RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 132, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444).

DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

*15819 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 38 TAHUN 2004 (38/2004) TENTANG JALAN

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 28 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 23 TAHUN 2008

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG JALAN DAN PENGATURAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIDOARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN BAGIAN-BAGIAN JALAN KABUPATEN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEMBANGUNAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUMAJANG NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUMAJANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG JALAN KABUPATEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUMBAWA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JALAN KHUSUS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor : 11 /PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JALAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2012

2012, No.71 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaita

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 04/PRT/M/2012 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG KELAS JALAN DI KOTA BANJAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 15 TAHUN 2012

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TEN TANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JALAN DI INDONESIA TAHUN

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah ser

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 79 TAHUN 2013 TENTANG JARINGAN LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5422); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 9 TAHUN 2007 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB II

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009

BUPATI BANGKA TENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 86 TAHUN 2011 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS DAN INFRASTRUKTUR SELAT SUNDA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN BAGIAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 1985 TENTA NG JALAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1990 TENTANG JALAN TOL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG JASA KONSTRUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

Transkripsi:

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur penting dalam pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara, pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, wilayah negara, dan fungsi masyarakat dalam memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung mobilitas di bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang harus dijamin oleh negara dan dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkokoh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional; c. bahwa peranan jalan sebagaimana mestinya belum terpenuhi dimana masih banyak wilayah, desa yang merupakan kantong-kantong kemiskinan, dan daerah transmigrasi serta wilayah-wilayah potensial yang belum dapat diakses secara memadai sehingga pemerintah berkewajiban mempercepat pembangunan infrastruktur jalan yang merata di seluruh wilayah Indonesia guna menciptakan kesejahteraan masyarakat; d. bahwa pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan belum mampu menjamin penambahan jalan baru, pemeliharaan jalan, pembiayaan, keterlibatan masyarakat dalam Penyelenggaraan Jalan, dan tuntutan kebutuhan infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan daya saing Indonesia dalam tataran regional dan global sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang

-2- baru; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf, c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Jalan; Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG JALAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang terdiri dari bagianbagian jalan yang dapat didukung dengan bangunan penghubung dan dapat dilengkapi dengan bangunan pelengkap yang diperuntukkan bagi lalul intas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah atau air, dan/atau di atas permukaan air, kecuali jalur kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. 2. Jembatan adalah bangunan penghubung di atas permukaan tanah yang menghubungkan ruas-ruas jalan yang dipisahkan antara lain oleh rintangan, sungai, laut, lembah, dan/atau jalan yang mempunyai kekhususan dalam karakteristik, spesifikasi, struktur, dan pemeliharaan. 3. Terowongan adalah bangunan penghubung di bawah tanah yang menghubungkan ruas-ruas jalan yang yang dipisahkan antara lain oleh rintangan, gunung, sungai atau laut, bangunan, dan/atau jalan yang mempunyai kekhususan dalam karakteristik, spesifikasi, struktur, dan pemeliharaan. 4. Pengawasan Jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pembinaan, pekerjaan, penyediaan lahan, dan pembiayaan jalan. 5. Jalan Bebas Hambatan adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan pengendalian jalan masuk secara penuh dan tanpa adanya persimpangan sebidang serta dilengkapi dengan pagar

-3- ruang milik jalan. 6. Jalan Tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. 7. Tol adalah sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol. 8. Badan Pengatur Jalan Tol yang selanjutnya disingkat BPJT adalah badan yang melakukan Penyelenggaraan Jalan tol dalam sistem jaringan jalan primer. 9. Badan Pengawas Jalan yang selanjutnya disingkat BPJ adalah badan independen dan profesional yang melakukan pengawasan terhadap Penyelenggaraan Jalan. 10. Badan Usaha adalah badan hukum yang bergerak dan melakukan kegiatan pendanaan, perencanaaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan jalan. 11. Standar Pelayanan Minimal, selanjutnya disingkat SPM, adalah standar pelayanan yang terukur untuk menjamin keselamatan dan dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh pengguna jalan. 12. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis. 13. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 14. Penyelenggaraan jalan adalah kegiatan yang meliputi pembinaan, pembiayaan, dan pengawasan jalan. 15. Penyelenggara Jalan adalah Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 16. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 17. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 18. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang jalan. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 Penyelenggaraan jalan dilaksanakan dengan berdasarkan asas:

-4- a. keselamatan; b. keamanan; c. kemanfaatan; d. persatuan dan kesatuan; e. efisiensi berkeadilan; f. keserasian, keselarasan dan keseimbangan; g. keterpaduan multimoda; h. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; i. kebersamaan dan kemitraan; j. berkelanjutan; dan k. transparansi dan akuntabilitas. Pasal 3 Penyelenggaraan jalan bertujuan untuk: a. mewujudkan ketertiban, keamanan, kelancaran, keselamatan arus penumpang dan barang, serta kepastian hukum; b. mewujudkan peran Penyelenggara Jalan secara optimal dalam pemberian layanan kepada masyarakat; c. mewujudkan pelayanan jalan yang andal dan prima serta berpihak pada kepentingan masyarakat; d. mewujudkan Sistem Jaringan Jalan yang berdaya guna dan berhasil guna untuk mendukung terselenggaranya sistem transportasi yang terpadu; e. mewujudkan pengembangan Sistem Jaringan Jalan yang menghubungkan seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berperan sebagai penggerak, pendorong, dan penunjang pembangunan nasional; f. mewujudkan penyelenggaraan jalan yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan; g. mewujudkan pengusahaan jalan tol yang transparan dan terbuka; dan h. memfasilitasi peran serta dan partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam penyelenggaraan jalan terutama dalam pembiayaan dan pengawasan. BAB III LINGKUP PENGATURAN Pasal 4 (1) Lingkup pengaturan penyelenggaraan jalan terdiri dari: a. pembinaan jalan; b. pembiayaan; dan

-5- c. pengawasan. (2) Pembinaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi penentuan sasaran, perwujudan sasaran, dan pemeliharaan jalan. (3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk memastikan ketersediaan dana dan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk pemenuhan penyelenggaraan jalan. (4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan untuk memastikan pembinaan dan pembiayaan jalan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 5 Penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran serta masyarakat. BAB IV PERAN DAN PENGUASAAN JALAN Pasal 6 (1) Peran jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara dalam mewujudkan mobilitas orang dan barang, sistem logistik yang efisien, saluran data elektronik, serta jaringan utilitas lainnya. (2) Selain peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jalan merupakan satu kesatuan Sistem Jaringan Jalan yang menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. Pasal 7 (1) Hak penguasaan atas jalan ada pada negara sebagai aset yang dibangun dan dipelihara untuk prasarana berlalu lintas, baik pejalan kaki maupun kendaraan. (2) Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab dan berwenang menyelenggarakan jalan. (3) Penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh: a. Menteri pada tingkat nasional; b. Gubernur pada tingkat provinsi; c. Bupati/Walikota pada tingkat kabupaten/kota; (4) Ketentuan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk penyelenggaraan bangunan penghubung. (5) Pelaksanaan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada

-6- ayat (3) huruf b dan huruf c wajib dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang penyelenggaraan jalan. (6) Menteri bertanggung jawab melakukan pembinaan teknis kepada satuan kerja perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 8 (1) Pelaksanaan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) dapat dilakukan oleh Badan Usaha untuk periode waktu terbatas yang ditetapkan sebelumnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pelaksanaan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan sebesar-besar kepentingan umum dan keselamatan lalu lintas. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyelenggaraan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB V PEMBINAAN JALAN Bagian Kesatu Umum Pasal 9 (1) Pembinaan jalan dilakukan melalui: a. penentuan sasaran; b. perwujudan sasaran; dan c. pemeliharaan jalan. (2) Penentuan sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan perencanaan jalan yang terpadu dengan tata ruang. (3) Perwujudan sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari: a. perencanaan teknis; b. penyelenggaraan pengadaan; dan c. pelaksanaan pekerjaan jalan. (4) Pemeliharaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari: a. pemeliharaan rutin; b. pemeliharaan berkala; dan c. rehabilitasi.

-7- Bagian Kedua Penentuan Sasaran Paragraf 1 Perencanaan Jalan Pasal 10 Perencanaan jalan dilakukan untuk merencanakan pembangunan dan pengembangan jalan secara berkelanjutan. Pasal 11 (1) Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 harus memperhatikan: a. rencana pembangunan nasional dan daerah; b. rencana tata ruang wilayah; c. luas wilayah dan pemerataan pembangunan; d. daya dukung sumber daya lingkungan; e. kondisi geografis dan demografis; f. kebutuhan teknis dan ekonomis; dan g. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Perencanaan penyelenggaraan jalan merupakan satu kesatuan yang utuh dari rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah. (3) Perencanaan penyelenggaraan jalan diwujudkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem transportasi nasional. (4) Perencanaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat. Pasal 12 (1) Perencanaan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 terdiri atas perencanaan jangka panjang dan perencanaan jangka menengah. (2) Perencanaan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rencana penyelenggaraan jaringan jalan primer dalam waktu 10 (sepuluh) tahun. (3) Perencanaan jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk waktu 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari perencanaan jangka panjang dan dilengkapi dengan skala prioritas mengenai jaringan jalan primer. (4) Perencanaan jangka menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijabarkan dalam program perwujudan tahunan. (5) Perencanaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (6) Perencanaan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan program

-8- perwujudan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disusun berdasarkan metode pemilihan dengan berbagai kriteria dengan memperhitungkan parameter penting dari aspek: a. sosial-ekonomi; b. kemampuan pendanaan; c. demografi; d. teritorial; dan e. kepadatan jaringan jalan dan tingkat pelayanan jalan di setiap satuan wilayah. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai metode dan perhitungan parameter sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam peraturan Menteri. Pasal 13 (1) Terhadap pencapaian dari rencana penyelenggaraan jalan wajib dievaluasi oleh Pemerintah setiap: a. 2 (dua) tahunan untuk bahan evaluasi perencanaan jangka menengah; dan b. 5 (lima) tahunan untuk bahan evaluasi perencanaan jangka panjang dan penentuan perencanaan jangka menengah berikutnya. (2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat seseuai dengan peraturan perundang-undangan. Paragraf 2 Keterpaduan Perencanaan Jalan dan Tata Ruang Pasal 14 Rencana penyelenggaraan jalan pada jaringan jalan primer harus: a. bersinergi, saling mendukung, dan berdasarkan Rencana Tata Ruang Nasional dan/atau Rencana Tata Ruang Provinsi; dan b. sesuai dengan klasifikasi status jalan yang bersangkutan. Pasal 15 Jaringan jalan arteri primer harus mendukung dan diprioritaskan untuk mengakses titik multi moda dengan jangkauan primer yang berskala nasional. Pasal 16 (1) Setiap orang dilarang membuka akses ke/dari jalan arteri primer dan kolektor primer yang mengganggu kelancaran lalu lintas dan mengurangi kapasitas jalan, kecuali mendapat izin dari

-9- Penyelenggara Jalan sesuai dengan klasifikasi status jalan. (2) Izin dari Penyelenggara Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan dampak lalu lintas dari kegiatan yang membutuhkan akses jalan tersebut dan daya tampung jalan yang ada. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan membuka akses dan tata cara mendapat izin diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 17 Rencana pekerjaan jalan, terutama pembangunan jalan baru dan peningkatan kapasitas jalan pada jaringan jalan sekunder di wilayah kota, harus disusun secara bersinergi, saling mendukung, dan berdasarkan Rencana Tata Ruang Kota. Pasal 18 (1) Pemerintah Daerah kota berkewajiban menyusun Peraturan Daerah tentang rencana detail tata ruang kota di sepanjang jalan arteri primer. (2) Rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menjamin tingkat pelayanan fungsi jalan yang tinggi atau lalu lintas yang lancar. Pasal 19 (1) Setiap orang dilarang membuka akses ke atau dari jalan arteri primer yang berada di dalam kota yang mengganggu kelancaran lalu lintas dan mengurangi kapasitas jalan, kecuali mendapat izin dari Penyelenggara Jalan. (2) Izin dari Penyelenggara Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan dampak lalu lintas dari kegiatan yang membutuhkan akses jalan tersebut dan daya tampung jalan yang ada sesuai dengan tata ruang dan tata guna lahan di sepanjang jalan nasional. Bagian Ketiga Perwujudan Sasaran Pasal 20 (1) Perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) dilakukan agar jalan dapat dimanfaatkan sesuai dengan umur rencana dan mengutamakan keselamatan serta hemat biaya operasional kendaraan. (2) Perencanaan teknis jalan meliputi : a. studi kelayakan ekonomi dan/atau keuangan untuk pembangunan jalan baru dan peningkatan kapasitas; b. kajian trase untuk menetapkan garis tengah jalan; c. penyusunan kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dari

-10- pekerjaan jalan; d. rancang bangun kekuatan konstruksi jalan yang sama pada semua status jalan; dan e. desain rancang bangun dari jalan termasuk saluran drainase jalan, jalur pejalan kaki di sisi-sisi jalan, dan bangunan pelengkap. (3) Pedoman dari perencanaan teknis jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. (4) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan memperhatikan pendapat menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. Pasal 21 (1) Pembangunan, peningkatan kapasitas, dan rekayasa jalan dilakukan dengan usia rencana paling singkat: a. 10 (sepuluh) tahun untuk jalan dengan perkerasan lentur; b. 20 (dua puluh) tahun untuk jalan dengan perkerasan kaku; dan c. 50 (lima puluh) tahun untuk jembatan dengan materi struktur beton bertulang atau baja. (2) Pembangunan, peningkatan kapasitas, dan rekayasa jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan rancang bangun yang telah disetujui oleh Penyelenggara Jalan sesuai dengan klasifikasi jalan. Pasal 22 (1) Rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) harus dilakukan sesuai dengan pedoman perencanaan teknis jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3). (2) Rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam dokumen proyek. (3) Dokumen proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat selama pelaksanaan pekerjaan jalan. Pasal 23 (1) Penyelenggara Jalan berkewajiban membuat pusat data jalan yang harus selalu diperbaharui dengan rancang bangun aktual setelah pekerjaan selesai dari setiap pekerjaan jalan dan jaringan utilitas. (2) Pusat data jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan mengenai keterbukaan informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 24 Penyelenggara Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap perencanaan teknis jalan.

-11- Pasal 25 (1) Pedoman perencanaan teknis jalan untuk jalan khusus disusun berdasarkan kebutuhan spesifik jalan yang dibangun. (2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri atau pejabat yang ditunjuk melaksanakan pembinaan jalan nasional untuk jalan khusus nasional dan oleh pembina jalan kota untuk jalan khusus kota. Pasal 26 (1) Penyelenggaraan pengadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) meliputi kegiatan: a. pengkoordinasian dan pengintegrasian dari rancang bangun, perencanaan teknik, serta pengkajian analisis dampak gangguan lalu lintas; b. pembangunan; dan c. penerimaan, penyerahan dan pengambilalihan. (2) Penyelenggaraan pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi wewenang dan tanggung jawab badan usaha di bidang pembangunan infrastruktur. (3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimiliki oleh: a. Pemerintah dan Pemerintah Daerah; atau b. Pemerintah Daerah. (4) Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha di bidang jalan yang memiliki sertifikat kompetensi. Pasal 27 (1) Pengadaan jalan khusus dilakukan oleh badan usaha yang membiayai pembangunan dan pemeliharaan jalan khusus atau oleh badan usaha di bidang pembangunan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dengan persetujuan badan usaha yang membiayai pembangunan dan pemeliharaan jalan khusus. (2) Pengawasan terhadap pengadaan jalan khusus dilakukan oleh Penyelenggara Jalan nasional atau Penyelenggara Jalan kota. Pasal 28 (1) Pelaksanaan pekerjaan jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) harus memperhitungkan keselamatan lalu lintas pejalan kaki dan kendaraan, pengguna jalan dan masyarakat sekitarnya serta dampak terhadap lalu lintas disekitarnya seminimal mungkin. (2) Pelaksanaan pekerjaan jalan dimulai setelah dilakukan persiapan fisik berdasarkan hasil analisis dampak gangguan lalu lintas.

-12- Pelaksanaan pekerjaan jalan harus: Pasal 29 a. dilengkapi dengan penerangan tambahan serta dilengkapi dengan rambu-rambu petunjuk yang jelas; dan b. dilaksanakan lebih dari 1 (satu) kelompok-waktu-bekerja yang disesuaikan dengan kondisi kepadatan lalu lintas pada waktu tertentu. Pasal 30 Penyelenggara Jalan bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan jalan. Pasal 31 (1) Penyelenggara Jalan yang melakukan perencanaan teknis, pengadaan, dan/atau pelaksanaan pekerjaan jalan wajib bertanggungjawab terhadap kerusakan dini yang terjadi selama usia teknis yang telah ditetapkan dalam rancangan teknis jalan sesuai dengan klasifikasi jalan. (2) Pejabat atasan langsung dari Penyelenggara Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan dini yang terjadi selama usia teknis yang telah ditetapkan dalam rancangan teknis jalan sesuai dengan klasifikasi jalan. Bagian Keempat Pemeliharaan Jalan Pasal 32 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, serta Badan Usaha jalan khusus, berkewajiban melakukan pemeliharaan melalui pemantauan kondisi jalan secara berkesinambungan, perbaikan terhadap kerusakan jalan, atau peningkatan kualitas jalan untuk menjamin tercapainya usia rencana jalan sesuai perencanaan teknis yang telah disetujui agar standar pelayanan minimal jalan selalu terpenuhi. (2) Pemantauan kondisi jalan secara berkesinambungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penilik jalan. (3) Standar pelayanan minimal jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri. (4) Untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus menyediakan anggaran yang setiap saat dapat dipergunakan untuk memperbaiki jalan.

-13- BAB VI PENGELOMPOKAN DAN BAGIAN-BAGIAN JALAN Bagian Kesatu Umum Pasal 33 (1) Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. (2) Jalan umum merupakan jalan yang diperuntukkan bagi setiap orang untuk berlalu lintas. (3) Jalan khusus merupakan jalan yang diperuntukkan khusus untuk suatu periode waktu tertentu, yang dibangun oleh badan usaha, untuk kepentingan sendiri. Pasal 34 (1) Jalan umum dan jalan khusus harus memiliki bagian-bagian jalan yang merupakan ruang yang dipergunakan untuk konstruksi jalan, keperluan peningkatan kapasitas jalan, dan keamanan bagi pengguna jalan. (2) Selain memiliki bagian-bagian jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jalan umum dan jalan khusus dapat didukung dengan bangunan penghubung. (3) Jalan umum dan jalan khusus dapat dilengkapi dengan bangunan pelengkap yang berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, keselamatan, keamanan dan kelancaran lalu lintas. Bagian Kedua Jalan Umum Paragraf 1 Klasifikasi Pasal 35 (1) Jalan umum diklasifikasikan berdasarkan sistem jaringan, fungsi, status, dan pengelolaan. (2) Jalan umum berdasarkan klasifikasi sistem jaringan terdiri dari jaringan jalan primer dan jaringan jalan sekunder. (3) Jalan umum berdasarkan klasifikasi fungsi terdiri dari jalan bebas hambatan, jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan/desa. (4) Jalan umum berdasarkan klasifikasi status terdiri atas jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota.

-14- (5) Jalan umum berdasarkan klasifikasi pengelolaan terdiri dari jalan biasa, jalan tol, dan jalan berbayar. (6) Klasifikasi jalan umum diatur dengan peraturan Menteri, setelah mendapat persetujuan dari menteri yang bertanggung jawab di bidang transportasi/perhubungan dan mendapat pertimbangan dari menteri yang bertanggung jawab di bidang urusan dalam negeri. Pasal 36 (1) Sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul pusat-pusat kegiatan yang mempunyai jangkauan pelayanan nasional, wilayah, dan lokal. (2) Sistem jaringan jalan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan klasifikasi fungsi terdiri dari: a. jalan bebas hambatan; b. jalan arteri primer; c. jalan kolektor primer; d. lokal primer; dan e. jalan khusus yang dialihkan menjadi jalan nasional. Pasal 37 (1) Sistem jaringan jalan sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) merupakan sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat. (2) Jaringan jalan sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan klasifikasi fungsi terdiri dari: a. jalan arteri sekunder; b. jalan kolektor sekunder; c. jalan lokal sekunder; d. jalan lingkungan/desa; dan e. jalan khusus yang dialihkan menjadi jalan kabupaten/kota. Pasal 38 Jalan bebas hambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) berfungsi melayani angkutan utama, dengan ciri-ciri: a. untuk perjalanan jarak jauh; b. dapat dilintasi dengan kecepatan tinggi; c. persimpangan tidak sebidang; d. jumlah akses sangat terbatas; e. dilengkapi dengan lajur darurat; dan

-15- f. akses masuk/keluar jalan bebas hambatan harus dilengkapi dengan simpang tidak sebidang untuk dapat tersambung dengan jalan arteri dengan jalur tunggu yang cukup panjang, dan dapat dibatasi dengan pintu/gardu. Pasal 39 (1) Jalan arteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) berfungsi melayani angkutan utama dengan ciri: a. perjalanan jarak jauh; b. kecepatan rata-rata tinggi; dan c. jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. (2) Jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari jalan arteri primer dan jalan arteri sekunder. (3) Jalan arteri primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jalan arteri dalam skala wilayah tingkat nasional. (4) Jalan arteri sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jalan arteri dalam skala perkotaan. Pasal 40 (1) Jalan kolektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri: a. perjalanan jarak sedang; b. kecepatan rata-rata sedang; dan c. jumlah jalan masuk dibatasi. (2) Jalan kolektor meliputi jalan kolektor primer dan jalan kolekter sekunder. (3) Jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jalan kolektor dalam skala wilayah tingkat nasional. (4) Jalan kolektor sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jalan kolektor dalam skala perkotaan. Pasal 41 (1) Jalan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) berfungsi melayani angkutan setempat dengan ciri: a. perjalanan jarak dekat; b. kecepatan rata-rata rendah; dan c. jumlah jalan masuk tidak dibatasi. (2) Jalan lokal meliputi jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. (3) Jalan lokal primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jalan lokal dalam skala wilayah tingkat lokal kabupaten. (4) Jalan lokal sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jalan lokal dalam skala perkotaan.

-16- Pasal 42 (1) Jalan lingkungan/desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) berfungsi sebagai jalan umum di dalam kawasan permukiman di perkotaan atau yang menghubungkan antar dusun/permukiman di dalam desa. (2) Jalan lingkungan/desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melayani pejalan kaki dan kendaraan tidak bermotor sebagai prioritas tertinggi, dan angkutan lingkungan dengan ciri: a. perjalanan jarak dekat; dan b. kecepatan sangat rendah. Pasal 43 Jalan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5) merupakan jalan umum yang pemanfaatannya tidak dikenakan tarif atau biaya. Pasal 44 (1) Jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5) merupakan jalan umum yang pemanfaatannya dikenakan tarif. (2) Jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan nasional, sebagai jalan bebas hambatan atau jalan arteri primer dalam sistem jaringan jalan primer. Pasal 45 (1) Jalan berbayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5) merupakan jalan umum yang pemanfaatannya mewajibkan pengguna membayar sejumlah uang dalam waktu tertentu. (2) Jalan berbayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan kota sebagai jalan bebas hambatan, atau jalan kabupaten/kota sebagai jalan arteri sekunder, dalam sistem jaringan jalan sekunder. (3) Keuntungan bersih dari jalan berbayar wajib dipergunakan untuk pembiayaan jalan umum. (4) Keuntungan bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk: a. pembangunan jalan; b. peningkatan kapasitas jalan; c. peningkatan kualitas jalan; dan/atau d. pemeliharaan jalan. (5) Penyelenggaraan jalan berbayar merupakan tanggung jawab Pemerintah atau pemerintah daerah yang pengelolaannya dilakukan badan usaha di bidang pengelolaan jalan berbayar. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan jalan berbayar diatur dalam Peraturan Pemerintah.

-17- Paragraf 2 Jalan Nasional Pasal 46 Jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), berfungsi sebagai jalan bebas hambatan atau jalan arteri primer dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi dan jalan strategis nasional. Pasal 47 (1) Penetapan status jalan sebagai jalan nasional dilakukan secara berkala oleh Menteri. (2) Penetapan status jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan fungsi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sesuai dengan pedoman dan standar penetapan status jalan yang ditetapkan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan standar penetapan status jalan diatur dalam keputusan Menteri. Paragraf 3 Jalan Tol Pasal 48 (1) Jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diselenggarakan untuk: a. meningkatkan aksesibilitas dari daerah potensial yang belum berkembang; b. meningkatkan efisiensi pelayanan jasa distribusi untuk menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi; c. meringankan beban dana Pemerintah melalui partisipasi penggunaan jalan; dan d. mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta keseimbangan dalam pengembangan wilayah dengan memperhatikan keadilan. (2) Jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lintas alternatif dari jaringan jalan umum yang berklasifikasi fungsi sama atau lebih tinggi dari jalan arteri primer untuk melayani arus lalu lintas jarak jauh. (3) Jika belum ada infrastruktur jalan untuk meningkatkan efisiensi mobilitas barang antar kawasan, jalan tol dapat tidak merupakan lintas alternatif agar sangat bermanfaat bagi perekonomian nasional dan melindungi kawasan yang dilalui jalan tol yang bersifat tertutup. (4) Dalam hal jalan tol bukan merupakan lintas alternatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jalan tol hanya dapat dihubungkan ke dalam jaringan jalan umum pada ruas yang sekurang-kurangnya mempunyai fungsi kolektor.

-18- Pasal 49 (1) Pengusahaan jalan tol dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Badan Usaha di bidang jalan tol. (2) Pengusahaan jalan tol dilakukan oleh: a. Pemerintah, jika kelayakan ekonomi tinggi dan kelayakan finansial rendah; b. Badan Usaha jika kelayakan ekonomi tinggi dan kelayakan finansial tinggi; atau c. Pemerintah dan badan usaha jika kelayakan ekonomi tinggi dan kelayakan finansial tidak mencukupi. (3) Pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan bebas hambatan sebagai bagian jaringan jalan nasional. (4) Pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui perjanjian pengusahaan jalan tol. Pasal 50 (1) Perjanjian pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) wajib di audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Apabila hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat penyimpangan, maka BPJT wajib segera memperbaharui atau membatalkan perjanjian pengusahaan jalan tol. (3) Pembaharuan atau pembatalan perjanjian pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghentikan proses penyelenggaraan dan pengoperasian jalan tol. Pasal 51 (1) Perjanjian pengusahaan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) mengatur pemberian konsesi pengusahaan jalan tol yang diberikan dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi pengembalian dana investasi dan keuntungan yang wajar bagi usaha jalan tol. (2) Pemberian konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pengadaaan barang dan jasa. Pasal 52 Dalam hal konsesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 telah selesai, Pemerintah mengalihkan status jalan tol yang dimaksud menjadi jalan berbayar sesuai dengan kewenangannya. Pasal 53 (1) Dalam keadaan tertentu yang menyebabkan pengusahaan jalan tol tidak dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian pengusahaan jalan tol, Pemerintah dapat

-19- melakukan langkah penyelesaian untuk keberlangsungan pengusahaan jalan tol. (2) Dalam melakukan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menghentikan pengoperasian jalan tol. Pasal 54 (1) Pengguna jalan tol diwajibkan membayar tarif jalan tol yang digunakan untuk pengembalian investasi, pengoperasian, dan pemeliharaaan. (2) Tarif jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan selama periode waktu tertentu sesuai dengan perjanjian pengusahaan jalan tol. (3) Tarif jalan tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi. (4) Tarif jalan tol yang besarannya tercantum dalam perjanjian pengusahaan jalan tol ditetapkan pemberlakuannya bersamaan dengan penetapan pengoperasian jalan tersebut sebagai jalan tol. (5) Evaluasi dan penyesuaian tarif jalan tol wajib dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan hasil audit oleh akuntan publik terhadap kelayakan dan keuntungan minimal sebagaimana disepakati dalam perjanjian pengusahaan jalan tol. (6) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (7) Pemberlakuan tarif awal jalan tol dan penyesuaian tarif tol ditetapkan oleh Menteri pada waktu dan dengan besaran berdasarkan kesepakatan sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian pengusahaan jalan tol. Pasal 55 Penyelenggaraan jalan tol ditujukan untuk mewujudkan jalan tol yang aman, nyaman, berhasil guna dan berdaya guna, serta pengusahaan yang transparan dan terbuka. Pasal 56 Badan Usaha yang mengusahakan jalan tol dapat melakukan operasional manajemen lalu lintas guna menjamin pelayanan jalan tol dan menerima pendapatan dari pengoperasian jalan tol. Pasal 57 (1) Badan Usaha yang mengusahakan jalan tol dapat melakukan pengembangan ruang kegiatan disekitar akses tol bagi kegiatan produktif dan logistik skala nasional. (2) Pengembangan ruang kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan nilai tambah pemanfaatan jalan tol.

-20- (3) Pengembangangan ruang kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan bagian dari perjanjian pengusahaan jalan tol. Pasal 58 (1) Badan Usaha di bidang jalan tol dalam mengusahakan jalan tol wajib memenuhi SPM jalan tol. (2) SPM jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ukuran tingkat pelayanan keamanan dan kenyamanan yang harus selalu dipenuhi selama waktu konsesi. (3) SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat sebagai pengguna jalan tol. Pasal 59 (1) SPM jalan tol paling sedikit meliputi: a. kondisi jalan; b. kecepatan tempuh rata-rata; c. aksessibilitas; d. mobilitas; e. keselamatan; dan f. unit pertolongan atau penyelamatan dan bantuan pelayanan. (2) Selain SPM jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada jalan tol harus dilengkapi dengan pelayanan tempat istirahat dan fasilitas pendukung. Pasal 60 (1) SPM jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan informasi publik yang ditetapkan dalam perjanjian pengusahaan jalan tol. (2) Penetapan SPM jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dievaluasi secara berkala berdasarkan hasil pengawasan fungsi dan manfaat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai SPM jalan tol diatur dengan peraturan Menteri. Pasal 61 (1) Setiap Badan usaha di bidang jalan tol yang mengusahakan jalan tol tidak memenuhi SPM jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dikenai sanksi administratif terdiri atas: a. teguran tertulis; b. denda administratif; dan c. pembatalan perjanjian pengelolaan jalan tol. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.

-21- Pasal 62 (1) Jalan tol hanya diperuntukkan bagi pengguna jalan yang menggunakan kendaraan bermotor. (2) Jenis kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. (3) Penggunaan jalan tol selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri. Pasal 63 (1) Selain peruntukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, jalan tol dapat dimanfaatkan untuk saluran data elektronik dan/atau jaringan utilitas yang dibangun di ruang milik jalan tol. (2) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh badan usaha yang mengusahakan jalan tol atau badan usaha lain yang memiliki kompetensi. (3) Pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat menjadi bagian yang diperjanjikan di dalam perjanjian pengusahaan jalan tol. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jalan tol diatur dengan Peraturan BPJT. Pasal 64 Pengguna jalan tol berhak: a. mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan SPM; dan b. menuntut kerugian kepada badan usaha akibat tidak terpenuhinya SPM jalan tol. Pasal 65 (1) Selain pengguna jalan tol, setiap orang dilarang memasuki jalan tol. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi petugas jalan tol. Pasal 66 Ketentuan lebih lanjut mengenai jalan tol, pengusahaan jalan tol, tarif jalan tol diatur dengan Peraturan Pemerintah. Paragraf 4 Jalan Provinsi Pasal 67 Jalan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) berfungsi sebagai jalan kolektor primer dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/ kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.

-22- Pasal 68 (1) Penetapan status sebagai jalan provinsi dilakukan secara berkala oleh Menteri. (2) Penetapan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan fungsi jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 sesuai dengan pedoman dan standar yang ditetapkan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan standar diatur dalam Keputusan Menteri. Paragraf 5 Jalan Kabupaten/Kota Pasal 69 Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) meliputi: a. jalan lokal primer dalam sistem jaringan jalan primer yang berfungsi menghubungkan: 1. ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan; 2. antaribukota kecamatan; 3. ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal; dan 4. antarpusat kegiatan lokal. b. jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten. c. jalan strategis kabupaten. Pasal 70 Jalan kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) berfungsi sebagai jalan bebas hambatan dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, yang menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota. Pasal 71 Jalan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) berfungsi sebagai jalan arteri sekunder, jalan kolektor sekunder, jalan lokal sekunder, dan jalan lingkungan/desa dalam sistem jaringan jalan sekunder di wilayah kabupaten/kota, yang menghubungkan ibukota kabupaten/kota dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten/kota dengan pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, jalan strategis kabupaten/kota, pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman.

-23- Pasal 72 (1) Penetapan status sebagai jalan kabupaten atau kota dilakukan secara berkala oleh Menteri. (2) Penetapan status sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan fungsi jalan kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 sesuai dengan pedoman dan standar yang ditetapkan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan standar diatur dalam Keputusan Menteri. Bagian Ketiga Jalan Khusus Pasal 73 (1) Jalan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) hanya diperuntukkan bagi badan usaha untuk melayani kepentingan sendiri. (2) Jalan khusus merupakan jalan yang sementara waktu dikelola untuk kepentingan khusus selanjutnya diserahkan kepada negara untuk kepentingan umum. (3) Jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus tertutup bagi lalu lintas umum. Pasal 74 Jalan khusus wajib dibangun sesuai dengan persyaratan jalan umum. Pasal 75 Setiap instansi dan/atau badan usaha yang membangun jalan khusus harus mendapat izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan klasifikasi status jalan. Pasal 76 (1) Jalan khusus dapat digunakan untuk lalu lintas umum dalam keadaan darurat berdasarkan persetujuan dari pengelola jalan khusus. (2) Selain keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara dalam keadaan perang jalan khusus dapat diambil alih oleh Pemerintah tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pengelola jalan khusus. (3) Jalan khusus yang digunakan untuk lalu lintas umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap menjadi tanggung jawab badan usaha dalam melakukan pengelolaan dan pemeliharaan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan jalan khusus dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan untuk kepentingan pertahanan keamanan sebagaimana dimaksud pada

-24- ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. Pasal 77 (1) Pengelola jalan khusus wajib menyerahkan jalan khusus kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah untuk dinyatakan sebagai jalan umum setelah batas waktu yang ditentukan berakhir. (2) Penyerahan jalan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam kondisi baik sesuai dengan spesifikasi dari status jalan. (3) Ketentuan mengenai penyerahan jalan khusus diatur dalam Peraturan Menteri. (1) Bagian-bagian jalan meliputi: a. ruang manfaat jalan; b. ruang milik jalan; dan c. ruang pengawasan jalan. Bagian Keempat Bagian-Bagian Jalan Pasal 78 (2) Ruang manfaat jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari badan jalan termasuk fasilitas pejalan kaki, saluran tepi jalan, dan ambang pengaman jalan. (3) Penyediaan fasilitas pejalan kaki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan di jalan bebas hambatan. (4) Ruang milik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan (5) Ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang bebas dari bangunan permanen dan tidak boleh terpotong oleh Garis Sempadan Bangunan. Pasal 79 Ukuran dari ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dapat dilebarkan sesuai dengan tingkat klasifikasi fungsi jalan. Pasal 80 Setiap instansi, badan hukum, atau orang yang akan membangun jaringan utilitas atau apapun di bawah dan/atau di atas permukaan jalan di dalam ruang milik jalan, harus: a. mengajukan rencana rinci serta jadwal waktu dan penanggung jawab pekerjaan kepada Penyelenggara Jalan; b. menyerahkan jaminan bank dan analisis dampak gangguan lalu

-25- lintas kepada Penyelenggara Jalan; dan c. memiliki izin tertulis dari Penyelenggara Jalan dan memberikan kepada penilik jalan dari setiap lokasi pekerjaan, minimal 3 hari sebelum pekerjaan dilakukan. Pasal 81 Setiap instansi, badan hukum, atau orang yang membangun jaringan utilitas atau apapun di bawah dan/atau di atas permukaan jalan di dalam ruang milik jalan, wajib: a. melaksanakan pekerjaan sesuai rencana pelaksanaan pekerjaan; b. meminimalisasi dampak gangguan lalu lintas akibat pekerjaan; dan c. mengembalikan ruang milik jalan minimal sesuai dengan kondisi semula. Pasal 82 (1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan dan keselamatan lalu lintas dari pejalan kaki atau kendaraan di dalam ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, dan/atau ruang pengawasan jalan. (2) Ketentuan larangan melakukan perbuatan di ruang pengawasan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal mendapat izin dari Penyelenggara Jalan. (3) Setiap orang dilarang mendirikan bangunan, sebagian dari bangunan, atau garis sepadan bangunan di ruang pengawasan jalan. Bagian Kelima Bangunan Penghubung Pasal 83 Untuk mendukung fungsi jalan dapat dibangun bangunan penghubung berupa jembatan dan/atau terowongan guna mengatasi rintangan antar ruas-ruas jalan. Pasal 84 (1) Jembatan dikelompokkan menjadi jembatan standar dan jembatan dengan karakteristik khusus. (2) Jembatan standar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan jembatan yang dapat direncanakan, dibangun, dan/atau dipelihara dengan menggunakan teknologi yang sederhana. (3) Jembatan dengan karakteristik khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan jembatan yang dibangun menggunakan sistem struktur khusus, atau material khusus, atau cara pelaksanaan dan pemeliharaan yang khusus.

-26- Pasal 85 (1) Jembatan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2), terdiri dari: a. jembatan bentang pendek dengan bentang sampai dengan 40 (empat puluh) meter; dan b. jembatan bentang sedang dengan bentang lebih dari 40 (empat puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter. (2) Jembatan dengan karakteristik khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (3), terdiri dari: a. jembatan dengan bentang lebih dari 100 (seratus) meter; dan b. jembatan dengan bentang dibawah 100 (seratus) meter yang dibangun dengan menggunakan sistem struktur khusus, atau material khusus, atau cara pelaksanaan dan pemeliharaan yang khusus. Pasal 86 (1) Jembatan bentang pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf a diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota. (2) Jembatan bentang sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) huruf b diselenggarakan oleh pemerintah provinsi. (3) Jembatan dengan karakteristik khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah. Pasal 87 (1) Dalam hal pemerintah kabupaten/kota membangun jembatan bentang sedang yang terdapat di ruas jalan kabupaten/kota harus mendapat izin teknis dari pemerintah provinsi. (2) Dalam hal pemerintah kabupaten/kota membangun jembatan dengan karakteristik khusus di jalan kabupaten/kota, maka harus mendapat izin teknis dan pengawasan dari Pemerintah. Pasal 88 (1) Dalam hal pemerintah provinsi membangun jembatan dengan karakteristik khusus di jalan provinsi, maka harus mendapat izin teknis dan pengawasan dari Pemerintah. (2) Dalam hal pemerintah provinsi membangun jembatan bentang pendek di ruas jalan provinsi, tidak memerlukan izin dari pemerintah kabupaten/kota. Pasal 89 Dalam hal Pemerintah membangun jembatan bentang pendek dan jembatan bentang sedang di ruas jalan nasional, tidak memerlukan izin dari pemerintah kabupaten/kota dan/atau provinsi.

-27- Pasal 90 (1) Rancang bangun jembatan harus memenuhi spesifikasi khusus dan memperhitungkan prosedur standar pemeliharaan dan perbaikan yang ditetapkan oleh Menteri. (2) Selain rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rancang bangun jembatan harus memperhatikan unsur estetika. Pasal 91 (1) Pembangunan terowongan harus memenuhi spesifikasi khusus, analisis mengenai dampak lingkungan, dan memperhitungkan prosedur standar pemeliharaan serta perbaikan. (2) Analisis mengenai dampak lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Spesifikasi khusus dan perhitungan prosedur standar pemeliharaan serta perbaikan ditetapkan oleh Menteri. Pasal 92 Ketentuan lebih lanjut mengenai bangunan penghubung dan izin teknis diatur dengan Peraturan Pemerintah. PEKERJAAN JALAN Bagian Kesatu Umum Pasal 93 (1) Pekerjaan jalan terdiri dari pembangunan jalan baru, peningkatan kapasitas jalan, peningkatan kualitas jalan, pemeliharaan jalan, dan perubahan geometrik jalan. (2) Pembangunan jalan baru merupakan kegiatan penambahan panjang jalan dan membuka akses jalan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan lingkungan/desa. (3) Peningkatan kapasitas jalan merupakan penambahan dimensi, jumlah dan fungsi lajur atau jalur lalu lintas pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan lingkungan/desa. (4) Peningkatan kualitas jalan merupakan kegiatan meningkatkan mutu dan/atau daya dukung konstruksi pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan lingkungan/desa. (5) Pemeliharaan jalan merupakan kegiatan penanganan jalan, berupa perawatan dan perbaikan yang diperlukan untuk mempertahankan kondisi jalan agar tetap berfungsi secara optimal melayani lalu lintas sehingga umur rencana yang ditetapkan dapat tercapai. (6) Perubahan geometrik jalan merupakan kegiatan merubah fisik jalan

-28- berkaitan dengan rekayasa dan manajemen lalu lintas dan mendapat prioritas utama terkait dengan masalah keselamatan lalu lintas. (7) Setiap jenis pekerjaan jalan harus memenuhi kaidah keselamatan jalan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Pasal 94 (1) Pembangunan jalan baru, peningkatan kapasitas jalan, peningkatan kualitas jalan dilakukan melalui: a. perencanaan teknis; b. pemrograman dan penganggaran; c. pengadaan lahan, dikecualikan bagi peningkatan kualitas jalan; d. pelaksanaan konstruksi; dan e. pengoperasian. (2) Perencanaan teknis pembangunan jalan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kegiatan menetapkan standar geometrik jalan, klasifikasi, sub bidang, dan lingkup pekerjaan. (3) Pemrograman dan penganggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kegiatan menetapkan uraian kegiatan dan biaya yang diperlukan untuk pembangunan jalan. (4) Pengadaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kegiatan menyediakan lahan melalui pembebasan lahan milik masyarakat atas hak kepemilikan untuk pembangunan jalan bagi kepentingan umum atau kepentingan khusus. (5) Pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan oleh badan usaha di bidang pembangunan infrastruktur. (6) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertanggung jawab terhadap kondisi jalan selama masa penjaminan sesuai dengan perjanjian pelaksanaan konstruksi. (7) Pengoperasian jalan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan setelah jalan dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi secara teknis dan administratif. (8) Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan teknis, pemrograman dan penganggaran, dan pelaksanaan konstruksi pembangunan jalan baru diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Kedua Pembangunan Jalan Baru Pasal 95 (1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban melakukan pembangunan jalan baru untuk mempercepat terciptanya sistem mobilitas barang dan/atau orang serta sistem logistik yang efisien dan untuk membuka akses yang menghubungkan kabupaten/kota