BAB I PENDAHULUAN. Polisi Republik Indonesia (POLRI) merupakan alat negara yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu lembaga

PROFESIONALISME KERJA DITINJAU DARI KECERDASAN EMOSIONAL PADA ANGGOTA SAMAPTA POLRI SKRIPSI. Diajukan oleh : EVA TRI AGUSTINA F.

BAB I PENDAHULUAN. pada sisi yang lain hal ini menyebabkan tumbuhnya pengusaha-pengusaha yang

BAB I PENDAHULUAN. emosi yang bervariatif dari waktu ke waktu, khususnya pada masa remaja yang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Bhayangkara Jakarta Raya. Hubungan Persepsi..., Adnan, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. sangat mudah untuk diakses dan dibaca oleh masyarakat luas. Dalam menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kepentingan orang yang melaksanakan hak-haknya, misalnya hak untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia saat ini telah memasuki era reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN AGRESIVITAS PADA POLISI YANG MENDAPATKAN INVENTARIS SENJATA API

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suporter sepakbola merupakan kerumunan di mana diartikan sebagai

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya akan melalui beberapa tahap perkembangan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-16.KP TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI PEMASYARAKATAN

2011, No Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas

PERILAKU KOPING ANGGOTA SAMAPTA POLRI KETIKA MENGHADAPI KERUSUHAN MASSA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PROFESIONALISME KERJA PADA POLISI LALU LINTAS S K R I P S I

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sejak bergulirnya era reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998,

BAB I PENDAHULUAN. pidana menjadi sorotan tajam dalam perkembangan dunia hukum.

LAMPIRAN I : KUESIONER KECERDASAN EMOSIONAL. sedang melakukan penelitian mengenai kondisi para dokter muda selama bertugas di

BAB I PENDAHULUAN. melakukan pengembangan pendidikan, seperti dengan perbaikan kurikulum. seperti dari Inggris, Singapura dan sebagainya.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu institusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. ( diselenggarakan pemerintah dan masyarakat yang berfungsi untuk melakukan

LAMPIRAN 1. HASIL WAWANCARA DENGAN KOMPOL R. SITUMORANG, KASI. OPS. LAT. DIT. SAMAPTA POLDASU

RAHASIA. INFORMASI KHUSUS Tanggal 15 Januari 2017

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya di antara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

anarkis, Polda yogyakarta melakukan upaya sebagai berikut; a. upaya melalui pendekatan dan kerjasama demonstran dengan pihak kepolisian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Profesi sebagai polisi mempunyai nilai penting dalam menentukan tegaknya

ETIKA PROFESI SATPAM

1. Bagaimana gambaran burnout pada anggota. 2. Mengapa terjadi burnout pada anggota polisi. 3. Bagaimana dampak burnout pada anggota

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2015 HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEMAMPUAN MENGENDALIKAN EMOSI DAN MOTIVASI PADA ATLET FUTSAL PUTERI UKM UPI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejak berpisahnya Polri dari tubuh organisasi Angkatan Bersenjata Republik

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Fungsi bidang pembinaan..., Veronica Ari Herawati, Program Pascasarjana, 2008

BAB I PENDAHULUAN. suatu organisasi adalah kualitas sumber daya manusia. As ad (2004) mengatakan

BAB V PEMBAHASAN. program bimbingan, pengajaran dan latihan dalam membantu peserta didik agar mampu

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 7 TAHUN 2006 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. membantu apa pun pengaduan dari masyarakat, seperti pencurian, pembunuhan, dan perampokan. Sebagaimana semboyan Tribrata

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau. perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah

BAB I PENDAHULUAN. sangat berbeda dalam sifat dan substansinya (Rahardjo, 2010)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa kanakkanak

I. PENDAHULUAN. berbeda-beda baik itu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri di lingkungan sosialnya. Seorang individu akan selalu berusaha

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional

BAB I PENDAHULUAN. berupa stressor kerja seperti beban kerja yang berlebihan, rendahnya gaji,

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun masyarakat. Kata tawuran

PENGELOLAAN EMOSI PADA ANGGOTA SABHARA (SAMAPTA BHAYANGKARA) DALAM MENANGANI UNJUK RASA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. lainnya untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh sebab itu manusia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang harus hidup di tengah lingkungan sosial. Melalui proses sosialisasi. mengadakan interaksi sosial dalam pergaulannya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. luas. Fenomena ini sudah ada sejak dulu hingga sekarang. Faktor yang mendorong

I. PENDAHULUAN. Anarkis merupakan sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan, anarkis dimulai di

BAB I PENDAHULUAN. sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia meliputi: Hak untuk

BAB I PENDAHULUAN. dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi (Goleman, 2006).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyenangkan dan muncul dalam bermacam-macam bentuk dan tingkat kesulitan,

BAB I PENDAHULUAN. secara terpadu. UU RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan, yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi yang dimilikinya.oleh karena itu, sangat diperlukan adanya

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Polisi Republik Indonesia (POLRI) merupakan alat negara yang bertanggung jawab dalam menyelenggarakan keamanan dalam negeri, termasuk di dalamnya mengemban tugas pokok sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum serta melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Polri sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 memiliki tugas pokok yang meliputi antara lain; memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan tugas pokoknya secara umum, Polri memiliki lima fungsi operasional kepolisian yang memiliki tugas masing-masing yaitu fungsi Intelijen, fungsi Reserse, fungsi Lalu Lintas, fungsi Bimbingan Masyarakat dan fungsi Samapta Bhayangkara. Fungsi Samapta Bhayangkara yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan satuan Sabhara Polri adalah salah satu dari fungsi teknis operasional Polri yang mengemban tugas utama bersifat preventif atau pencegahan. Patroli, pengaturan, penjagaan, dan pengawalan serta pelayanan masyarakat adalah tugas-tugas esensial bagi satuan ini, yang sasaran utamanya adalah menghilangkan atau sekurang-kurangnya meminimalisasi bertemunya niat dan kesempatan terjadinya pelanggaran atau kejahatan (http://museum.polri.go.id). 1

2 Tugas-tugas yang dilaksanakan oleh anggota Polri pengemban fungsi Sabhara pada umumnya merupakan tugas pelayanan terhadap masyarakat, dimana dalam pelaksanaannya langsung bersentuhan dengan masyarakat. Di antara tugastugas tersebut, tugas Pengendalian Massa (Dalmas) merupakan salah satu tugas yang paling rentan terhadap terjadinya bentrokan antara Polri dengan masyarakat yang dilayaninya. Pada dasarnya pengendalian massa adalah bagian dari tugas polisi samapta, yang merupakan suatu kegiatan dengan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap sekelompok masyarakat yang sedang menyampaikan pendapat atau menyampaikan aspirasinya di depan umum guna mencegah masuknya pengaruh dari pihak tertentu atau provokator (Mabes Polri, 2005 : 219). Tidak jarang kegiatan masyarakat berupa penyampaian pendapat di muka umum sering terjadi ketegangan emosional dan kemarahan yang akhirnya berujung pada kerusuhan. Dalam menghadapi situasi demonstrasi, dibutuhkan aparat keamanan untuk mengendalikan situasi dan mencegah terjadinya kerusuhan. Namun adanya tindakan anarkis yang dilakukan oleh oknum peserta unjuk rasa seringkali menyulut terjadinya bentrokan sehingga terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bertugas, seperti halnya bentrokan yang sering terjadi di provinsi Nusa Tenggara Barat. Seorang mahasiswa dipukuli oleh oknum aparat kepolisian saat para mahasiswa memaksa masuk ke dalam kantor DPRD Provinsi NTB pada tanggal 7 November 2012. Aksi tersebut berawal ketika keinginan mahasiswa untuk bertemu anggota dewan tidak terpenuhi karena semua anggota dewan sedang kunjungan kerja ke Jakarta. Kemudian aksi saling dorong dengan kepolisian pun tak terelakkan. Salah satu

3 mahasiswa melempari polisi dengan gelas air mineral yang masih terisi air. Hal ini memantik polisi untuk mengejar mahasiswa dan memukulnya hingga terjatuh (http://www.gaungntb.com, diakses 25 april 2013). Peristiwa yang belum lama terjadi yaitu pada tanggal 21 Mei 2013, mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Majelis Penyelamatan Organisasi (HPO) Mataram bentrok fisik dengan aparat kepolisian saat berunjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di kantor DPRD Provinsi NTB. Bentrokan fisik itu bermula dari keinginan kelompok pengunjuk rasa hendak menyerbu masuk ke gedung DPRD NTB, namun dihadang barisan aparat kepolisian. Terjadilah aksi dorong hingga salah seorang pengunjuk rasa melayangkan pukulan ke wajah anggota polisi, kemudian dibalas dengan pukulan bertubi-tubi sejumlah anggota polisi. Akibatnya, lima mahasiswa luka-luka dan seorang anggota polisi menderita luka di wajahnya (http://antaramataram.com, diakses 15 juli 2013). Terjadi pula bentrokan antara mahasiswa dengan polisi terkait dengan kedatangan Wakil Presiden Budiono ke Sumbawa pada tanggal 1 Juni 2013. Bentrokan tersebut berawal ketika mahasiswa akan keluar dari Masjid Jami Sumbawa, tiba-tiba polisi melarang mahasiswa keluar masjid dengan alasan jalan depan masjid akan dilalui rombongan Wakil Presiden. Akibat penghadangan tersebut, puluhan mahasiswa mengamuk dan menerobos barikade polisi. Dampak dari kejadian tersebut berlanjut di Simpang Empat Lawang Gali, bentrokan kembali terjadi hingga mengakibatkan 2 mahasiswa terluka karena dipukuli polisi, satu diantaranya bahkan jatuh pingsan (http://fokus6.blogspot.com, diakses 15 Juli 2013).

4 Tindakan anarkis yang dilakukan oleh oknum peserta unjuk rasa menyulut terjadinya bentrokan, sehingga terjadi tindak pemukulan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bertugas. Dalam aksi tersebut aparat kepolisian telah melakukan pelanggaran dan merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap HAM. Oleh karena itu, Polri yang khususnya anggota Sabhara yang bertugas langsung berhadapan dengan massa atau demonstran dituntut untuk dapat mengendalikan emosinya agar tidak mudah terpancing dengan aksi-aksi anarkis. Berkaitan dengan fenomena tersebut, menurut Psikolog dari UI (Universitas Indonesia) yaitu Sartono Mukadis (2007), hal yang penting untuk dicermati pada terulangnya kasus tindak kekerasan yang melibatkan anggota Polri adalah bagaimana tingkat stabilitas emosi, kedewasaan berpikir, dan ketenangan jiwa yang dia miliki. Banyak faktor mengapa anggota Polri melakukan hal seperti itu, antara lain kekesalan pada kondisi, keputusasaan, dan merasa diperlakukan tidak baik. Perhatian terhadap aspek emosi ini sudah saatnya ditingkatkan. Salah satu pendekatan mengenai emosi adalah konsep kecerdasan emosional. Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Goleman, 2005:45). Goleman (2005) membagi kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) ini menjadi lima aspek utama, yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain.

5 Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, mampu memahami dan mengelola perasaan mereka sendiri, mampu memotivasi dirinya sendiri, serta mampu berempati dan membina hubungan dengan orang lain, maka akan memiliki keuntungan dalam segala bidang kehidupan, baik dalam hubungan asmara dan persahabatan, ataupun dalam keberhasilan pekerjaannya. Seseorang dengan keterampilan emosional tinggi berarti kemungkinan besar akan bahagia dan berhasil dalam kehidupannya. Setiap Anggota Sabhara idealnya adalah memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, seperti mampu mengelola emosi ketika sedang berhadapan dengan masyarakat. Anggota Sabhara perlu memiliki empati terhadap masyarakat, serta mampu membina hubungan yang baik dengan masyarakat. Hal ini dikarenakan tugas anggota Sabhara yang sering berhadapan langsung dengan masyarakat untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan. Terlebih lagi disaat anggota Sabhara dihadapkan dengan situasi pengaman yang anarkis, maka anggota Sabhara perlu memahami kondisi emosinya pada saat itu dan memahami bagaimana pula emosi yang ditampilkan oleh individu atau sekelompok masa yang sedang bertikai, apakah itu sedang marah, kesal, maupun sedih. Ketika anggota sabhara mulai terpancing emosi, maka diharapkan untuk bisa mengelola emosinya untuk lebih fokus terhadap pekerjaan, tanpa harus membalas amarah kepada individu atau sekelompok massa tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat yang memiliki tugas sebagai pembimbing teknis bagi satuan dibawahnya dalam pelaksanaan pengendalian massa, mengakui bahwa ada oknum anggota Sabhara yang melakukan pemukulan, dan tindakan kekerasan yang

6 dilakukan oleh oknum anggota Shabara dalam melakukan pengamanan unjuk rasa seperti yang pernah terjadi pada saat demonstrasi di Kantor DPRD NTB pada Rabu 7 November 2012 lalu, merupakan suatu hal yang salah dan merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan tugas. Direktur Sabhara sebagai pimpinan juga telah menindak lanjuti oknum anggota yang melakukan pelanggaran kode etik, seperti tidak mengikuti prosedur pengamanan yang benar ataupun tidak mengikuti perintah pimpinan. Mereka biasanya akan diberi sanksi mulai dari teguran, masuk sel, ataupun penundaan kenaikan pangkat. Selain itu, Direktur Sabhara Polda NTB juga mengatakan bahwa terjadinya bentrokan dalam pengamanan unjuk rasa dikarenakan anggota yang melaksanakan pengamanan mudah tersulut emosinya. Berdasarkan dari Data Kekuatan Personil Direktorat Sabhara Tahun 2013, personil Shabara yang mayoritas adalah personil Dalmas (Pengendalian Massa) yang terjun langsung dalam tugas pengamanan demonstrasi, bentrok antar kampung dan pengamanan obyek vital, merupakan Anggota Sabhara Polri berpangkat Bripda dan Briptu yang usianya relatif masih muda (berkisar 18 30 tahun). Mayoritas usia para personil Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat yaitu berusia 18-30 tahun atau berada pada tahap dewasa awal (early adulthood). Menurut Santrock (2002), masa dewasa awal ialah periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia 20 tahun dan berakhir pada usia 30 tahun-an. Dewasa awal merupakan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Dua kriteria yang diajukan untuk menunjukan akhir dari masa muda dan permulaan masa dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan

7 kemandirian membuat keputusan. Selain itu, pada orang yang lebih dewasa, mereka lebih selektif dalam hal jaringan sosialnya. Orang dewasa dapat beradaptasi lebih efektif apabila mereka cerdas secara emosional. Begitupun dengan Anggota Sabhara, apabila mereka memiliki kecerdasan emosional yang tinggi maka akan lebih mudah beradaptasi dengan situasi ataupun stimulus emosi yang dihadapinya. Dimana mereka memiliki keahlian mengembangkan kesadaran emosional, mengelola emosi secara efektif, mengenali emosi orang lain (empati), dan mampu menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan orang lain. Sepatutnya apabila diaplikasikan dari kelima aspek kecerdasan emosional, Anggota Sabhara yang sejatinya terjun dan bersentuhan langsung dengan masyarakat diharapkan mampu mengenali dan merasakan emosinya sendiri ketika menghadapi masyarakat, mampu memahami penyebab dari perasaan yang timbul, dan mampu mengenali perbedaan antara perasaan yang ada dalam dirinya dengan tindakan yang ditampilkan di depan masyarakat, misalnya anggota sabhara menyadari bahwa dirinya kesal ketika para demonstran melemparinya dengan botol minuman, tetapi dirinya harus tetap sabar dan fokus terhadap pekerjaan yang dilakukannya saat itu. Kedua, anggota sabhara diharapkan mampu mengelola emosinya (amarah, kecemasan, rasa frustrasi) dengan baik, mengungkapkan amarahnya secara tepat, sehingga apabila terjadi suatu demonstrasi, mereka tidak ikut terpancing emosi. Ketiga, mampu memotivasi dirinya sendiri, yaitu dengan cara bertanggung jawab dan mampu memusatkan perhatian pada tugasnya, sehingga dalam hal ini Anggota Sabhara dapat meningkatkan kinerjanya sebagai aparat kepolisian yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.

8 Keempat adalah mampu untuk mengenali emosi orang lain (empati), yaitu Anggota Sabhara dituntut untuk mampu menerima sudut pandang orang lain (masyarakat ataupun demonstran) dan Anggota Sabhara juga dituntut untuk peka terhadap perasaan orang lain. Terakhir adalah anggota sabhara diharapkan mampu membina hubungan dengan orang lain, misalnya dengan membangun jejaring dalam masyarakat melalui hubungan kekeluargaan dan persahabatan yang erat antar anggota masyarakat, menunjukkan keramahannya (care) sebagai pelayan publik, tidak bersikap arogan sehingga masyarakat yang dilayanipun akan merasa puas. Berdasarkan survey awal yang dilakukan peneliti melalui wawancara kepada 10 anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat, diketahui bahwa kegiatan mereka setiap hari adalah melaksanakan apel yang dilakukan setiap pagi, kecuali pada anggota yang lepas piket, kemudian tugas utama mereka adalah mengamankan unjuk rasa, perang antar kampung, patroli, dan membantu polrespolres sejajaran apabila kekurangan personil. Sebanyak 10 orang (100%) anggota sabhara yang diwawancarai, mengaku tidak pernah mangkir dari pekerjaannya dan selalu mengikuti apel pagi. Mereka memotivasi diri dan merasa memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan mereka untuk selalu masuk kantor, melaksanakan pekerjaannya dan mengikuti perintah dari atasan sesuai dengan prosedur dinas. Anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat sering melakukan pengamanan demonstrasi selama bertugas di Direktorat Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat, dan mengaku pernah pula menangani situasi demonstrasi yang anarkis, dimana demonstran melempari batu, telur busuk ataupun botol minuman.

9 Empat orang (40%) dari 10 orang responden menyadari sering tersulut emosi terlebih lagi disaat menghadapi demonstran yang anarkis. Mereka mudah tersinggung, jengkel, dan marah ketika massa mulai mengeluarkan kata-kata kasar, kemudian timbul perasaan was-was dan tegang ketika demonstran berjumlah lebih banyak daripada aparat kepolisian, dan juga timbul perasaan takut serta marah ketika demonstran mulai melempari aparat dengan batu, telur busuk ataupun botol minuman. Sedangkan 6 orang (60%) dari 10 responden mampu mengelola emosinya, dimana mereka lebih sabar dan bersikap tenang ketika para demonstran mulai mengeluarkan kata-kata kasar, serta lebih santai dan fokus dalam menghadapi demonstran yang berjumlah lebih banyak dari aparat kepolisian. Ketika terjadi aksi pelemparan ataupun kerusuhan yang mengakibatkan adanya korban dari pihak kepolisian, maka 10 orang (100%) dari responden selain melindungi diri sendiri, mereka juga akan melindungi rekanrekannya yang lain dari aksi pelemparan tersebut. Mereka juga dengan ikhlas membantu rekannya yang menjadi korban pelemparan dari pihak demonstran, untuk segera mendapatkan pertolongan medis. Biasanya jika anggota sabhara tidak ada kegiatan dalam pengamanan demonstrasi, perang kampung ataupun yang lainnya, maka mereka akan merasa jenuh dan bosan. Sebanyak 6 orang (60%) dari responden mengisi kejenuhan dengan berkumpul-kumpul dengan sesama rekan kerja sambil berbincang-bincang masalah dinas maupun urusan pribadi. Selain itu, 4 orang lainnya (40%) dari 10 responden mengisi kejenuhannya tersebut dengan beristirahat di barak ataupun pulang ke rumah, sambil menunggu jika sewaktu-waktu ada panggilan untuk melakukan pengamanan. Ketika anggota sabhara memiliki kecerdasan emosional yang tergolong tinggi, maka ia dapat mengenali emosi dirinya dan emosi orang lain yang bisa

10 memudahkan anggota sabhara beradaptasi di lingkungan dimana ia akan melakukan pekerjaannya dan ia juga bisa merasakan atau mengetahui apa yang sedang masyarakat harapkan, sehingga anggota sabhara bisa membuat harapan masyarakat tersebut menjadi dasar dalam pekerjaannya. Anggota sabhara pun mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik, karena tidak terbawa oleh emosi yang sedang dirasakan. Dengan kemampuannya mengolah emosi yang baik, maka Anggota Sabhara ini akan tidak mudah terpancing emosinya ketika menghadapi masyarakat atau demonstran yang bersikap anarkhis. Dalam menghadapi masalah, anggota sabhara mampu memotivasi dirinya sendiri apabila ia gagal, sehingga ia tidak perlu merasa putus asa. Dari wawancara di atas menunjukkan bahwa masih ada beberapa anggota Sabhara yang mudah terpancing dengan aksi anarkis dari individu atau sekelompok massa. Melalui fakta dari data-data tersebut, peneliti ingin mengetahui bagaimana derajat kecerdasan emosi pada anggota Shabara Polda Nusa Tenggara Barat. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, peneliti ingin mengetahui derajat Kecerdasan Emosional pada Anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat.

11 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang kecerdasan emosional pada anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat. 1.3.2 Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran derajat kecerdasan emosional anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat yang cenderung berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Ilmu Psikologi khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi dan Psikologi Perkembangan mengenai Kecerdasan Emosional pada Anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat. 2. Memberikan informasi kepada peneliti lain yang memerlukan bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut mengenai kecerdasan emosional pada anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi kepada direktorat Sabhara polda NTB untuk mengadakan pelatihan-pelatihan guna membina dan mengembangkan

12 kecerdasan emosional yang derajatnya rendah bagi para personilnya dalam rangka menciptakan profesionalisme dalam diri Polri. 2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan informasi bagi para Anggota Sabhara polda NTB sebagai bahan evaluasi diri untuk peningkatan profesionalisme-nya dalam bekerja sebagai anggota Polri. 1.5 Kerangka Pemikiran Samapta Bhayangkara yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan satuan Sabhara Polri adalah salah satu bagian dari organisasi Polri. Pelaksanaan tugas fungsi teknis Sabhara yaitu penjagaan, pengawalan, patroli, penanganan tindak pidana ringan dan penegakan peraturan daerah, penanganan police hazard, pengamanan VIP, pengamanan obyek vital, pengamanan obyek wisata, melaksanakan tindakan pertama di tempat kejadian perkara (TKP), SAR terbatas, negosiasi dan pengendalian massa (Mabes Polri, 2005) Tugas-tugas yang dilaksanakan oleh anggota Sabhara pada umumnya merupakan tugas pelayanan terhadap masyarakat, dimana dalam pelaksanaannya langsung bersentuhan dengan masyarakat. Diantara tugas-tugas tersebut, tugas Pengendalian massa (Dalmas) merupakan salah satu tugas yang paling rentan terhadap terjadinya bentrokan antara Polri dengan masyarakat yang dilayaninya. Seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Barat, dimana sering terjadi bentrok antara aparat kepolisian dengan masyarakat karena aparat terpicu emosinya ketika sedang melakukan pengamanan situasi yang anarkis. Tugas anggota sabhara Polda Nusa Tenggara Barat tidak hanya sekedar mengamankan situasi demonstrasi saja, melainkan juga memberikan rasa aman dan pelayanan langsung terhadap

13 masyarakat, sehingga anggota sabhara tidak hanya perlu kecerdasan akademis untuk mengerti terhadap prosedur penanganan demonstrasi saja, melainkan memerlukan keahlian khusus dalam mengelola emosinya, karena mereka dihadapkan pada situasi yang di dalamnya banyak tekanan dan tuntutan, adanya hal tersebut maka dibutuhkan kecerdasan emosional bagi para anggota sabhara. Kecerdasan Emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa (Goleman,2005:45). Terdapat lima aspek utama dalam kecerdasan emosional. Aspek kecerdasan emosional yang pertama, adalah mengenali emosi diri, yaitu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi, misalnya mengetahui perasaannya saat sedang takut karena ditegur oleh atasan. Anggota sabhara yang memiliki kemampuan mengenali perasaannya akan membantu dirinya mengatasi masalah-masalahnya terutama dalam pengambilan keputusan dalam menyelesaikan masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam menjalani pekerjaanya. Misalnya, ketika anggota sabhara mengetahui perasaan marah yang sedang dirasakannya dan mengetahui hal apa yang membuatnya marah, ia akan dengan lebih mudah mengenali dan mengantisipasi perasaan marahnya jika menghadapi suatu stimulus yang serupa. Sedangkan ketika anggota sabhara tersebut tidak mampu mengenali perasaan dirinya sendiri apakah itu marah atau sedih, anggota sabhara tersebut tidak dapat mengantisipasi datangnya perasaan tertentu. Aspek dari kecerdasan emosional yang berikutnya yaitu mengelola emosi yang merupakan kemampuan untuk mengelola perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat. Mengelola emosi disini artinya adalah upaya yang

14 dilakukan seseorang untuk menyeimbangkan keadaan emosi yang dirasakannya dengan lingkungannya. Seorang Anggota Sabhara dituntut untuk memiliki kemampuan tersebut dalam dirinya agar dapat memenuhi tuntutan tugasnya dalam menjadi pengayom dan pelindung masyarakat, dimana ketika sedang menghadapi suatu demonstrasi mereka mampu mengendalikan emosinya tersebut agar tidak ikut terpancing. Anggota Sabhara yang tidak mampu dalam mengendalikan emosi akan mudah terpancing emosinya, dan melepaskan emosi tanpa terkendali terutama pada saat menghadapi para demonstran di lapangan. Anggota sabhara yang tidak mampu mengelola emosinya akan terus menerus bertarung melawan perasaannya sendiri terutama dalam mengekspresikan perasaan marah, sedih, atau senang. Misalnya pada saat anggota sabhara dilempari botol minuman oleh para demonstran, kemudian dia merasa jengkel dan marah, maka anggota sabhara harus mampu mengelola emosinya tersebut. Jika anggota sabhara mampu mengelola emosinya, maka dia akan berusaha agar perasaan jengkel dan marah tersebut tidak muncul kepada demonstran dengan membalas melempar atau memukuli demonstran tanpa ada perintah dari Komandannya. Apabila dia kurang mampu mengelola emosinya, mungkin dia akan membalas melempar atau memukul demonstran. Aspek selanjutnya yang termasuk ke dalam kecerdasan emosional adalah, memotivasi diri, yang merupakan kemampuan untuk menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Seorang anggota sabhara yang mampu memotivasi dirinya cenderung lebih produktif dan efektif dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana anggota sabhara memanfaatkan emosinya untuk tetap semangat dalam menjalani pekerjaannya, bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, dan fokus terhadap tugas yang diberikan oleh atasannya sehingga

15 sesuai dengan kinerja Polri yang diharapkan selama ini. Apabila anggota sabhara tidak mampu memotivasi dirinya, maka sulit bagi dirinya untuk meningkatkan kinerja yang lebih baik lagi. Kemampuan memotivasi diri pada anggota sabhara akan menjadi modal utama dalam keterampilan menjalani profesinya. Aspek keempat dalam kecerdasan emosional adalah mengenali emosi orang lain atau yang biasa disebut empati, yaitu kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan keterampilan dasar dalam bergaul, termasuk dalam menghadapi masyarakat. Di dalam organisasi Polri, sangat diperlukan empati, khususnya oleh anggota Shabara karena mereka terjun dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Anggota sabhara yang mampu dalam berempati akan dapat mengenali emosi para demonstran, apakah sedang marah atau biasa-biasa saja. Tidak hanya kepada demonstran saja melainkan juga empati kepada rekan kerjanya sendiri, misalnya ketika rekan kerjanya terluka karena lemparan batu, maka anggota sabhara yang mampu berempati akan berusaha untuk melindungi rekannya ataupun menolongnya agar mendapatkan tidakan medis. Emosi biasanya jarang diungkapkan dengan kata-kata dan sering diungkapkan melalui isyarat. Sehingga kunci untuk dapat memahami orang lain adalah mampu membaca pesan non-verbal. Anggota Sabhara yang kurang memiliki kemampuan dalam berempati, maka akan kurang mampu mengenali emosi para demonstran, kemudian masyarakat akan cenderung menilai bahwa anggota sabhara tidak mampu memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap masyarakat. Aspek terakhir dari kecerdasan emosional yaitu membina hubungan dengan orang lain, dimana sebagian besar dari aspek ini merupakan kemampuan

16 mengelola emosi orang lain. Membina hubungan ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan yang diharapkan anggota sabhara. Anggota sabhara yang mampu membina hubungan dengan orang lain biasanya mempunyai jaringan sosial yang cukup luas dan terjaga baik, akan membantu dalam mencapai target kerjanya tersebut. Apabila anggota sabhara tidak mampu membina hubungan baik dengan orang lain, baik dengan rekan kerja maupun dengan masyarakat, bisa saja pekerjaannya akan terhambat atau mungkin terjadi kesalahpahaman, karena mereka tidak mampu mengkomunikasikan apa yang menjadi tujuan dari masing-masing orang. Kelima aspek diatas tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan saling terkait satu dengan yang lain dan membentuk suatu tingkatan. Meskipun demikian, seseorang tidak harus cakap dalam kelima aspek tersebut tetapi harus menguasai semua aspek itu sampai pada kadar tertentu dan ketika ia tidak terlalu menguasai salah satu aspek, ia dapat mempelajari dan melatihnya supaya dapat menjadikannya lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional lebih banyak diperoleh melalui belajar dan dapat berkembang sepanjang kehidupan sambil terus belajar dari pengalaman sendiri (Goleman, 1999). Menurut Daniel Goleman (1999), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang antara lain adalah hasil belajar dan terus berkembang sepanjang hidup sambil belajar dari pengalaman sendiri, karena adanya pengaruh lingkungan yang mencakup keluarga, teman sebaya. Faktor keluarga (orangtua) merupakan sekolah utama bagi individu untuk mempelajari emosi. Terdapat tiga gaya mendidik anak yang secara emosional tidak efisien, yaitu mengabaikan perasaan anak, terlalu membebaskan anak, serta menghina atau tidak menunjukkan penghargaan orangtua terhadap perasaan anak. Orangtua

17 yang mengabaikan perasaan anak akan memperlakukan masalah emosional anaknya sebagai hal kecil. Sedangkan orangtua yang terlalu membebaskan anak, merupakan orangtua yang peka akan perasaan anak, tetapi berpendapat bahwa apapun yang dilakukan anak untuk menangani badai emosinya sendiri itu adalah baik adanya, misalnya dengan cara memukul. Kemudian, orangtua yang menghina atau tidak menunjukkan penghargaan terhadap perasaan anak, biasanya suka mencela, mengecam bahkan menghukum keras anak mereka (Goleman, 2005:270). Orangtua yang menerapkan ketiga gaya didik seperti yang diungkapkan di atas akan cenderung menghasilkan seorang anggota shabara yang kurang percaya diri, kurang mampu mengelola emosinya, tidak empati dan sulit bergaul serta membina hubungan dengan masyarakat, sehingga hal tersebut dapat memicu anggota sabhara tersulut emosi dalam bertugas mengamankan tindak anarkis. Sedangkan gaya mendidik anak yang dianggap efisien adalah orangtua yang menanggapi perasaan anaknya untuk berupaya memahami apa yang sebenarnya membuat mereka marah dan menolong anak menemukan cara-cara positif untuk menenangkan perasaan. Orangtua yang terampil secara emosional atau mempunyai pemahaman tentang dasar-dasar kecerdasan emosional (mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, empati, dan membina hubungan dengan orang lain) akan sangat membantu anak dalam memberi dasar keterampilan emosional, seperti belajar bagaimana mengenali emosi diri, mengelola emosi, memanfaatkan perasaan-perasaan (memotivasi diri), berempati, dan menangani perasaan-perasaan yang muncul dalam hubungan mereka dengan orang lain (Goleman, 2005:271). Anggota sabhara yang memiliki orangtua dengan

18 gaya mendidik anak yang efisien dan terampil secara emosional cenderung akan menghasilkan anggota sabhara yang pergaulannya lebih baik dan memperlihatkan lebih banyak kasih sayang kepada orangtuanya, serta lebih sedikit bentrok dengan orangtua maupun orang lain. Anggota sabhara juga akan lebih pintar dalam menangani emosinya, lebih bisa menenangkan diri saat dirinya marah, dan tidak sering marah. Ketika orangtua kurang mempunyai pemahaman tentang dasar-dasar kecerdasan emosional, maka akan sulit untuk mengajarkan emosi secara efektif kepada anak. Misalnya seorang ayah yang tidak bisa merasakan kesedihannya sendiri, maka ayah tersebut tidak mungkin bisa untuk menolong anaknya dalam memahami perbedaan antara emosi sedih, misalkan karena ada keluarga yang meninggal, sedih karena menonton film yang mengharukan, dan sedih yang muncul bila sesuatu hal yang buruk terjadi pada seseorang yang disayangi oleh anak. Selain pembedaan ini terdapat pemahaman-pemahaman yang lebih canggih, misalnya amarah sering kali dipicu oleh perasaan sakit hati (Goleman, 2005:270). Keterampilan emosional juga diasah dengan teman, terutama kemampuan dalam berempati (Goleman, 2005:271). Teman sebaya juga memberikan pengaruh dalam membentuk kecerdasan emosional seseorang. Teman sebaya juga sering dijadikan model dalam mengolah emosinya. Terutama pada saat remaja, dimana adanya keinginan untuk diterima oleh kelompok sosial. Teman sebaya yang dapat mengungkapkan emosinya secara matang, dapat menangani emosi teman yang lain seperti menghibur, menolong dan menunjukkan empati kepada teman yang lainnya akan dapat menjadi bahan pembelajaran untuk temannya yang lain untuk melakukan hal serupa (Goleman, 2005:157).

19 Pada masa dewasa awal seseorang berusaha untuk menjalin relasi dengan orang lain, terutama yang terkait dengan pekerjaannya. Proses belajar dari pengalaman dapat diperoleh dari lingkungan, salah satunya adalah lingkungan kerja. Situasi lingkungan kerja cukup berpengaruh terhadap motivasi, empati dan membina hubungan (dengan atasan, rekan kerja maupun masyarakat). Atasan yang menerapkan disiplin yang tinggi, tegas dan bersahaja serta rekan kerja yang saling mendukung dan tidak suka terlibat perselisihan, maka hal tersebut membuat Anggota Sabhara akan termotivasi untuk bertanggung jawab terhadap tugastugasnya, lebih bersemangat dalam bekerja, berempati dan juga mampu menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan orang lain. Hal ini dikarenakan dalam berinteraksi dengan orang lain, dibutuhkan kemampuan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan yang dapat membantunya memahami orang tersebut sehingga memudahkannya untuk menjalin relasi dengan orang yang bersangkutan. Kelima aspek menunjukkan kecerdasan emosional yaitu mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain dapat dikategorikan dalam taraf tinggi dan rendah. Anggota sabhara yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dapat mengenali emosi dirinya dan emosi orang lain yang dapat memudahkan anggota sabhara beradaptasi di lingkungan dimana ia akan melakukan pekerjaannya dan ia juga bisa merasakan atau mengetahui apa yang sedang masyarakat harapkan, sehingga anggota sabhara bisa membuat harapan masyarakat tersebut menjadi dasar dalam pekerjaannya. Anggota sabhara pun mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik, karena tidak terbawa oleh emosi yang sedang dirasakan. Dengan kemampuannya mengolah emosi yang baik, maka Anggota Sabhara ini

20 cenderung tidak mudah terpancing emosinya ketika menghadapi masyarakat atau demonstran yang bersikap anarkhis. Dalam menghadapi masalah, anggota sabhara mampu memotivasi dirinya sendiri apabila ia gagal, sehingga ia tidak perlu merasa putus asa. Anggota sabhara yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah kurang dapat mengenali emosi dirinya dan emosi orang lain yang membuat dirinya kesulitan dengan lingkungan baru dan kesulitan untuk menangkap harapan masyarakat terhadap aparat kepolisian. Selain itu, anggota sabhara juga akan kesulitan dalam memisahkan emosi dan pekerjaannya. Dalam hal ini Anggota Sabhara cenderung akan mudah terpancing emosinya ketika menghadapi masyarakat atau demonstran yang mulai bersikap anarkhis. Anggota sabhara akan kurang mampu memotivasi dirinya sendiri, sehingga mudah putus asa dan mungkin saja bisa frustrasi. Hal ini akan mempengaruhi pekerjaannya dan juga hubungannya dengan orang lain.

21 Skema Kerangka Berpikir: Faktor yang mempengaruhi : Keluarga (orangtua) Teman sebaya Lingkungan kerja Tinggi Anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat Kecerdasan Emosional Aspek: - Mengenali emosi diri - Mengelola emosi diri - Memotivasi diri - Empati - Membina hubungan Rendah Bagan 1.5 Kerangka Pemikiran

22 1.6 Asumsi Situasi kerja Anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat adalah menghadapi demonstrasi yang semakin meningkat, dimana hal tersebut dapat menstimulasi emosi Anggota Sabhara Polda Nusa Tengara Barat. Dalam menangani demonstrasi yang anarkis dibutuhkan kecerdasan emosional yang tinggi pada Anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat. Dengan kecerdasan emosional yang tinggi, maka Anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat akan mampu: 1. Mengenali emosi dirinya sendiri, 2. Mengelola emosi agar tidak mudah terpancing dengan aksi demonstran yang anarkhis, 3. Memotivasi dirinya sendiri dalam menata emosinya agar terwujudnya peningkatan kenerja pada Anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat, 4. Mengenali emosi orang lain (empati), khususnya pada demonstran, 5. Membina hubungan dengan orang lain. Faktor keluarga, teman sebaya dan lingkungan kerja berpengaruh terhadap tinggi dan rendahnya kecerdasan emosional yang dimiliki Anggota Sabhara Polda Nusa Tenggara Barat.