B015. KEBIJAKAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis) OLEH MASYARAKAT (STUDI KASUS DI NUSA TENGGARA BARAT)

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Rusa termasuk ke dalam genus Cervus spp yang keberadaannya sudah tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa mengingat Undang-

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN TAMAN BURU DAN PERBURUAN. Oleh: Bambang Dahono Adji Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Jakarta, 18 September 2014

Majalah INFO ISSN : Edisi XV, Nomor 3, Oktober 2013

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang

Pengelolaan dan Pengawasan Sumber Daya Genetik serta Scientific Access bagi Peneliti Asing

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.83/Menhut-II/2014 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. hukum adalah qonditio sine quanon, syarat mutlak bagi masyarakat. 1

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 18/Menhut-II/2010 TENTANG SURAT IZIN BERBURU DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN BERBURU

2 Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lem

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL Nomor : P. 07 /V-PTH/2007 TENTANG

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TATA CARA MASUK KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

2 c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 461/Kpts-II/1999 telah ditetapkan Penetapan Musim Berburu di Taman Buru dan Areal Buru; b. ba

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor P.40/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.39/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 19/Menhut-II/2010 TENTANG PENGGOLONGAN DAN TATA CARA PENETAPAN JUMLAH SATWA BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.38/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.79/Menhut-II/2014 TENTANG PEMASUKAN SATWA LIAR KE TAMAN BURU DAN KEBUN BURU

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 104/Kpts-II/2000 TENTANG TATA CARA MENGAMBIL TUMBUHAN LIAR DAN MENANGKAP SATWA LIAR

MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 479 /Kpts-11/1998 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

SOP PENERBITAN SURAT IZIN ANGKUT TUMBUHAN DAN SATWA LIAR DALAM NEGERI (SATS-DN) Disusun Diperiksa Disahkan Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pelayanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEBIJAKAN, PERUNDANGAN DAN KELEMBAGAAN PERBURUAN SATWA DI INDONESIA. Dosen Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 31/Menhut-II/2009 TENTANG AKTA BURU DAN TATA CARA PERMOHONAN AKTA BURU DENGAN RAHMAT TUHAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL JAKARTA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.71/Menhut-II/2014 TENTANG MEMILIKI DAN MEMBAWA HASIL BERBURU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan No. 479/Kpts-II/1994 Tentang : Lembaga Konservasi Tumbuhan Dan Satwa Liar

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL. Nomor : P. 05 /V-PTH/2007 TENTANG PEDOMAN SERTIFIKASI MUTU BIBIT TANAMAN HUTAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM NOMOR : P. 12/IV- SET/2011 TENTANG

IMPLEMENTASI PASAL 2 DAN 3 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 03/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS TAMAN NASIONAL MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 17/Menhut-II/2010 TENTANG PERMOHONAN, PEMBERIAN, DAN PENCABUTAN IZIN PENGUSAHAAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 100/Kpts-II/2003 TENTANG. PEDOMAN PEMANFAATAN SARANG BURUNG WALET (Collocalia spp) MENTERI KEHUTANAN,

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

2011, No c. bahwa dalam rangka menjamin kepastian terhadap calon pemegang izin pada areal kerja hutan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Menter

TENTANG. yang. untuk. dalam. usaha

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. TENTANG

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, maka perlu pengaturan kembali mengenai Tata Cara Pemberian dan Peluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil H

SOP PERIZINAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN RI

PROSEDUR TETAP NOMOR 02/RTK/12/2009

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : P.14/Menlhk-II/2015 TENTANG

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 56/Menhut-II/2007 TENTANG PENGADAAN DAN PEREDARAN TELUR ULAT SUTERA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P. 2 / V-SET/2010 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 28/Menhut-II/2010 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN BENIH TANAMAN HUTAN

2 c. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

Draft 0 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. /Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

BUPATI HULU SUNGAI TENGAH

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.56/Menhut-II/2014 TENTANG MASYARAKAT MITRA POLISI KEHUTANAN

3.1 Sistem. 3.2 Data

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

2 Indonesia Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3544); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 071 TAHUN 2013 TENTANG PENGELUARAN TERNAK DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN. Perdagangan satwa liar mungkin terdengar asing bagi kita. Kita mungkin

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

2017, No Peraturan Menteri; d. bahwa dalam rangka optimalisasi penanganan barang bukti tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan perlu diatu

NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PEMANFAATAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA LIAR

Peluang dan Tantangan bagi Pemilik Sumber Benih Bersertifikat (Pasca Ditetapkannya SK.707/Menhut-II/2013)

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG IZIN PENGUSAHAAN DAN PENGELOLAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. bagi keseimbangan ekosistem alam. Seiring dengan kegiatan manusia yang terus

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Menteri Kehutanan Dan Perkebunan,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN ATAU PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Efandi Nurrahmandani. Kata Kunci : Pelestarian, Satwa Liar, Konservasi

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.91/Menhut-II/2014 TENTANG PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN NEGARA

PENDAHULUAN Latar Belakang

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM BALAI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

B015 KEBIJAKAN PENANGKARAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis) OLEH MASYARAKAT (STUDI KASUS DI NUSA TENGGARA BARAT) 1 Rubangi Al Hasan, M.M. Budi Utomo 1 Balai Penelitian Kehutanan Mataram Jl. Dharma Bhakti No. 7. Ds. Langko, Kec. Lingsar, Kab. Lombok Barat, NTB Email: rubhasan@yahoo.com, mandira_budi@yahoo.com ABSTRAK Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan satwa langka yang keberadannya dilindungi undang-undang. Nusa Tenggara Barat (NTB)merupakan salah satu habitat alam rusa timor. Meskipun begitu, keberadaannya di alam sudah semakin langka akibat maraknya perburuan dan perdagangan liar (illegal hunting & illegal trading ). Untuk mencegah kepunahan rusa timor pemerintah mengeluarkan kebijakan dalam bentuk pemberian ijin penangkaran rusa oleh masyarakat. Kebijakan ini diharapkan dapat mencegah masyarakat melakukan perburuan rusa di alam. Selain itu, masyarakat dapat merasakan manfaatnya secara ekonomi dalam bentuk pemanfaatan satwa rusa, baik untuk dikonsumsi dagingnya maupun sebagai satwa peliharaan. Dengan kebijakan tersebut diharapkan rusa di habitat alaminya akan tetap terjaga bahkan terus bertambah, sementara masyarakat mendapatkan manfaat dalam bentuk peningkatan kesejahteraan ekonomi. Metodologi kajian ini dilakukan dengan mereview kebijakan terkait penangkaran rusa untuk kemudian dikomparasikan dengan implementasi di lapangan. Kajian ini menunjukkan bahwa produk perundangan yang mengatur penangkaran rusa lebih dominan berasal dari pemerintah pusat. Regulasi yang beroperasi pada tingkat tapak lebih bersifat standar teknis yang dikeluarkan BKSDA NTB. Implementasi peraturan penangkaran rusa masih banyak yang belum berjalan. Penyebabnya adalah kelemahan dari sisi fasilitasi dan kontrol oleh BKSDA NTB, dan di sisi lain kurangnya pemahaman masyarakat terhadap prosedur penangkaran. Kurangnya pemahaman masyarakat sendiri disebabkan minimnya sosialisasi dari pihak berwenang (BKSDA NTB). Kedepannya kebijakan penangkaran rusa oleh masyarakat masih sangat potensial untuk dikembangkan karena minat masyarakat sendiri cukup tinggi. Penguatan kelembagaan sangat perlu dilakukan untuk mendukung kebijakan pengembangan penangkaran rusa oleh masyarakat. Kata kunci : rusa timor, kebijakan, penangkaran, masyarakat PENDAHULUAN Rusa merupakan satwa yang sampai saat ini memiliki status konservasi sebagai satwa yang dilindungi. Hal ini sesuai dengan PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Mengingat statusnya sebagai satwa yang dilindungi maka peredaran satwa tersebut dikontrol oleh pemerintah agar kelestariannya tetap terjaga. Meskipun statusnya sebagai satwa yang dilindungi, namun masyarakat masih dapat memanfaatkannya. Landasan diperbolehkannya memanfaatkan rusa sebagai satwa yang dilindungi berdasarkan PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Bentuk pemanfaatan yang diperbolehkan sesuai PP tersebut berupa: pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, dan pemeliharaan untuk kesenangan. Subjek hukum yang berhak untuk memanfaatkannya dapat berupa perorangan, badan hukum, koperasi, atau lembaga konservasi. (Setio, 2010). Salah satu bentuk pemanfaatan yang telah banyak dilakukan oleh masyarakat adalah dalam bentuk penangkaran. Sebagai satwa yang mendapat status dilindungi, maka upaya penangkarannya pun terdapat pengaturan yang lebih spesifik dibandingkan dengan satwa/hewan ternak pada umumnya. Pengaturan tersebut diatur dalam produk perundangan khusus. Tulisan ini bermaksud mengkaji kebijakan penangkaran rusa dengan melihat dari sisi perundangan yang ada. Setelah itu tulisan ini juga akan mengkaji bagaimana implementasi kebijakan tersebut berjalan di lapangan. Studi kasus yang diangkat adalah kebijakan penangkaran rusa oleh masyarakat di Nusa Tenggara Barat (NTB). Kondisi Umum Penangkaran Rusa Di NTB Pengelolaan penangkaran rusa di NTB berada di bawah wewenang Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Dalam administrasi wilayahnya BKSDA NTB terbagi menjadi tiga Seksi Konservasi Wilayah (SKW) yakni SKW I yang membawahi seluruh pulau Lombok, SKW II membawahi Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat, dan SKW III yang membawahi Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu. Pengurusan administrasi perijinan dan pemantauan penangkaran berada di bawah SKW. SKW menjadi ujung tombak dalam pengelolaan penangkaran rusa. 118 Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya Menuju Pembangunan Karakter

Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penangkar yang Memiliki Ijin di NTB. Tahun Jumlah Penangkar Total SKW I SKW II SKW III 2008 16 5 18 39 2010 21 7 17 45 Keterangan + 5 + 2-1 +6 Sumber: diolah dari BKSDA NTB 2008 dan 2010. Berdasarkan data yang didapatkan dari BKSDA NTB (Tabel 1), didapatkan gambaran mengenai perkembangan penangkar rusa yang telah memiliki ijin dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Pada tahun 2008 jumlah total penangkar berjumlah 39 penangkar dengan distribusi di SKW I 16 penangkar, SKW II 5 penangkar, dan SKW III 18 penangkar. Perkembangan pada tahun 2010 menunjukkan jumlah total penangkar berjumlah 45 penangkar dengan distribusi SKW I 21 penangkar, SKW II 7 penangkar dan SKW III 17 penangkar. Jumlah total pada tahun 2010 mengalami peningkatan sejumlah 6 penangkar. Meskipun begitu jika ditilik per-skw tidak semuanya mengalami pertambahan. Pada SKW I jumlah penangkar bertambah menjadi 5 penangkar, SKW II bertambah 2 penangkar, namun pada SKW III justru mengalami penurunan jumlah penangkar sebanyak satu penangkar. Tabel 2. Jumlah Rusa di Penangkaran Sampai Tahun 2010 SKW Induk satwa Hasil Penangkaran Dewasa Anakan Jumlah Dewasa Anakan Jumlah SKW I 56 109 8 12 212 66 121 7 15 245 SKW II 20 21 2 3 48 21 23 4 10 69 SKW III 43 143 8 29 223 53 124 27 56 224 Total 119 461 18 71 512 140 475 38 81 538 Sumber: diolah dari BKSDA NTB 2010. Selain jumlah penangkar yang bertambah, jumlah rusa hasil tangkaran sampai dengan tahun 2010 juga mengalami pertambahan. Jumlah rusa awal sebanyak 512 dan pada tahun 2010 menjadi 538 atau bertambah sebanyak 26 ekor (Tabel 2). Jika dihitung secara sederhana, pertambahan jumlah rusa relatif lambat karena dalam waktu dua tahun penambahan rusa hanya sebanyak 26 ekor, padahal jumlah induk betina sendiri mencapai 461 ekor, dan induk jantan 119 ekor sehingga dinilai cukup banyak. Jumlah kelahiran yang terjadi seharusnya lebih dari itu karena tiap rusa betina dapat tiap tahun mengalami kehamilan. Cukup disayangkan bahwa data laporan angka kematian anakan rusa tidak lengkap. Landasan Hukum Penangkaran Rusa Produk perundangan yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan kebijakan penangkaran rusa adalah UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Peraturan pelaksana yang diterbitkan adalah PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Pemanfaatan satwa liar pengaturannya didasarkan pada PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, Permenhut No. 19 Tahun 2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, dan Kepmenhut No. 447 Tahun 2003 tentang Tata Usaha atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Tabel 3. Produk Perundangan Penangkaran Rusa No. Produk Perundangan Aspek Pengaturan Tingkat Pusat 1 UU No. 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati 2 PP No. 7 Tahun 1999 Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa 3 PP No. 8 Tahun 1999 Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar 4 Kepmenhut No. 447 Tata Usaha atau Penangkapan dan Tahun 2003 Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar 5 Permenhut No. 19 Tahun Penangkaran Tumbuhan dan Satwa 2005 Liar Sumber: data diolah Daerah Seminar Nasional III Pendidikan Biologi 119

Pada level daerah Provinsi NTB produk hukum yang mengatur panangkaran rusa tidak ada. Hal ini cukup bisa dipahami karena kebijakan penangkaran rusa sebagai satwa yang dilindungi berada pada tingkat pusat. Kewenangan pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi hanyalah terkait ijin penangkaran bagi satwa yang tidak dilindungi. Berdasarkan wawancara penulis terhadap beberapa pejabat di lingkungan pemerintah daerah di NTB, mereka juga menyatakan bahwa mereka tidak memiliki wewenang untuk mengurus perijinan penangkaran rusa. Pada level daerah, institusi yang berwenang memberikan ijin penangkaran adalah BKSDA yang nota bene adalah institusi pusat yang berada di daerah untuk menangani urusan pemerintah pusat yang ada di daerah. BKSDA sendiri dalam melaksanakan pengurusan penangkaran berlandaskan pada produk perundangan yang berasal dari pusat. BKSDA kemudian hanya menerbitkan petunjuk teknis sebagai operasionalisasi produk perundangan yang sudah ada. Prosedur Perijinan Penangkaran Prosedur penangkaran rusa timor tercantum dalam Permenhut No. 19 Tahun 2005. Permenhut tersebut merupakan aturan pelaksana dari ketentuan Bab III Pasal 7 sampai Pasal 16 PP No. 8 tahun 1999. Merujuk Permenhut No. 19 tahun 2005 ijin penangkaran rusa harus melalui Dirjen PHKA. Namun berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam No. SK.142/I-Set/HO/2006 tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan Izin Penangkaran Rusa (Cervus spp.) dan Kijang (Muntiacus muntjak), izin penangkaran rusa telah didelegasikan kepada Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) (Kayat, 2008). Pendelegasian ini dengan maksud agar masyarakat semakin berminat dalam menangkarkan rusa dengan harapan populasi rusa meningkat sehingga kedepannya rusa bisa menjadi ternak harapan. Pendelegasian wewenang pengeluaran ijin penangkaran dari Dirjen PHKA kepada Kepala BKSDA pada akhirnya merubah alur perijinan penangkaran tersebut. (Tabel 4). Tabel 4. Perbedaan Alur Perijinan Menurut Permenhut No. 19 Tahun 2005 dan Peraturan Dirjen PHKA No. 142 Tahun 2006. No. Permenhut No. 19/2005 Peraturan Dirjen PHKA 1. Pemohon mengajukan permohonan izin dengan kelengkapan dokumen melalui Setditjen PHKA kepada Dirjen PHKA 2. Dirjen PHKADirjen PHKA meneruskan kepada Dir KKH untuk ditelaah aspek teknis dan administrasi 3. Dir KKH membuat telaahan teknis dan bila memenuhi syarat menyampaikan kepada Dirjen melalui Setditjen atau bila tidak memenuhi syarat ditolak. 4. Setditjen membuat telaah-an hukum dan memproses SK Dirjen bila memenuhi syarat atau membuat surat penolakan kepada pemohon bila tidak memenuhi syarat. Pemohon mengajukan permohonan izin dengan kelengkapan dokumen kepada Kepala KSDA melalui Kepala Sus Bagian Tata Usaha (KSBTU). Kepala Balai meneruskan kepada KSBTU untuk ditelaah aspek teknis dan administrasi KSBTU membuat telaahan teknis dan administrasi dan memproses SK Penangkaran bila memenuhi syarat atau membuat surat penolakan bila tidak memenuhi syarat. Kepala Balai menandatangi SK Izin Penangkaran/Surat penolakan 5. Dirjen PHKA menandatangi SK Izin Penangkaran Setelah SK Penangkaran selesai disampaikan kepada pemohon melalui KSBTU. 6. Setelah SK Penangkaran selesai disampaikan kepada pemohon melalui SeKditjen. Sumber: Permenhut No. 19/2005 & Peraturan Dirjen PHKA No. 142/2006. Perlu diketahui juga bahwa dalam proses pengajuan ijin penangkaran, harus dipenuhi beberapa persyaratan sebagai kelengkapan untuk pengajuan ijin penangkaran. Persyaratan untuk penangkar dari lembaga atau badan usaha dan perorangan memiliki perbedaan (Tabel 5). 120 Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya Menuju Pembangunan Karakter

Tabel 5. Perbedaan Kelengkapan Persayaratan Penangkar dari Lembaga dan Perorangan. No. Lembaga Perorangan 1. Proposal penangkaran untuk permohonan baru atau Rencana Kerja Lima Tahunan untuk permohonan perpanjangan yang masing-masing diketahui oleh Kepala Seksi Wilayah; Proposal penangkaran untuk permohonan baru atau Rencana Kerja Lima Tahunan untuk permohonan perpanjangan yang masingmasing diketahui oleh Kepala Seksi Wilayah; 2. Akta Notaris yang mencantumkan jenis usaha sesuai dengan bidang usaha yang berkaitan dengan tumbuhan dan satwa liar; 3. Fotocopy Surat Ijin Tempat Usaha (SITU) atau Surat Keterangan Lokasi/tempat penangkaran dari serendah-rendahnya Camat setempat yang menerangkan bahwa kegiatan penangkaran tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan lokasi sedang tidak dalam sengketa; 4. Dokumen atau bukti lain yang menerangkan atau membuktikan legalitas asal-usul induk, benih atau bibit untuk penangkaran dalam hal induk sudah ada atau surat keterangan rencana induk dari Kepala Balai; 5. Berita Acara Persiapan Teknis dan rekomendasi dari Kepala Seksi Wilayah. Sumber: Permenhut No. 19 Tahun 2005 Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau izin tempat tinggal bagi warga negara asing yang masih berlaku; Surat keterangan lokasi/tempat penangkaran dari serendah-rendahnya camat setempat yang menerangkan bahwa kegiatan penangkaran tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan lokasi sedang tidak dalam sengketa; Dokumen atau bukti lain yang menerangkan atau membuktikan legalitas asal-usul induk, benih atau bibit untuk penangkaran dalam hal induk sudah ada atau surat keterangan rencana induk dari yang bersangkutan; Berita Acara Persiapan Teknis dan rekomendasi dari Kepala Seksi Wilayah. Peralihan wewenang pemberian ijin dari Dirjen PHKA ke BKSDA membuat proses perijinan lebih mudah dan lebih cepat sehingga masyarakat semakin terlayani. Peralihan tersebut juga menunjukkan telah terjadinya perubahan paradigma pada Kementerian Kehutanan, khususnya Direktorat Jenderal PHKA. Sebelumnya, paradigma yang dipakai adalah konservasi tanpa mengindahkan pelibatan masyarakat. Anggapan selama ini, masyarakat harus dijauhkan dari area konservasi karena keberadaannya dapat mengganggu keseimbangan lingkungan. Sekarang ini, paradigma konservasi yang berjalan lebih bersahabat kepada masyarakat. Paradigma konservasi saat ini lebih memandang pelibatan masyarakat sebagai kunci sukses konservasi sumber daya alam. Masyarakat (lokal) dianggap sebagai bagian dari mata rantai konservasi alam. Prosedur Penangkaran Rusa Dalam proses penangkaran rusa, penangkar diharuskan menjalankan beberapa prosedur. Prosedur yang paling penting adalah mengenai pencatatan dan pelaporan penangkaran rusa. Dalam Permenhut No. 19 Tahun 2005, penangkar rusa harus membuat buku induk (Stud book) dan buku catatan harian (log book). Buku induk dan buku catatan harian dipergunakan untuk melakukann pencatatan terhadap perkembangan satwa yang ditangkarkan. Buku induk memberikan informasi mengenai nama penangkar, ijin penangkaran, lokasi penangkaran, jenis satwa yang ditangkarkan, jenis kelamin satwa, tanggal lahir satwa, umur, asal-usul satwa, dan penandaan yang dilakukan. Buku induk juga memberikan penjelasan mengenai informasi awal dari satwa yang ditangkarkan. Untuk memperjelas rincian perkembangan rusa, dibuatlah buku catatan harian. Buku catatan harian memberi keterangan rinci mengenai aktivitas harian penangkaran seperti pemberian pakan, minum, jenis pakan yang diberikan, aktivitas reproduksi, perilaku satwa yang ditangkarkan, dsb. Untuk melengkapi catatan harian sekaligus meringkasnya, maka dibuatlah buku laporan bulanan perkembangan penangkaran rusa. Laporan bulanan ini mencakup catatan tentang jumlah dan jenis kelamin satwa induk penangkaran, termasuk juga anakannya. Selanjutnya dicatat pula jika ada mutasi penangkaran, baik berupa penambahan maupun pengurangan rusa. Hal ini juga bermanfaat untuk mengetahui apakah ada rusa yang mati atau dipindahkan ke penangkar lain. Pencatatan tersebut berguna untuk mengetahui secara rinci sehingga dapat terbaca ringkasan tiap bulannya. Seminar Nasional III Pendidikan Biologi 121

Implementasi Kebijakan Produk perundangan adalah sistem pengaturan dengan maksud agar implementasinya berjalan sesuai dengan yang digariskan. Terkait dengan penangkaran rusa di NTB, pengaturannya dilaksanakan dengan produk perundangan sebagaimana dibahas di atas dengan segenap petunjuk operasionalnya. Dalam perjalanannya ada saja kendala dan ketidaksinkronan dalam implementasinya. Salah satu hal yang sangat substantif misalnya masalah prosedur perijinan penangkaran rusa. Perijinan Penangkaran Rusa Prosedur perijinan penangkaran rusa telah diatur dalam Permenhut No. 19 Tahun 2005, sebagaimana telah diuraikan di atas. Pelaksanaan prosedur tersebut ternyata tidak selalu sesuai dengan yang digariskan. Di NTB prosedur perijinan penangkaran rusa menyisakan permasalahan baik dari sisi lembaga yang berwenang (BKSDA) maupun dari sisi penangkar. Dari pihak lembaga antara lain. Pertama, lambatnya proses perijinan. Kedua, kurangnya sosialisasi prosedur penangkaran kepada calon penangkar. Dan ketiga, petugas kurang aktif jemput bola terhadap calon penangkar. Sementara itu dari pihak penangkar sendiri juga terdapat persamalahan. Pertama, lemahnya pemahaman terhadap prosedur perijinan dan institusi berwenang. Kedua, kurangnya kesadaran untuk mendaftarkan penangkaran yang ada. Dan ketiga, ketakutan tertentu jika akan mendaftarkan penangkarannya, misalnya takut akan tingginya biaya, atau ketakutan akan penyitaan barang. Praktek Penangkaran Rusa Penangkaran rusa oleh masyarakat di NTB tergolong cukup banyak. Penangkar yang telah memiliki ijin dari BKSDA NTB sebanyak 45 penangkar (2010). Dalam pelaksanaannya, penangkaran rusa oleh masyarakat menyisakan beberapa permasalahan. Dari sisi penangkar. Pertama, kurangnya pemahaman terhadap prosedur penangkaran rusa. Kedua, kurangnya kemauan untuk menerapkan penangkaran sesuai dengan prosedur yang telah digariskan dalam perundangan. Kurangnya pemahaman terhadap prosedur penangkaran terjadi baik pada penangkar yang telah mendapatkan ijin penangkaran maupun yang belum berijin. Indikasinya adalah, mereka tidak memiliki dokumen perundangan yang mengatur masalah itu. Para penangkar banyak yang tidak menerapkan kaidah penangkaran. Misalnya, penangkar tidak memisahkan antara F0, F1, dan F2 dalam kandang yang berbeda. Ini menyebabkan statusnya tidak akan berubah jika terjadi perkawinan antara F0 dengan F2 dan seterusnya. Pada akhirnya penangkar dirugikan sendiri karena secara hukum belum dapat memanfaatkan hasil penangkarannya (F2). Kaidah lain yang tidak dipenuhi adalah, penangkar tidak melakukan penandaan (tagging) pada rusa yang ditangkarkan sehingga tidak terdeteksi mana F0, F1, F2. Masalah lain yang muncul adalah penangkar tidak membuat berita acara bersama dengan petugas, baik terkait kelahiran, kematian, mutasi, dsb. Akibatnya silsilah dan umur satwa tidak terdeteksi secara pasti beserta dengan statusnya. Selain masalah dari sisi penangkar, kendala dari sisi institusi berwenang juga ada. Pertama, kurangnya asistensi teknis tentang prosedur penangkaran rusa. Kedua, lemahnya kontrol dari petugas yang berwenang. Institusi berwenang dalam hal ini BKSDA selama ini mengandalkan petugas lapangan yang diserahi urusan perijinan dan pemantauan dalam proses penangkaran rusa. Petugas lapangan diharapkan dapat berperan aktif, baik dalam memberikan asistensi teknis terkait penangkaran rusa maupun terhadap kontrol pelaksanaannya. Keadaan di lapangan menunjukkan, petugas lapangan kurang intens memberikan bimbingan kepada penangkar. Petugas lapangan juga tidak secara rutin melakukan kontrol ke penangkar. Akibatnya, perkembangan penangkaran berupa data-data kelahiran, kematian, mutasi, tingkat kesehatan satwa tidak terpantau dengan baik. Akibat selanjutnya adalah data perkembangan penangkaran tersebut tidak teradministrasikan dengan baik karena tidak adanya berita acara dan arsip lain beserta segenap variabel pengukurannya. Meskipun kendala pokok adalah lemahnya asistensi teknis dari petugas lapangan namun tidak sepenuhnya kesalahan pada mereka. Ketidakmampuan tenaga lapangan untuk memberikan asistensi teknis sekaligus mengontrol para penangkar juga disebabkan minimnya alokasi tenaga lapangan yang ada. Untuk Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat saja, petugas yang ada hanya 2 orang. Petugas yang hanya 2 orang itu saja masih diserahi urusan pekerjan lain di kantor SKW. Beban berat yang harus ditanggung oleh 2 orang tersebut tidak memungkinkan untuk bekerja dan melayani masyarakat secara maksimal. Penambahan sumber daya manusa perlu dilakukan diiringi dengan penambahan pengetahuan dan keterampilan (skill) dalam penanganan penangkaran rusa. 122 Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya Menuju Pembangunan Karakter

PENUTUP Penangkaran rusa oleh masyarakat di NTB telah banyak dilakukan, namun dalam implementasinya masih banyak yang belum berjalan sesuai kebijakan yang ada. Kebijakan dikeluarkan sebagai landasan dalam implementasi penangkaran rusa dengan tujuan supaya penangkaran tersebut dapat berjalan dengan optimal sehingga satwa hasil tangkaran memenuhi standar legal sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Minimnya tingkat implementasi kebijakan banyak disebabkan oleh kelemahan pada dua belah pihak. Dari sisi pemerintah dalam hal ini BKSDA NTB sebagai intitusi yang berwenang dalam pengurusan ijin penangkaran dirasa masih lemah dalam upaya fasilitasi masyarakat yang akan mengajukan ijin penangkaran rusa. Disamping itu BKSDA NTB juga terlihat masih lemah dalam melakukan kontrol terhadap pelaksanaan penangkaran oleh masyarakat. Dari pihak masyarakat penangkar sendiri terlihat tidak cukup antusias untuk melakukan penangkaran sesuai dengan kebijakan dari BKSDA NTB. Faktornya antara lain, pertama masyarakat menganggap prosedur yang ada terlalu rumit; anggapan tersebut sendiri lahir karena, kedua ketidaktahuan penangkar terhadap prosedur yang ada karena minimnya sosialisasi dari BKSDA. Penangkaran rusa oleh masyarakat masih memiliki harapan dan prospek yang baik pada masa depan, namun harus dilakukan pembenahan kelembagaan. Pembenahan kelembagaan ini harus dilakukan baik pada pemerintah (BKSDA) sebagai pihak berwenang mengeluarkan kebijakan dan mengontrol kebijakan, maupun pada masyarakat sebagai kelompok yang akan menangani penangkaran rusa. Jika kedua hal ini benar-benar dijalankan dengan seksama maka penangkaran rusa oleh masyarakat dapat berjalan optimal sehingga masyarakat benar-benar mendapatkan manfaat ekonomi dari penangkaran rusa yang dilakukan secara legal. Manfaat paling besar adalah rusa di habitat alam menjadi lestari sehingga keseimbangan ekosistem pulih kembali. DAFTAR PUSTAKA Kayat. (2008). Potensi Pengembangan Rusa Timor di Kabupaten Alor. (Electronic ersion) Warta Cendana, 1.(2). Keputusan Menteri Kehutanan No. 447 Tahun 2003 Tentang Tata Usaha atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 Tahun 2005 Tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar Setio, P. (2008). Prosiding Ekspose dan Gelar Teknologi: Pemanfaatan IPTEK untuk Mendukung Pembangunan Daerah dan Kesejahteran Masyarakat Provinsi Kalimantan Barat. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Setio, P. (2010). Prospek Pengembangan Penangkaran Rusa. Makalah. Disampaikan dalam Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan Bidang keanekaragaman Hayati kepada Masyarakat. Lombok, 19 Oktober. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Seminar Nasional III Pendidikan Biologi 123