INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

dokumen-dokumen yang mirip
LABORATORIUM PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ARTIKEL PENULARAN SCHISTOSOMIASIS DIDESA DODOLO DAN MEKARSARIDATARAN TINGGINAPU SULAWESI TENGAH. Rosmini,* Soeyoko,** Sri Sumarni**

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN

INFECTION RATE HOST PERANTARA DAN PREVALENSI RESERVOIR Schistosoma japonicum DI DATARAN TINGGI BADA SULAWESI TENGAH

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI TAHUN 2014 ABSTRAK

POTENSI HEWAN RESERVOAR DALAM PENULARAN SCHISTOSOMIASIS PADA MANUSIA DI SULAWESI TENGAH

Situasi Terkini Daerah Fokus Keong Hospes Perantara di Daerah Endemis Schistosomiasis di Sulawesi Tengah

Spot survey on rats and schistosomiasis intermediate host snails in endemic area Bada Plateau, Poso District, Central Sulawesi Province

PEMASANGAN PERANGKAP, PEMERIKSAAN (IDENTIFIKASI), DAN PENYISIRAN TIKUS (PENANGKAPAN EKTOPARASIT)

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

Kontribusi Hewan Mamalia Sapi... (Gunawan, Hayani Anastasia, Phetisya Pamela F.S, Risti)

BAB II TIKUS DAN CECURUT. A. Jenis-Jenis Tikus

BIONOMIK SCHISTOSOMA TAPONICUM PADAMENCIT(Musmusculus)DILABORATORIUM

Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

Media Litbangkes Vol 23 No. 3, Sept 2013,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Rencana Strategis Kementrian Kesehatan (2011), Pembangunan

Mujiyanto* ), Jastal **)

Risk factor of malaria in Central Sulawesi (analysis of Riskesdas 2007 data)

Diterima: 27 Januari 2014; Direvisi: 3 Juli 2014; Disetujui: 27 Maret 2015 ABSTRACT

Si Pengerat Musuh Petani Tebu..

PENDAHULUAN. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2002 ABSTRACT. TOLIBIN ISKANDAR ' dan HENNY H. LUMEN0 2

KONDISI IKLIM DAN MIKROHABITAT FISIK DAERAH ENDEMIS SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI NAPU KABUPATEN POSO PROVINSI SULAWESI TENGAH

TATALAKSANA SKISTOSOMIASIS. No. Dokumen. : No. Revisi : Tanggal Terbit. Halaman :

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN PERILAKU KEPALA KELUARGA TERHADAP PENCEGAHAN PENYAKIT SCHISTOSOMIASIS DI DESA PUROO KEC. LINDU KAB.

Hafsah Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Jl. Soekarno-Hatta Km 8 Kampus Bumi Tadulako Palu Sulawesi Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA KECIL PADA TIGA HABITAT YANG BERBEDA DI LHOKSEUMAWE PROVINSI ACEH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN SIKAP MASYARAKAT TENTANG SKISTOSOMIASIS DI KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI SULAWESI TENGAH TAHUN 2015

Hubungan Perilaku Anak Sekolah Dasar dengan Kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sapi Bali Sapi bali adalah sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil

BEBERAPA FAKTOR RISIKO HOST

FAKTOR RISIKO KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI BADA KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida

IDENTIFIKASI TIKUS DAN DAN PINJAL

THE EFFECTIVENESS OF DUCKS RELEASE AS SNAILS CONTROL IN THE AREA OF SCHISTOSOMIASIS IN NAPU, POSO DISTRICT, CENTRAL SULAWESI PROVINCE

PENDAHULUAN. zoonoses (host to host transmission) karena penularannya hanya memerlukan

TINJAUAN SKISTOSOMIASIS PADA HEWAN DAN MANUSIA DI LEMBAH NAPU, LEMBAH BESOA DAN LEMBAH DANAU LINDU KABUPATEN POSO SULAWESI TENGAH

TREMATODA PENDAHULUAN

PEMBERANTASAN SCHISTOSOMIASIS DI INDONESIA SCHISTOSOMIASIS CONTROL IN INDONESIA

PENGEMBANGAN METODE ELISA UNTUK MENDIAGNOSIS PENDERITA SCHISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH TAHUN 2012

PENGANTAR KBM MATA KULIAH BIOMEDIK I. (Bagian Parasitologi) didik.dosen.unimus.ac.id

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

Proses Penularan Penyakit

KUMPULAN PENELITIAN MALONDA MAKSUD

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging)

Mengenal Tikus Sawah

TINGKAH LAKU TIKUS DAN PENGENDALIANNYA

BAB I PENDAHULUAN. Leptospira sp dan termasuk penyakit zoonosis karena dapat menularkan ke

LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING

Strain Leptospira Yang Ditemukan Pada Tikus dan Suncus di Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman

BAB I PENDAHULUAN. tikus. Manusia dapat terinfeksi oleh patogen ini melalui kontak dengan urin

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. A. Infeksi cacing Enterobius vermicularis (Enterobiasis)

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIKAN HAMA PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3K Nglegok

GAMBARAN EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS DI KECAMATAN JEPARA, KABUPATEN JEPARA, PROVINSI JAWA TENGAH

ARTIKEL SISTEM KEWASPADAAN DIM KLB MALARIA BERDASARKAN CURAH HUJAN, KEPADATAN VEKTOR DAN KESAKITAN MALARIA DIKABUPATEN SUKABUMI

Prevalensi Trematoda di Sentra Pembibitan Sapi Bali Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung

BAB I PENDAHULUAN. yang lalu. Salah satu bukti hubungan baik tersebut adalah adanya pemanfaatan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

BAB I PENDAHULUAN. puncak kejadian leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan

TABEL HIDUP NYAMUK VEKTOR MALARIA Anopheles subpictus Grassi DI LABORATORIUM.

3 BAHAN DAN METODE. Kecamatan Batulayar

C030 PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KABUPATEN MIMIKA

Untuk mengatasi serangan hama tikus, dapat dilakukan cara cara sebagai berikut:

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

TINJAUAN PUSTAKA. Kutu penghisap merupakan parasit penghisap darah mamalia yang

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STUDI KEPADATAN TIKUS DAN EKTOPARASIT DI DAERAH PERIMETER DAN BUFFERPELABUHAN LAUT CILACAP Yudhi Cahyo Priyotomo

KEANEKARAGAMAN JENIS MAMALIA KECIL PADA TIGA HABITAT YANG BERBEDA DI LHOKSEUMAWE PROVINSI ACEH

ELIMINASI SCHISTOSOMIASIS DI SULAWESI TENGAH; REVIEW SISTEMATIK DAN FOKUS GROUP DISCUSSION

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

BAB I PENDAHULUAN. serta semakin luas penyebarannya. Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

I. PENDAHULUAN. Milik Negara (BUMN), Perkebunan Swasta Nasional atau Asing. Namun petani (Perkebunan

PREVALENSI INFEKSI CACING USUS YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA SISWA SD GMIM LAHAI ROY MALALAYANG

Disebut Cacing Pipih (Flat Worm) dengan ciri antara lain:

Balai Litbang P2B2 Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia

Selamat Datang di PENYAKIT BERSUMBER DONGGALA BINATANG (P2B2) DONGGALA BALAI LITBANG PENGENDALIAN PENYAKIT PROFIL TAHUN 2016

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB 1 PENDAHULUAN. penyebarannya melalui media tanah masih menjadi masalah di dalam dunia kesehatan

Pemanfaatan Air Sungai dan Infeksi Schistosoma Japonicum di Napu Poso Sulawesi Tengah Tahun 2006

BAB I PENDAHULUAN. pada manusia. Organisasi Kesehatan Dunia World Healt Organization (WHO)

KAJIAN JENIS DAN POPULASI TIKUS DI PERKEBUNAN NANAS PT GREAT GIANT FOOD TERBANGGI BESAR LAMPUNG TENGAH. (Skripsi) Oleh AHMAD AZIZ ALFI HUSEIN

Taenia saginata dan Taenia solium

PERMASALAHAN HAMA TIKUS DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA (CONTOH KASUS PERIODE TANAM )

PARASITOLOGI. OLEH: Dra. Nuzulia Irawati, MS

DETEKSI ANTIGEN EKSKRETORI-SEKRETORI Schistosoma japonicum DENGAN METODE ELISA PADA PENDERITA SCHSISTOSOMIASIS DI NAPU SULAWESI TENGAH

ABSTRAK. Kata kunci : Prevalensi, Intensitas, Leucocytozoon sp., Ayam buras, Bukit Jimbaran.

Bagaimanakah Perilaku Nyamuk Demam berdarah?

Unnes Journal of Public Health

PERANCANGAN DAN PENGUJIAN PERANGKAP, PENGUJIAN JENIS RODENTISIDA DALAM PENGENDALIAN TIKUS POHON

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

Infeksi Schistosoma Japonicum... (Made Agus Nurjana, Samarang) INFEKSI Schistosoma japonicum PADA HOSPES RESERVOIR TIKUS DI DATARAN TINGGI NAPU, KABUPATEN POSO, SULAWESI TENGAH TAHUN 2012 THE INFECTION RATE OF Schistosoma japonicum IN RATS IN NAPU HIGHLAND, POSO DISTRIC, CENTRAL SULAWESI IN 2012 Made Agus Nurjana*, Samarang Balai Litbang P2B2 Donggala, Balitbangkes, Kemenkes RI, Jl. Masitudju No. 58 Labuan Panimba, Kec. Labuan, Kab. Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia *Koresponsi Penulis: agusmd81@gmail.com Submitted : 05-03-2013; Revised : 25-04-2013; Accepted : 14-08-2013 Abstrak Tikus merupakan salah satu mamalia yang dapat menjadi sumber penularan di daerah endemis schistosomiasis. Telah dilakukan penangkapan tikus dengan perangkap di 22 daerah fokus keong yang tersebar di 6 desa di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah untuk mengetahui tingkat infeksi Schistosoma japonicum pada tikus. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat infeksi pada tikus sebesar 22,7% (5/22), dimana tingkat infeksi pada Rattus norvegicus lebih tinggi dibandingkan dengan Rattus exulans. Uji statistik dengan Fisher exact menunjukkan bahwa ada hubungan antara spesies tikus dengan infeksi cacing Schistosoma japonicum (P = 0, 039). Pengendalian tikus sangat sulit dilakukan sehingga diperlukan kerja sama lintas sektor antara Kementerian Kesehatan, Pertanian, Kehutanan dan Taman Nasional Lore Lindu. Kata kunci: Schistosoma japonicum, tikus, Dataran Tinggi Napu Abstract Rat is one of the mammals that can be the source of transmission in endemic areas schistosomiasis. Rat collection was done by using trap in 22 foci that spread in 6 villages in Napu Highland, Poso District Central Sulawesi. This study was done to investigate the infection rate of Schistosoma japonicum in rats. The result showed that infection rate of Schistosoma japonicum in rats was 22.7% (5/22). The infection rate in Rattus norvergicus was higher then in Rattus exulans. Fisher exact test showed that there is a relationship between species of rats and schistosomiasis infection (P=0.039). To control rat s population is difficult, therefore to control the disease inter sectoral cooperation Ministry of Health, Agriculture, Foresty, and Lore Lindu National Park is needed. Key words: Schistosoma japonicum, rat, Napu Highland Pendahuluan Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh spesies cacing Schistosoma japonicum, salah satu cacing Trematoda yang tinggal dalam pembuluh darah vena dan merupakan salah satu penyakit tertua dan penting di dunia selain malaria. 1, 2 Diketahui ada empat spesies schistosoma yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia yaitu Schistosoma haematobium (S. haematobium), S. mansoni, S. japonicum serta S. mekongi 1,3 yang juga dikenal sebagai bilharzias. 4 Schistosoma japonicum dianggap sebagai cacing yang paling berbahaya dibandingkan dengan schistosoma yang lain, karena jumlah telur yang dihasil- 137

Media Litbangkes Vol 23 No. 3, Sept 2013, 137-142 kan paling banyak, ukuran telur yang kecil mempermudah terjadinya back washing, banyak memiliki reservoir host, sulit diobati dan dapat mengakibatkan kematian. 1,5 Di Indonesia schistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat, dan hanya ditemukan di Sulawesi Tengah, di tiga daerah yaitu dataran tinggi Napu, Lindu dan Bada. 1,6 Pengendalian schistosomiasis telah dilakukan dari tahun 1975 hingga sekarang. Hasil pemberantasan yang dilakukan dapat menurunkan prevalensi dengan sangat signifikan, tetapi reinfeksi tetap terjadi sehingga prevalensi schistosomiasis baik pada manusia, tikus maupun siput penular berfluktuasi. Hal ini disebabkan karena siklus penularan masih berlangsung terus. 7 Hewan pejamu yang berperan sebagai reservoir cacing tersebut adalah mamalia di antaranya rusa, sapi, kerbau, domba, babi, anjing, tikus dan celurut serta hewan pengerat lainnya. 8 Ketidakberhasilan pengendalian schistosomiasis salah satunya adalah karena adanya siklus silvatik yang terjadi di alam. Peran ini dilakukan oleh hewan liar termasuk tikus. Diketahui bahwa tikus termasuk anggota familia Muridae dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Para ahli zoology (ilmu hewan) menggolongkannya ke dalam ordo Rodensia (hewan yang mengerat), sub ordo Myomorpha, famili Muridae, dan sub famili Murinae. 9,10 Tikus adalah hewan mengerat (rodensia) yang lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang dan hewan penggangu yang menjijikkan di perumahan. Belum banyak diketahui dan disadari bahwa kelompok hewan ini juga membawa, menyebarkan dan menularkan berbagai penyakit kepada manusia, ternak dan hewan peliharaan. Rodensia komensal yaitu rodensia yang hidup di dekat tempat hidup atau kegiatan manusia ini perlu lebih diperhatikan dalam penularan penyakit. 9 Penyakit yang bersumber dari mamalia kecil liar ini tergolong ke dalam penyakit zoonotik yang masih sangat sedikit mendapat perhatian dan dilaporkan di Indonesia. 11 Penelitian pada hewan di lembah Napu tahun 1981 yang dilakukan di tiga desa (Maholo, Tamadue dan Winomanga) dengan jumlah penduduk 755 orang didapatkan angka infeksi schistosomiasis 56% dari 633 tinja yang diperiksa. Angka infeksi tikus adalah 1,65% dan angka infeksi siput 4%. Tahun 1982 didapatkan kasus schistosomiasis pada tikus dengan angka infeksi 11,9%, angka infeksi siput 1,7%. 12 Selama ini program pengendalian yang telah dilakukan belum melibatkan hewan yang dapat bertindak sebagai reservoar yang akan menjadi sumber penularan bagi manusia. 13 Pengendalian dan pemberantasan schistosomiasis pada manusia tidak akan terlaksana tanpa pemberantasan schistosemiasis pada hewan peliharaan dan hewan liar. Untuk itu perlu diketahui tingkat infeksi schistosomiasis pada tikus yang merupakan salah satu hospes reservoir schistosomiasis yang tertangkap di daerah fokus (daerah ditemukan keong Oncomelania hupensis linduensis), sehingga informasi yang dihasilkan dapat menjadi masukan serta pertimbangan untuk pengambilan kebijakan dalam upaya pengendalian schistosomiasis di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Metode Bahan dan Cara Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilaksanakan di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah selama 2 bulan (Mei s/d Juni 2012). Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh tikus yang tertangkap di areal daerah endemis schistosomiasis, baik menggunakan perangkap mati (snap trap) ataupun perangkap hidup (live trap). Pemasangan perangkap dilakukan di 22 daerah fokus yang tersebar di 6 desa di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Perangkap dipasang sebanyak 71 buah yang terdiri dari 10 buah perangkap hidup dan 61 buah perangkap mati per daerah fokus. Perangkap dipasang sore hari di daerah fokus yang dicurigai terdapat tikus dan dibiarkan selama satu malam. Keesokan harinya diperiksa dan diambil untuk kemudian dipasang kembali pada sore hari di lokasi fokus yang berbeda. Tiap-tiap fokus dipasang perangkap satu kali dengan umpan yang diberikan berupa kelapa bakar dan ubi. Tikus yang tertangkap selanjutnya diperiksa di laboratorium dengan cara pembedahan (sectio) untuk mencari cacing S. japonicum dewasa. Tikus dimatikan dengan cara memasukkan ke dalam toples yang berisi kapas yang mengandung eter. Cara Identifikasi Tikus Sebelum dibedah tikus terlebih dahulu diidentifikasi jenisnya, diukur panjang dari keseluruhan badan, ekor, telapak kaki, telinga dan diamati warna bulu punggung serta perut dan ditimbang beratnya. 9,14,15 Tikus yang umumnya ditemukan di daerah endemis schistosomiasis 138

Jumlah tikus tertangkap Infeksi Schistosoma Japonicum... (Made Agus Nurjana, Samarang) diantaranya yaitu; Tikus got Rattus norvegicus (Berkenhout), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 300-400 mm, ekor, 170-230 mm, kaki belakang 42-47 mm, telingga 18-22 mm. Rumus mamae 3+3 = 12, warna rambut badan atas coklat kelabu, rambut bagian perut kelabu. Tikus wirok Bandicola indica (Bechstein), dengan ciriciri: panjang ujung kepala sampai ekor 400-580 mm, ekor 160-315 mm, kaki belakang 47-53 mm, telinga 29-32 mm. rumus mamae 3+3 = 12, warna rambut badan atas dan rambut bagian perut coklat hitam. Tikus rumah Rattus rattus diardi (Jentink) atau R. tanezumi, dengan ciri-ciri: panjang total ujung kepala sampai ekor 220-370 mm, ekor 101-180 mm, kaki belakang 20-39 mm, telinga 13-23 mm. rumus mamae 2+3 = 10, warna rambut badan atas coklat tua dan rambut badan bawah (perut) coklat tua kelabu. Tikus ladang Rattus exulans (Peale), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 139-365 mm, ekor 108-147 mm, kaki belakang 24-35 mm, telinga 11-28 mm. rumus mamae 2+2 = 8, warna rambut badan atas coklat kelabu, rambut bagian perut putih kelabu. Tikus belukar Rattus timanicus (Miller), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 245-395 mm, ekor 123-225 mm, kaki belakang 24-42 mm, telinga 12-29 mm. rumus mamae 2+3 = 10, warna rambut badan atas coklat kelabu, rambut bagian perut putim krem. Tikus dada putih Niviventer sp (Marshall, 1976), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 187-370 mm, ekor 100-210 mm, kaki belakang 18-33 mm, telinga 16-32 mm. Rumus mamae 2+2 = 8, rambut badan atas kuning coklat kemerahan dan rambut bagian perut putih. Tikus sawah Rattus argentiventer (Robinson & Kloss), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor 270-370 mm, ekor 130-192 mm, kaki belakang 32-39 mm, telinga 18-21 mm. rumus mamae 3+3 = 12, warna rambut badan atas coklat muda berbintik-bintik putih, rambut bagian perut putih atau coklat pucat. Mencit rumah Mus muscululus (Linnaeus), dengan ciri-ciri: panjang ujung kepala sampai ekor kurang dari 175 mm, ekor 81-108 mm, kaki belakang 12-18 mm, telinga 8-12 mm. rumus mamae 3+2 = 10, warna rambut badan atas dan bawah coklat kelabu. Cara Pembedahan Tikus Tikus yang terangkap baik hidup maupun mati selanjutnya dibedah menggunakan disecting set. Tikus yang telah mati/pingsan diletakkan diatas steroform dalam posisi terlentang, kaki depan dan belakang direntangkan dengan bantuan jarum pinning. Gunting kulit pada bagian perut secara lateral, sehingga hati dan usus terlihat. Keluarkan organ dalam seperti paru-paru, hati dan usus, kemudian hati dan paru-paru diambil sedikit lalu dihancurkan diatas kaca benda lalu ditutup dengan cover glass, selanjutnya diperiksa di bawah mikroskop untuk mencari telur cacing S. japonicum. Organ-organ lainnya diperiksa di bawah mikroskop disecting untuk mencari cacing S. japonicum dewasa terutama pada vena hati dan vena mesentrika (usus). 7,14 Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan distribusi frekuensi tikus yang tertangkap kemudian dilakukan uji hubungan antara jenis tikus yang tertangkap dengan tingkat infeksi Schistosoma japonicum dengan menggunakan program peng-olahan data (STATA Versi 11). Hasil Jumlah tikus yang tertangkap perdesa dapat dilihat pada gambar 1. Tikus paling banyak tertangkap di Alitupu dan Mekarsari yaitu masing-masing enam ekor tikus, sedangkan paling sedikit ditemukan di Kaduwa a hanya satu ekor tikus. 6 5 4 3 2 1 0 Alitupu Dodolo Wuasa Mekarsari Fokus Kaduwa'a Tamadue Gambar 1. Grafik distribusi tikus yang tertangkap menurut desa fokus di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Mei-Juni 2012 Hasil identifikasi tikus berdasarkan morfologi menunjukkan bahwa terdapat dua jenis tikus yang tertangkap yaitu Rattus exulans (R. exulans) sebanyak 14 ekor dan Rattus norvegicus (R. norvegicus) sebanyak 8 ekor. Tingkat infeksi cacing Sistosoma pada tikus secara keseluruhan adalah 22,7% (5/22), dimana infeksi pada R. norvegicus lebih tinggi (50%) dibandingkan dengan R. exulans (7,14 %) (Gambar 2). 139

Jumlah tikus tertangkap Media Litbangkes Vol 23 No. 3, Sept 2013, 137-142 14 12 10 8 6 4 2 0 Schistosoma japonicum negatif positif 50% Rattus norvegicus Spesies Tikus 7,14% Rattus exulans Gambar 2. Grafik persentasi positif cacing S. japonicum pada tikus yang tertangkap di Dataran Tinggi Napu, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Mei-Juni 2012 Analisis dilakukan untuk menguji apakah ada hubungan antara spesies tikus dengan infeksi schistosomiasis. Uji dilakukan dengan Fisher s exact test, hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan antara keduanya (P < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tikus liar jenis R. norvegicus. lebih besar kemungkinan untuk terinfeksi S. japonicum dibandingkan dengan R. exulans. Pembahasan Prevalensi schistosomiasis di daerah endemis Napu dan Lindu sudah sangat rendah setelah dilakukan pemberantasan selama 29 tahun sejak tahun 1975. Pemberantasan dengan hanya memberi obat kepada penduduk tidak akan efektif karena penularan akan terus berlangsung karena adanya siklus silvatik di alam. Schistosomiasis adalah penyakit parasitik yang bersifat zoonosis, yang selain menginfeksi manusia juga menginfeksi hewan mamalia. Walaupun prevalensi pada manusia telah rendah tetapi akan terjadi reinfeksi secara terus menerus karena adanya hospes reser-voir dan hospes perantaranya. 7 Salah satu hewan mamalia yang dapat menjadi sumber penularan schistosemaisis adalah hewan dari jenis Rodensia (tikus). Binatang ini termasuk binatang nokturna, keluar sarangnya dan aktif pada malam hari untuk mencari makan dan pada siang hari mereka berlindung di dalam lubang atau semak, 10 oleh karena itu perangkap dipasang pada malam hari. Selain itu tikus dikenal juga sebagai binatang kosmopolitan yaitu menempati hampir semua habitat baik perumahan penduduk maupun daerah hutan (Gambar 3). 9 R. argentiventer R. tiomanicus R. niniventer R. exulans R. norvegicus M musculus R. r diardi Gambar 3. Penyebaran Tikus Menurut Habitat 140

Infeksi Schistosoma Japonicum... (Made Agus Nurjana, Samarang) Tikus yang berhasil ditangkap pada 22 titik fokus di enam desa sebanyak dua spesies terdiri dari R. norvegicus (Berkenhout) dan R. exulans (Peale) yang juga pernah dilaporkan tertangkap di Danau Lindu dan Bada yang merupakan daerah endemis schistosomiasis di Sulawesi Tengah. 6,16 Jumlah tikus yang tertangkap relatif sedikit, kemungkinan disebabkan karena pemasangan perangkap dilakukan pada musim hujan. Infeksi S. japonicum pada tikus yang tertangkap sebanyak 22,7% (5/22); angka ini lebih rendah dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya di Dataran Tinggi Napu maupun di Lindu. 2,7,8 Penelitian Carney, dkk tahun 1978 menemukan infeksi pada R. exulans sebesar 7 %, kemudian pada tahun 1981 di Dataran Tinggi Napu menemukan tingkat infeksi pada tikus 1,65 % dan 4,8% setelah 6 bulan pengobatan penduduk. Penelitian Hadidjaja, dkk tahun 1981 di Lindu menemukan tingkat infeksi 2,44 % dan tahun 1982 di Napu tingkat infeksi pada tikus sebesar 11,9 % dan setelah dilakukan upaya pemberantasan di Napu angka infeksi tikus turun menjadi 1,32 %. Penelitian di Lembah Besoa oleh Renymanora, dkk tahun 1986-1987 menemukan tingkat infeksi tikus sebesar 2,7%. 8,12 Iskandar dan Luweno juga pernah melaporkan tingkat infeksi tikus di Napu sebesar 5,88% (2/34). 16 Pengamatan schistosomiasis di Napu tahun 2001-2004 menunjukkan bahwa infeksi pada tikus berturut-turut 6,69%, 2,34%, 4,21% dan 5,79% sedangkan di Lindu berturut-turut 0%, 3,70%, 2,17% dan 3,71%. 7 Survei yang pernah dilakukan oleh Loka Litbang P2B2 Donggala (sekarang Balai Litbang P2B2 Donggala) pada tahun 2008 menemukan tingkat infeksi tikus yang lebih tinggi yaitu mencapai 55,56% di Lindu dan 37,5% di Napu. 6 Tingkat infeksi pada tikus jenis R. norvegicus ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan R. exulans dan hasil uji dengan Fisher exact test juga menunjukkan ada hubungan antara keduanya, namun nilai CI (Confidence Interval) sangat lebar sehingga hubungan yang nampak antara keduanya kemungkinan hanya chance (kebetulan). Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah tikus yang tertangkap pada penelitian ini relatif sedikit. Namun bila dikaitkan dengan perilaku tikus dan keberadaan sercaria pada aliran air, maka R. norvegicus lebih besar kemungkinan untuk terinfeksi Schistosoma japonicum dibandingkan dengan R. exulans, karena R. norvegicus lebih banyak kontak dengan air. Infeksi dapat terjadi pada saat tikus kontak dengan air yang infektif (mengandung sercaria). 17,18,19 Sercaria masuk ke dalam aliran darah melalui kulit manusia maupun mamalia lainnya dengan menggunakan ekornya sebagai pendorong. Di dalam tubuh manusia serkaria akan berubah bentuk menjadi schistosomula yang akan mengikuti sistem peredaran darah, masuk ke dalam jantung kanan, paru-paru, ke dalam jantung kiri dan keluar ke sistem peredaran darah umum, dan menjadi dewasa di dalam hati. Cacing dewasa kemudian bermigrasi ke habitatnya masing-masing sesuai dengan spesiesnya. S. japonicum akan tinggal di pembuluh darah vena sekitar usus dan hati, misalnya vena porta hepatica dan vena mesenterica superior. Di dalam habitat inilah cacing betina akan bertelur mulai dari beberapa butir sampai beberapa ratus per hari. Kemudian telur cacing terbawa oleh darah ke jaringan usus dan dikeluarkan bersama dengan tinja. Di dalam air, telur akan menetas dan keluar larva yang disebut mirasidia. Mirasidia yang keluar dari telur akan mencari siput yang sesuai untuk perkembangbiakan lebih lanjut. Di dalam tubuh siput mirasidia akan berubah bentuk menjadi sporokista induk, kemudian menjadi sporokista anak dan berubah menjadi serkaria. Serkaria akan keluar dari tubuh siput secara periodik dan berenang dalam air menunggu hospes definitive untuk diinfeksi. Manusia maupun mamalia lainnya yang melewati perairan yang mengandung sercaria akan tertular. 1,3,18,19 R. norvegicus (tikus got) menyukai tempattempat yang agak basah seperti saluran pembuangan air/sepanjang aliran sungai. Selain itu tikus tersebut mempunyai kebiasaan menggali lubang di tanah hingga 2-3 meter tanpa kesulitan dan hidup di lubang tersebut, berenang dan menyelam, menggigit benda-benda keras seperti kayu bangunan, alumunium, hidup dalam rumah, gedung, di luar rumah, gudang bawah tanah, dok dan saluran dalam tanah//got. 9 R. exulans bertempat tinggal di belukar pinggir hutan. 14 Karena ukurannya yang relatif kecil maka tikus jenis ini sangat pandai memanjat dan sering bersarang di pepohonan, menggigit bendabenda yang keras, hidup di lubang pohon maupun tanaman menjalar. Jenis tikus ini banyak terdapat di semak-semak pinggiran hutan dan kadang-kadang masuk ke rumah, dikenal juga sebagai hama padi di ladang/sawah. 9 Pengendalian tikus sangat sulit dilakukan karena hewan ini mempunyai kemampuan ber- 141

Media Litbangkes Vol 23 No. 3, Sept 2013, 137-142 kembangbiak dengan cepat dan mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan serta memiliki indera peraba, perasa dan pendengaran yang baik. Pengendalian tikus dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya membersihkan lingkungan dan rerumputan, semak-semak dan tempat persembuyian tikus, membongkar liang, menguyur liang dengan air, membunuh dengan gropyokan, pengemposan (asap blerang) dan tanaman perangkap/tbs (Traf Barrier System). 10 Peran pengambil kebijakan juga sangat penting agar pengendalian tikus dapat diorganisir dengan baik, terlebih lokasi tempat hidup tikus di Napu adalah daerah hutan yang merupakan wilayah Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Kesimpulan Infeksi Schistosoma japonicum pada hospes reservoir tikus di Dataran Tinggi Napu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah mencapai 22,7% (5/22). Jenis tikus yang tertangkap yaitu Rattus norvegicus dan Rattus exulans, dan infeksi tertinggi ditemukan pada jenis Rattus norvegicus. Saran Pengendalian tikus liar sangat sulit dilakukan sehingga perlu adanya kerja sama lintas sektor antara Kementerian Kesehatan, Pertanian, Kehutanan dan Taman Nasional Lore Lindu. Ucapan Terima Kasih Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Litbang P2B2 Donggala, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Poso, Kepala Puskesmas Maholo yang telah memberikan izin pelaksanaan penelitian ini. Ucapan yang sama ditujukan kepada teman-teman peneliti dan staf Balai Litbang P2B2 Donggala, staf Laboratorium Schistosomiasis di Napu yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan kegiatan baik di lapangan maupun dalam penyusunan artikel ini. Daftar Pustaka 1. Sudomo M. Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia Orasi Pengukuhan Professor Riset Entomologi dan Moluska; Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2008. 2. Tjitra E. Penelitian-penelitian Schistosomiasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. 1994; 96:31-6. 3. Soedarto. Penyakit penyakit infeksi di Indonesia. Jakarta: Widya Medika; 1990. 4. Chernin J. Parasitology. USA & Canada: Taylor & Francis Inc; 2000. 5. Sandjaja B. Parasitologi Kedokteran. Helmintologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka; 2007. 6. Jastal, Gardjito TA, Anastasia H, Mujiyanto. Analisis Spasial epidemiologi schistosomiasis menggunakan pengindraan jauh dan system informasi geografis di Lembah Napu dan Lindu Kab. Donggala. Donggala: Loka Litbang P2B2 Donggala; 2008. 7. Sudomo M, Pretty, Sasono MD. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 2007; 35(1):36-45. 8. Iskandar T. Tinjauan schistosomiasis pada hewan dan manusia di Lembah Napu, Lembah Besoa dan Lembah Danau Lindu Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Loka Karya Nasional Penyakit Zoonosis; 2005; Bogor. p. 228-34 9. Departemen Kesehatan, Dirjen P2M & PL. Pedoman pengendalian Tikus (Khusus di Rumah Sakit). Jakarta; 2002. 10. Syamsuddin. Tingkah laku Tikus dan pengendaliannya. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII; 2007; Sulawesi Selatan. 11. Nurisa I, Ristiyanto. Penyakit bersumber Rodensia (Tikus dan Mencit) di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2005; 4(3):308-19. 12. Hadidjaja P. Important trematodes in man in Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 1989; 17(2):107-13. 13. Ridwan Y. Potensi hewan reservoar dalam penularan schistosomiasis pada manusia di Sulawesi Tengah; 2004. 14. Departemen Kesehatan, Direktorat P2B2 Ditjen PPM & PLP. Petunjuk teknis pemberantasan Schistosomiasis (penyakit demam keong); 1989. 15. Balai Litbang P2B2 Banjarnegara. Buku Saku Rodent; 2012 16. Iskandar T, Lumeno HH. Isolasi penyebab demam keong dari tikus liar di sekitar Danau Lindu Sulawesi Tengah. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; 2002; Bogor. p. 389-93. 17. Hadidjaja P. Schistosomiasis di Sulawesi Tengah, Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1985. 18. Miyazaki I. An illustrated book of helmintic zoonoses. Tokyo: International Medical Foundation of Japan; 1991. 1. Garcia L.S, Bruckner D.A. Diagnostic Parasitologi kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1996. p. 256-72 142