkutan oleh pejabat yang berwenang dari kedua belah Pihak Penanda Tangan. Pasal 11 DOKUMEN PERJALANAN AWAK KAPAL (1) Masing-masing Pihak Penanda Tangan harus mengakui dokumen perjalanan Awak Kapal yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dari Pihak Penanda Tangan lainnya dan menjamin hak pemegang dokumen demikian itu sebagaimana diatur dalam Pasal 12 perjanjian ini. Bilamana ada

perubahan dokumen perjalanan Awak Kapal salah satu Pihak Penanda Tangan, perubahan tersebut harus diberitahukan kepada Pihak Penanda Tangan lainnya untuk keperluan pengakuan. Pengakuan diberikan apabila dokumen tersebut memenuhi persyaratan internasional untuk pengakuan Paspor Pelaut. (2) Dokumen perjalanan Awak Kapal yang diakui, bagi Republik Indonesia adalah Buku Pelaut dan Paspor, sedangkan bagi Republik Federal Jerman adalah Paspor atau Paspor Pelaut. (3) Untuk Awak Kapal warga negara Pihak ketiga yang dipekerjakan di atas kapal salah satu Pihak Penanda Tangan, dokumen perjalanan yang diakui adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat berwenang dari negara Pihak Ketiga yang bersangkutan dan sesuai dengan peraturan perundangundangan nasional masing-masing Penanda Tangan mengenai pengakuan Paspor atau Paspor pengganti. *35390 (4) Masing-masing Pihak Penanda Tangan harus menerima kembali orang-orang yang memasuki wilayah Pihak Penanda Tangan lainnya yang menggunakan dokumen perjalanan yang diterbitkan oleh masing-masing Pihak Penanda Tangan sesuai dengan Pasal 11 Paragraph (1). Pasal 12 KEDATANGAN, TRANSIT DAN PERSINGGAHAN AWAK KAPAL (1) Masing-masing Pihak Penanda Tangan harus mengijinkan awak kapal dari Pihak Penanda Tangan lainnya, yang memegang salah satu dokumen perjalanan sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 perjanjian ini, untuk turun ke darat dan tinggal di kota pelabuhan selama kapalnya berlabuh di pelabuhan Pihak Penanda tangan lainnya tersebut tanpa diharuskan memiliki ijin terlebih dahulu untuk tinggal (Visa) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini baik di Republik Indonesia maupun Federal Jerman diperlukan pas mendarat. (2) Setiap Awak Kapal yang memegang salah satu dokumen perjalanan sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 perjanjian ini, sesudah memperoleh ijin tinggal sebelumnya dari imigrasi (Visa) diijinkan untuk melakukan perjalanan melalui wilayah Pihak Penanda Tangan lainnya untuk maksud: - Pulang kembali ke negaranya; - Menggabungkan diri ke kapalnya atau kapal lain, atau; - Alasan lain yang dapat diterima oleh pejabat berwenang dari Pihak Penanda Tangan lainnya. (3) Ijin tinggal (Visa) yang diperlukan menurut Paragraf (2) harus dikeluarkan dalam waktu secepatnya. (4) Pejabat berwenang kedua belah Pihak Penanda Tangan harus mengijinkan Awak Kapal yang dirawat di rumah sakit dalam wilayah Pihak Penanda Tangan tersebut untuk tinggal selama diperlukan bagi perawatannya. (5) Masing-masing Pihak Penanda Tangan berhak untuk menolak kedatangan setiap orang yang tidak disukai untuk memasuki wilayah masing-masing, walaupun mereka memegang dokumen perjalanan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 perjanjian ini.

(6) Para petugas perwakilan diplomatik dan konsuler salah satu Pihak Penanda Tangan dan nakhoda maupun para Awak Kapal Pihak Penanda Tangan tersebut berhak untuk saling menghubungi dan bertemu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah Pihak Penanda Tangan lainnya. (7) Tanpa mengurangi arti ketentuan tersebut di atas, *35391 peraturan nasional masing-masing Pihak Penanda Tangan yang berkaitan dengan kedatangan, persinggahan dan keberangkatan warga negara asing tetap berlaku. Pasal 13 KECELAKAAN DI LAUT (1) Bilamana kapal dari masing-masing Pihak Penanda Tangan mengalami kecelakaan di perairan wilayah atau di pelabuhan-pelabuhan Pihak Penanda Tangan lainnya, maka Pihak Penanda Tangan tersebut terakhir harus memberi segala bantuan yang memungkinkan kepada kapal, Awak Kapal, barang dan penumpangnya sesuai dengan Konvensi Internasional yang telah diratifikasi oleh kedua belah Pihak Penanda Tangan. Masing-masing Pihak Penanda Tangan harus segera memberitahukan pejabat konsuler atau, jika tidak ada, perwakilan diplomatik dari Pihak Penanda Tangan lainnya apabila kapal-kapal dari Pihak lain tersebut dalam keadaan bahaya, dan memberitahu mereka tindakan-tindakan yang telah diambil, Awak Kapal, penumpang, kapal, muatan dan perbekalan kapal. (2) Bilamana muatan dan harta benda lainnya yang dibongkar atau diselamatkan dari kapal yang mengalami kecelakaan perlu disimpan untuk sementara di wilayah Pihak Penanda Tangan lainnya, maka perlengkapan, muatan dan harta benda tersebut harus dibebaskan dari semua bea impor dan pajak konsumsi sepanjang hal itu tidak ditujukan untuk konsumsi atau digunakan di wilayah Pihak Penanda Tangan lainnya tersebut. Pejabat Bea Cukai setempat harus segera diberitahukan mengenai hal tersebut, dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk penyimpanan sementara dan pembebasan bea impor atas barang-barang tersebut. Pasal 14 KONSULTASI Masing-masing Pihak Penanda Tangan dapat mengajukan permintaan konsultasi mengenai hal-hal yang menjadi kepentingan bersama. Pasal 15 KERJASAMA (1) Masing-masing Pihak Penanda tangan mendorong perusahaan-perusahaan pelayaran nasional dan semua instansi kedua negara yang terkait dalam bidang pelayaran untuk mencari dan mengembangkan segala bentuk kerjasama yang memungkinkan termasuk perbengkelan dan kapalkapal latih, terutama dalam bidang pendidikan dan pelatihan tenaga-tenaga ahli dan aspek-aspek teknik seperti keselamatan pelayaran dan pelayanan lalu lintas kapal. (2) Kedua belah Pihak Penanda Tangan mendorong para pengusaha pelayaran untuk mengadakan kerjasama dalam *35392 bidang pelayaran.

Pasal 16 PENYELESAIAN PERSELISIHAN Perselisihan yang timbul berkenaan dengan penafsiran dan pelaksanaan dari perjanjian ini akan diselesaikan secara baik melalui konsultasi dan saluran diplomatik antara kedua belah Pihak Penanda Tangan. Pasal 17 MULAI BERLAKU, MASA BERLAKU DAN PEMBATALAN PERJANJIAN (1) Perjanjian ini mulai berlaku sejak tanggal pemberitahuan terakhir oleh masing-masing Pihak Penanda Tangan yang telah menyelesaikan prosedur hukumnya yang diperlukan. (2) Perjanjian ini akan tetap berlaku untuk jangka waktu lima tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu lima tahun berikutnya. Perjanjian ini dapat diakhiri oleh salah satu Pihak Penanda Tangan setiap saat dengan memberitahukan secara tertulis enam bulan sebelumnya. SEBAGAI BUKTI, yang bertanda tangan di bawah ini yang diberi kuasa oleh Pemerintah masingmasing, telah menandatangani perjanjian ini. DIBUAT di Jakarta pada tanggal 28 Oktober tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh enam, dalam rangkap dua, masing-masing dalam bahasa Indonesia, bahasa Jerman dan bahasa Inggris, semua naskah mempunyai kekuatan hukum yang sama. Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran naskah bahasa Indonesia dan bahasa Jerman, naskah bahasa Inggris yang akan dipergunakan. ATAS NAMA PEMERINTAH ATAS NAMA PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA REPUBLIK FEDERAL JERMAN *35393

AGREEMENT BETWEENTHE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA ANDTHE GOVERNMENT OF THE FEDERAL REPUBLIC OF GERMANYON MARITIME SHIPPING The Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Federal Republic of Germany, Desirous of promoting the development of the shipping relations between the Republic of Indonesia and the Federal Republic of Germany which is founded upon the reciprocal interests of these countries and upon the freedom of foreign trade, and of encouraging, as best as possible, international cooperation in this field; Aware that the exchange of goods between their two countries should be accompanied by an effective exchange of services, HAVE AGREED AS FOLLOWS: Article 1Definitions For the purpose of this Agreement the term: 1. "Competent shipping authority" means: (a) in the Republic of Indonesia the Department of Communications. (b) in the Federal Republic of Germany the Federal Ministry of Transport and its subsidiary bodies; 2. "Vessel of a Contracting Party" means any vessel which flies the flag of a Contracting Party and has been entered in its register in accordance with the legal provisions of this Contracting Party. The term does not include warships and fishing vessels; 3. "Shipping company of a Contracting Party" means a transport company which has its domicile in the territory of the Contracting Party in accordance with its legal provisions and which employs international sea-going ships; *35394 4. "Members of the crew" means the master and any person who during the voyage has to perform duties or services on board the vessel. The persons have to hold the travel document(s) as specified in Article 11 of this Agreement. Their names have to be listed in the vessel's muster list;

5. "Passenger" means any person on board a vessels of either Contracting Party who is not employed or engaged in any duty on board that vessel and whose name is included in the passenger list of that vessel and who holds valid travel documents. 6. "Territory" means: - in respect of the Republic of Indonesia, the territory means the territory of the Republic of Indonesia as defined in its laws. - in respect of the Federal Republic of Germany, the area where the Basic Law (Grundgesetz) of the Federal Republic of Germany is applicable; Article 2 Freedom of Traffic (1) The Contracting Parties agree that they shall promote the development of maritime shipping between their two countries. (2) The vessels of either Contracting Party shall be entitled to sail between those ports of both Contracting Parties that are open to international trade, and to transport passengers and cargo between the Contracting Parties as well as between either of them and third countries. (3) Nothing in this Agreement shall prejudice the right of vessels flying the flag of a third country to participate in the carriage of passengers and cargo in the bilateral trade between the Contracting Parties. (4) Vessels flying the flag of a third country, operated by shipping companies of a Contracting Party according to the applicable legislation of that Party, shall also enjoy the privileges arising from this Agreement. Article 3 International Commitments This Agreement shall not affect any commitment arising from other international agreements that may have been concluded by either of the Contracting Parties. Article 4 Non-Discrimination of Shipping Companies *35395 Based on the principle of free and fair competition each Contracting Party shall refrain from any discriminatory measure against a vessel of the other Contracting Party. Article 5 Regulations concerning Ports and Territorial Waters

(1) Either Contracting Party shall, on the basis of reciprocity, grant the vessels of the other Contracting Party the same treatment in its ports, territorial waters and other waters under its jurisdiction as it grants to its own vessels operating in international maritime shipping, especially regarding access to the ports, during their stay in the ports and when leaving them, in the use of the port facilities for passenger and cargo transport as well as regarding charges and port dues, services and other facilities. (2) Either Contracting Party shall grant, on the basis of reciprocity, in its territory favourable conditions to the shipping companies of the other Contracting Party for the establishment of representative offices and other forms of shipping activities in accordance with the respective national laws and regulations. Article 6 Unrestricted Transfer Either Contracting Party shall grant the shipping companies of the other Contracting Party the right either to use any receipts from shipping services realized in the territory of the first Contracting Party towards shipping-related payments or to transfer such receipts abroad in freely convertible currency. Any such transfer is to be effected on the basis of the official rate of exchange and within the usual period of time. Article 7 Areas excluded from the Scope of Applicationof this Agreement This Agreement shall not affect the legal provisions in force of either Contracting Party concerning: (a) The privilege of the national flag relating to cabotage, salvage, towage, pilotage and other services which are reserved to the Contracting Parties' own national shipping companies or other companies and to its citizens, however, the sailing of a vessels of one Contracting Party between ports of the other Contracting Party for the purpose of disembarking passengers and unloading cargo taken on in a third country or embarking passengers and loading cargo to be taken to a third country shall not be deemed to be cabotage; *35396 (b) The obligation to take a pilot on board; (c) Vessels performing public service functions; (d) Marine research activities; (e) The privilege of hydrographic survey in the Contracting Parties' own territorial waters. Article 8 Compliance with the Legal Provisions of the othercontracting Party in its Territory (1) The vessels of either Contracting Party as well as the vessels of the shipping companies of either Contracting Party shall be subject - while in the territory of the other Contracting Party - to the latter's laws and regulations. This shall apply especially to the laws and regulations relating to the entry into

and departure from its territory of the vessels employed in international maritime shipping and to the operation and command of such vessels. (2) The passengers, the members of the crew and the consignors of cargo shall comply with the laws and regulations in force in the territory of either Contracting Party with respect to entry, stay and departure of passengers and members of the crew or import, export and storage of cargoes, especially with the provisions concerning shore leave, immigration, customs, taxes and quarantine. Article 9 Facilitation of Maritime Transport Within the framework of their laws and port regulations, the Contracting Parties shall take all necessary measures in order to facilitate and promote maritime transport, to prevent unnecessary extension of periods of stay and expedite and simplify, if possible, customs clearing and other formalities to be observed in the ports as well as to facilitate the utilization of the existing disposal installations. Article 10 Reciprocal Recognition of Tonnage Certificatesand other Ship's Documents (1) The Contracting Parties shall mutually recognize the nationality of vessels on the basis of the certificate of registry duly issued in accordance with pertinent international conventions by the competent authorities of either Contracting Party. (2) The Contracting Parties shall mutually recognize the tonnage certificate and other ship documents duly issued in accordance with pertinent international *35397 conventions by the competent authorities of either Contracting Party. Article 11 Travel Documents of Members of the Crew (1) Either of the Contracting Parties shall recognize the travel documents of members of the crew duly issued by the competent authorities of the other Contracting Party and shall grant the holders of such documents the rights provided for in Article 12 of this Agreement. Should any change in travel documents of either Contracting Party occur such change has to be notified to the other Contracting Party for recognition. This shall be granted if the document meets the international requirements for the recognition of the seaman's passport. (2) The travel documents shall be for the Republic of Indonesia the seaman's book and passport and for the Federal Republic of Germany the passport or seaman's passport. (3) For crew members of third countries working on board vessels of either Contracting Party, the travel documents shall be those issued by the competent third country authorities, provided they meet the national requirements of the Contracting Party concerned for the recognition as a passport or passport substitute.

(4) Either Contracting Party undertakes to re-accept, without further formalities, persons who have entered the territory of the other Contracting Party with an identification document within the meaning of Article 11 paragraph 1 which was issued by the first Contracting Party. Article 12 Entry, Transit and Stay of Members of the Crew (1) Either Contracting Party shall allow members of the crew of a vessel of the other Contracting Party who are holders of one of the travel documents specified in Article 11 of this Agreement to go ashore and to stay in the sea-port town during the period of stay of the vessel in the port of the former Contracting Party without requiring permission to stay prior to entry (visa) in-accordance with the pertinent laws and regulations in force. In these cases a shore leave pass shall be required in the Republic of Indonesia and the Federal Republic of Germany. (2) Any member of the crew holding a travel document specified in Article 11 of this Agreement shall be permitted, after having been granted permission to stay prior to entry (visa), to travel through the territory of the other Contracting Party: *35398 - for the purpose of travelling home; - in order to go on board his ship or any other ship, or - or any other reason acceptable to the competent authorities of the other Contracting Party. (3) The permission to stay (visa) required in accordance with paragraph 2 shall be issued without delay. (4) The competent authorities of either Contracting Party shall grant a member of the crew who is taken to a hospital in the territory of the Contracting Party concerned to stay as long as necessary for the purpose of in-patient treatment. (5) Both Contracting Parties shall reserve the right to refuse undesirable persons entry into their respective territory, even if these persons hold the travel document(s) specified in Article 11 of this Agreement. (6) The staff of the diplomatic missions and consular representation of either Contracting Party and the master as well as the other members of the crew of the vessels of that Contracting Party shall be entitled, in compliance with the pertinent laws and regulations in force in the country of stay, to contact one another or to meet. (7) Without prejudice to the above provisions, the Contracting Parties' regulations concerning entry, stay and departure of foreigners shall remain unaffected. Article 13 Incidents at Sea (1) Should a vessel of either Contracting Party be involved in a shipping casualty in the territorial waters or ports of the other Contracting Party, the latter shall give all possible assistance to the vessel, crew members, cargo and passengers according to the international maritime conventions

ratified by both countries. Each Contracting Party shall promptly notify the consular offices, or in their absence the diplomatic representative, of the other Contracting Party when one of its vessels in distress, and inform them of measures taken, crew members, passengers, vessel, cargo and stores. (2) Where the cargo and other properties discharged or rescued from the vessel involved in such shipping casualty need to be temporarily stored in the territory of the other Contracting Party, equipment, cargo and other properties shall be exempted from all customs duties and taxes on consumption unless such articles are released for consumption or use in the territory of the other Contracting Party. The competent customs branch office shall be informed of the average without *35399 delay and the necessary arrangements shall be made for the temporary warehousing, free of import duties, of the goods concerned. Article 14 Consultations Either Contracting Party may request that a consultation be held on any matter of mutual interest. Article 15 Cooperation (1) The Contracting Parties shall encourage the shipowners and institutions in either country connected with maritime shipping to seek and develop all forms of cooperation possible including workshops and training vessels, especially as regards the training of experts and technical questions such as maritime safety and vessel traffic services. (2) Both Contracting Parties shall encourage the shipowners to cooperate in maritime shipping. Article 16 Settlement of Disputes Disputes concerning the interpretation or implementation of this Agreement shall be settled amicably through consultations and diplomatic channels between the Contracting Parties. Article 17 Entry into Force, Duration and Termination (1) This Agreement shall enter into force on the date of the last notification by either Contracting Party that has completed necessary legal procedures. (2) This Agreement shall remain in force for a period of five years and shall subsequently be extended for successive periods of five years. It may be denounced by either Contracting Party at any time subject to six months prior written notice. IN WITNESS WHEREOF, the undersigned duly authorized thereto by their respective Government, have signed this Agreement.

DONE at Jakarta on the 28th of October in the year one thousand nine hundred and ninety six, in duplicate, in the Indonesian, Germany and English languages, all three texts being authentic. In case of divergence of interpretation of the Indonesian and German texts, the English text shall prevail. FOR THE GOVERNMENT OF THE FOR THE GOVERNMENT OF THEREPUBLIC OF INDONESIA FEDERAL REPUBLIC OF GERMANY