PENDAHULUAN. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 ABSTRACT. TOLIBIN ISKANDAR ' dan HENNY H. LUMEN0 2

dokumen-dokumen yang mirip
LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

POTENSI HEWAN RESERVOAR DALAM PENULARAN SCHISTOSOMIASIS PADA MANUSIA DI SULAWESI TENGAH

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 ABSTRAK

ARTIKEL PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DIDESA DODOLO DAN MEKARSARIDATARAN TINGGINAPU SULAWESI TENGAH. Rosmini,* Soeyoko,** Sri Sumarni**

TINJAUAN SKISTOSOMIASIS PADA HEWAN DAN MANUSIA DI LEMBAH NAPU, LEMBAH BESOA DAN LEMBAH DANAU LINDU KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH

Hafsah Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Jl. Soekarno-Hatta Km 8 Kampus Bumi Tadulako Palu Sulawesi Tengah

BIONOMIK SCHISTOSOMA TAPONICUM PADAMENCIT(Musmusculus)DILABORATORIUM

INFECTION RATE HOST PERANTARA DAN PREVALENSI RESERVOIR Schistosoma japonicum DI DATARAN TINGGI BADA SULAWESI TENGAH

INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

TREMATODA PENDAHULUAN

Kontribusi Hewan Mamalia Sapi... (Gunawan, Hayani Anastasia, Phetisya Pamela F.S, Risti)

Mujiyanto* ), Jastal **)

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Media Litbangkes Vol 23 No. 3, Sept 2013,

Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar dengan Kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KEC. LINDU KAB.

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Spot survey on rats and schistosomiasis intermediate host snails in endemic area Bada Plateau, Poso District, Central Sulawesi Province

Diterima: 27 Januari 2014; Direvisi: 3 Juli 2014; Disetujui: 27 Maret 2015 ABSTRACT

Situasi Terkini Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di Daerah Endemis Schistosomiasis di Sulawesi Tengah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

TATALAKSANA SKISTOSOMIASIS. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

Proses Penularan Penyakit

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

OPTIMASI ELISA TIDAK LANGSUNG UNTUK MEMERIKSA KEBERADAAN ANTIBODI ANTI Schistosoma japonicum DG. NOOR SYAMIMI BINTI DAUD

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

BEBERAPA FAKTOR RISIKO HOST

Pada pasien ditemukan mata anemis, limfadonepati menyeluruh, dan hepatomegali. Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal.

ABSTRACT. Barodji '1, M. Sudomo '1, J. Putrali '1 dan M.A. Joesoef 2, PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

CONEGARAN TRIHARJO KEC. WATES 20 JANUARI 2011 (HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DESEMBER

DANAU LINDU. Gambar 1. Peta lokasi dan citra satelit Danau Lindu (Google map)

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

KONDISI IKLIM DAN MIKROHABITAT FISIK DAERAH ENDEMIS SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI NAPU KABUPATEN POSO PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

PEMBERANTASAN SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA SCHISTOSOMIASIS CONTROL IN INDONESIA

THE EFFECTIVENESS OF DUCKS RELEASE AS SNAILS CONTROL IN THE AREA OF SCHISTOSOMIASIS IN NAPU, POSO DISTRICT, CENTRAL SULAWESI PROVINCE

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii. Infeksi toksoplasmosis dapat terjadi

ABSTRAK ANGKA KEJADIAN INFEKSI CACING DI PUSKESMAS KOTA KALER KECAMATAN SUMEDANG UTARA KABUPATEN SUMEDANG TAHUN

Etiologi Fasciola sp, hidup di dalam hati dan saluran empedu. Cacing ini memakan jaringan hati dan darah.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu malaria, schistosomiasis, leismaniasis, toksoplasmosis, filariasis, dan

BAB I PENDAHULUAN. Ternak babi merupakan salah satu jenis ternak yang memiliki banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi

Taenia saginata dan Taenia solium

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Panduan Praktikum Manajemen Kesehatan Ternak

IDENTIFIKASI FILARIASIS YANG DISEBABKAN OLEH CACING NEMATODA WHECERERIA

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Mranggen merupakan daerah yang berada di Kabupaten Demak

ABSTRAK Ascaris lumbricoides 82,4%-90,6%, 90%. Ascaris lumbricoides 97,8% 88%. 98,4% 96,2% Curcuma aeruginosa 60% 65%. 68% 4,1% 80,7% 29,4%

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan

PEMERIKSAAN MIKROFILARIA DI DUSUN CIJAMBAN KECAMATAN PANUMBANGAN KABUPATEN CIAMIS. Mei Widiati*, Ary Nurmalasari, Septi Nurizki ABSTRACT

3 BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi Penelitian Gambar 3.2 Waktu Penelitian 3.3 Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 2 triliun/tahun. (Anonim. 2014). sebagai berikut : adanya parasite, adanya sumber parasit untuk

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK. Antonius Wibowo, Pembimbing I : Meilinah Hidayat, dr., M.Kes Pembimbing II : Budi Widyarto Lana, dr

PLATYHELMINTHES. Dugesia tigrina. A. Karakteristik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi Trichuris trichiura adalah salah satu penyakit cacingan yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat Indonesia

PREVALENSI CACING USUS MELALUI PEMERIKSAAN KEROKAN KUKU PADA SISWA SDN PONDOKREJO 4 DUSUN KOMBONGAN KECAMATAN TEMPUREJO KABUPATEN JEMBER SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Soil transmitted helminths adalah cacing perut yang siklus hidup dan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

Pemanfaatan Air Sungai dan Infeksi Schistosoma Japonicum di Napu Poso Sulawesi Tengah Tahun 2006

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Toxoplasma gondii, merupakan penyakit yang banyak dijumpai di seluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

C030 PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KABUPATEN MIMIKA

Gambar 2.1. Telur Fasciola hepatica (Sumber : CDC, 2012)

BAB I PENDAHULUAN. dan musim hujan. Tata kota yang kurang menunjang mengakibatkan sering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

Balai Litbang P2B2 Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia

DEFINISI KASUS MALARIA

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin

ELIMINASI SCHISTOSOMIASIS DI SULAWESI TENGAH; REVIEW SISTEMATIK DAN FOKUS GROUP DISCUSSION

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

MODIFIKASI LINGKUNGAN UNTUK PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS DI DAERAH ENDEMIS SULAWESI TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Sapi bali merupakan salah satu sapi lokal asli Indonesia yang tersebar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MATERI DAN METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

PERANAN LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN SILIAN RAYA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

BAB 1 PENDAHULUAN. ditularkan melalui tanah. Penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN. Kerugian akibat water-borne diseaseterjadi pada manusia dan juga berdampak

ABSTRAK. Kata Kunci: Cirebon, kecacingan, Pulasaren

Identifikasi Ookista Isospora Spp. pada Feses Kucing di Denpasar

EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III

Transkripsi:

ISOLASI PENYEBAB DEMAM KEONG DARI TIKUS LIAR DI SEKITAR DANAU LINDU SULAWESI TENGAH (Isolation of snail fever cause from wild rat located around Lindu lake Central Sulawesi) TOLIBIN ISKANDAR ' dan HENNY H. LUMEN0 2 ' Staf Peneliti Balitvet, Bogor. StafDinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu ABSTRACT Snail fever or shistosomiasis known since 1937 at Lindu lake neighborhood with the progressing of epidemiologi research, destroying etc, this fever indetified occur at Napu valley, Palu valley, Besoa valley, Central Sulawesi. Those area are shistosomiasis endemik area. Infection rate before destroying activity is 0.8-65.9% and after is 0.9-1.1% (1986/1987). Multi intervention destroying activity with treatment to person who suffer this fever, molusida treatment to destroy the snail. Sanitation and health teaching has succed in decreasing schistosomiasis infection rate from 65,9% into 1%. 39 mices cought in desa Tornado and Langko, Lidu lake area, for sampling, 2 of them (5,88%) have adult worm S. japonicum and from 108 snails OA lindoensis, 3 of them (2,78%) contain sporocyst. Even tough schistosomiasis is only found in restricted area, but with people migration, development, economy advancemunt also increasing numbers of mamals which can be a carier. There's a possibility the disease can explode and spread out. Key words: S.japonicum, O. h. lindoensis, Lindu lake PENDAHULUAN Penyakit demam keong atau Shistosomiasis di Afrika penyakit ini dikenal dengan nama Bilharziasis juga disebut penyakit Katayama, penyakit ini termasuk zoonosis karena manusia terinfeksi cercaria dari cacing Shistosoma species (the blood flukes) melalui kulit tubuh. Penyakit ini ditularkan melalui air yang tercemar cercaria ke pejamu (hospes). Ada 3 spesies Shistosoma yang menyebabkan shistosomiasis yaitu : S. japonicum, S. mansoni dan S. haematobium. Di antara ke tiga spesies tersebut di atas hanya S. japonicum yang dilaporkan ada di Indonesia (SUDomo, 1984). Pejamu tetap S. japonicum adalah manusia, sedangkan pejamu reservoar adalah babirusa, anjing, tikus, kucing, anoa, rusa dan sapi. Pejamu perantara adalah keong air Oncomelania hupensis lindoensis (CARNEY et al., 1973). Habitat keong di daerah danau Lindu ada 2 macam yaitu: di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi atau di pinggir parit di antara sawah dan di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah. Gejala klinis yang pernah ditemukan adalah tidak napsu makan, demam, mual, disentri, pembengkakan limpa, pembengkakan hati, ascites, urtikaria dan melena (HADIDJAJA, 1982). Penyakit ini mulai dikenal di Indonesia pada tahun 1937 oleh MULLER dan TESCH dengan menemukan parasit di pembuluh darah penderita di Desa Tonado, di lembah danau Lindu, Sulawesi Tengah. Setelah itu pada tahunl972 suatu daerah baru ditemukan di lembah Napu kira-kira 50 km tenggara dari lembah Lindu (CARNEY et al., 1974). Pengendalian secara intensif telah dimulai pada tahun 1980, terutama dengan masal menggunakan Praziquantel dengan hasil prevalensi telah turun dengan sangat signifikan setelah pengobatan (SUDOMO, 2000). Daur hidup cacing S. japonicum mengikuti dua pola siklus yakni pola siklus I mulai dari manusia kemudian ke siput penular dan akhirnya kembali ke manusia. Secara sederhana pola siklus I sebagai berikut : parasit ini menginfeksi manusia melalui kulit dalam bentuk cercaria yang mempunyai ekor berbentuk seperti garpu. Pada saat memasuki kulit manusia, parasit tersebut mengalami transformasi yaitu dengan cara membuang ekornya dan berubah menjadi cacing. Kemudian cacing ini menembus jaringan bawah kulit terus memasuki pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru selanjutnya menuju hati. Di dalam hati, cacing-cacing tersebut menjadi dewasa (ada yang jantan dan betina). Pada tingkat ini, tiap cacing betina memasuki celah tubuh cacing jantan dan keduanya menetap di hati (Gambar 1). Pada akhirnya pasangan-pasangan cacing Schistosoma bersama-sama pindah ke tempat tujuan terakhir yaitu pembuluh darah usus kecil, tempat terminal bagi pasangan-pasangan parasit tersebut sekaligus tempat bertelur. 389

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Yeteriner 2002 Pola siklus II mulai dari siput penular kemudian ke hewan dan akhirnya kembali ke siput. Parasit ini menginfeksi hewan, seperti tikus, melalui kulit seterusnya seperti pada pola siklus I. Kedudukan siput penular sangat penting dalam rantai penularan karena dari tubuh siput ini cercaria dapat menginfeksi baik manusia maupun hewan. Di dalam tubuh orang yang dijangkiti, tiap cacing Schistosoma betina bisa bertelur ratusan sampai ribuan setiap hari. Sebagian besar telur tetap berada di dalam tubuh sedangkan yang lainnya memasuki kandung empedu atau usus selanjutnya akan keluar bersama kotoran manusia. Jika telur cacing Schistososma masuk ke dalam air, akan menetas menjadi larva yang disebut miracidium, untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya memerlukan induk semang perantara yaitu siput Oncomelania, jika tidak mendapatkannya miracidium akan mati. Bila berhasil memmukan siput maka larva akan bermetamorfosis berubah menjadi binatang berkantung yang melahirkan cacing muda yang disebut cercaria. Serkaria siap memasuki kulit manusia (BROWN, 1979) Pada umumnya orang yang dijangkiti Schistosomiasis adalah mereka yang mempunyai kebiasaan yang tidak terpisahkan dari air (TJITRA, 1994). Mekanisme perasukan cacing ini ke tubuh hewan maupun manusia, stadium larva miracidium, cercaria dan bentuk morfologi maupun anatomi sebagai berikut : Miracidium berbentuk seperti pepaya atau daun. Pada tubuhnya terdapat bulu getar atau cillia, dalam keadaan hidup lebih langsing dibandingkan dengan yang telah difiksasi. Ukuran panjang berkisar 82,8 p sampai 144 p, lebar antara 37,6 p sampai 68,4 p. Pada bagian luar tubuhnya terlihat sekitar 21 plat epidermal yang tersususn dalam 4 baris dengan sel-sel berbentuk segitiga, segiempat, lonjong dan bentuk perisai. Pada sel-sel ini terdapat banyak cilia yang tidak terlihat di daerah interselluler. Makin ke arah caudal cilia makin panjang. Dengan perlengkapan cilia ini miracidium berenang mencari siput perantara dan menembus ke dalam tubuh siput kemudian berkembang menjadi sporokista induk, selanjutnya sporokista anak akhirnya keluar sebagai larva cercaria. Larva serkaria bersilia sepanjang tubuhnya, ekor bercabang, bergerak mundur (bagian kepala mengikuti ekor). Baik larva mirasidium maupun serkaria bergerak mengapung dibawah permukaan air, bersifat fototaksis, gravitasi negatif, dan mobilitas dipengaruhi oleh temperatur sekitar. Larva serkaria berenang bebas di air untuk mencari pejamu tetap, manusia ataupun hewan sebagai pejamu perantara kemudian menembus kulit dan menjadi Schistosomulum yang selanjutnya merasuk ke dalam jaringan dan berkembang menjadi dewasa, kawin dan menghasilkan telur. Dari telur sampai menjadi dewasa dibutuhkan waktu sekitar 40 hari, ketahanan mirasidium mencapai satu sampai dua hari, serkaria selama 24 jam dan selama tiga bulan sporokista dapat bertahan dalam tubuh siput penular (HADIDJAJA, 1982). Tujuan penelitian untuk memantau perkembangan schistosomiasis pada saat pemberantasan karena reinfeksi terjadi terus dan mengisolasi penyebabnya. METODOLOGI Dilakukan penangkapan tikus dengan memasang perangkap tikus yang mematikan (snap trap) di tempattempat yang dicurigai sebagai habitat keong penular. Kemudian tikus-tikus yang tertangkap diidentifikasi dan selanjutnya dibedah untuk mencari cacing S. japonicum bentuk dewasa dalam tubuhnya, juga potongan organ hati, paru-paru yang diawetkan di BNF (Bufferneutralformaline). Cacing yang diambil diawetkan dalam alcohol dari konsentrasi 70% kemudian 50% dan 35%. Pencucian dilakukan selama 20 menit, setelah itu cacing direndam dalam aquadest selama 20 menit kemudian diwarnai Neutral Red 1 selama 30 menit, cuci dengan air kran selama 5 menit, cacing dikeluarkan aimya dengan menggunakan larutan serial alcohol secara berurutan mulai dari alcohol 35%, 50%, 70%, 85%, 95% kemudian alcohol absolut. Proses dehidrasi dalam selama 20 menit tiap konsentrai alcohol. Cacing direndam dalam xylol selama 30 menit. Cacing ditaruh pada obyek glas diberi Canada balsem dan teteskan media mounting secukupnya, lalu dikeringkan dalam incubator pada temperatur kamar dan diberi label (REINECKE, 1983). Disamping itu dilakukan pencarian keong penular penyakit (OA lindoensis) sebagai pejamu perantara cacing S. japonicum, pencarian keong penular dengan mengadakan survai di daerah yang dicurigai sebagai tempat perindukan (habitat) keong penular seperti : Tempat-tempat becek, berair dan tidak pernah kering sepanjang tahun serta terlindung dari sinar matahari langsung karena adanya pohon, semak dan rumput tebal. Di daerah sumber-sumber air di pinggiran hutan yang terlindung dari sinar matahari yang menyebar kesegala arah sehingga tempat-tempat di sekelilingnya menjadi becek dan lembab. Juga di daerah bekas sawah yang telah lama ditinggalkan, bekas saluran air dan sekitarnya yang ditumbuhi rurnput-rumput tebal dan becek. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penangkapan tikus sebagai reservoar schistosomiasis di sekitar tempat yang dicurigai sebagai habitat keong O. h. lindoensis di dua desa (Tornado dan Langko) yang dipasang sebanyak 102 perangkap mati 390

(snap-trap) yang tertangkap dibedali sebanyak 34 ekor tikus dari jenis Rattus hoffmani dan Rattus norvegicus. Hasil pemeriksaan tikus menunjukkan 2 ekor (5,88%) mengandung cacing S. japonicum dewasa dari tikus R. hoffmani (Gambar 2.) Kemudian di isolasi dari organ hati sebagian cacing difiksasi, sebagian potongan hati difiksasi dalam BNF. Kemudian dibuat preparat histopatologis, hasilnya seperti pada Gambar 3. Dimana terlihat cacing dewasa S. japonicum berada di pembuluh darah hati (vena Hepatika). Dengan di isolasi cacing dewasa dari organ hati tikus berarti masih ada penyakit demam keong pada tikus, walaupun sudah diadakan pengendalian secara intensif dimulai pada tahun 1980 (SUDOMO, 2000). Dengan demikian penularan schistosomiasis masih terus berlangsung. Demikian pula yang dilaporkan (RENYMANORA et al., 1988) bahwa tikus di Lembah Besoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Propinsi Sulawesi Tengah mengandung cacing S. japonicum dengan prevalensi 2,74%. Hasil penularan keong penular penyakit (0. h. lindoensis) sebagai penjamu perantara cacing S. japonicum seperti pada Gambar 4. Pada kesempatan ini pemeriksaan keong tersebut sebagai penular penyakit schistosomiasis secara mikroskopis dari 108 ekor keong yang dikoleksi 3 ekor mengandung sporokista di tubuh keong sekitar 2,78%. Berarti ada penurunan prevalensi di keong pada tahun 1987 prevalensi siput sebesar 13,2%. Berarti penanggulangan dengan memakai molusida dapat menekan penyakit ini. Hal ini sesuai dengan pedapat KASNODIHARDJO (1994) terhentinya kontak antara manusia dan perairan yang dihuni siput Oncomelania akan mengurangi penyebaran schistosomiasis Gambar 1. Cacing S. japonicum betina memasuki celah cacing jantan Gambar 2. Cacing S. japonicum dewasa yang di isolasi dari hati fkus 39 1

Gambar 3. Cacing dewasa yang tinggal di pembuluh darah hati tikus Gambar A. Keong O. h. lindoensis penyebar Schistosomiasis

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 1002 KESIMPULAN DAN SARAN Pada penelitian ini berdasarkan hasil pengamatan dapat di simpulkan bahwa di kawasan Lembah danau Lindu masih ditemukan tikus yang mengandung cacing Schistosoma dengan prevalensi 5,88% dan siput penular yaitu O. h. lindoensis mengandung sporokista dengan prevalensi 2,78%. Saran perlu penanggulangan yang bersinambungan untuk memutus daur hidup cacing S. japonicum, perlu peningkatan penyuluhan agar orang jangan membiasakan kontak dengan air yang tercemar. DAFTAR PUSTAKA BROWN, W.H. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi ke III, P.T. Gramedia, Jakarta. CARNEY, W.P., P. HADIDJAJA, DAVIS G.M., CLARKE M.D., DJAJASASMITA, and M. NALIM. 1973. S. Oncomelania hupensis from the Schistosomiasis focus (Celebes), Indonesia Parasitol. 59 :210. CARNEY, W.P., M. SJAHRUL, SALLUDIN and J. PUTRALL 1974. The Napu valley, a new Schistosomiasis area in Sulawesi, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Health. 5:246-251. HADIDJAJA, P. 1982. Beberapa penelitian mengenai aspek biologik dan klinik Schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia. Thesis Doktor Universitas Indonesia. KASNODIHARDJO. 1994. Penularan Schistosomiasis dan Penanggulangannya pandangan dari ilmu perilaku. Cermin Dunia Kedokteran. 96 :37-39. MULLER, H., J.W. TESCH. 1937.Autochthone infectie met Schistosoma japonicum of Celebes. Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie. 77 :2143. REINECKE, R.K. 1983. Veterinary Helminthology. Butterworths. Durban/Pretori a. 392. RENYMANORA, ARWATI, T. INDIJATI, WARDIJO, WOWON, FEBRYAN dan I. ILYAS. 1988. Survei Schistosomiasis di Lembah Besoa Kecamatan Lore Utara Kabupaten Poso Propinsi Sulawesi Tengah. Maj. Parasitol. Ind. 2(1&2) :15-23. SUDOMO, M. 1984. Ecology of Schistosomiasis in Indonesia with certain aspects of control. Southeast Asian J. Trop. Med. Publ. Health.4 :471. SUDOMO, M. 2000. Schistosomiasis Control in Indonesia. Maj. Parasitol. Ind. 13(1-2):1-10. TJITRA, E. 1994. Penelitian-penelitian Schistosomiasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No.96:31-36.