MEMUTUSKAN: : U N D A N G-U N D A N G T E N T A N G PER K A W I N A N BAB I. P a s a l 1

dokumen-dokumen yang mirip
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN : BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB5 PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

BAB IV HUKUM KELUARGA

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PUTUSNYA PERKAWINAN KARENA MURTAD MENURUT HUKUM POSITIF. A. Putusnya Perkawinan karena Murtad dalam Hukum Positif di Indonesia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB III KEWENANGAN PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ditulis oleh Administrator Kamis, 07 Oktober :57 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 28 Oktober :12

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB IV WALI NIKAH PEREMPUAN HASIL PERNIKAHAN SIRI MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Undang-undang perkawinan di Indonesia, adalah segala

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERADILAN AGAMA Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tanggal 29 Desember 1989 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN. sebanyak-banyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan. 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP STATUS ANAK DAN HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM PERKAWINAN YANG DIBATALKAN

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pasal 3 Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PERKAWINAN DI GKPS

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1976 TENTANG

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara

BIODATA INFORMAN. 1. SD MIM Lamongan SLTP MTsM I Gresik SLTA MAM Gresik Sosial 1993

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tanggal 30 Desember 1985 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PUTUSAN. 1. Pemohon : Suryani 2. Materi pasal yang diuji:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1970 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG PERLINDUNGAN UPAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

...Humas Kanwil Kemenag Prov. Jabar

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA U N D A N G-U N D A N G R E P U B L IK I ND ON E S I A N O M O R I TA HU N 1 974 T E N T A N G PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, M e n i m b a n g M e n g i n g a t M e n e t a p k a n : b a h w a s e su a i d e n g an fa l s a f a h P a n c as i l a s e r t a ci t a -cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu a d a n y a U n d a n g -undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. : 1. Pasal 5 ayat (1), P a s a l 2 0 a y a t (1), P a s a l 2 7 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945: 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/ 1983. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN: : U N D A N G-U N D A N G T E N T A N G PER K A W I N A N BAB I DASAR PERKAWINAN P a s a l 1 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara s e o r a n g p r i a d e n g a n seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha E s a Pasal 2 ( 1 ) P e r k a w i n a n a d a l a h s a h, a p a b i l a d i l a k u k a n m e n u r u t h u k u m masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. P a s a l 3. (1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh m e m p u n y a i s e o r a n g i s t e r i.. S e o r a n g w a n i t a h a n y a b o l e h m e m p u n y a i seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2 ) Undang - undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang harus dipenuhi syarat syarat sebagai berikut a. Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak da l a m perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama s e k u r a ng-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN Pasal 6 1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang t u a. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5) D a l a m h a l a d a p e r b e d a a n p e n d a p a t a n t a r a o r a n g -o r a n g y a n g dalam ayat (2), (3) dan (4), p a s a l i n i a t a u s a l a h s e o r a n g a t a u. d i a n t a r a m e r e k a t i d a k m e n y a t a k a n p e n d a p a t n y a, m a k a P e n g a d i l a n dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan ke p e r cayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai um u r 19 (sembilan belas) tahun dan pihak w a n i t a s u d ah me n c a p a i u m ur 16 (enam belas) tahun. ( 2 ) D a l a m h a l p e n y i m p a n g a n t e r h a d a p a y a t ( 1 ) p a s a l i n i d a p a t m e m i n t a d i s p e n s a s i k e p a d a P e n g a d i l a n a t a u P e j a b a t l a i n, y a n g d i t u n j u k o l e h kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. (3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau k e d u a o r a n g t u a t e r s e b u t d a l a m P a s a l 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dim a k s u d d a l a m P a s a l 6 a y a t (6). Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. berhubungan darah, dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. sehubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan b a p a k t i r i d. sehubungan susunan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, s a u d a r a susuan dan bibi/paman susuan;

e. sehubungan s a u d a r a d e n g a n i s t e r i a t a u s e b a g a i b i b i a t a u k e menekan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari s e o r a n g ; f. m e m p u n y a i h u b u n g a n y a n g o l e h a g a m a n y a a t a u p e r a t u r a n y a n g b e r l a k u, dilarang kawin. Pasal 9 S e o r a n g yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 d a n Pa s a l 4 Un d an g u n d a n g i n i Pasal 10 Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 (1) B a g i s e o r a n g w a n i t a y a n g putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. (2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan Pemerintah lebih lanjut Pasal 12 Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN Pasal 13 Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan P a s a l 1 4 ( 1 ) Y a n g d ap a t me n c e g a h p e r k a w in an i ala h p a r a k el u a rg a d a l a m keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara. wali nikah, p e n g a m p u d a r i s a l a h s e o r a n g c a l o n m e m p e l a i d a n p i h a k -p i h a k y a n g berkepentingan. (2)Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mepunyai h u b u n g a n d e n g a n o r a n g -o r an g s e p er ti t er se b u t d a l a m ay a t (1) pasal ini. P a s a l 1 5 Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini Pasal 16 (1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi. (3) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. pasal 17 (1) p e n c e g a h a n p e r k a w i n a n d i a j u k a n k e p a d a P e n g a d i l a n d a l a m d a e r a h h u k u m d i mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. (2) kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud

d a l a m ay a t (1 ) p a s a l ini p e g a w a i p e n c a t a t p e r k a w i n a n P a s a l 1 8 pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan p e n c eg ah a n p a d a pengadilan oleh yang mencegah. P a s a l 1 9 perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan d i c a b u t P a s a l 2 0 pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), 8, P a s a l 9, P a s a l 1 0 d a n P a s a l 1 2 U n d a n g -u n d a n g i n i m e s k i p u n a d a p e n c e g a h a n p e r k a w i n a n P a s a l 2 1 (1) J a d i p e g a w a i p e n c a t a t p e r k a w i n a n b e r p e n d a p a t b a h w a t e r h a d a p perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. (2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat p e r k a w i n a n a k a n d i b e r i k a n s u a t u k e t e r a n g a n t e r t u l i s d a r i p e n o l a k a n tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. (3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan: keterangan penolakan tersebut di atas. (4) P e n g a d i l a n a k a n m e m e r i k s a p e r k a r a n y a d e n g a n a c a r a s i n g k a t a k a n m e m b e r i k a n k e t e t a p a n, a p a k a h i a a k a n m e n g u a t k a n p e n o l a k a n tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan. (5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para h a k y a n g ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka BAB IV BATALNYA PERKAWINAN P a s a l 2 2 Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi, syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan P a s a l 23 Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; b. suami atau isteri c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinanan bel u m d i putuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 24 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas

dasar masih adanya p e r k a w i n a n dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan. tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-u n d a n g i n i Pasal 25 Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Penga n d i l a n dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri -, P a s a l 2 6 (1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau ` yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami a t a u i s t e r i. (2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan Akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur Pasal 28 (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap da n b e r l a k u s e j a k s a a t berlangsungnya perkawinan. (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. Suami atau isteri yang bertindak dengan i'tikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b s e p a n j a n g m e r e k a m e m p e r o l e h h a k -hak dengan i'tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN P a s a l 2 9 (1) P a d a w a k t u a t a u s e b e l u m p e r k a w i n a n d i l a n g s u n g k a n, k e d u a p i h a k atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. (2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. (3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan (4) Selama perkawinan berlangsung tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga

BAB VI HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI Pasal 30 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pasal 31 ( 1 ) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan ked u d u k a n s u a m i d a l a m k e h i d u p a n r u m a h t a n g g a d a n p e r g a u l a n h i d u p bersama dalam masyarakat. (2) M a s in g -masing pihak berhak untuk mlelakukan perbuatan hukum. (3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga Pasal 32 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama Pasal 33 S u a m i i s t e r i w a j i b s a l i n g c i n t a m e n c i n t a i, h o r m a t -m e n g h o r m a t i s e t i a dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 ( 1 ) Su a mi w a j i b me l i n d u n g i i st e r in y a d a n me mb e r i k a n s e g al a s e s u a tu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masi dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan B A B V I I HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN P a s a l 3 5 (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama. ( 2 ) H a r t a b a w a a n d a n m a s i n g -masing suami dan isteri dan harta benda. yang diperoleh masing-ma s i n g se b a g ai h a d i a h a t au w a r i s a n, a d a l. a h di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 (1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA Pasal 38 Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian c. atas keputusan Pengadilan.

Pasal 39 (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan s e t e l a h P e n g a d i l a n y a n g b e r s a n g k u t a n b e r u s a h a dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak. ( 2 ) U n t u k m e l a k u k a n p e r c e r a i a n h a r us a d a c u k u p a l a s a n, b a h w a a n t a r a suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri (3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan-perundangan tersendiri P a s a l 4 0 (1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 41 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,pengadilan memberi keputusannya: b. B ap a k y an g b er t an g g u n g j a w ab a t as s e mu a b i ay a p e me l i h a r a an dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memb e r i k a n b i a y a p e n g h i d u p a n d a n / a t a u menentukan suatu kewajiban bagi bekas suami. BAB IX KE D U D U K A N ANAK Pasal 42 A n a k y a n g sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 44 (1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan, oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut. ( 2 ) P e n g a d i l a n memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. B A B X

HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK P a s a l 4 5 (1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini b e r l a k u s a m p a i a n a k i t u k a w i n a t a u d a p a t b e r d i r i s e n d i r i, k e w a j i b a n mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. P a s a l 4 6 (1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam g a r i s lu ru s k e a t a s, bila mereka itu memerlukan bantuannya. P a s a l 4 7 (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau b e l u m p e r n a h m e l a n g s u n g k a n p e r k a w i n a n a d a d i b a w a h k e k u a s a a n orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya: (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Pasal 48 Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Pasal 49 (1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus k e a ta s d a n s au d ara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya b. berkelakuan buruk sekali (2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. BAB XI PERWALIAN Pasal 50 (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Pasal 51 (1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. ( 2 ) W a l i s e d a p a t -dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut a t a u orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan h a r t a b e n d a n y a s e b a i k -baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. ( 4 ) W a l i w a j i b m e m b u a t d a f t a r h a r t a b e n d a a n a k y a n g b e r a d a d i b a w a kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan hart a b e n d a a n a k a t a u a n a k -a n a k i t u (5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. Pasal 52 Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini. Pasal 53 ( 1 ) W a l i d a p a t d i c a b u t d a r i k e k u a s a a n n y a, d a l a m h a l -h a l y a n g t e r s e b u t dalam Pasal 49 Undang-undang ini. ( 2 ) D a l a m h a l k e k u a s a a n s e o r a n g w a l i d i c a b u t, s e b a g a i m a n a d i m a k s u d p a d a a y a t ( 1 ) p a s a l i n i, o l e h P e n g a d i l a n d i t u n j u k o r a n g l a i n s e b a g a i wali. Pasal 54 Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Pengadilan yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut BAB XII KENTUAN-KETENTUAN LAIN B a g i a n P e r t a m a P e m b u k t i a n a s a l -u s u l a n a k P a s a l 5 5 (1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang b e r w e n a n g. ( 2 ) B i l a a k t e k e l a h i r a n t e r s e b u t d a l a m a y a t ( 1 ) p a s a l i n i t i d a k a d a, m a k a Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul s e o r a n g a n a k s e t e l a h d i a d a k a n p e m e r i k s a a n y a n g t e l i t i b e r d a s a r k a n bukti-bukti yang memenuhi syarat. ( 3 ) At a s d a s ar k e t en tu an Pe n g ad il a n t e r se b u t ay at (2 ) p a s a l i n i, ma k a instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan. B a g i a n K e d u a P e r k a w i n a n d i l u a r I n d o n e s i a Pasal 56 (1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia d e n g a n w a r g a n e g a r a A s i n g a d a l a h s a h b i l a m a n a d i l a k u k a n m e n u r u t hukum yang berlaku di negara di mana perkawina itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. ( 2 ) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami iseri itu kembali di Wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus did a f t a r k a n d i K a n t o r P e n c a t a t a n P e r k a w i n a n t e m p a t t i n g g a l m e r e k a.

B a g i a n K e t i g a P e r k a w i n a n C a m p u r a n Pasal 57 (1) Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang - u n d a n g i n i i a l a h p e r k a w i n a n a n t a r a d u a o r a n g y a n g d i I n d o n e s i a t u n d u k pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. P a s a l 5 8 Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang lakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 (1) K e w a r g a n e g a r a a n y a n g d i p e r o l e h s e b a g a i a k i b a t p e r k a w i n a n putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. (2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini. Pasal 60 (1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbu k t i b a h w a s y a r a t -s y a r a t p e r k a w i n a n y a n g d i t e n t u k a n o l e h h u k u m y a n g berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. (2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk, melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. Pasal 61 (1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang b e r w e n a n g. (2)Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan y a n g d i s e b u t d a l a m P a s a l 6 0 a y a t ( 4 ) U n d a n g -u n d a n g i n i d i h u k u m dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. (3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62 Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai d e n g a n P a s a l 5 9 a y a t ( 1 ) U n d a n g -u n d a n g i n i. B a g i a n K e e m p a t Pengadilan Pasal 63 (1 )Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang undang ini ialah a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam b. Pengadilan Umum bagi lainnya. (2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh pengadilan Umum.

BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN P a s a l 6 4 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan s perkawinan yang terjadi sebelum Undangundang ini berlaku dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah. (1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik dasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat : Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut : a. Sua mi w a ji b me mb e r i j ami n a n h id u p y a n g s a ma k e p a d a s e m u a isteri dan anaknya; b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak h a r t a b e r s a m a y a n g t e l a h a d a s e b e l u m p e r k a w i n a n d e n g a n i s t r i kedua atau berikutnya itu terjadi; c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bers a m a yang terjadi sejak perkawinannya masingmasing. (2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP P a s a l 6 6 Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undangundang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Howelijks, Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74 ), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang p e rk a w i n an s e j au h t e l a h diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan t i d a k b e r l a k u. P a s a l 6 7 (1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam L e mb a r a n N e g ara R e p u b l i k Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 P R E S I DE N RE P U B L I K I ND O N E S I A, t.t.d. SOEHARTO JENDERAL TNI. Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 2 Januari 1974 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, t t.d. SOEDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1974 NOMOR 1