I. PENDAHULUAN. kelompok-kelompok kelas menengah ke bawah, lebih banyak didorong oleh

dokumen-dokumen yang mirip
V. PENUTUP. ini, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Teknik dan taktik penyidik kepolisian dalam mengungkap tindak pidana

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berawal dari aksi teror dalam bentuk bom yang meledak di Bali pada

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak. hubungan Indonesia dengan dunia Internasional.

teknologi informasi adalah munculnya tindak pidana mayantara (cyber crime). Cyber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri.

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Terorisme merupakan suatu tindak kejahatan luar biasa yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam

PENGGUNAAN METODE SKETSA WAJAH DALAM MENEMUKAN PELAKU TINDAK PIDANA

I. PENDAHULUAN. kereta api, maka di butuhkan pula keamanan dan kenyamanan kereta api. Masalah

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana psikotropika dengan pelaku anak

PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH ANGGOTA TNI di DENPOM IV/ 4 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kejahatan terorisme sudah menjadi fenomena internasional, melihat

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Setiap penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat pola-pola perilaku atau caracara

I. PENDAHULUAN. Sejak lima tahun terakhir ini terorisme menjadi salah satu wacana yang

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York,

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

RGS Mitra 1 of 22 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

I. PENDAHULUAN. biasa. Khusus di Negara Indonesia sendiri, tindak pidana korupsi sudah ada sejak

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemberantasan tindak pidana korupsi di negara Indonesia hingga saat

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENANGKAPAN TERDUGA TERORIS ( STUDI KASUS SIYONO )

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini penulis telah melakukan

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

I. PENDAHULUAN. perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain. Manusia selalu ingin bergaul bersama manusia lainnya dalam. tersebut manusia dikenal sebagai makhluk sosial.

I. PENDAHULUAN. asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seorang yang didakwa. yang ada disertai keyakinan Hakim, padahal tidak benar.

BAB I PENDAHULUAN. karena kehidupan manusia akan seimbang dan selaras dengan diterapkannya

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

SELAIN DETEKSI TERORIS BADAN PEMBINAAN KEAMANAN AWASI DANA DESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan.

PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II UJUNG PANDANG

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seluruh masyarakat yang ada di dunia ini sebenarnya mendambakan dan membutuhkan kedamaian, kecukupan dan kemakmuran. Namun, seringkali yang diperoleh adalah sebaliknya, yaitu peperangan, kekerasan, kekurangan dan kemiskinan. Titik-titik ketidak seimbangan inilah yang kemudian melahirkan kekecewaan-kekecewaan, bahkan dalam tingkatannya yang paling ekstrim dan radikal. Secara akademis, radikalisme atau ekstrimisme yang biasanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kelas menengah ke bawah, lebih banyak didorong oleh ketidakadilan dan kekecewaan akibat tata sosio-ekonomi yang sifatnya diskualifikatfi,. dislokatif, dan deprivatif secara sosio-ekonomis dan politis. Semua itu berujung pada radikalisasi individual maupun kelompok atas nama ideologi perubahan atau keyakinan teokratis dengan tafsir sempit dan sepihak yang secara radikal dan brutal justru disalahgunakan untuk melakukan perbuatanperbuatan radikal dan ekstrim. Perbuatan radikal dan ekstrim inilah yang akhirakhir ini dinamai dengan istilah teror / terorisme (Ali Masyar, 2009: 1).

2 Terjadinya Tragedi Bom Bali I, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror yang menimbulkan korban sipil terbesar di duina, yaitu menewaskan 184 orang dn melukai lebih dari 300 orang lainnya. Pemerintah Indonesia menyadari sedemikian besar kerugian yang ditimbulkan oleh sesuatu tindak terorisme serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, merupakan kewajiban pemerintah untuk mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidanakan pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukaan pengusutan diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada pengaturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Teorisme, pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme yaitu dengan mengawali membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Setelah mengesahkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kemudian pemerintah melalui Kepolisian Negara Indonesia sebagai salah satu instrumen membentuk Detasemen Khusus 88 Anti Teror sebagai detasemen yang dilatih khusus oleh organisasi Agen rahasia Amerika seperti FBI, CIA, dan Secreet Service yang langsung dan

3 khusus untuk mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindak pidana terorisme yang telah berhasil mengungkap beberapa kasus dan sindikat terorisme di Indonesia. Selain sebagai detasemen penyergap para pelaku Tindak Pidana Terorisme seperti tugas kepolisian pada umumnya Detasemen 88 juga bertugas sebagai sebagai penyidik suatu perkara. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 Ayat (1) disebutkan: Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan. Proses penyidikan, penyidik melakukan tindakan yang diperlukaan untuk mencari bukti guna mengungkap suatu perkara yang sedang ditangani agar suatu pekara itu jelas dan terungkap disebut tindakan penyidikan. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 Ayat (2) disebutkan: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

4 Pada penyidikan atau pemeriksaan awal hal yang dilakukan adalah menginterogasi para tersangka dalam hal pengembangan perkara dan menentukan apakah ada keterkaitan tersangka yang sedang diperiksa oleh penyidik kepolisian dengan perkara yang sedang ditangani. Interogasi yaitu memeriksa atau mendengar keterangan orang yang dicurigai dan saksi-saksi yang juga berada di tempat kejadian perkara. merupakan bagian dari teknik penyidikan sebagai langkah untuk pengembangan penyidikan untuk mengtahui: 1. Motif 2. Pihak yang terkait secara langsung maupun tidak 3. Cara atau metode melakukan tindak pidana 4. Alat bantu yang digunakan dalam melakukan tindak pidana Penyidikan diperlukan suatu teknik dan taktik dalam melakukan interogasi agar tujuan yang ingi dicapai oleh penyidik dapat tercapai sehingga penyidikan akan berjalan dengan lancar dan dapat mengungkap seluruh proses kejadian suatu tindak pidana tersebut dan dapat menanggulangi tindak pidana tersebut sampai keakar permasalahannya. Teknik dan taktik interogasi yang paling mendasar yang digunakan para penyidik terutama penyidik kepolisian adalah 3 (tiga) langkah pokok yaitu: 1. Seorang interogator mempelajari taktik psikologi tersangka atau saksi yang sedang diperiksa dan dimintai keterangannya.

5 2. Seorang interogator mempelajari latar belakang dan pengaruh sosial lingkungan tersangka atau saksi yang sedang diperiksa dan dimintai keterangannya. 3. Seorang interogator juga biasanya menggunakan kombinasi dari dua langkah diatas. Persoalan mendasar yang ada biasanya teknik dan taktik dalam melaksanakan interogasi tidak memiliki panduan yang baku, standar dan seragam dalam melaksanakan interogasi. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengiatur bagaimana tata cara mengambil keterangan tentang suatu tindak pidana dari para tersangka dan saksi yang ada. Biasanya pembelajaran tentang teknik dan taktik interogasi diberikan saat pendidikan atau pelatihan khusus keperwiraan masing-masing instansi penegak hukum.seperti undang-undang pidana yang lain, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga tidak mengatur cara penyidik dalam menghadapi, mengolah dan mengembangngkan keterangan dari para tersangka tindak pidana terorisme yang membohong, membangkang dan sebagainya, sehingga diperlukan suatu teknik dan taktik interogasi agar seorang penyidik akan memiliki suatu keyakinan bahwa pengakuan yang didapat akan menyingkapkan kebenaran. Memperhatikan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membuat skripsi dengan judul Teknik dan Taktik Interogasi dalam Penyidikan Tindak Pidana Terorisme

6 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan dalam penulisan skiripsi ini adalah : a. Bagaimanakah teknik dan taktik penyidik kepolisian dalam penyelidikan tindak pidana terorisme? b. Bagaimanakah teknik dan taktik interogasi dalam penyidikan tindak pidana terorisme? c. Apakah faktor-faktor penghambat penerapan teknik dan taktik interogasi dalam penyidikan tindak pidana terorisme? 2. Ruang Lingkup a. Ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini dibatasi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme. b. Lokasi penelitian sebatas tingkat penyelidikan dan penyidikan di Detasemen Khusus 88 Anti Teror Polisi Daerah Lampung. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui teknik dan taktik penyidik kepolisian dalam penyelidikan tindak pidana terorisme. b. Untuk mengetahui teknik dan taktik interogasi dalam penyidikan tindak pidana terorisme.

7 c. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat penerapan teknik dan taktik interogasi dalam pemeriksaan tersangka terorisme pada tingkat penyidikan. 2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini adalah: a. Secara teoretis, penulisan ini diharapkan dapat digunakan dalam pengembangan daya pikir dan nalar yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya dalam mempelajari Hukum Acara Pidana tentang teknik dan taktik interogasi dalam penyidikan tindak pidana terorisme b. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat berguna sebagai sumbangan pemikirian bagi para akademisi dan aparat penegak hukum khususnyaya kepolisian pada Detasemen 88 Anti Teror untuk mengetahui penerapan teknik dan taktik interogasi dalam penyidikan tindak pidana terorisme. D. Kerangka Teoretis dan Konseptual 1. Kerangka Teoretis Kerangka teoretis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-demensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1981: 116).

8 Membahas permasalahan dalam skripsi ini, penyidik kepolisian dalam melakukan penyelidikan perkara kriminal melakukan langkah langkah teknis dalam mengungkap perkara kriminal tersebut yaitu (R.Soesilo, 1974: 23): 1. Pengumpulan informasi dari pengolahan tempat kejadian perkara. 2. Pengumpulan informasi yang berhubungan dengan perkara kriminal melalui bagian intelijen. 3. Pengamatan atau observasi terhadap hal-hal yang berhubungan dengan perkara kriminal. 4. Pembuntutan sistematis atau survailance yang basanya dilakukan terhadap orang yang dinilai berhubungan dengan perkara kriminal. 5. Penangkapan apabila telah mendapatkan alat bukti yang cukup. Teknik interogasi yang digunakan dalam berbagai literatur yang ada baik yang digunakan oleh lingkungan akademik maupun yang digunakan dalam pusat pelatihan berbagai intstansi penegak hukum yang ada di Indonesia. Teori tentang teknik penyidikan menurut G.W. Bawengan (1974: 11-44) terdiri atas 2 (dua) macam Teori teknik interogasi yaitu: 1. Sikap Pemeriksa. 2. Cara mengajukan pertanyaan sesuai psikologi tersangka. Menurut G.W. Bawengan (1974:11) teknik interogasi adalah teknik atau bagaimana cara menghadapi saksi-saksi yang berbohong, membangkang dan sebagainya, sehingga diperlukan suatu teknik pemeriksaan agar seorang pemeriksa akan memiliki suatu keyakinan bahwa pengakuan yang didapat dari saksi atau tersangka yang diperiksa dapat menyingkapkan kebenaran.

9 Proses Interogasi merupakan bagian dari penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan. Interogasi merupakan suatu teknik yang digunakan oleh pemeriksa atau penyidik untuk mendapatkan keterangan dari saksi atau tersangka yang berkenaan dengan suatu perkara tindak pidana guna untuk perngembangan penyidikan sehingga suatu tindak pidana dapat terungkap (R.Soesilo, 1974: 52). Teori yang digunakan dalam membahas faktor-faktor penghambat dalam penerapan teknik dan taktik interogasi dalam penyidikan tindak pidana terorisme adalah teori yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto mengenai penghambat penegakan hukum, yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri. Terdapat beberapa asas dalam berlakunya undang-undang yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, agar undangundang tersebut mencapai tujuannya secara efektif di dalam kehidupan masyarakat. 2. Faktor penegak hukum. Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Seorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. 3. Faktor sarana atau fasilitas. Penegakan hukum tidak mungkin berlangsung lancar tanpa adanya faktor sarana atau fasilitas. Sarana dan fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia

10 yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seharusnya. 4. Faktor masyarakat. Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. 5. Faktor kebudayaan Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari) (Soerjono Soekanto, 1983: 34-35, 40). 2. Konseptual Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsepkonsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 1981; 124). Adapun pengertian dasar dan Guna mengetahui maksud yang terkandung dalam penulisan judul skripsi ini, perlulah disimak pengertian beberapa istilah-istilah konsep sebagai berikut: a. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang

11 diatur dalam undang-undang (Pasal1 Ayat (5) Undang-Undang Hukum Acara Pidana). b. Teknik dan taktik interogasi adalah cara yang digunakan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka atau saksi yang terlibat dalam perkara tindak pidana agar seorang pemeriksa akan memiliki keyakinan bahwa pengakuan yang didapat akan menyingkapkan kebenaran (G.W.Bawengan, 1974: 13). c. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Andi Hamzah, 2008: 120). d. Tersangka adalah seorang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Andi Hamzah, 2008: 65). e. Tindak Pidana Terorisme adalah Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Ali Masyar, 2009: 87);

12 Sistematika Penulisan I. PENDAHULUAN Merupakan Bab pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan kerangka konseptual, serta sistematika penulisan II. TINJAUAN PUSTAKA Berisi pengertian tentang Penyelidikan, Teknik dan Taktik Interogasi, Tersangka dan Hak-haknya, Penyidikan dan Tindak Pidana Terorisme. III. METODE PENELITIAN Pada bab ini penulis menjabarkan pendekatan masalah, sumber dan jenis data, cara penentuan populasi dan sample, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Merupakan pembahasan yang menjelaskan tentang Teknik dan taktik penyidik kepolisian dalam penyelidikan tindak pidana terorisme, Penerapan teknik dan taktik interogasi dalam pemeriksaan tersangka terorisme pada tingkat penyidikan dan hambatan-hambatan Penerapan teknik dan taktik interogasi dalam pemeriksaan tersangka terorisme pada tingkat penyidikan.

13 V. PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan ini, dalam bab ini dimuat dan diuraikan tentang beberapa kesimpulan serta saran dari penulis.