Hukum Laut Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Laut Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang Undang No. 5 Tahun 1983 Tentang : Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1983 TENTANG ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang Undang No. 1 Tahun 1973 Tentang : Landas Kontinen Indonesia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1962 TENTANG LALU LINTAS LAUT DAMAI KENDARAAN AIR ASING DALAM PERAIRAN INDONESIA

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

Perkembangan Hukum Laut dan Wilayah Perairan Indonesia

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

Perkembangan Hukum Laut Internasional

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

UNDANG UNDANG NOMOR 4 Prp TAHUN 1960 Tentang PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah hukum. Di Indonesia, salah satu masalah hukum

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA)

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA.

BAB II DASAR TEORI. Dalam UNCLOS 1982 disebutkan adanya 6 (enam) wilayah laut yang diakui dan ditentukan dari suatu garis pangkal yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Wawasan Nusantara KELOMPOK 1 CIVIC EDUCATION

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1960 TENTANG PERAIRAN INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

PEMANFAATAN DAN PENGENDALIAN RUANG KAWASAN PERBATASAN LAUT

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

maka dunia internasional berhak untuk memakai kembali wilayah laut Indonesia dengan bebas seperti sebelumnya 298.

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BATAS WILAYAH SUATU NEGARA. A. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Internasional

luas. Secara geografis Indonesia memiliki km 2 daratan dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

TINJAUAN HUKUM LAUT TERHADAP WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1985 TENTANG P E R I K A N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

Sayidiman Suryohadiprojo. Jakarta, 24 Juni 2009

Hukum Internasional Kl Kelautan. Riza Rahman Hakim, S.Pi

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2014 TENTANG KELAUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

Hukum Laut Indonesia 1 BAB I PENETAPAN ILMU-ILMU KELAUTAN TERMASUK HUKUM LAUT SEBAGAI POLA ILMIAH POKOK A. Pengertian Pola Ilmiah Pokok Setiap lembaga pendidikan tinggi diharapkan menerapkan apa yang dinamakan Pola Ilmiah Pokok (PIP) atau dalam bahasa Inggeris disebut The Main Scientific Pattern (MSP). PIP atau MSP yang menunjukkan orientasi atau arah pengembangan lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan. Penerapan PIP oleh setiap lembaga pendidikan tinggi harus di dasarkan atas keunggulan atau kompetensi spesifik yang di milikinya, dan kompetensi ini merupakan prasyarat untuk melakukan kerjasama intensif antarberbagai lembaga pendidikan tinggi. Tanpa memiliki kompetensi spesifik, tidak mungkin suatu perguruan tinggi, dapat berpartisipasi dalam kerjasama dengan perguruan tinggi lain atau instansi lainnya. Kerjasama intensif itu sendiri adalah suatu unsur dari sistem pendidikan nasional, dan merupakan salah satu program jangka panjang dari Pola Kebijaksanaan Dasar Pengembangan Pendidikan Tinggi di negeri ini yang ditetapkan sejak tahun 1975. PIP bukanlah sebuah disiplin ilmu, melainkan merupakan orientasi pemikiran strategis, dalam pendidikan yang sejauh mungkin mencakup setiap disiplin ilmu, sehingga dengan demikian, PIP diharapkan dapat memberikan arah bagi pengembangan Tri Dharma lembaga pendidikan tinggi,

2 Hukum Laut Indonesia atau perguruan tinggi, serta sekaligus dapat memberikan nuansa spesifik kepada pelbagai disiplin ilmu yang dikembangkan perguruan tinggi yang bersangkutan (Universitas Hasanuddin, 1999:1). Pilihan atau penetapan PIP bagi setiap perguruan tinggi, dilakukan melalui pemikiran-pemikiran yang sifatnya fundamental, yang berkaitan dengan keadaan lingkungan, kebudayaan, dan sejarah kehidupan masyarakat luas, dimana perguruan tinggi tersebut berada atau berdomisili. PIP diharapkan memberikan warna dan nuansa spesifik, terhadap perguruan tinggi yang bersangkutan, sehingga setiap luarannya diharapkan, memiliki kemampuan untuk memberikan warna dan nuansa spesifik, nuansa PIP terhadap disiplin ilmu yang dikembangkannya. Nuansa PIP dikembangkan secara tersebar, melalui pelbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dibina oleh berbagai fakultas, sekaligus juga dapat dikembangkan secara terpusat, pada sekumpulan disiplin ilmu yang membentuk program studi, yang mendukung PIP itu secara melembaga di dalam dan melalui satu fakultas. B. Sejarah Penetapan Ilmu-Ilmu Kelautan Sebagai PIP Universitas Hasanuddin Universitas Hasanuddin (UNHAS) sebagai lembaga pendidikan tinggi atau perguruan tinggi, telah memilih dan menetapkan Ilmu-Ilmu Kelautan (Marine Sciences) sebagai suatu kompe-tensi yang harus dibangun, dipelihara, serta

Hukum Laut Indonesia 3 dikembangkan, dengan harapan dapat memberikan nuansa spesifik bagi uni-versitas, dalam rangka melakukan kerjasama intensif dengan lembaga pendidikan tinggi lain serta instansi lain, baik milik pemerintah ataupun swasta. Ditetapkannya Ilmu-Ilmu Kelautan sebagai PIP UNHAS didasarkan atas kesepakatan yang dica-pai melalui pelbagai pertemuan ilmiah yang puncaknya terjadi pada Seminar Administrasi UNHAS di Kabupaten Soppeng (salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan) pada tahun 1975. Kesepakatan tersebut kemudian dikukuhkan melalui Rapat Senat UNHAS dan selanjutnya dituangkan ke dalam Surat Keputusan Rektor UNHAS No.1149/UP-UH/1975 tanggal 27 Desember 1975. Salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah pengembangan PIP UNHAS adalah adanya dukungan strategis yang diucapkan sendiri oleh Presiden RI kala itu (Bapak Soeharto), ketika UNHAS merayakan Dies Natalisnya (hari jadi) yang ke-25 pada bulan September 1981 (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP UNHAS:2). Beliau mengatakan antara lain, Universitas Hasanuddin mempunyai kedudukan yang khas dalam pengembangan studi ilmu-ilmu kelautan, karena letak geografis UNHAS berada di belahan Timur Nusantara yang luas wilayah lautnya. Karena itu saya minta agar usaha Universitas Hasanuddin untuk mengkhususkan diri dalam pengembangan studi ini diteruskan dan tidak boleh berhenti.

4 Hukum Laut Indonesia Kenyataan menunjukkan bahwa, lautan di wilayah Indonesia yang luas dan kaya itu, sebagian terbesar belum diolah. Adalah wajar dan bahkan sudah seharusnya jika Universitas Hasanuddin tidak hanya memikirkan, tetapi memegang peranan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang ini. Tonggak penting lainnya adalah pembentukan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan sebagai jurusan yang ditempatkan pada Fakultas Peternakan UNHAS pada tahun 1988, dimana pembentukan program studi tersebut dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No.19/Dikti/Kep/ 1988 tanggal 16 Juni 1988. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan merupakan embrio dan cikal bakal bagi terbentuknya Fakultas Ilmu dan Teknologi Kelautan. Jurusan Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, maupun Jurusan Program Studi Ilmu Perikanan, pada akhirnya ditetapkan sebagai bagian dari sebuah Fakultas yang disebut Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan pada tahun 1996, yang penetapannya didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.036/O/1996 tanggal 29 Januari 1996. Keberadaan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu langkah maju dalam pengembangan PIP UNHAS, tetapi sekaligus mendorong timbulnya ketidakpuasan pada beberapa kelompok civitas

Hukum Laut Indonesia 5 academica, terutama dari kalangan Fakultas MIPA, dan Fakultas Teknik. Semoga ketidakpuasan dan gejolak yang pernah terjadi, dalam hubungan dengan eksistensi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan sudah teratasi, dan hal ini hanya dapat dilakukan melalui dialog di antara pihak-pihak yang berkepentingan, guna menemukan solusi terbaik dari kemelut memalukan yang pernah kronis dan berlarut-larut. Solusi terbaik hanya dapat diwujudkan dengan mempergunakan pendekatan win-win solution, dimana tidak ada pihak yang kalah dan tidak ada pihak yang menang, sebab semua menang, sehingga Ilmu-Ilmu Kelautan yang dicanangkan sebagai PIP UNHAS ini benar-benar dapat berkembang dan memberi manfaat, serta kontribusi positif bagi pembangunan nasional pada umumnya, dan pembangunan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya dalam rangka mencapai dan meningkatkan kesejahteraan terutama bagi rakyat Sulawesi Selatan. C. Ilmu-Ilmu Kelautan Masih Memiliki Relevansi Mengenai Relevansi Ilmu-Ilmu Kelautan termasuk pula Ilmu Hukum Laut sebagai PIP UNHAS, pertanyaan yang dapat diajukan adalah, apakah Ilmu-Ilmu Kelautan yang ditetapkan sebagai PIP UNHAS sejak tahun 1975 masih relevan, dan sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berubah, serta masih sejalan dengan arah

6 Hukum Laut Indonesia pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara umum. Pertanyaan strategis ini dapat dijawab dengan mengamati beberapa kecenderungan perkembangan, baik yang bersifat lokal maupun global yang sedang terjadi pada saat ini, antara lain adalah sebagai berikut (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:3) : 1. Ketergantungan manusia pada sumber daya alam (natural resources), menghadapi kendala dengan semakin berkurangnya ketersediaan sumber daya alam, yang terdapat di wilayah daratan, sehingga memaksa manusia untuk beralih, kepada kemungkinan pemanfaatan sumber daya alam yang berlokasi di lautan. Kecenderungan ini antara lain, dapat dilihat dengan semakin meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah laut, seperti kegiatan penangkapan ikan, penambangan minyak dan gas bumi, pemanfaatan energi laut dan sebagainya. 2. Pergeseran kutub-kutub perdagangan dunia dari benua Eropa dan Amerika ke wilayah basin Pasifik, yaitu kawasan negara-negara yang wilayahnya terletak di tepian atau pinggiran Samudera Pasifik. Karena ciri geografis yang dimiliki oleh negara-negara, tersebut didominasi oleh laut, maka dapat diramalkan bahwa, karakteristik perdagangan dunia di masa depan akan banyak pula

Hukum Laut Indonesia 7 diwarnai oleh pemanfaatan sumber daya kelautan, termasuk jasa lingkungan laut. 3. Perhatian terhadap interaksi antara atmosfir dan permukaan tanah, dalam menelaah siklus iklim ternyata sudah tidak dapat menjelaskan lebih jauh, tentang terjadinya anomaly iklim, atau penyimpangan iklim yang sedang berlangsung saat ini. Dewasa ini mulai disadari bahwa adanya penyimpangan iklim itu, hanya dapat dipahami dengan mengamati interaksi antara atmosfir dengan lautan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran lautan sebagai regulator, proses alamiah yang terjadi di atas permukaan bumi (termasuk di daratan) yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan umat manusia. Dengan kata lain, kedudukan Ilmu-Ilmu Kelautan menjadi semakin penting dikaitkan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas kesejahteraan umat manusia. 4. Dicetuskannya konsepsi Benua Maritim Indonesia (konsepsi BMI), dan Deklarasi Bunaken pada tanggal 26 September 1998 yang pada prinsipnya menegaskan bahwa laut adalah peluang, tantangan dan harapan (opportunity, challenge, and hope) bagi masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan Indonesia, menunjukkan secara jelas dan meyakinkan mengenai posisi strategis laut bagi masa depan Republik ini. Hal ini diperkuat oleh posisi Universitas Hasanuddin yang seca-

8 Hukum Laut Indonesia ra geografis terletak di Kawasan Timur Indonesia, yang memiliki wilayah laut yang jauh lebih luas, dibandingkan dengan wilayah daratannya, dan secara budaya terletak di lingkungan masyarakat bahari, dengan latar belakang sejarah dan budaya bahari yang kental. 5. Faktor terakhir, yang juga tak kalah pentingnya adalah apa yang dinamakan dengan Agenda 21 yang antara lain mencanangkan sekian banyak azas atau prinsip yang perlu diimplementasikan oleh negara-negara di seluruh dunia dalam menghadapi pelbagai tantangan yang demikian berat dalam millenium III. Salah satu azas yang dimaksud adalah azas pelestarian lingkungan, termasuk di dalamnya pelestarian lingkungan laut, serta pembangunan yang berkelanjutan, yang dengan sendirinya menempatkan Ilmu-Ilmu Kelautan (termasuk di dalamnya Hukum Laut) tetap memiliki relevansi untuk terus dikaji dan dikembangkan, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada khususnya. D. Visi dan Misi dari PIP Universitas Hasanuddin (Tujuan dan Pendekatan) Secara sederhana dan singkat dapat dikatakan bahwa pengelolaan sumber daya kelautan, hanya dapat dilakukan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi maju, karena potensi sumber daya tersebut sulit dijangkau dengan hanya mengandalkan teknologi sederhana. Penerapan dan

Hukum Laut Indonesia 9 pengenalan iptek seyogyanya tidak dalam wujud kelembagaan asing yang dicangkokkan ke dalam sistem budaya masyarakat, tetapi harus sesuai dengan nilai dan karakteristik budaya masyarakat setempat. Visi Pola Ilmiah Pokok UNHAS dapat dirumuskan sebagai berikut, yakni UNHAS sebagai pusat pengembangan budaya bahari yang bercirikan kemandirian dalam konteks kesadaran interkoneksitas universal (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:10-13). Seiring dengan visi tersebut, maka misi PIP UNHAS dapat dirumuskan dalam bentuk sebagai berikut : 1. Menghasilkan alumni yang mempunyai wawasan ke- UNHAS-an dalam pelbagai disiplin ilmu dan strata pendidikan, terutama yang berkaitan dengan ilmu dan teknologi kelautan; 2. Mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan; 3. Mempromosikan dan mendorong proses terwujudnya masyarakat bahari yang berkualitas, sejahtera, dan berorientasi kepada prestasi. Wawasan ke-unhas-an mengandung pengertian bahwa setiap lulusan Unhas memiliki jiwa dan potensi kemandirian, dan senantiasa memiliki dan memelihara komitmen terhadap pengembangan budaya bahari. Sejalan dengan visi dan misi tersebut di atas, maka tujuan pegembangan PIP UNHAS adalah sebagai berikut :

10 Hukum Laut Indonesia 1. Mampu berperan sebagai pusat konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni di bidang kelautan yang berskala dunia. 2. Terwujudnya kampus sebagai masyarakat akademik yang berwawasan kelautan yang mampu mendorong berkembangnya kegiatan tridarma perguruan tinggi, yang bernuansa kelautan dan berciri kemandirian serta tanggap terhadap dinamika perubahan lokal maupun global. 3. Mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya kelautan, melalui penyelenggaraan program-program studi, penelitian, pengembangan kelembagaan serta pengembangan sumber daya manusia akademik. 4. Meningkatkan produktivitas dan kualitas luaran, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan pembangunan kelautan. 5. Berkembangnya budaya bahari yang berciri kemandirian di kalangan masyarakat kawasan pesisir di Indonesia. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut di atas, UNHAS melaksanakan pola pendekatan melalui institusionalisasi, fungsionalisasi, integrasi, partisipasi dan kemitraan. Institusionalisasi (Institutionalization) mengandung pengertian bahwa seluruh unsur dari Universitas Hasanuddin bertanggungjawab untuk mengembangkan dan memperkuat lembaga-lembaga yang sudah ada, dengan bantuan supervisi

Hukum Laut Indonesia 11 manajemen, pembinaan kepemimpinan dan kelembagaan, pengenalan prosedur, cara kerja dan pelbagai aspek kelembagaan, berdasarkan potensi dan masalah dari masing-masing lembaga atau unit kerja yang ada. Fungsionalisasi (Functionalization) diartikan bahwa program-program yang ada dilaksanakan dengan memfungsikan secara berdaya guna dan berhasil guna semua sumber daya yang dimliki. Selanjutnya integrasi (integration) atau keterpaduan dimaksudkan mengintegrasikan potensi kelembagaan maupun unsur-unsur universitas dan fakultas sedemikian rupa, sehingga terwujud pencapaian tujuan PIP secara optimal. Kemudian partisipasi (participation) diartikan bahwa dalam semua kegiatan diupayakan pencapaian kesuksesan dengan mengundang partisipasi maksimal semua pihak yang terkait. Sedangkan kemitraan (partnership) dimaksudkan bahwa dalam mengoptimalkan pencapaian tujuan PIP, dikembangkan kerjasama dengan pelbagai pihak di luar universitas, terutama dengan pemerintah (pusat dan daerah), dunia usaha dan industri, perguruan tinggi, lembaga IPTEK dan kelembagaan masyarakat lainnya. seperti LSM, di dalam maupun di luar negeri atas dasar saling menunjang dan bersifat sinergis.

12 Hukum Laut Indonesia

Hukum Laut Indonesia 13 BAB II PRINSIP NEGARA NUSANTARA (ARCHIPELAGIC STATE PRINCIPLE) A. Pelbagai Istilah dan Pengertiannya Ada istilah yang dinamakan konsepsi nusantara (Archipelagic Concept), ada istilah wawasan nusantara (Archipelagic Outlook), ada istilah negara nusantara atau negara kepulauan (Archipelagic State), dan ada pula istilah Benua Maritim Indonesia (The Indonesian Maritime Continent), dan mungkin ke depan akan muncul lagi istilah-istilah lain terkait dengan konsepsi nusantara di masa-masa mendatang. Istilah wawasan nusantara adalah suatu wawasan atau outlook atau cara pandang yang mencita-citakan terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa dalam pelbagai bidang yang esensial bagi eksistensi kehidupan serta kelangsungan hidup bangsa dan negara Republik Indonesia. Adanya wawasan seperti ini, tentu saja tidak terlepas dari latarbelakang perjuangan bangsa dalam menghadapi pelbagai tantangan, baik yang berasal dari luar negeri atau dari negara kolonial, dengan politik divide et impera, dengan tujuan untuk memecah belah bangsa dan negara, maupun yang berasal dari dalam negeri Indonesia sendiri, khususnya kelompok separatis dengan tujuan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan. Di samping itu, tantangan tersebut bisa berasal dan bersumber dari adanya perpaduan dari kedua faktor baik internal maupun eksternal.

14 Hukum Laut Indonesia Selanjutnya istilah Konsepsi Nusantara untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, dimana konsepsi ini pada hakekatnya tersirat dan termuat di dalam, dan melalui Pernyataan Pemerintah RI pada tanggal 13 Desember 1957 yang kemudian terkenal dengan nama Deklarasi Juanda (mantan Perdana Menteri Republik Indonesia pada zaman Presiden RI pertama, Bapak Ir. Sukarno) menyangkut wilayah perairan Indonesia (Mochtar Kusumaatmadja, 1978:25-30). Menurut Mochtar Kusumaatmadja, karena bersangkut paut dengan masalah kewilayahan (terutama wilayah perairan RI), maka Konsepsi Nusantara adalah suatu konsepsi yang bersifat geografis, yang menunjukkan wilayah Indonesia yang terdiri dari wilayah daratan, namun sebagian besar adalah wilayah laut atau wilayah perairan harus dilihat dan dianggap sebagai suatu kesatuan utuh. Wilayah perairan negeri ini yang luasnya sekitar dua pertiga dari seluruh wilayah Indonesia tidak dapat dipisahkan, tetapi harus dianggap sebagai bagian integral dari wilayah daratannya (berupa pulau-pulau, baik pulau yang ukurannya besar maupun kecil) sehingga harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang utuh (Mochtar Kusumaatmadja, 1978:28). Karena konsepsi nusantara termuat di dalam Deklarasi Juanda mengenai wilayah perairan Indonesia, maka menurut Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi ini sebenarnya juga adalah merupakan suatu konsepsi yuridis yang bertuju-

Hukum Laut Indonesia 15 an untuk menyatukan wilayah Indonesia, yang merupakan wilayah nusantara atau wilayah kepulauan. Dengan tercapainya kesatuan atas seluruh wilayah kepulauan melalui konsepsi yuridis, atau konsepsi pengaturan hukum mengenai terintegrasinya wilayah perairan dengan wilayah daratan atau antara laut dengan pulau, maka diharapkan akan tercapai dan terwujud pula adanya kesatuan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara. Tercapai dan terwujudnya kesatuan bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupan, senantiasa harus terus diperjuangkan sebagaimana halnya dengan perjuangan untuk mewujudkan secara aktual kesatuan wilayah Indonesia yang terdiri dari daratan dan perairan. Konsepsi nusantara semakin kukuh dengan ditetapkannya wawasan nusantara melalui ketetapan MPR RI Nomor IV Tahun 1973 yang menetapkan wawasan nusantara sebagai salah satu landasan dari Garis- Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Harapan dan cita-cita untuk mewujudkan adanya kesatuan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara (aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, aspek pertahanan dan keamanan) tertuang dalam suatu konsepsi yang disebut Wawasan Nusantara, yang dikukuhkan melalui GBHN berdasarkan TAP MPR RI No. IV Tahun 1973 yang meliputi berbagai aspek kehidupan dan pembangunan bangsa dan negara. Dengan demikian, istilah wawasan nusantara sesungguhnya adalah merupakan suatu konsepsi yang bersifat poli-

16 Hukum Laut Indonesia tis demi mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara dalam berbagai aspek kehidupannya. Bagi Mochtar Kusumaatmadja, konsepsi nusantara adalah suatu konsepsi yuridis geografis yang berfungsi sebagai wadah fisik bagi pengembangan wawasan nusantara. Istilah Negara Nusantara atau dalam bahasa Inggeris disebut Archipelagic State ditegaskan di dalam ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982 serta Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Wilayah Perairan Indonesia yang pada dasarnya menyatakan bahwa Negara Nusantara atau Negara Kepulauan adalah negara yang wilayahnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Indonesia dinamakan sebagai negara kepulauan karena wilayah Indonesia seluruhnya terdiri dari satu kepulauan atau lebih serta mencakup pulau-pulau lain. Ada kepulauan Maluku, ada kepulauan Riau, ada kepulauan Seribu, kepulauan Sangir-Talaud, kepulauan Natuna dan pelbagai macam kepulauan lain yang dimiliki oleh Indonesia. Di samping itu ada pula Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Irian dan beriburibu pulau lain yang tidak perlu dipaparkan, sebab semuanya ini hanya untuk menunjukkan bahwa wilayah Indonesia mencakup lebih dari satu kepulauan serta memiliki pulaupulau baik besar maupun kecil dalam jumlah yang sangat besar. Istilah kepulauan (archipelago) diartikan sebagai suatu

Hukum Laut Indonesia 17 gugusan atau kumpulan pulau-pulau, termasuk bagian-bagian pulau, perairan yang terletak di antaranya atau di antara satu pulau dengan pulau lainnya, dan bentuk-bentuk alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lain sedemikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu membentuk suatu kesatuan geografi, kesatuan ekonomi dan kesatuan politik yang hakiki atau secara historis dianggap sebagai suatu kesatuan seperti itu (United Nations Convention on the Law of the Sea, A/ Conf.62/ 122, 7 October 1982). Istilah Konsepsi Benua Maritim Indonesia (BMI) dicetuskan melalui Konvensi Nasional Indonesia yang diselenggarakan di Makassar (Ujung Pandang) pada tahun 1998 (Kerangka Kebijakan Pengembangan Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin:14). Di dalam konvensi atau pertemuan yang dihadiri oleh pelbagai kalangan dicapai kesepakatan atau komitmen untuk mengkonsepsikan negeri kepulauan Indonesia sebagai Benua Maritim Indonesia (BMI), dan pembangunannya adalah Pembangunan Benua Maritim Indonesia (PBMI). Pengkonsepsian BMI dan PBMI bertujuan untuk mengaktualisasikan wawasan nusantara yang telah dikenal sejak lama. Dengan konsepsi dan aktualisasi, maka pemahaman terhadap wilayah Indonesia dewasa ini, bukannya pulaupulau yang dikelilingi dengan laut, seolah-olah wilayah laut menempel pada wilayah daratan seperti pemahaman selama

18 Hukum Laut Indonesia ini, melainkan wilayah laut yang ditaburi dengan pulau-pulau baik besar maupun kecil. Dengan demikian, Konsepsi Benua Maritim Indonesia menitikberatkan negara Indonesia sebagai sebuah benua laut atau benua maritim yang di atasnya bertaburan dengan pulau-pulau, baik pulau yang berukuran besar maupun kecil, sehingga menggambarkan pulau-pulau yang demikian banyaknya seakan-akan menempel pada wilayah laut yang begitu luas. Secara berangsur-angsur, tetapi pasti konsepsi BMI sebagai konsepsi baru mewarnai pembangunan di Indonesia. Perhatian terhadap pembangunan kini dan di masa mendatang akan banyak, bahkan terutama tercurah kepada adaptasi atau pemanfaatan sumber daya perairan, terutama perairan laut atau sumber daya kelautan. Dalam konsepsi BMI, wilayah perairan Indonesia adalah sesuatu yang dominan karena bukan hanya wilayah lautnya yang jauh lebih luas daripada wilayah daratannya, melainkan juga karena wilayah perairan berinterseksi dengan wilayah daratan (Kerangka Kebijakan Pengembangan PIP Unhas:14). Mengapa dikatakan berinterseksi? Sebabnya adalah karena di perairan Nusantara atau di laut Nusantara terdapat wilayah darat yang berbentuk pulau-pulau kecil, sedangkan di wilayah daratan yang berbentuk pulau-pulau besar, terdapat perairan terutama perairan danau yang luas dan dalam, seperti misalnya di Pulau Sulawesi terdapat Danau Tempe, dan di Pulau Sumatera terdapat Danau Toba, serta terdapat

Hukum Laut Indonesia 19 pula perairan sungai yang lebar dan panjang, seperti misalnya di Sumatera Selatan (Sungai Musi) dan Kalimantan (Sungai Kapuas). Demikian gambaran sederhana tentang berbagai istilah dalam hubungan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara nusantara atau negara kepulauan. B. Sejarah Perkembangan Hukum Laut Indonesia Pada zaman Hindia Belanda, berlaku suatu peraturan yang disebut Ordonansi laut teritorial, serta lingkungan maritim Indonesia (Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie atau disingkat menjadi TZMKO) yang berlaku sejak tahun 1939. Berdasarkan ordonansi ini, setiap pulau baik pulau yang berukuran besar maupun pulau yang berukuran kecil di dalam lingkungan wilayah Hindia Belanda mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri. Laut territorial Hindia Belanda atau laut teritorial Indonesia adalah jalur laut yang membentang ke arah laut sampai jarak 3 mil laut yang diukur dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau yang merupakan wilayah daratan Indonesia. Dengan demikian wilayah perairan Indonesia meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut (Mochtar Kusumaatmadja:187) Karena masing-masing pulau ataupun bagian pulau mempunyai laut teritorial sendiri-sendiri dengan lebar hanya sejauh 3 mil laut terhitung dari garis air rendah pada setiap pulau atau bagian pulau, maka hal ini mengakibatkan terben-

20 Hukum Laut Indonesia tuknya ruangan-ruangan dan kantung-kantung laut bebas atau perairan internasional antara satu pulau atau bagian pulau dengan pulau lain atau bagian pulau lainnya, sehingga membawa dampak yang sangat negatif dan merugikan bagi kedaulatan serta keutuhan teritorial Indonesia. Dampak yang begitu merugikan akibat pengaturan hukum kolonial (TZMKO) yang bernafaskan kebebasan di laut (freedom of the seas) harus dihentikan atau diatasi, melalui pengaturan hukum nasional. Hal ini telah dirintis sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, lahirnya UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 yang di dalamnya terdapat Aturan Peralihan (Pasal II), dan disusul dengan terbitnya Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957, yang merupakan pengumuman pemerintah mengenai wilayah perairan Indonesia. Deklarasi ini menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini, bagi kapal asing terjamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan Indonesia. Penentuan

Hukum Laut Indonesia 21 batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang. Pernyataan Pemerintah tentang wilayah perairan Indonesia pada tanggal 13 Desember tahun 1957 dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan (Mochar Kusumaatmadja, 1978:187) sebagai berikut : 1. Bahwa bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat, dan corak tersendiri sehingga memerlukan pengaturan tersendiri; 2. Bahwa demi kesatuan wilayah (teritorial) Negara Republik Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat; 3. Bahwa penetapan batas-batas laut teritorial yang diwarisi dari Pemerintah kolonial sebagaimana tercantum di dalam Territoriale Zee en Maritieme Kriengen Ordonnantie 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan Negara Republik Indonesia; 4. Bahwa setiap negara berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandangnya perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.

22 Hukum Laut Indonesia Pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya telah ditetapkan dalam Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 kemudian ditetapkan menjadi undangundang dengan menggunakan prosedur Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Adapun isi dari Perpu yang diundangkan berlakunya pada tanggal 18 Februari 1960 dan kemudian lebih dikenal dengan Undang-Undang No.4/Prp.1960 adalah sebagai berikut (Mochtar Kusumaatmadja, 1978:194) : 1. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah dan kesatuan ekonominya ditarik garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar; 2. Negara berdaulat atas segala perairan yang terletak di dalam garis-garis pangkal lurus, ini termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya, maupun ruang udara di atasnya dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; 3. Jalur laut wilayah (laut teritorial) selebar 12 mil diukur atau terhitung dari garis-garis pangkal lurus ini; 4. Lalu lintas damai kendaraan air (kapal) asing melalui perairan nusantara (archipelagic waters) dijamin selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu keamanan serta ketertibannya. Undang-Undang Nomor 4/ Prp. 1960 yang hanya terdiri dari 4 pasal pada hakekatnya merubah cara penetapan

Hukum Laut Indonesia 23 laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 3 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah (low water line), menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke ujung. Seperti diketahui, cara penetapan garis pangkal lurus ini untuk pertama kalinya memperoleh pengakuan dalam hukum internasional melalui putusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam perkara sengketa perikanan Inggeris-Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case) tahun 1951 (lihat kasusnya dalam L.C. Green, International Law through the Cases, 1978:325) dan kemudian dikukuhkan dalam Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Teritorial, dan Jalur Tambahan maupun secara mutatis mutandis dalam Pasal 7 Konvensi Hukum Laut 1982. Penarikan garis-garis pangkal lurus dari ujung ke ujung pulau-pulau terluar nusantara ini mempunyai dua akibat : 1. Jalur laut wilayah yang terbentuk melingkari kepulauan Indonesia; 2. Perairan yang terletak pada bagian dalam dari garis-garis pangkal lurus tersebut berubah statusnya dari laut wilayah ataupun laut lepas (high seas) menjadi perairan pedalaman (internal waters). Agar supaya perubahan status ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing yang telah ada sebelum cara penetapan batas wilayah, maka Pasal 3 menyatakan bahwa perairan pedalaman

24 Hukum Laut Indonesia tersebut terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air asing. Beberapa tahun setelah diundangkannya Undang- Undang Nomor 4/Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, maka para petugas di laut merasakan adanya kebutuhan atau keperluan untuk mempertegas, serta menterjemahkan ketentuan hak lintas damai bagi kapal asing di perairan nusantara yang pada prinsipnya telah dijamin dalam Undang- Undang Nomor 4/Prp. 1960. Untuk mempertegas ketentuan lintas damai bagi kapal asing yang berada atau berlayar melalui perairan nusantara, maka Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 tentang Lalu Lintas Damai Kendaraan Asing di Perairan Indonesia. Peraturan pemerintah yang ditetapkan pada tahun 1962, dan merupakan tindak lanjut atas Undang-Undang Nomor 4/Prp. 1960, dalam hal ini ketentuan hak lintas damai kapal asing memuat beberapa ketentuan, seperti apa yang dimaksud dengan lalu lintas damai, syarat-syarat lintas damai, serta lintas damai bagi kapal-kapal yang bersifat spesifik atau kapal-kapal jenis khusus (kapal penelitian, kapal nelayan, kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga). Pengertian lalu lintas damai sebagaimana diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962, adalah pelayaran untuk maksud damai yang

Hukum Laut Indonesia 25 melintasi laut wilayah dan perairan pedalaman Indonesia, dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya dan dari laut bebas ke laut bebas. Lalu lintas kapal asing dianggap damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum, kepentingan dan atau tidak mengganggu perdamaian Negara Republik Indonesia. Lalu lintas damai kapal asing dianjurkan untuk melalui alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari yang berlaku dalam dunia pelayaran. Berhenti, membuang sauh atau jangkar kapal dan atau mondar mandir tanpa alasan yang sah di perairan Indonesia tidak termasuk dalam pengertian lalu lintas damai menurut peraturan pemerintah ini. Juga terdapat ketentuan mengenai larangan bagi kapal asing untuk melewati atau melintasi bagian-bagian tertentu dari perairan pedalaman untuk sementara waktu, apabila hal ini dianggap perlu untuk menjamin kedaulatan dan keselamatan negara. Kapal asing yang akan melakukan riset ilmiah di perairan Indonesia disyaratkan untuk meminta izin dari Presiden Republik Indonesia. Kapal perang asing yang akan melintasi perairan Indonesia harus terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan atau notifikasi kepada Menteri/KSAL (Kepala Satuan Angkatan Laut). Kapal selam (submarine) harus berlayar di atas permukaan laut selama melintasi perairan Indonesia, dan dengan demikian juga harus mengibarkan benderanya yang

26 Hukum Laut Indonesia tentu dimaksudkan untuk mengetahui dan mengidentifikasi negara yang merupakan negara bendera (Flag State). Dalam Peraturan Pemerintah tersebut ada ketentuan tentang alur-alur pelayaran. Apabila alur-alur ini sudah ditetapkan oleh Kepala Staf Angkatan Laut, maka kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga serta kapal nelayan atau kapal ikan harus melalui alur-alur tersebut. Kapal perang asing yang lewat di alur-alur pelayaran tidak perlu memenuhi syarat notifikasi yang berlaku bagi lintas damai di perairan nusantara. Karena alur-alur pelayaran itu belum ditetapkan pada waktu itu, maka dalam praktek kapal perang umumnya melaksanakan kewajiban pemberitahuan ketika melintasi perairan nusantara. Juga diatur ketentuan mengenai kewajiban bagi kapal nelayan asing yang sering melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1962 yang antara lain mewajibkan kapal tersebut meletakkan dan menyimpan alat tangkapnya di bawah palkah kapal. Akan tetapi ketentuan itu seakan-akan menjadi huruf mati, karena banyaknya kapal ikan asing yang ditangkap, tetapi kemudian dilepaskan. Kalau sampai ke pengadilan kasus-kasus pencurian ikan (illegal fishing), kapal asing yang terlibat pada umumnya dibebaskan. Kendati pengadilan menghukumnya, kebanyakan hukumannya sangat ringan, sehingga kerugian yang begitu besar, akibat pencurian ikan di perairan nusantara harus ditanggung oleh bangsa dan negara.

Hukum Laut Indonesia 27 Untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut pada tahun 1960-an, terkait dengan berlakunya Konvensi Geneva 1958 mengenai hukum laut (Konvensi mengenai laut teritorial dan jalur tambahan, Konvensi mengenai laut bebas, Konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan hayati di laut bebas,.dan Konvensi mengenai landas kontinen), maka pada tanggal 17 Februari 1969 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang Landas Kontinen Indonesia yang memuat pokok-pokok sebagai berikut (Mochtar kusumatmadja, 1978:37-38) : 1. Segala sumber kekayaan mineral dan sumber kekayaan alam non hayati lainnya, termasuk organisme-organisme hidup yang merupakan jenis sedentair, yang terdapat di landas kontinen Indonesia adalah merupakan asset atau milik dari bangsa dan negara Republik Indonesia dan dengan demikian tunduk di bawah yurisdiksinya yang bersifat eksklusif. Pengertian landas kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang berada di luar laut teritorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960, hingga suatu batas kedalaman 200 meter dari permukaan laut atau melebihi batas kedalaman tersebut sepanjang kemampuan teknologi Indonesia masih memungkinkan penggalian dan pengusahaannya.

28 Hukum Laut Indonesia 2. Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas landas kontinen dengan Negara tetangga melalui perundingan. 3. Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas landas kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik terluar wilayah negara tetangga. 4. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi sifat serta status daripada perairan di atas landas kontinen Indonesia sebagai laut lepas, demikian pula ruang udara di atasnya yang tetap berstatus sebagai ruang udara internasional. Bagian ketiga dari Pengumuman Pemerintah tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara konsepsi landas kontinen Indonesia dengan konsepsi nusantara. Arti nyata konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana diatur di dalam Pengumuman tersebut, adalah bertambahnya lagi luas daerah di bawah permukaan laut (submarine areas) dengan jumlah yang tidak sedikit untuk dapat mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam yang terdapat di landas kontinen Indonesia. Pengumuman Pemerintah tahun 1969 ini lahir atas dorongan kebutuhan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya mineral yang terdapat di daerah-daerah di bawah permukaan laut, terutama di Laut Cina Selatan di luar batas-batas perairan Indonesia. Karena Indonesia dikelilingi oleh negara-negara tetangga yang mem-

Hukum Laut Indonesia 29 punyai hak yang sama atas landas kontinen yang sama, maka pemerintah Republik Indonesia perlu menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga sebelum ditemukan deposit atau cadangan minyak dan gas bumi di landas kontinennya. Untuk maksud itu lalu dibentuk Team Teknis Landas Kontinen pada Departemen Pertambangan yang ditugaskan terutama untuk menyelesaikan masalah garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga. Misalnya perjanjian garis batas landas kontinen antara Republik Indonesia dengan Malaysia tahun 1969 menyangkut garis batas landas kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Thailand tahun 1971 mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara dan di Laut Andaman; perjanjian antara Republik Indonesia Thailand dan Malaysia pada tahun 1971 mengenai garis batas landas kontinen di Selat Malaka bagian Utara; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia tentang penetapan garis batas dasar laut tertentu (Laut Arafura dan Daerah Utara Irian Jaya dan Papua Nugini) tahun 1973; perjanjian antara Republik Indonesia dengan Australia tahun 1973 mengenai penetapan garis batas daerah-daerah dasar laut tertentu (Selatan Pulau Tanimbar dan Pulau Timor); perjanjian antara Republik Indonesia dengan India mengenai penetapan garis batas landas kontinen tahun 1974. Semuanya ini merupakan hasil kerja dari Departemen Per-

30 Hukum Laut Indonesia tambangan, terutama Team Teknis Landas Kontinen yang dibentuk oleh Departemen tersebut. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam konsepsi landas kontinen Indonesia sebagaimana termaktup di dalam Pengumuman Pemerintah tahun 1969 kemudian dituangkan ke dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang dinamakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 tentang landas kontinen Indonesia. Prinsipprinsip atau ketentuan-ketentuan pokok tersebut mengacu pada Konvensi Geneva 1958 tentang landas kontinen (Geneva Convention on the Continental Shelf), seperti pengertian landas kontinen Indonesia, hak-hak berdaulat (souvereign rights), penetapan garis batas landas kontinen Indonesia dengan negara-negara tetangga maupun status hukum dari perairan yang berada di atas landas kontinen Indonesia, namun dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Selain daripada hak-hak berdaulat atas kekayaan alam yang terdapat di landas kontinen yang artinya penguasaan dan pemilikannya ada pada negara Republik Indonesia, juga negara memiliki yurisdiksi atau kewenangan atas penelitian ilmiah kelautan yang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973 penyelengaraannya diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1973. Dalam Undang-Undang ini juga dikemukakan mengenai instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang dapat dibangun, dipelihara dan dimanfaatkan dalam usaha melak-

Hukum Laut Indonesia 31 sanakan eksplorasi, eksploitasi kekayaan alam yang terdapat di landas kontinen Indonesia. Untuk melindungi instalasi, kapal dan atau alat lainnya yang terdapat di landas kontinen terhadap gangguan pihak ketiga, maka Pemerintah dapat menetapkan apa yang disebut daerah terlarang (prohibited area) yang radiusnya 500 meter terhitung dari titik terluar instalasi, kapal dan atau alat lainnya. Di samping daerah terlarang, juga dapat ditetapkan daerah terbatas (restricted area) yang radiusnya 1250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu di mana kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar sauh. Di landas kontinen Indonesia, pada instalasi, kapal dan alat-alat lain di landas kontinen, maka hukum dan segala peraturan perundang-undangan Indonesia dapat diterapkan atau diberlakukan, bahkan instalasi dan alat-alat lain yang dipergunakan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam dinyatakan sebagai daerah Kepabeanan Indonesia atau daerah bea cukai, daerah fiscal, daerah karantina dan daerah keimigrasian. Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia pada tanggal 20 Maret 1980 (Mochtar Kusumaatmadja, 1980:384). Hal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan hukum laut yang selain diwarnai dengan berlangsungnya Konferensi PBB mengenai hukum laut III (UNCLOS III) yang pada waktu itu sudah

32 Hukum Laut Indonesia menghasilkan rancangan konvensi hukum laut baru (Draft Convention on the Law of the Sea) yang di dalamnya memuat pengaturan hukum tentang zona ekonomi eksklusif secara umum, juga diwarnai berbagai klaim atau pernyataan sepihak yang dilakukan oleh negara-negara pantai dari berbagai kawasan sehubungan dengan zona ekonomi eksklusif yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti zona 200 mil, zona perikanan sejauh 200 mil (dari pantai atau garis pangkal), zona ekonomi 200 mil maupun zona ekonomi eksklusif. Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tanggal 20 Maret 1980 yang berpedoman pada praktek negara-negara yang telah diterima secara luas terkait dengan rezim hukum Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menyatakan bahwa, ZEE Indonesia adalah jalur laut yang berada di luar laut territorial Indonesia, tetapi berbatasan dengannya, di mana jalur laut itu lebarnya dapat mencapai maksimal 200 mil laut terhitung dari garis pangkal sebagaimana diatur berdasarkan Undang- Undang Nomor 4/Prp. Tahun 1960. Demikian rumusan pengertian ZEE Indonesia yang mengikuti kecenderungan perkembangan hukum laut internasional pada waktu itu, tetapi dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional Indonesia yang berlandaskan wawasan nusantara. Selanjutnya di dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut, ditegaskan mengenai hak-hak berdaulat serta yurisdiksi Indonesia sebagai negara pantai

Hukum Laut Indonesia 33 atau negara Kepulauan. Republik Indonesia mempunyai hakhak berdaulat (souvereign rights), yaitu hak-hak untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi maupun pengelolaan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati yang terdapat di dalam badan air (water column), dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil); juga hak untuk melakukan kegiatan yang bertujuan ekonomi seperti membangkitkan energi yang berasal dari arus laut, ombak dan gelombang laut maupun angin yang berada di dalam jalur laut 200 mil. Sebagai konsekuensi dari adanya hak-hak ber-daulat ini, maka Republik Indonesia juga memiliki yurisdiksi atau kewenangan yang berkaitan dengan pembangunan dan pemanfaatan pulau-pulau buatan (artificial islands), instalasi (installation) dan bangunan (structure) di jalur atau zona tersebut; juga yurisdiksi terkait dengan penelitian ilmiah kelautan (marine scientific research) di ZEEI; juga yurisdiksi yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (protection and preservation of the marine environment). Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila di bagianbagian laut tertentu ZEE Indonesia (ZEEI), tumpang tindih (overlapping) dengan ZEE negara-negara tetangga, maka Pemerintah Republik Indonesia bersedia untuk mengadakan perundingan dalam usaha mencapai kesepakatan menyangkut penetapan garis batas ZEE masing-masing negara. Sela-

34 Hukum Laut Indonesia ma belum tercapai kesepakatan soal garis batas tersebut, maka ZEE Indonesia garis batas luarnya terletak di tengahtengah antara garis pangkal laut teritorial Indonesia dengan wilayah pantai dari negara tetangga yang bersangkutan. Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tersebut juga menegaskan bahwa sepanjang dasar laut dan tanah di bawahnya dari ZEEI adalah merupakan landas kontinen Indonesia, maka hak-hak berdaulat, yurisdiksi serta kewajiban-kewajiban Indonesia akan dilaksanakan menurut Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia tahun 1973, perjanjian-perjanjian garis batas landas kontinen dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya. Akhirnya dalam Pengumuman Pemerintah tersebut dinyatakan bahwa status perairan ZEE Indonesia yang tidak dapat terpengaruh di mana perairannya tetap berstatus sebagai perairan internasional sehingga di perairan tersebut tetap diakui berlakunya kebebasan laut lepas dalam bidang-bidang tertentu, seperti kebebasan untuk berlayar (freedom of navigation), kebebasan untuk melakukan penerbangan di ruang udara yang berada di atas perairan ZEE Indonesia serta kebebasan untuk memasang kabel-kabel dan saluran pipa bawah laut di ZEE Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku. Azas-azas yang termaktub di dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tahun 1980, sebagaimana halnya dengan Pengumuman Pemerintah tahun 1957

Hukum Laut Indonesia 35 (Deklarasi Juanda), dan Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tahun 1969, pada akhirnya dituangkan pula ke dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dinamakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sehingga memiliki kekuatan yuridis formal dan tidak sekedar suatu pengumuman dan pernyataan semata-mata. Undang-undang itu antara lain memuat ketentuan umum yang mencakup definisi dari berbagai istilah seperti sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan lain-lain, pengertian ZEE Indonesia, hak-hak berdaulat, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban, berbagai kegiatan yang dapat dilakukan di ZEE Indonesia, soal gantirugi, masalah penegakan hukum, ketentuan pidana dan lain-lainnya (lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983). Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan yang berupa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia. Sumber daya alam hayati yang istilah populernya adalah ikan tidak mengenal batas-batas wilayah negara sesuai dengan sifat-sifat alaminya. Namun sejalan dengan praktek negara-negara yang telah dikembangkan oleh masyarakat internasional serta ketentuan-ketentuan hukum laut internasional yang melandasi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tersebut, maka sumber daya alam haya-

36 Hukum Laut Indonesia ti yang terdapat di daerah ZEE Indonesia adalah milik Republik Indonesia walaupun dalam pengelolaannya masih harus memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum internasional, misalnya kewajiban RI untuk menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch), besarnya kemampuan tangkap dari usaha-usaha perikanan Indonesia (Capacity to Harvest), langkah-langkah untuk pelaksanaan konservasi serta kesediaan Indonesia untuk memberikan kesempatan kepada usaha perikanan asing, untuk ikut serta memanfaatkan ZEE Indonesia sepanjang jumlah tangkapan yang diperbolehkan belum sepenuhnya dimanfaatkan melalui usaha-usaha perikanan Indonesia. Dari segi kepentingan pembangunan nasional, khususnya di sub sektor perikanan, maka sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia memiliki dua fungsi penting, yaitu sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan secara langsung melalui kegiatan penangkapan ikan serta sebagai pendukung sumber daya alam hayati di perairan Indonesia. Mengingat fungsinya yang demikian penting, maka pemanfaatannya perlu diarahkan secara tepat, terarah dan bijaksana. Hal ini berkaitan pula dengan sifat sumber daya alam hayati yang tidak tak terbatas. Demikian antara lain dasar pemikiran yang melatarbelakangi terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1984 tentang pengelolaan sumber daya alam hayati di ZEE Indonesia (lihat Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 23).

Hukum Laut Indonesia 37 Perkembangan berikutnya dalam hukum laut Republik Indonesia adalah diundangkannya Undang-Undang Perikanan Indonesia, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Di dalamnya antara lain diatur mengenai beberapa istilah disertai dengan batasan atau pengertiannya, seperti misalnya istilah perikanan yang artinya semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan. Sedang sumber daya ikan adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya. Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan agar sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus menerus. Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan. Demikian antara lain, pelbagai istilah yang mengemuka dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 sebab masih banyak lagi istilah yang tidak perlu diulangi (lihat Pasal 1 undang-undang ini). Selanjutnya dalam Pasal 2 dikemukakan bahwa wilayah perikanan Republik Indonesia meliputi perairan Indonesia (laut teritorial, perairan kepulauan, perairan pedalaman), sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia, maupun perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 juga mengatur tentang pengelolaan sumber daya ikan

38 Hukum Laut Indonesia dalam wilayah perikanan Republik Indonesia yang ditujukan bagi tercapainya manfaat maksimal bagi bangsa Indonesia, dan untuk mencapai hal ini Pemerintah melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan secara terpadu dan terarah dengan melestarikan sumber daya ikan beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai alat tangkap ikan; syarat teknis perikanan yang harus dipenuhi oleh kapal perikanan tanpa mengurangi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai keselamatan pelayaran; jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis serta ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap; daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan; pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya; penebaran ikan jenis baru, pembudidayaan ikan dan perlindungannya. Juga diatur tentang pemanfaatan sumber daya ikan melalui usaha perikanan di dalam wilayah perikanan Republik Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warganegara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia, dengan pengecualian sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan internasional atau hukum internasional yang berlaku. Pihak yang melakukan usaha perikanan diwajibkan memiliki izin usaha perikanan, kecuali nelayan atau petani ikan kecil maupun