Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1969 Tentang : Pemakaian Isotop Radioaktip Dan Radiasi

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 TENTANG PEMAKAIAN ISOTOP RADIOAKTIF DAN RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1969 TENTANG PEMAKAIAN ISOTOP RADIOAKTIP DAN RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1975 TENTANG IZIN PEMAKAIAN ZAT RADIOAKTIF DAN ATAU SUMBER RADIASI LAINNYA

Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1975 Tentang : Izin Pemakaian Zat Radioaktip Dan Atau Sumber Radiasi Lainnya

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 Tentang : Keselamatan Kerja Terhadap Radiasi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1975 TENTANG KESELAMATAN KERJA TERHADAP RADIASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 Tentang : Pengangkutan Zat Radioaktip

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2000 Tentang : Perijinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir

Undang-undang Nomor I Tahun 1970

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1964 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK TENAGA ATOM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA BAB I TENTANG ISTILAH-ISTILAH. Pasal 1

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1964 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK TENAGA ATOM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN. Jakarta, 3 Mei DEPARTEMEN TENAGA KERJA. DIREKTORAT PEMBINAAN NORMA-NORMA KESELAMATAN KERJA, HYGIENE PERUSAHAN dan KESEHATAN KERJA.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 1973

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1975 TENTANG PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.03/MEN/1985 T E N T A N G KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PEMAKAIAN ASBES

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1971 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEARSIPAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2000 TENTANG PERIZINAN PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1962 TENTANG HYGIENE UNTUK USAHA-USAHA BAGI UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 06 TAHUN 2009 TENTANG PENGENDALIAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1963 TENTANG TELEKOMUNIKASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Kesehatan Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Presiden Republik Indonesia,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1980 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor: 07 TAHUN Tentang WAJIB LAPOR KETENAGA KERJAAN DI PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2002 TENTANG KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 7 TAHUN 2010

LAMPIRAN LAMPIRAN Universitas Kristen Maranatha

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 1 Tahun 2002 Seri C PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 6 TAHUN 2002 T E N T A N G PENGELOLAAN PASAR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1981 TENTANG METROLOGI LEGAL [LN 1981/11, TLN 3193]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang : Landas Kontinen Indonesia

NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1962 TENTANG HYGIENE UNTUK USAHA-USAHA BAGI UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG PERIZINAN REAKTOR NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 7 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG

Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 Tentang : Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER-01/MEN/1992 TENTANG SYARAT SYARAT KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PESAWAT KARBID

Bentuk: UNDANG-UNDANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1973 (1/1973) 6 JANUARI 1973 (JAKARTA) Sumber: LN 1973/1; TLN NO.

Menimbang : Mengingat :

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.04/MEN/1987

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1973 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1983 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR DI KOTA MALANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (PERDA KOTA YOGYAKARTA) NOMOR 18 TAHUN 2002 (18/2002) TENTANG PENGELOLAAN KEBERSIHAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PENGENDALIAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH KE AIR ATAU SUMBER AIR

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERIZINAN INSTALASI NUKLIR DAN PEMANFAATAN BAHAN NUKLIR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2012 TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN KERUGIAN NUKLIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PD. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 63 TAHUN 2000 (63/2000) TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1982 TENTANG WAJIB DAFTAR PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 106 TAHUN : 2010 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG

BAPETEN. Petugas Tertentu. Bekerja. Instalasi. Sumber Radiasi Pengion. Bekerja. Surat Izin. Pencabutan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1981 TENTANG

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 01 A Latar Belakang 01 Tujuan Instruksional Umum 02 Tujuan Instruksional Khusus. 02

2015, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1970 TENTANG KESELAMATAN KERJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1997 TENTANG KETENAGANUKLIRAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 7 TAHUN 1960 (7/1960) Tanggal: 26 SEPTEMBER 1960 (JAKARTA)

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 05-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN RENCANA PENANGGULANGAN KEADAAN DARURAT

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 1960 TENTANG KREDIT DAN LIKWIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1962 TENTANG WABAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ORDONANSI UAP 1930 (Stoom Ordonnantie 1930) S , s.d.u. dg. S terakhir s.d.u. dg. S

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 11 TAHUN 1962 (11/1962) Tanggal: 3 AGUSTUS 1962 (JAKARTA)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 14/Ka-BAPETEN/VI-99 TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN PABRIK KAOS LAMPU

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 5 TAHUN 1973 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1969 Tentang : Pemakaian Isotop Radioaktip Dan Radiasi Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 9 TAHUN 1969 (9/1969) Tanggal : 18 APRIL 1969 (JAKARTA) Sumber : LN 1969/18; TLN NO. 2892 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa pada saat ini pembuatan isotop radioaktip telah dapat dilakukan di Indonesia; b. bahwa isotop radioaktif dapat dipergunakan di berbagai lapangan seperti lapangan kedokteran, pertanian, industri, pendidikan, penelitian dan sebagainya. c. bahwa isotop radioaktip mempunyai sifat bahaya yang dapat merusak segala makhluk hidup; d. bahwa oleh karenanya untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia terhadap bahaya radiasi, maka perlu untuk mengatur dan mengawasi segala sesuatu yang bersangkutan dengan pemakaian isotop radioaktip dan radiasi. Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang No. 31 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom; 3. Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1965 tentang Dewan. Tenaga Atom dan Badan Tenaga Atom Nasional. MEMUTUSKAN :

Menetapkan: Peraturan Pemerintah tentang Pemakaian Isotop Radioaktip dan Radiasi. BAB I. KETENTUAN UMUM. Pasal 1. Yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah ini dengan: a. Pemakaian: ialah setiap perbuatan yang meliputi penguasaan, penggunaan, peredaran, penyerahan, pengangkutan dan lain- lain perbuatan yang bersangkutan dengan pemakaian isotop radioaktip dan radiasi; b. Isotop radioaktip: ialah bahan-bahan yang memancarkan radiasi, baik radioaktip alam maupun buatan, yang selanjutnya disebut dengan isotop; c. Radiasi: ialah sinar alpha, sinar beta, sinar gamma, sinar x dan sinarsinar yang menimbulkan radiasi meng-ion; d. Instansi yang berwenang: ialah Badan Tenaga Atom Nasional; e. Lembaga: ialah badan yang menyelenggarakan suatu usaha untuk kepentingan umum; f. Untuk istilah-istilah lain berlaku ketentuan istilah dalam Undangundang No. 31 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom. Pasal 2. Setiap pemakaian isotop dan radiasi hanya dapat dilakukan setelah mendapat ijin dari instansi yang berwenang. Pasal 3.

Setiap perbuatan yang bersangkutan dengan isotop dan radiasi harus dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak merugikan para petugas dan masyarakat sekitarnya. Pasal 4. Yang dibebaskan dari keharusan mendapat ijin, sebagai tersebut dalam pasal 2 ialah: a. Badan yang bekerja di bawah instansi yang berwenang; b. Badan/instansi baik Pemerintah maupun swasta yang bekerjasama dengan instansi yang berwenang, jika perbuatan itu sesuai dengan maksud dan tujuan kerjasama tersebut. BAB II. SYARAT, CARA MEMPEROLEH DAN BERAKHIRNYA IJIN Pasal 5. Ijin dapat diberikan kepada: a. Lembaga-lembaga penelitian dan/atau pendidikan, rumah sakit, instansi-instansi, perusahaan-perusahaan baik swasta maupun Pemerintah; b. Para Dokter yang mempergunakan isotop dan radiasi untuk tujuan diagnose dan/atau pengobatan; c. Para Apoteker yang mempergunakan isotop dan radiasi untuk pembuatan obat-obatan. Pasal 6. Setiap badan atau orang yang tersebut dalam pasal 5, dapat memperoleh ijin jika:

a. mempunyai fasilitas instalasi atom untuk melakukan pemakaian isotop dan radiasi; b. mempunyai peralatan teknis yang diperlukan untuk melakukan penyimpanan isotop dengan baik, untuk menjamin perlindungan terhadap radiasi; c. mempunyai tenaga-tenaga yang cakap dan terlatih baik, untuk bekerja dengan isotop dan radiasi; d. mempunyai perlengkapan proteksi radiasi. Pasal 7. (1) Permohonan untuk mendapat ijin dilakukan kepada instansi yang berwenang. (2) Kepada setiap pemohon akan diberitahukan secara tertulis tentang penerimaan atau penolakan atas permohonannya. (3) Ijin yang dikabulkan atas dasar permohonan, hanya dapat dipergunakan oleh pemohon, dan untuk jangka waktu yang telah ditentukan. Pasal 8. Dalam hal pemegang ijin tidak lagi memenuhi syarat dan/atau kewajiban yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah ini, maka instansi yang berwenang dapat: a. memberikan peringatan kepada pemegang ijin; b. membekukan ijin untuk suatu jangka waktu tertentu; c. mencabut ijin tersebut. Ijin berakhir dengan: Pasal 9. a. Lewatnya jangka waktu yang ditentukan;

b. Meninggalnya pemegang ijin; c. Dicabut oleh instansi yang berwenang karena alasan yang tertentu. Pasal 10. Ijin yang berakhir karena lewatnya jangka waktu yang ditentukan, dapat dimohonkan pembaharuan. Pasal 11. Yang dimaksud dengan alasan yang tertentu dalam pasal 9 sub c ialah: a. terlibat langsung maupun tidak langsung dengan suatu gerakan melawan Pemerintah; b. ketentuan yang dimaksud dalam pasal 8. BAB III. KEWAJIBAN DAN TANGGUNGJAWAB PEMEGANG IJIN Pemegang ijin berkewajiban: Pasal 12. a. Memberi kesempatan terhadap pemeriksaan yang sewaktu-waktu akan diadakan oleh instansi yang berwenang terhadap Instalasi Atom di mana isotop dan radiasi dipergunakan dan tempat penyimpanannya. b. Memberi kesempatan terhadap pemeriksaan kesehatan tenaga kerja oleh ahli-ahli dari instansi yang berwenang atau dengan kerjasama dengan instansi-instansi Pemerintah yang lain untuk evaluasi efek-efek dari isotop dan radiasi terhadap kepada kesehatan. c. Menyelenggarakan dokumentasi mengenai segala sesuatu yang bersangkutan dengan isotop dan radiasi.

d. Mentaati peraturan, pedoman kerja dan lain-lain ketentuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan instansi yang berwenang. e. Melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah atau memperkecil bahaya yang timbul akibat pemakaian isotop dan radiasi tersebut, terhadap kesehatan dan keselamatan para petugas, penduduk serta kerusakan harta benda sekitarnya. f. Melakukan tindakan perlindungan bagi pekerjaan sehingga tidak mendapat penyinaran lebih dari 0,l rem setiap minggu, atau tidak lebih dari 5 rem setahun. Pasal 13. Pemegang ijin bertanggungjawab atas segala kerugian yang timbul sebagai akibat pemakaian isotop dan radiasi, baik atas diri orang atau harta-benda. BAB IV. PENYIMPANAN Pasal 14. Isotop harus disimpan dalam suatu tempat yang dibuat tertutup sehingga penyinaran pada permukaan tidak lebih dari 7 rem per jam. Pasal 15. Setiap pemegang ijin yang memakai isotop dan radiasi dan sementara tidak bekerja dengan isotop harus: a. Menyimpan isotop dalam wadah yang khusus dan tahan korosi radiasi dan suhu tinggi sesuai dengan tingkat keracunan dari isotop yang bersangkutan. b. Meletakkan wadah yang berisi isotop dalam suatu wadah luar yang cukup menahan isi wadah dalam, kecuali sudah tidak ada kemungkinan lagi bahwa wadah dalam akan bocor.

c. Menempelkan pada setiap wadah yang berisi isotop, suatu tanda bahaya radiasi (trefoil), dengan keterangan: 1. macam dan jumlah isotop dalam wadah; 2. tanggal pengukuran terakhir dilakukan dan aktivitasnya; 3. nama orang atau badan yang menguasai isotop. Pasal 16. Wadah luar harus dibuat dari bahan-bahan yang ditentukan oleh instansi yang berwenang. BAB V. PENGANGKUTAN Pasal 17. Dalam peraturan ini isotop dibagi dalam 4 (empat) golongan: Golongan I, isotop dengan tingkat radio-toksisita sangat tinggi. Golongan II, isotop dengan tingkat radio-toksisita tinggi. Golongan III, isotop dengan tingkat radio-toksisita sedang. Golongan IV, isotop dengan tingkat radio-toksisita rendah. Isotop-isotop mana yang termasuk dalam golongan-golongan yang tersebut dalam ayat 1, terdapat dalam Lampiran I peraturan ini. Pasal 18. Isotop dari semua golongan yang akan diangkut baik melalui darat, laut maupun udara harus dibungkus, diberi penahan radiasi dan tanda yang jelas meliputi tanda bahaya radioaktip, jenis isotop radioaktip dan besarnya radioaktivita sesuai dengan Lampiran II peraturan ini. Selain itu harus diterangkan juga besarnya radioaktivita pada permukaan luar bungkusan, jarak aman, besarnya dosis pada jarak satu meter serta disebutkan nama dan alamat penerima.

Pasal 19. 1. Isotop yang akan diangkut harus dibungkus dalam suatu wadah dalam yang dilapisi dengan kertas serap yang dimasukkan lagi dalam wadah luar serta diberi penahan radiasi. 2. Bahan dan ukuran dari wadah luar ditentukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan golongan dari isotop. Pasal 20. Besarnya radiasi dari isotop pada jarak satu meter dari setiap titik dari permukaan bungkusan luar selama pengangkutan tidak boleh melebihi: a. 10 mr/jam untuk sinar gamma dan sinar X; b. setara dengan 10 mr/jam untuk sinar beta. Pasal 21. Kecuali dengan ijin dari instansi yang berwenang, pengangkutan isotop tidak boleh melebihi 2000 milli curie dalam satu wadah. Pasal 22. Hal-hal yang belum diatur dalam bab ini, diatur dalam peraturan pengangkutan yang akan ditentukan oleh Pemerintah. BAB VI. PENGURUSAN SAMPAH RADIOAKTIP Pasal 23.

Sampah radioaktip harus dikumpulkan, disimpan dan dibuang, pada tempat dan dengan cara sebagai ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. BAB VII. KETENTUAN PIDANA. Pasal 24. Pelanggaran atas ketentuan pasal 2, 12, 14, 18, 19, 20, 23 dan 25 yang merugikan kepentingan umum, diancam dengan hukuman denda setinggitingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) atau kurungan pengganti selama-lamanya 3 (tiga) bulan. BAB VII. KETENTUAN PENUTUP. Pasal 25. Dalam jangka waktu 2 (dua) bulan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, setiap orang atau badan, yang memakai isotop dan radiasi harus melaporkan pada instansi yang berwenang. Pasal 26. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 April 1969. Presiden Republik Indonesia, SOEHARTO Jenderal TNI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 April 1969. Sekretaris Negara Republik Indonesia, ALAMSJAH. Mayor Jenderal TNI PENJELASAN ATAS : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA No. 9 TAHUN 1969 TENTANG : PEMAKAIAN ISOTOP RADIOAKTIP DAN RADIASI. PENJELASAN UMUM: 1. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka penggunaan isotop radioaktip dan radiasi dibanyak lapangan penghidupan di Indonesia, seperti bidang pertanian, kedokteran, biologi, pendidikan, penelitian, industri dan lain-lain, makin lama makin meluas. Misalnya saja dibidang pertanian, dengan mempergunakan isotop radioaktip pada butir-butir padi kita sekarang dapat memperbesar hasil dan mempertinggi mutu padi tersebut. Di bidang kedokteran isotop radioaktip dapat dipergunakan sebagai "tracer" pada diagnose suatu penyakit, atau pengobatan (therapi) penyakit kanker. Di dalam industri mutu suatu barang dapat diperbaiki, umpama: pada industri plastik. Dengan mempergunakan radiasi, zat plastik dapat dibuat tahan panas, sehingga dapat dipakai untuk keperluan hidup sehari-hari secara lebih luas. Ini adalah sekedar contoh saja untuk menjelaskan kemampuan isotop dan radiasi diberbagai bidang. 2. Di samping manfaat yang serba guna itu, pemakaianya membawa akibat bahaya radiasi. Manusia telah lama kenal pada radiasi alam, akan tetapi radiasi dari reaksi atom atau partikel-partikel yang padat baru diketahui dengan mulainya penggunaan tenaga atom.

Seperti diketahui, ada beberapa bentuk utama dari radiasi, yang digunakan: alpha, beta, gamma dan sinar X. Partikel alpha yang terdiri dari 2 proton dan 2 neutron tidak dapat terpencar jauh, sehingga dengan beberapa lembar kertas saja daya tembusnya telah dapat dicegah, partikel beta yang terdiri dari elektron-elektron yang keluar dari inti atom radioaktip dapat terpencar lebih jauh lagi, sehingga daya tembusnya sudah bisa dicegah dengan suatu lembar alumunium yang tipis. Yang paling berbahaya adalah sinar gamma dan sinar X, karena sinarsinar tersebut dapat menembus baik kertas maupun aluminium, sehingga untuk mencegah daya tembusnya diperlukan timbal atau beton yang tebal untuk menahan sinar-sinar tersebut. Dalam hal ini bahayanya terletak pada kemamuan untuk menimbulkan ionisasi pada zat-zat yang dilaluinya. Jika radiasi itu menembus tubuh manusia dalam dosis yang besar, maka radiasi itu akan merusak sel-sel tubuh manusia dedemikian rupa sehingga kerusakan itu lebih besar/banyak jika dibandingkan dengan pergantian sel-sel baru yang bisa dilakukan. Untuk mencegah bahaya ini, maka kepada para petugas dalam instalasi atom diwajibkan untuk bekerja dengan cermat dan mentaati cara-cara kerja yang semestinya. Pada waktu ini pengetahuan tentang sifat-sifat radiasi, effek biologi yang ditimbulkannya, konsentrasikonsentrasi batas dari zat radioaktip dalam udara, air dan tubuh manusia yang masih dapat diterima, sudah sedemikian rupa sehingga adalah perlu bagi Pemerintah untuk menetapkan norma-norma bagi cara kerja yang aman. Dengan adanya pengawasan oleh Pemerintah dengan cara registrasi dan lisensi, para pemakai isotop radoktip dan radiasi diharuskan untuk mentaati norma-norma bagi cara bekerja yang cermat dan aman tersebut. Dengan kata lain, ujuan pengawasan bagi Pemerintah tidak lain ditunjuk kepada perlindungan atas kesehatan dan keselamatan bagi para petugas dan penduduk sekitarnya. 3. Sehingga persoalannya adalah bagaimanakah caranya mengusahakan agar dosis yang diterima oleh petugas atau masyarakat sekitarnya untuk semua macam radiasi meng-ion menjadi serendah mungkin, karena ini adalah masalah kepentingan umum terhadap kesehatan dan keselamatannya. Soal kepentingan tersebut di atas adalah tugas Pemerintah untuk menjamin dan mengawasinya, dalam hal ini Badan Tenaga Atom Nasional ditetapkan sebagai Instansi yang tertinggi dalam soal tenaga atom (Pasal 6 Undang-undang Nomor 31 tahun 1964). 4. Oleh karena itu dalam hal isotop radioaktip dan radiasi ini ditentukan bahwa setiap pemakain isotop dan radiasi yang meliputi perbuatan penguasaan, penggunaan, peredaran, penyerahan, pengangkutan dan lain-lain perbuatan yang bersangkutan dengan isotop dan radiasi, hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Instansi yang berwenang. Akan tetapi sebelum memberi ijin dipertimbangkan

terlebih dahulu apakah permohonan sudah memenuhi syarat-syarat sebagai yang disebutkan dalam pasal 6. Dengan demikian dapat diadakan pengawasan terhadap setiap pemakaian isotop dan radiasi. 5. Pencantuman ketentuan pidana dalam peraturan ini dimaksudkan untuk benar-benar mengejar effektivitas dalam mengejar tujuan ini, yaitu perlindungan bagi petugas radiasi dan masyarakat sekitarnya terhadap bahaya radiasi. Pasal DEMI PASAL: Pasal 1. Di dalam peraturan ini juga termasuk isotop radioaktip alam seperti: uranium, thorium dan lain-lain isotop yang perlu untuk bahan bakar reaktor atom. Penyebutan perbuatan-perbuatan apa yang dimaksudkan dalam pengertian pemakaian itu, bukanlah limitatip, artinya lain-lain perbuatan yang bersangkutan dengan isotop dan radiasi, juga termasuk, seperti perbuatan import dan export. Pasal 2. Pasal 3. Pasal 4. Yang dimaksud dengan badan yang bekerja di bawah Instansi yang berwenang ialah badan yang secara hierarchis bekerja dan pertanggungjawab pada Instansi yang berwenang. Sedangkan pembebasan yang berdsarkan kerjasama dengan Instansi yang berwenang hanya diberikan sepanjang perbuatan itu tidak menyimpang dari tujuan kerjasama. Selain dari pada itu pemakaian isotop-radiasi hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 2.

Pasal 5. Pada hakekatnya pemegang ijin isotop dan radiasi, mungkin merupakan badan, seperti: lembaga-lembaga penelitian dan/atau pendidikan, rumah sakit, Instansi-instansi perusahaan, baik swasta maupun Pemerintah, atau perseorangan, seperti Dokter dan Apotheker. Pasal 6. Dengan instalasi atom dimaksudkan tempat, bangunan atau kompleks dimana terdapat segala atau sesuatu kegiatan dalam lapangan tenaga atom. Pengertian instalasi atom di sini dengan tidak menyimpang dari pengertian tersebut dalam Undang-undang Pokok Tenaga Atom adalah tempat, bangunan atau kompleks dimana terdapat segala atau sesuatu kegiatan pemakaian isotop dan radiasi. Jadi meliputi laboratorium isotop, tempattempat pesawat sinar X untuk keperluan diagnose atau therapi, dan sebagainya. Termasuk dalam perlengkapan proteksi radiasi adalah pakaian penahan radiasi, seperti: pakaian laboratorium, rubber gloves dan sebagainya, dan alat-alat pengukur radiasi, seperti film badge, pocket dosimeter dan sebagainya. Pasal 7. Untuk menghindarkan penyalahgunaan ijin yang diberikan maka ditentukan dalam ayat terakhir bahwa ijin hanya dapat dipergunakan sendiri oleh Pemegangnya. Pasal 8. Jika pemegang ijin tidak lagi memenuhi syarat-syarat dan/atau kewajibankewajiban sebagai yang ditentukan dalam peraturan ini maka kepadanya masih diberi kesempatan untuk memenuhi syarat-syarat dan/atau kewajiban tersebut dengan memberikan peringatan atau pembekuan ijin untuk waktu yang ditentukan, sebelum dilakukan tindakan pencabutan. Pasal 9.

Pasal 10. Pasal 11. Pasal 12. Penegasan kewajiban-kewajiban ini perlu agar supaya pemakaian isotop tetap berada dalam keadaan aman cara kerjanya dengan tidak membahayakan pekerjanya sendiri, penduduk sekitarnya maupun hartabenda. Oleh karena itu antara lain, ada kewajiban untuk menerima Inspeksi Ahli-hali dari instansi yang berwenang. Kepada tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah atau memperkecil bahaya yang timbul akibat pemakaian isotop dan radiasi tersebut termasuk pemeriksaan kesehatan tenaga kerja sebelum kerja atau periodis, pengukuran kwalitatif dan kwantitatif kontaminasi lingkungan kerja atau umum oleh bahan-bahan radio-isotop, monitoring dan lain-lain. Pasal 13. Ketentuan ini diperlukan untuk pentingan pihak yang dirugikan [Catatan Penyunting: Didalam dokumen ini terdapat format gambar Pasal 20. Antara setiap titik pada permukaan bungkusan sampai sejauh 1 (satu) meter, tidak boleh ada benda lain yang berada diantaranya. Pasal 21. Pasal 22.

Peraturan tentang pengangkutan bahan-bahan radioaktip yang lebih lengkap ditentukan kemudian. Sebelumnya peraturan tersebut di atas dikeluarkan oleh Pemerintah, maka keterangan-keterangan teknis tentang pengangkutan bahan-bahan radioaktip dapat diperoleh pada instansi yang berwenang. Pasal 23. Pasal 24. Pasal 25.