BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan sesungguhnya merupakan keterkaitan jiwa dan raga antarpasangan. Idealnya, satu sama lain secara konsisten saling menghidupi jiwa antarpasangan, dan menjiwai kehidupan perkawinan. Memberi rasa cinta setiap saat, setiap detik. Namun, setelah sekian lama perkawinan berlangsung, keterikatan jiwa mulai meluntur dimana satu sama lain cenderung mengikuti perasaan sendiri dan tidak jarang mulai mengabaikan perasaan pasangan. Padahal, perkawinan adalah perjalanan yang sangat panjang dan harus dibina hingga akhir hayat. Kehidupan perkawinan yang terjadi sekian lama terkadang tidak selalu seindah dan seromantis harapan. Persoalan demi persoalan yang dihadapi setiap hari, belum lagi keunikan antarpasangan dalam menghadapi persoalan rumah tangga. Tidak sedikit pasangan yang memilih untuk menjalin hubungan dengan lawan jenisnya pada saat keadaan rumah tangga sedang tidak harmonis. Hal seperti inilah yang menjadikan pengkhianatan terhadap pasangan. Tindakan pengkhianatan ini lebih dikenal dengan sebutan selingkuh. Dalam buku Karena Istri Ingin Dimengerti, Pujihastuti (2006) menyatakan bahwa perselingkuhan merupakan salah satu bentuk hubungan cinta atau ikatan batin seorang pria atau seorang wanita yang sudah berrumah tangga namun terlibat hubungan asmara dengan orang lain. Saat ini, selingkuh tidak hanya terjadi di perkotaan yang menganut gaya hidup metropolitan, tetapi juga telah merambah di pedesaan yang masih kental dengan norma norma yang memandang selingkuh itu sebuah aib. Agaknya saat ini kesetiaan terhadap pasangan dan komitmen terhadap perkawinan terkesan meluntur. Begitu kompleksnya pola kehidupan saat ini sehingga tidak dapat dideteksi apa yang merupakan penyebab mendasar dari ketidaksetiaan terhadap pasangan. Setiap tindakan sudah tentu ada dampaknya, begitu pula dengan perselingkuhan. Salah satu dampak yang terjadi adalah perceraian. Angka perceraian akibat perselingkuhan dari dulu sampai sekarang semakin meningkat jumlahnya. Hal 1
2 ini terbukti pada tahun 2005, di Indonesia terdapat 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh, 9.071 karena gangguan orang ketiga, dan 4.708 akibat cemburu. Dapat dikatakan 10 keluarga yang bercerai satu diantaranya karena selingkuh. Saat ini saja, rata rata dua jam ada tiga pasang suami-istri bercerai gara gara cemburu (http://awan965.wordpress.com, 29 Mei 2010). Sedangkan menurut data statistik Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia menunjukkan bahwa perceraian akibat orang ketiga pada tahun 2005 sebanyak 9.071 kasus, 2006 mengalami pengurangan menjadi 8.285 kasus, 2007 meningkat kembali menjadi 10.444 kasus, 2008 terdapat 12.617 kasus, dan data terakhir pada tahun 2009 lebih meningkat lagi menjadi 16.077 kasus (www.badilag.net dalam otindo.blogspot.com, 29 Mei 2010). Meningkatnya angka perceraian akibat perselingkuhan setiap tahunnya ini sangatlah memprihatinkan. Pada umumnya pelaku perselingkuhan adalah suami dan pada sebagian budaya masyarakat tertentu perselingkuhan sering kali diasumsikan sebagai sifat alamiah suami. Namun, statistik menunjukkan jumlah istri berselingkuh juga semakin meningkat. Dimana berdasarkan budaya istri dituntut dalam bentuk streotipe streotipe seperti seorang istri harus setia pada suaminya, sebuah aib besar apabila menduakan suami, harus bersikap patuh, mengabdi, pasif, dan bergantung pada orang lain (tidak mandiri). Selain itu, kepada istri juga dilekatkan berbagai peran. Istri yang bekerja diharuskan tetap bertanggung jawab atas tugas tugas domestik dan keharmonisan keluarga. Ketika rumah tangganya tidak harmonis, istri dipersalahkan karena terlalu sibuk dengan karirnya. Selain itu, banyak perempuan terpaksa meninggalkan pekerjaan atau tidak mengambil kesempatan untuk mendapat penghasilan lebih tinggi karena terikat dengan peran wanita sebagai istri dan ibu. Seperti telah diketahui bahwa peran wanita sebagai istri ialah untuk menjadi teman hidup dan partner seksual suami, seorang ibu dan pendidik untuk anak anaknya, dan bertanggung jawab untuk mengatur rumah tangga (Kartono, 1992). Meningkatnya perselingkuhan dikalangan istri setiap tahunnya telah dibuktikan dari beberapa survei penelitian. Pada survei yang dilakukan Glass, seorang psikolog asal Amerika dan pakar perselingkuhan (dalam situs www.wordpress.com, 30 Mei 2010) menyatakan bahwa 46% istri di Amerika telah
3 melakukan perselingkuhan. Menariknya, perselingkuhan yang dilakukan kalangan istri justru meningkat secara signifikan dari tahun 1982 1990 yaitu 38% istri melakukan perselingkuhan berbanding 50% istri tidak setia dari tahun 1991 2000. Sementara itu, hasil survei terbaru website Netmums menyatakan, hampir 25% istri tidak setia pada suaminya. Survei yang dilakukan di Inggris ini melibatkan 4.000 wanita dan sepertiga dari para istri yang tidak setia juga melakukan one night stand (www.lintasberita.com, 08 Juni 2010). Sedangkan survei di Indonesia sendiri pada cover majalah wanita Kartini edisi minggu pertama tahun 2005 diketahui bahwa 40% istri di Jakarta melakukan selingkuh. Hal ini diperkuat hasil riset Sukiat, psikolog klinis dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (dalam blog.friendster.com, 31 Mei 2010) yang menyatakan bahwa lebih dari 70% istri di Jakarta memiliki PIL (Pria Idaman Lain) atau satu dari tiga wanita di Jakarta pada saat ini berada dalam status selingkuh. Kasus kasus perselingkuhan di kalangan istri pun menjadi pemberitaan dan topik yang hangat di media cetak maupun elektronik. Seperti pada harian Kompas edisi Kamis, 29 September 2005 dimana seorang ibu rumah tangga yang sekaligus adalah eksekutif di sebuah perusahaan swasta mengkonsultasikan tentang perselingkuhan yang ia lakukan dengan pria idaman lain yang mampu memberinya hotter dan wilder sex. Adapula perselingkuhan istri pengusaha, istri muda, atau istri simpanan para pejabat Jakarta yang rela merogoh kocek Rp. 1,5 juta hingga Rp. 2 juta sekali kencan dngan pria panggilan. Selain Jakarta, perselingkuhan wanita wanita papan atas ini juga sudah menjamur di sejumlah kota besar seperti Surabaya, Medan, Semarang, dan Makasar. Bahkan di Jawa Timur sudah menjalar ke Malang, Kediri, dan Madiun (www.tribunnews.com, 11 Februari 2010). Pada harian Kompas online (dalam situs sosbud.kompasiana.com, 31 Mei 2010) diberitakan bahwa seorang istri di sebuah desa di Banda Aceh yang bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit telah berselingkuh dengan rekan kerjanya yang juga buruh sawit. Ada pula istri pengusaha salah satu warung makan di Semarang berselingkuh dengan guru ngaji di rumahnya sendiri dan telah diketahui suaminya dan membuat suaminya memukul guru ngaji tersebut sehingga sang suami harus mendekam dalam penjara (www.news.okezone.com, 31 Mei 2010). Selain itu,
4 Kepala Desa di sebuah desa di kota Temanggung dilaporkan suaminya ke Bupati Temenggung karena ketahuan berselingkuh dan dirinya diminta untuk mengundurkan diri dari jabatannya (www.metrotvnews.com, 21 Oktober 2010). Dari beberapa kasus yang ada, perselingkuhan di kalangan istri ternyata tidak hanya memberikan dampak perceraian tetapi juga dapat meberikan sanksi sosial serta sanksi hukum apabila hal ini terbongkar kerena perselingkuhan istri masih menjadi hal yang sangat tabu. Selain itu, perasaan yang sudah tentu dirasakan adalah perasaan berdosa apalagi seorang istri yang berselingkuh telah melakukan one night stand dengan pasangan selingkuhnya. Selain itu juga perasaan tidak nyaman, khawatir, gelisah, dan tidak tenang karena telah melakukan pengkhianatan dan takut akan terbongkar. Perasaan perasaan tersebut sudah tentu akan mempengaruhi dalam pencapai kehidupan yang baik yang diinginkan oleh semua orang tidak terkecuali istri yang berselingkung. Dimana kehidupan yang baik merupakan keinginan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap orang begitu pula pada istri yang telah melakukan pengkhianatan terhadap suami. Pencapaian kehidupan yang baik ini tergantung pada perasaan sejahtera (well-being) khususnya secara psikologis yang dirasakan oleh diri sendiri. Dalam penelitian mengenai konsep kebahagian, diketahui bahwa seseorang dikatakan memiliki kebahagiaan yang tinggi jika mereka memiliki kepuasan hidup, sering merasa gembira, jarang mengalami perasaan sedih, dan marah. Sebaliknya orang yang merasa tidak puas dalam hidupnya, memiliki pengalaman menggembirakan yang kurang dan sering merasakan emosi yang negatif seperti marah atau gelisah akan menyebabkan individu tersebut memiliki kebahagian yang rendah (Ed Diener, Eunkook Suh, and Shigehiro Oishi, 1997). Tidak dipungkiri lagi bahwa semua kerja keras dan tindakan yang dilakukan oleh manusia berorientasi pada kehidupan yang baik untuk diri sendiri ataupun orang lain di masa depan. Untuk itu manusia berusaha untuk mencari tahu bagaimana cara mencapai suatu kehidupan yang baik tersebut. Jeremy Bentham (1789/1948) menganggap bahwa kehidupan yang baik dapat tercapai jika kebahagiaan hadir dan perasaan sedih atau sakit berkurang. Para pakar subjective well-being
5 mengemukakan, jika seorang individu memiliki kegembiraan yang berlimpah ruah maka dia memiliki kunci untuk mempunyai kehidupan yang baik (Ed. Snyder dan Lopes, 2002: 63). Menurut Bradburn (dalam Ryff, 1989) kebahagiaan (happiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Bagi Ryff (1989), kesejahteraan psikologis dapat diartikan sebagai penggambaran sejauh mana individu merasa nyaman, damai, dan bahagia berdasarkan penilaian subjektif serta bagaimana mereka memandang pencapaian potensi potensi mereka sendiri. Dengan kata lain, kebahagian tercapai jika kesejahteraan tercapai dan akan membuahkan kehidupan yang baik. Ryff (dalam Keyes, 1995) juga menjelaskan bahwa psychological well being (PWB) sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus tumbuh secara personal. Dari pemamparan di atas, istri yang sedang mengalami konflik dalam rumah tangga, perasaan tidak dihargai oleh suami, sakit hati (dengan diri sendiri maupun orang lain), stress (karena masalah terdahulu maupun yang baru saja terjadi pada dirinya), dan tidak lagi merasakan kepuasan dalam menjalin hubungan rumah tangga merupakan motif yang membuat dirinya menjalin hubungan dengan lawan jenisnya (pasangan selingkuhnya). Hal ini sudah tentu menjadi pengalaman hidup yang membuat dirinya merasa tidak nyaman, berdosa, gelisah. Akan tetapi di sisi lain bisa saja perselingkuhan ini juga dapat meningkatkan harga diri pelakunya. Dimana hal ini akan mempengaruhi kehidupan dan perasaan sejahteranya (well-being) dalam mencapai tujuan hidup tertinggi yang ingin diraih olehnya. Gambaran perasaan perasaan yang dirasakan oleh pelaku perselingkuhan ini (khususnya istri) menjadi suatu fenomena yang menarik untuk diteliti. Dimana fenomena istri berselingkuh dengan peristiwa peristiwa yang negatif atau bahkan positif dalam dirinya sehingga akan mempengaruhi pencapaian kesejahteraan psikologisnya baik dalam rumah tangga maupun tindakan selingkuhnya. Fenomena
6 perselingkuhan ini telah meningkat setiap tahunnya dan menjadi sangat memprihatinkan, sehingga membuat peneliti merasa perlu mengadakan penelitian lebih lanjut secara detail dan mendalam khususnya tentang gambaran kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada istri yang berselingkuh. Oleh karena itu peneliti mengemukakan judul penelitian Psychological Well-Being Istri yang Berselingkuh. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah gambaran psychological well-being pada istri yang berselingkuh? C. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian yang diharapkan peneliti adalah mengetahui gambaran psychological well-being istri yang berselingkuh. D. Manfaat Penelitian Ditinjau dari aspek praktis dan teoritis, manfaat penelitian yang diharapkan oleh peneliti adalah sebagai berikut: a. Secara Praktis Diharapkan penelitian ini dapat menumbuhkan sikap kritis peneliti terhadap kasus perselingkuhan yang telah marak terjadi dikalangan istri khususnya mengenai psychological well-being istri yang berselingkuh. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi individu baik pada peneliti sendiri, istri maupun suami, konselor perkawinan, dan masyarakat secara luas dalam memahami psychological well-being seorang istri yang telah melakukan perselingkuhan.
7 b. Secara Teoritis Selain secara praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan warna baru dalam aspek teoritis terutama sebagai referensi tambahan bagi pengembangan ilmu Psikologi khususnya Psikologi Perkawinan dan Psikologi Sosial mengenai gambaran psychological wellbeing istri yang berselingkuh.