PETA PERMASALAHAN KOMUNIKASI DAN INFORMASI DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI GORONTALO dan GUBERNUR GORONTALO MEMUTUSKAN:

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 15 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 15 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

HAK PUBLIK MEMPEROLEH INFORMASI DAN KEBEBASAN PERS Oleh Ashadi Siregar

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK LOKAL ABIRAWA TOP FM

4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Perubahan Data. Perizinan Penyiaran. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik

S A L I N A N KEPUTUSAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA NOMOR 005/SK/KPI/5/2004 TENTANG

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN JEMBRANA dan BUPATI JEMBRANA

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, maupun komunikasi. Salah satu buah

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENYIARAN TELEVISI MELALUI KABEL

Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Dan Komputer PERBANAS. Cyber Law Drafting. Kuliah Sessi 6: UU-RI Terkait Cyberlaw

DARI KODE ETIK WARTAWAN INDONESIA KE DEWAN PERS

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2012 TENTANG

KOMISI PENYIARAN INDONESIA DAERAH SULAWESI SELATAN KEPUTUSAN KOMISI PENYIARAN INDONESIA (KPI) Nomor 240/SK/KPID-SS/03/2018 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M/KOMINFO/2/ TAHUN 2010 TENTANG KONTEN MULTIMEDIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

WALIKOTA PARIAMAN PROVINSI SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 10 TAHUN 2015 T E N T A N G

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK LOKAL TELEVISI KABUPATEN SINJAI

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tenta

QANUN KOTA SABANG. Nomor 10 Tahun 2010

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 17 /PER/M.KOMINFO/9/2005 TENTANG

BERITA NEGARA. No.703, 2012 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Tarif Sewa. Multipleksing. Tata Cara.

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 3TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIKKA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK LOKAL RADIO SUARA SIKKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: /PER/M.KOMINFO/ /2009 TENTANG KAMPANYE PEMILIHAN UMUM MELALUI JASA TELEKOMUNIKASI

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN. melalui kawat maupun secara elektromagnetik tanpa kawat.

BUPATI SEMARANG PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

15 Februari apa isi rpm konten

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2012

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015

BUPATI MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK LOKAL RADIO GEMILANG KABUPATEN MAGELANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2012 NOMOR : 7 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : TAHUN 2011 TENTANG PENYIARAN TELEVISI MELALUI KABEL

WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 34 TAHUN 2013 TENTANG PENYIARAN TELEVISI MELALUI KABEL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor: 166, Tambahan Le

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN

Fungsi Kontrol Publik Dalam Penyelenggaraan Penyiaran Di Indonesia Oleh: Akhmad Aulawi *

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2010 NOMOR 2 SERI D

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG

KETENTUAN HUKUM DALAM PENGGUNAAN DRONE DI INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2000 TENTANG PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 15 TAHUN 2010

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK LOKAL RADIO PUBLIK KOTA DENPASAR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

TANTANGAN RRI MENGHADAPI ERA MASYARAKAT INFORMASI

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 43 TAHUN 2009 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 3 TAHUN 2001 T E N T A N G PERSYARATAN TEKNIS ALAT DAN PERANGKAT TELEKOMUNIKASI MENTERI PERHUBUNGAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. menguntungkan, salah satunya adalah pertukaran informasi guna meningkatkan. ilmu pengetahuan diantara kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN. para pembuat keputusan yang membutuhkan informasi aktual, namun semua

HAK BERKOMUNIKASI DALAM MASYARAKAT INFORMASI

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG

Muh. Syarifudin Noor 1/29/2014

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mencermati hasil analisis data dan pembahasan mengenai profesionalisme wartawan / jurnalis pada stasiun televisi lokal

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENYIARAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

Komisi Penyiaran Indonesia PEDOMAN

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG

Tahun Sidang : Masa Persidangan : II Rapat Ke : Hari/Tanggal : Rabu, 8 Desember 2010

BUPATI TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 09 TAHUN 2015 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.382, 2010 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Televisi Protokol Internet. Penyelenggaraan.

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA T E N T A N G PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS UNTUK KEPERLUAN INSTANSI PEMERINTAH DAN BADAN HUKUM

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. proses kehidupannya, manusia akan selalu terlihat dalam tindakan tindakan

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mencapai jutaan pendengar, namun cara penyampaiannya. ditujukannya pada pendengar secara perorangan, dan komunikasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BERITA NEGARA. No.747, 2011 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Televisi Digital Terestrial. Penyelenggaraan.

PAPARAN MENTERI NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/KEPALA BAPPENAS

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG TABEL ALOKASI SPEKTRUM FREKUENSI RADIO INDONESIA

PERSYARATAN PENDIRIAN DAN PERIZINAN LPPL WORKSHOP PENYIARAN PERBATASAN

Implementasi Manajemen Sistem Informasi Siaran Pada Radio Venus FM Makassar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 1999 TENTANG TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 11 / PER / M.KOMINFO / 04 / 2007 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Disampaikan pada WORKSHOP STRATEGI PENGELOLAAN TELEVISI KAMPUS, Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta 18 Juli 2005

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2014

13. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika

BUPATI BANGKA TENGAH

PENULISAN ARGUMENTATIF Oleh Ashadi Siregar

Ketentuan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik Penyiaran, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia

- 1 - PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

1 PETA PERMASALAHAN KOMUNIKASI DAN INFORMASI DI INDONESIA Oleh Ashadi Siregar Komunikasi pada hakikatnya merupakan upaya manusia dalam mengatasi ruang dan waktu dalam berinteraksi sosial. Untuk itu komunikasi berbasis pada moda transportasi dan telekomunikasi dalam mengantarkan media dan pesan. Lokus yang menjadi perhatian dalam komunikasi pada skala makro adalah media massa konvcnsional dan media on-line serta konvergensi keduanya dengan berbasis kepada media on-line. Permasalahannya dapat disederhanakan melalui pilihan strategis moda yang akan digunakan, dengan pembahasan bertolak dari perhitungan ekonomis. Moda transportasi yang mahal dan tidak efisien, melahirkan edisi koran cetakan jarak jauh yang memanfaatkan telekomunikasi. Sebaliknya tujuan non-ekonomis membuat pers cetak dikonvergensi dengan media on-line untuk penyebaran global secara gratis. Dengan begitu pilihan strategis berfokus kepada tujuan dalam konteks sosial (termasuk politik) untuk ranah (domain) publikasi, atau konteks ekonomi untuk ranah bisnis. Strategi komunikasi pada dasarnya dimaksudkan pada 2 hal, pertama pengembangan media, dan kedua dalam fungsi instrumental dari media. Yang pertama dilihat melalui parameter besaran dari ranah bisnis melalui entitas modal dan tenaga kerja yang terlibat, serta waktu terpakai (time spent use) secara makro dari bisnis media konvensional berbasis transportasi (media massa dan pos), dan media berbasis telekomunikasi (media penyiaran, dan on-line mulai dari media cyber sampai media point to point) atau biasa disebut sebagai sektor informasi primer (primary information sector). Untuk itu dilihat shares dari sektor ini terhadap Gross Domestic Product (GDP). Karenanya pembatasan keterpakaian atau matinya media harus dihitung sebagai kerugian ekonomi sekaligus dipandang sebagai kegagalan strategi pengembangan komunikasi. Strategi di sektor ini dengan sendirinya adalah tersedianya data yang akurat. Dengan begitu permasalahannya adalah kerangka kerja dalam invenstarisasi data dari sektor yang berada dalam lingkup operasional dan yang berada di luar lingkup departemental. Sedangkan strategi komunikasi yang kedua melalui pemanfaatan ranah sosial media untuk tujuan politik. Pandangan instrumental mengenai komunikasi antara lain menunjukkan peran komunikasi merupakan bagian dari proses rekayasa dalam perubahan sosial seperti pernah populer dengan komunikasi pembangunan. Strategi komunikasi semacam ini sudah tidak Disampaikan pada FORUM DEWAN PAKAR, Departemen Komunikasi dan Informasi RI, 2006

2 dijalankan dalam skala makro dalam sistem demokrasi, biasanya hanya dengan format mikro sebagai development support communication dalam marketing sosial. Pemikiran rekayasa sosial melalui komunikasi hanya dapat dijalankan dalam landasan otoritarian, biasa disebut komunikasi bersifat top-down yang sekaligus dimaksudkan untuk menggerakkan mobilisasi, dengan sendirinya hanya memerlukan metode propaganda. Perubahan-perubahan format media komunikasi demi pertimbangan ekonomi maupun sosial dimungkinkan dengan teknologi komunikasi, tetapi tidak banyak mempengaruhi paradigma komunikasi. Permasalahan menjadi kompleks kalau menyangkut bangunan konseptual mengenai komponen komunikasi: siapa dan untuk tujuan apa berkomunikasi. Dalam mengidentifikasi siapa (institusi atau koporasi, bagian negara atau masyarakat?), dan tujuan berkomunikasi (subyektif atau obyektif?), suatu soal yang menuntut kejelasan paradigma. Masuknya bidang telekomunikasi dan jajarannya ke dalam DepKominfo RI dapat dipandang sebagai awal membangun tatanan komunikasi yang berbasis teknologi sehingga membawa implikasi atas paradigma dalam berkomunikasi. Dalam konsep pasca-industrial, komunikasi didefinisikan sebagai interaksi antara produser dan konsumer untuk informasi dan pengetahuan. Informasi adalah proses data yang memiliki signifikansi dalam kehidupan ekonomi (komodifikasi) dan sosial (institusionalisasi), sedangkan pengetahuan merupakan pertimbangan bersifat rasional atas fakta dan gagasan yang disampaikan melalui media komunikasi secara sistematis. Dengan determinasi teknologi telekomunikasi, jagat (realm) komunikasi berbasis pada jaringan on-line yang memungkinkan produser dan konsumer terhubungkan atas jasa penyedia (provider). Yang menonjol disini adalah tiada kekuasaan (termasuk negara) yang memasuki wilayah perilaku (conduct) komunikasi dan isi (content) informasi antara produser dan konsumer, suatu adab demokrasi yang sangat didambakan dalam kegiatan komunikasi. Perilaku dan teks informasi media merupakan wilayah yang suci, sepenuhnya sebagai urusan produser dan konsumer dalam kerangka etis dan hukum. Masing-masing dalam pemenuhan hak dan kewajiban secara resiprositas, di satu sisi adanya standar perilaku (code of conduct) dari produser dan provider, dan di sisi lain hak dari konsumer secara spesifik dan standar moral umum. Hanya jika terjadi kegagalan hubungan dalam konteks sosiologis (kerangka etis) pihak-pihak memasuki konteks negara (hukum). Peran pemerintah tetap diharapkan sebagai fasilitator untuk bertumbuhnya konteks sosiologis ini dengan mendorong berkembangnya fungsi-fungsi asosiasi profesi dan/atau korporasi. Melalui asosiasi ini karakter insitusional dari media berkaitan dengan sumberdaya dapat diidentifikasi. Begitu pula faktor pendukung berasal dari industri periferal bagi media seperti kertas dan percetakan bagi media cetak, perangkat lunak dan suplai lainnya bagi media online dapat memberikan gambaran tentang karakter institusionalnya. Dengan kata lain, setiap

3 faktor yang menumbuhkan proses produksi dan konsumsi media merupakan bagian strategis dalam komunikasi. Sebaliknya, adanya undang-undang media dan kebijakan negara yang mengatur secara spesifik wilayah ini menunjukkan kecenderungan otoritarian. Dengan begitu, dalam paradigma ini yang penting adalah meredam hasrat kekuasaaan negara terhadap pengaturan atas perilaku dan content media, yaitu dengan mengikuti paradigma yang berlaku dalam telekomunikasi point to point. Batas kekuasaan negara hanya sampai pada regulasi dalam penyelenggaraan jasa penyedia. Fungsi penyedia sebagai produser informasi dan pengetahuan hanya terbatas, berbeda dengan media konvensional (berbasis transportasi) yang memiliki sifat tidak terpisahnya fungsi penyedia dengan produser sehingga menjadikannya sebagai penguasa yang terdapat dalam paham otoritarian. Semakin luas penggunaan komunikasi on-line, sepanjang penyedia tidak mengambil posisi sebagai penguasa dalam peran produser, di satu sisi akan berlangsung demokratisasi dalam proses produksi dan konsumsi yang diikuti dengan reproduksi yang bersifat massif, dan pada sisi lain media massa konvensional yang bersifat linier akan menjadi komplementer dalam jagat komunikasi. Reproduksi (termasuk modifikasi) dari lingkungan konsumer yang mengikuti kemajuan teknologi komunikasi, merupakan masalah yang dihadapi oleh produser dari tingkat pertama. Pada tingkat ini biasanya berbiaya tinggi, berbanding terbalik dengan reproduksi pada tingkat konsumer. Secara ekonomi fenomena reproduksi ini sangat merugikan produser dalam komunikasi on-line dan penyedia media konvensional, tetapi secara sosial membuat tidak terbedakannya posisi produser dan konsumer sebagai ciri demokrasi (atau malah anarki?) dalam komunikasi. Kegiatan komunikasi publik terwujud melalui interaksi penyedia produser konsumer merupakan jagat yang berlangsung dalam azas transaksional bersifat bebas dalam kerangka pluralitas. Demokrasi dalam komunikasi pada hakikatnya ditunjukkan dengan terhindarnya produser dan konsumer dari praktik monopoli kekuasaan di satu sisi, dan tersedianya multi kanal yang adil di sisi lain. Dengan begitu konteks keberadaan komunikasi yang sehat di antara negara dan masyarakat dilihat melalui tingkat penetrasi kekuasaan dalam penyelenggaraan komunikasi. Penetrasi kekuasaan negara dalam komunikasi diterima secara universal dalam telekomunikasi. UU no 36/1999 menyebutkan: Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya (pasal 1 ayat 1); dan Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah (pasal 4 ayat 1). Tidak ada keberatan dengan

kekuasaan ini. Logika teknologi yang terkandung dalam UU no 36/1999 tentang Telekomunikasi dan PP no 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi memberikan kerangka yang jelas sebagai batas kekuasaan, yaitu pengaturan spektrum elektromagnetik sebagai ranah sumberdaya yang perlu dialokasikan bagi penggunanya. Dengan begitu strategi komunikasi yang diperlukan adalah penetapan alokasi spektrum elektromagnetik yang transparan dan akuntabel bagi publik secara nasional dan lokal. Kerancuan dalam otoritas seharusnya tidak terjadi, ranah spektrum elektromagnetik dan pendukungnya dalam kerangka UU Telekomunikasi, bukan UU lainnya. Di luar ranah ini tidak ada sumberdaya yang sebagai basis komunikasi yang perlu dialokasikan, karena pada sisi lain strateginya adalah meniadakan atau setidaknya mengurangi campur tangan negara. Dengan menjadikan ranah telekomunikasi sebagai lokus perhatian, menyangkut dua dimensi yaitu tekno-fisik dan tekno-sosial. UU Telekomunikasi berfungsi dalam pengaturan dimensi tekno-fisik untuk spektrum elektromagnetik dan perangkat teknologi ikutannya, serta teknososial yaitu sifat institusi pengguna alokasi (penyelenggara telekomunikasi) yang terdiri atas jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, dan telekomunikasi khusus. Untuk spesifikasi ketiga ini disebutkan: Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk: a. keperluan sendiri; b. keperluan pertahanan keamanan negara; c. keperluan penyiaran (pasal 9). Huruf c dalam ayat ini berkaitan dengan penyiaran dengan sendirinya perlu menjadi perhatian bagi pembuat UU penyiaran. UU no 32/2002 tentang Penyiaran menyebutkan: Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. (Pasal 1 ayat 2). Dengan begitu UU ini mengatur domain spesifik yang sama diatur dalam UU Telekomunikasi. Keberadaan UU Penyiaran tidak memperjelas sifat tekno-fisik dalam alokasi telekomunikasi khusus, tetapi mengatur secara eksesif dimensi tekno-sosial dari telekomunikasi penyiaran. Jika UU Telekomunikasi mengatur tekno-sosial dari penyelenggara telekomunikasi sebatas karakter institusional seperti pelarangan monopoli, sementara UU Penyiaran sampai memasuki wilayah perilaku dan content penyiaran. UU ini sebenarnya berkaitan dengan bagian kecil dari alokasi spektrum elektromagnetik yang diurus oleh Depkominfo, tetapi permasalahan yang ditimbulkannya menjadi beban besar bagi pemerintah. Permasalahan telekomunikasi di luar penyiaran sudah cukup besar untuk dihadapi. Adapun permasalahan dari telekomunikasi penyiaran muncul akibat pemerintah mengikuti logika UU Penyiaran, sementara realitas media penyiaran berlangsung dalam ketidak-jelasan norma. Televisi superstation misalnya, sudah tumbuh sebelum adanya UU no 32/2002. Sementara UU ini mengatur keberadaan TV-Publik yang dianggap identik dengan milik pemerintah, sehingga tidak memberi peluang bagi TV-Publik milik masyarakat. Karenanya, keluar dari silang-sengkarut yang diberikan UU Penyiaran, pengembangan media dapat dilakukan melalui tekno-sosial yaitu berkaitan dengan pemilikan dan orientasi institusional media massa (moda transportasi dan telekomunikasi). 4

Tekno-sosial media dilihat dari pemilikan dikenal dalam 3 kelompok, sebagai pemilikan negara, individual dan sosial. Orientasi dari media pada hakikatnya dalam 3 kategori, yaitu komersial, publik dan partisan. Masing-masing orientasi dalam fungsinya akan melahirkan format media yang ditunjukkan melalui komposisi informasi. Dinamika media dapat dilihat dari besaran investasi di satu sisi dan besaran organisasi di sisi lainnya, dengan sebaran yang merata di seluruh Indonesia (tidak menumpuk di Jakarta). Strategi pengembangan pada dasarnya adalah menyediaan peluang bagi investasi dan dukungan bagi sumberdaya yang menggerakkan organisasi. Peran pemerintah bukan mengendalikan media, tetapi menciptakan peluang bagi tumbuhnya organisasi media. Kerja besar yang dihadapi adalah inventarisasi media massa dengan parameter di atas. Ini penting mengingat hampir tidak ada data mengenai media saat ini. 5