BAB II TINJAUAN UMUM PADA MASYARAKAT PETANI JEPANG SEBELUM PERANG DUNIA II

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II GEOGRAFI JEPANG DAN ZAMAN MEIJI. astronomis, Jepang berada antara 30 LU - 46 LU dan 128 BT 179 BT. Luas

BAB 5 RINGKASAN. jatuh. Padahal ia telah menetapkan segala peraturan untuk dalam dan luar negeri. menyebabkan jatuhnya kekuasaan politik Tokugawa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan keshogunan

DAFTAR PUSTAKA. Fukutake Tadashi.1988.Masyarakat Jepang Dewasa Ini.Jakarta: Gramedia.

BAB III EKSISTENSI SAMURAI PADA MASA PEMERINTAHAN MEIJI

Jepang (Bagian III) Feodalisme Jepang

membuka diri terhadap dunia internasional. Peristiwa ini mengakibatkan kepercayaan Daimyo terhadap kekuasaan Tokugawa menjadi menurun.

BAB 1 PENDAHULUAN. keluarga Tokugawa ( ). Demikian pula sistem politik yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Jepang yang dimulai sejak shogun pertama Tokugawa Ieyasu. Keshogunan

Nihonshi( 日本史 ) SEJARAH JEPANG

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MEMANAH. menjadi seni olahraga. Pada zaman pra-sejarah dulu, manusia sudah mulai

BAB I PENDAHULUAN. surut. Dua periode penting tersebut adalah masa Kaisar Meiji ( ) dan. yang kemudian dikenal dengan Restorasi Meiji.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG RESTORASI MEIJI

PERAN WANITA DALAM PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA NELAYAN DI DESA TASIKAGUNG KECAMATAN REMBANG KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH

BAB V KESIMPULAN. Masyarakat Jepang pada masa Tokugawa merupakan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II GAMBARAN UMUM NEGARA JEPANG. Kepulauan Jepang yang terletak lepas pantai timur benua Asia,

BAB II GAMBARAN UMUM AWAL KESHOGUNAN TOKUGAWA. Taira pada perang Heijin tahun Setelah kekalahan tersebut keluarga

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP FEODALISME DAN KONDISI MASYARAKAT JEPANG PADA ZAMAN EDO. Martin (1990 : ) mengatakan bahwa masyarakat feodal

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era teknologi tinggi, penggunaan alat-alat pertanian dengan mesin-mesin

BAB I PENDAHULUAN. mengelola tanah hingga menanam bibit sampai menjadi padi semuanya dilakukan

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KERAMIK JEPANG

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini memaparkan mengenai hasil kajian pustaka untuk mengkaji judul

BAB I PENDAHULUAN. menjadi modal dasar pembangunan nasional disektor pertanian sebagai prioritas

BAB I. Pendahuluan. berbatasan dengan Samudra Pasifik, sedangkan di bagian utara berbatasan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara agraris yang artinya sebagian besar

BAB 1 PENDAHULUAN. Kimono merupakan pakaian tradisional sekaligus pakaian nasional Jepang.

PENGUASAAN TANAH DAN STRUKTUR SOSIAL DI PEDESAAN JAWA

BAB VI KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN RUMAHTANGGA PETANI PESERTA PROGRAM PEMBERDAYAAN PETANI MELALUI TEKNOLOGI DAN INFORMASI PERTANIAN (P3TIP)

Jepang pada masa sebelum Perang Dunia (PD) II

BAB I PENDAHULUAN. Gerakan sosial yang dibahas dalam studi ini terjadi di Semenanjung

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tersebut memiliki pemerintah dan pemerintahan yang berjalan, hukum,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Jepang pada abad ke-16 sampai abad ke-17 merupakan negara yang masih

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB V DAMPAK REVOLUSI HIJAU TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL, BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT SUKAWENING-GARUT

I. PENDAHULUAN. produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus

BAB V POLA PENGUASAAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGUASAAN LAHAN

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

BAB 9: SOSIOLOGI MODERNISASI. PROGRAM PERSIAPAN SBMPTN BIMBINGAN ALUMNI UI. e. Kemakmuran masyarakat luas

BAB IV PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN. Awal penyebaran agama Kristen yang dilakukan oleh Xavier di Jepang tidak

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Revolusi Industri: Latar Belakang, Proses Revolusi, & Dampaknya

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan salah satu padian paling penting di dunia untuk konsumsi

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pencapaian tujuan perusahaan. Keberadaan manajemen sumber daya manusia

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pada bab ini peneliti akan menyajikan kesimpulan yang berkaitan dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

ABSTRAK PEMERINTAHAN REZIM SHOGUN TOKUGAWA YANG TERAKHIR

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. merupakan salah satu keunggulan bangsa Indonesia. Pada hakikatnya

dari periode yang awal sampai pada periode-periode berikutnya?. Perkembangan terjadi bila berturut-turut masyarakat bergerak dari satu bentuk yang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan dengan tujuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

BAB II GAMBARAN UMUM

BAB III PETANI DAN HASIL PERTANIAN DESA BENDOHARJO. A. Monografi dan Demografi Desa Bendoharjo

BAB II KERANGKA TEORI. upahan pasca panen. Peluang kerja adalah suatu keadaan dimana adanya

BAB II RESTORASI MEIJI ATAU MODERNISASI JEPANG. Edo. Zaman Edo ( ) adalah zaman dimana Jepang diperintah oleh

PENDAHULUAN. Latar Belakang

RASA SOLIDARITAS KELOMPOK, RASA MEMILIKI, DAN RASA KESETIAAN SEBAGAI NILAI-NILAI TRADISI JEPANG DALAM SISTEM MANAJEMEN PERUSAHAAN DI JEPANG

BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat

Pada gambar 2.3 diatas, digambarkan bahwa yang melatarbelakangi. seseorang berpindah tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN EKONOMI BAB I KEBUTUHAN MANUSIA, KELANGKAAN, DAN SISTEM EKONOMI

BAB I PENDAHULUAN. pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan

Konsep Dasar Ekonomi Pembangunan. Oleh Ruly Wiliandri, SE., MM

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB VI HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR PENGUASAAN LAHAN TERHADAP TINGKAT PENGUASAAN LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap manusia harus memenuhi kebutuhannya, guna kelangsungan hidup.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Bagian ini merupakan pemaparan tentang hasil analisis yang dilakukan pada bab

1 Universitas Indonesia

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

BAB 1 PENDAHULUAN. negara yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau (Kodansha, 1993: ). Barisan

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ).

Ekonomi Pertanian di Indonesia

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia hingga saat ini masih tergolong negara yang sedang berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disegala bidang. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang

Jepang Abad NIHON/NIPPON I

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. terdapat di Indonesia, baik sebagai tanaman liar maupun sebagai tanaman di

I. PENDAHULUAN. Sebagian besar penduduk di negara-negara sedang berkembang berada di bawah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM PADA MASYARAKAT PETANI JEPANG SEBELUM PERANG DUNIA II 2.1 Sejarah Awal Pertanian Jepang Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang berada di sebelah timur benua Asia. Di Jepang terdapat 4 pulau besar serta ribuan pulau kecil. Bentuk geografis Jepang memanjang dari utara ke selatan kira-kira 3800 kilometer. Luasnya kirakira 370.000 kilometer persegi. Pulau-pulau besar itu antara lain : Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu. Kepulauan Jepang 75% wilayahnya terdiri dari pegunungan, dan 25% terdiri dari daratan. Pegunungan Jepang memanjang di seluruh kepulauannya, berupa bukit-bukit yang tertutup hutan dan di antaranya ada lembah-lembah sempit yang dapat digunakan untuk pertanian. Porsi lahan pertanian Jepang hanya 25% dari total wilayahnya yang sebagian besar berupa pegunungan dan hanya 12% dari luas daratan di Jepang yang bisa dipergunakan untuk pertanian (http://id.wikipedia.org/wiki/ekonomi_jepang) (6/9/2013). Sedikitnya/kecilnya wilayah yang dimiliki Jepang tersebut tidaklah menjadi penghalang, tetapi keadaan ini justru memberikan kontribusi yang besar terhadap perekonomian Jepang. Meskipun wilayah Jepang sangat sempit dan memiliki tanah yang tidak terlalu subur, hanya dengan dengan curah hujan yang berlimpah, kerja keras yang tak terbatas dan keterampilan pertanian yang tinggi berhasil membuat negara Jepang menjadi negara yang produktif. Selain itu, karena di latarbelakangi dengan sumber daya alam yang miskin dan wilayah sempit inilah,

membuat masyarakat Jepang menjadi masyarakat yang memiliki pola fikir untuk selalu berkreasi dan menciptakan di segala bidang. Sejarah Jepang dimulai dari periode zaman yang di tandai oleh pembuatan pot dan kuali serta dilanjutkan oleh periode tahun 300 SM yang di tandai dengan adanya lompatan budaya yang memperkenalkan sistem pertanian dan peralatan pertanian dari logam. Pertanian, terutama penanaman padi dan teknik pengolahan logam, masuk dari daratan China sekitar 300 SM yang dibawa oleh bangsa Kan (pendatang dari Tairiku). Bangsa Kan membawa kebudayaan pertanian ke Jepang dan mereka datang dalam jumlah yang sangat besar sehingga cukup mendominasi bangsa yang sudah duluan ada di Jepang waktu itu (Mongoloid, Melayupolinesia, Ainu). Oleh karena itu dapat di simpulkan bahwa nenekmoyang bangsa Jepang merupakan perpaduan antara pendatang dari Tairiku (Kan) dan bangsa yang sudah duluan berada di Jepang Ienaga, Kitazima dalam Situmorang (2009:9). Berdasarkan peninggalan peninggalan benda purbakala periode tahun 300 SM 300 M disebut dengan periode Yayoi. Hal ini dikarenakan peninggalan benda purbakala ini pertama kali ditemukan di Yayoicho ( 弥生町 ) di Tokyo sekarang dan situs peninggalan sejarah tersebut dinamakan Yayoishikidoki Toyoda dalam Situmorang (2009:8). Pada zaman Yayoi masyarakat sudah tinggal di dataran rendah karena mereka sudah mengolah sawah, serta ditemukan juga bekas rumah takayukashiki (rumah panggung). Rumah panggung dibuat sesuai dengan kebutuhan hidup untuk dapat menyimpan padi dalam waktu yang cukup lama. Dengan dikenalnya kebudayaan pertanian pada zaman ini, mengakibatkan terjadinya perubahan pada pola-pola kehidupan di dalam masyarakatnya.

Pada masyarakat berburu seperti pada zaman Jomon, masyarakat tidak dapat hidup berkelompok terlalu besar karena akan mengalami kesulitan dalam memenuhi nafkah. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat petani, yang membutuhkan jumlah orang yang banyak untuk memenuhi tenaga kerja. Karena pertanian dapat menjamin pendapatan yang tetap, sehingga memungkinkan masyarakatnya untuk tinggal bersama dalam jumlah yang lebih besar daripada masyarakat berburu. Selain itu, hal ini juga mengakibatkan lahirnya suatu sistem strata sosial yang tidak dikenal di dalam masyarakat berburu (Jomon). Perkembangan ini melahirkan adanya orang kaya dan orang miskin, orang yang berkuasa dan orang yang tidak berkuasa. Kemudian melahirkan adanya status Tuan atau Raja dan di pihak lain melahirkan status pekerja/budak. Oleh sebab itu pada zaman Yayoi ini dikenal sebagai zaman awal lahirnya masyarakat petani dan lahirnya sistem strata sosial di Jepang. 2.1.2 Sejarah Awal lahirnya Feodalisme Jepang Sejak pemerintahan militer berdiri di Jepang, yaitu pada masa Kamakura, babak baru sejarah Jepang yang disebut zaman feodalisme di mulai. Masyarakat feodal lahir bersamaan dengan lahirnya Shoenseido (sistem wilayah) yaitu wilayah pertanian yang berdiri sendiri terpisah dari pemerintahan kaisar. Feodalisme adalah sebuah sistem pemerintahan dimana seorang pemimpin yang biasanya dari kaum bangsawan memiliki anak buah banyak yang juga masih dari kalangan bangsawan, tetapi lebih rendah yang disebut Vazal/Kizoku (keluarga bangsawan). Setiap Kizoku wajib membayar upeti ke pemimpinnya. Dan pola hubungan seperti ini tidak berhenti hanya dua tingkat saja, tetapi setiap Kizoku juga menjadi

pemimpin bagi Kizoku-Kizoku yang lain (http://tuandiktator.wordpress.com /2008/06/12/perkembangan-masyarakat-feodal-zaman-edo/) (5/9/2013). Dalam Shoenseido ini, sering terjadi masalah batas wilayah antara satu Kizoku dengan Kizoku yang lainnya. Oleh karena itu Kizoku tersebut harus membuat sistem pertahanan sendiri sehingga melahirkan Samurai/Bushi di Jepang. Dalam perkembangan berikutnya ketergantungan para Kizoku terhadap Samurai ini pun semakin erat hubungannya, sehingga peranan Samurai menjadi semakin kuat. Pasca Perang Gempei merupakan era baru menuju masyarakat feodalisme awal yang dipelopori oleh Minamoto Yoritomo dari klan Genji sebagai pihak pemenang. Setelah kemenangan ini, Yoritomo pun segera meminta kepada kaisar agar diangkat menjadi Shogun (Jenderal) pertama di Jepang (1185-1600). Inti dari sistem feodalisme awal ini adalah Shogun sebagai kepala pemerintahan, menguasai seluruh wilayah Jepang sedangkan Kaisar memiliki wilayahnya sendiri yang tidak dikuasai oleh Shogun. Dibawah kekuasaan Shogun tersebut ada tuantuan tanah yang memiliki petani sendiri. Jadi para tuan tanah menerima pajak dari petani sebagai pendapatan utama mereka, dimana pajak tersebut ditentukan oleh tuan tanahnya masing-masing. Kemudian tuan tanah membayar kepada Shogun, dan Shogun juga membayar sebagian untuk biaya hidup Kaisar Situmorang (2009:83).

2.1.3 Pembagian Kelas Masyarakat Dalam kurun waktu 700 tahun, sampai akhir abad ke 16, feodalisme berkembang secara alami di Jepang, dan semakin berkembang dari satu wilayah ke wilayah lain. Maka dari itu, saat pemerintah mengambil kebijakan untuk menstratifikasi masyarakat secara jelas dan tegas yang di tujukan untuk menertibkan dan menyeragamkan tatanan sosial, kebijakan ini juga ditujukan sebagai antisipasai terhadap gekokujo yang sering muncul pada masa lalu. Gekokujo adalah penumbangan kekuasaan penguasa yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah. Seiring perkembangan pada sistem strata sosial dalam masyarakat Jepang ini telah melahirkan kesenjangan antara kelas-kelas sosial seperti: orang kaya dan orang miskin, orang yang berkuasa dan orang yang tidak berkuasa, serta tuan tanah dan pekerja (buruh) sehingga terbentuk susunan-susunan kelas yang menandakan adanya tingkat sosial sebagai berikut: a). Kuge adalah kelas masyarakat yang paling tinggi. Kelas ini terdiri para keturunan bangsawan. Tennou dan para bangsawan-bangsawan di istana masuk dalam kelas masyarakat ini. b). Buke terdiri dari para Shogun, Daimyo dan keluarga-keluarganya. Merekalah kebijakan-kebijakan dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi masyarakat. c). Samurai, adalah prajurit yang menjadi pengikut setia para Daimyo dan Shogun. Selain melakukan pekerjaan militer, para Samurai juga melakukan pekerjaan administrasi dalam pemerintahan Shogun dan Daimyo. d). Hyakushou (petani), secara teoritis merupakan kelas yang berada langsung

di bawah Samurai dan di atas Chounin. Kelas ini pada prakteknya adalah kelas yang paling tertindas. Kelas ini harus menjamin hidup golongan Kuge, Buke dan Samurai. Petani pada zaman Edo juga tidak memiliki tanah pertanian sendiri. Mereka hanya menggarap tanah dari tuan tanah, mereka juga harus hasil panennya secara berkala kepada para pemilik/tuan tanah. e). Chounin, kelas yang terdiri dari para pengrajin dan pedagang. Kelas pengrajin dan pedagang inilah yang menjdai kelas pertengahan dengan kehidupan paling makmur. f). Eta, adalah kelas masyarakat yang tidak termasuk dalam kelas kelas yang telah ditetapkan. Kelas ini terdiri dari para penjagal, penggali kubur, penyamak kulit, dan lain lain. Dalam tatanan masyarakat orang orang yang masuk dalam kelas masyarakat Eta benar benar terasingkan. Bahkan beberapa Samurai dan Daimyo akan merasa tercemar jika mereka memasuki perkampungan yang banyak di huni oleh golongan orang orang Eta. Dari uraian beberapa kelas sosial yang ada dalam masyarakat Jepang, meskipun petani berada dalam kelas yang berada langsung di bawah Samurai dan di atas Chounin, namun kaum petani Jepang pada kenyataannya merupakan kelas yang paling menderita dalam menanggung hidupnya. Mereka mendapat perlakuan yang tidak adil dari para penguasa negara, diantaranya dalam hal pembayaran pajak yang sangat tinggi. Kaum petani tidak mendapatkan penghargaan yang layak seperti kelas-kelas sosial lainnya. Padahal kaum petanilah yang menjadi tulang punggung para penguasa negara dan kelas-kelas sosial lainnya.

2.2 Pertanian dan Petani Jepang Sebelum Perang Dunia II Sebagai petani sejak zaman kuno, rakyat Jepang selalu memanfaatkan tiap jengkal tanah yang dapat dikerjakannya. Ciri hidup petani Jepang zaman sebelum perang dapat di gambarkan sebagai petani yang bekerja sepanjang hari, tetapi hasil pertaniannya hanya cukup sekedar menunjang hidupnya yang sangat sederhana. Selain itu, petani sebelum perang juga diidentifikasikan dengan masyarakat yang miskin, memiliki keterbelakangan budaya, serta terikat oleh ideologi-ideologi yang dikembangkan kaum feodal (Nohonshugi). Nohonshugi menanamkan pada diri para petani yaitu suatu pandangan bahwa walaupun hidup sebagai petani itu berat dan penuh kesengsaraan tetapi pengorbanan petani tidaklah sia-sia karena pertanian merupakan ujung tombak dari negara dan masyarakat Jepang. Sebenarnya para petani sadar dan mengerti betapa tidak menguntungkannya pekerjaan sbagai petani, tetapi ideologi ini membantunya untuk bertahan. Ideologi ini digunakan oleh kaum feodal Jepang dengan tujuan membius para petani agar tidak menuntut atas perbaikan hidup mereka. Sejak awal zaman Meiji sampai Perang Dunia II (1868-1912), lebih dari 80% penduduk adalah petani dan pertanian merupakan pekerjaan bagi 5,5 juta keluarga petani Jepang. Jumlah petani sebagai pemilik tanah pada umumnya tidak lebih dari sepertiga jumlah keseluruhan petani dan 70% adalah lahan garapan yang di sewa dari tuan tanah dengan pajak yang sangat tinggi. Luas rata-rata lahan garapan yang di kerjakan pun tidak lebih dari 1 hektar. Apabila lahan hanya 1 hektar atau kurang, maka hampir tidak mungkin keluarga tani itu hidup hanya dari hasil pertanian lahan tersebut. Untuk itu, agar dapat bertahan hidup petani semacam itu terpaksa mencari pekerjaan lain di luar pertanian yang menghasilkan

pendapatan tunai. Sehingga, pada akhir masa sebelum perang lebih dari setengah keluarga petani mempunyai pekerjaan lain disamping usaha pertaniannya (Fukutake, 1989:2-3). Ciri perorangan petani Jepang di bentuk dalam dunia kecil bersama adatistiadat serta nilai-nilai untuk melayani mereka yang mengatur dunia desa, yaitu tuan tanah dan petani pemilik tanah. Hubungan tuan tanah dan penyewa (buruh tani) merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur pertanian di Jepang sebelum perang. Pengaruh utama dari hubungan tuan tanah buruh tani ini adalah karena tanpa haknya buruh tani atas tanah yang dikerjakannya dan hak pemilik tanah yang tidak dapat di ganggu gugat. Dengan kata lain petani tidak memiliki hak tetap untuk terus menjadi penyewa tanah sehingga mau tidak mau petani harus tunduk kepada tuan-tuan tanah mereka. Tuan tanah merupakan golongan yang berkuasa yang menjadi raja atas lahan pertanian bagi masyarakat petani Jepang sebelum perang sedangkan, para petani adalah sasaran penindasan dari mereka. Tuan tanah zaman Meiji tidak ikut serta menggarap tanah, tetapi menjadi parasit melalui kekuasaannya dan mendapatkan keuntungan dari kerja keras para petani. Para tuan tanah juga tidak tertarik dalam hal penerapan teknologi baru di bidang pertanian karena mereka telah merasa beruntung memperoleh keuntungan dari menyewakan tanah dengan pajak yang tinggi kepada para petani penggarap/penyewa. Untuk itu, beban pajak yang tinggi ini telah menyebabkan banyak petani harus menerapkan hidup hemat yang ketat sehingga tidak mampu meningkatkan produktivitas mereka melalui mekanisasi.

Kerja keras merupakan cara hidup petani sebelum perang, namun betapapun ketat penghematan yang dilakukan, kondisi para petani sebelum perang tidak menjadi lebih baik. Satu-satunya jalan untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan cara meningkatkan pemakaian pupuk serta memperbaiki pembibitan tanaman. Meskipun luas lahan yang diolah tidak bertambah, tetapi apabila produktivitasnya naik maka tingkat hidup keluarga tani akan naik, sehingga antara tahun 1880-an sampai kira-kira tahun 1915, hasil panen padi (bahan makanan pokok) di Jepang naik sebesar 50%. Tetapi, di tahun-tahun berikutnya kenaikan produktivitas ini menjadi kurang berarti oleh turunya harga-harga hasil pertanian dan naiknya taraf hidup. Karena taraf hidup selalu meningkat, mereka terpaksa menanamkan lebih banyak tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitasnya. Namun, tambahan kecil dari pendapatan peningkatan produktivitas, serta ketatnya upaya penghematan yang dilakukan para petani ini, sama sekali tidak berarti untuk dapat mengeluarkan mereka dari belenggu kemiskinan dan penindasan tuan tanah sebelum Perang Dunia II terjadi. 2.2.1 Kebijakan Pemerintah Pada zaman Edo (feodalisme akhir), di bawah perintah Keshogunan Tokugawa (sistem pemerintahan daerah) merupakan pemerintahan diktator militer feodalisme yang pendiri awalnya adalah Ieyasu Tokugawa. Pada zaman ini, kaisar tidak mempunyai kekuasaan pemerintahan. Di daerah juga ada 165 kepala wilayah, yang diberi otonomi oleh pemerintah Tokugawa untuk mengatur dalam wilayahnya. Daerah tidak membayar kepada pemerintah pusat, tetapi sistem feodal diatur sedemikian rupa sehingga harta terpusat ke tangan pedagang

terutama pedagang wilayah Edo, sehingga Tokugawa tidak sulit mengumpulkan dana apabila dibutuhkan Situmorang (2009:85). Tepat pada tanggal 24 Maret 1603 Ieyasu Tokugawa diangkat sebagai Shogun pada zaman Edo. Untuk mempertahankan kekuasaannya Tokugawa membuat berbagai kebijakan. Diantaranya, Sakoku (menutup diri) yaitu kebijakan menutup diri dari luar negeri, dan Sankinkoutai yaitu kebijakan bahwa setiap Daimyo harus membuat tempat tinggal keluarganya di Edo. Oleh karena itu para Daimyo wajib tinggal selang 6 bulan di Edo dan 6 bulan lagi tinggal di wilayah kedaimyoannya. Akibat dari kebijakan Sankinkoutai tersebut, dimana untuk membiayai keluarga Daimyo yang tinggal di Edo dan untuk perjalanan para Bushi (Samurai) ke Edo ini telah memakan biaya yang tidak sedikit, sedangkan penghasilan utama yang dapat di harapkan adalah dari hasil pertanian (padi). Di tambah besarnya pajak pertanian zaman Edo yang mencapai 60% dari hasil panen sedangkan para petani hanya mendapat 40% dari hasil panennya ini semakin membuat para petani zaman Edo semakin terbebani. Bagi petani juga ada peraturan yang dinamakan Katanagari dimana larangan memiliki senjata atau pedang agar tidak ada usaha destruktif yang berasal dari para petani. Selain itu, sistem kelas masyarakat pada zaman Edo di tandai dengan pengawasan yang sangat ketat. Dimana setiap kelas tidak diperbolehkan pindah ke kelas masyarakat lainnya. Oleh karena itu, karena berbagai peraturan ini dilaksanakan secara ketat, maka pada zaman ini adalah zaman yang penuh dengan ketenangan, tetapi rakyat pada zaman ini khususnya para petani sangatlah menderita Situmorang (2009:20)..

Setelah Restorasi Meiji kekuasan pemerintahan dikembalikan kepada Kaisar. Restorasi Meiji menandai mulainya perubahan dari masyarakat feodal menuju ke masyarakat kapitalis. Ibukota Edo pun telah berubah menjadi Tokyo. Zaman Meiji Jepang adalah satu masa pemerintahan Jepang dari tahun 1868 sampai dengan 1912 yang ditandai dengan perubahan besar-besaran di semua bidang kehidupan masyarakat. Upeti-upeti tahunan zaman feodal yang di wajibkan kepada petani sebagai pajak tanah berupa hasil panen pun telah diubah dengan pajak tanah berupa uang tunai. Tentu saja hal ini membuat para petani zaman Meiji dilanda oleh kemiskinan yang lebih parah lagi. Namun, perubahan paling utama adalah di bukanya kembali negara Jepang terhadap bangsa-bangsa asing sehingga, kaisar pun mulai meningkatkan ekonomi dan politik Jepang dengan cara mencari ilmu dari seluruh dunia. Di samping itu, pemerintahan Meiji ingin mengadakan pembaharuan dalam merubah Jepang dari negara pertanian menjadi negara industri. Oleh kerena itu, pada masa restorasi Meiji ini ditandai dengan menjelmanya Negara Jepang sebagai negara yang kuat dan modern. Selain itu, atas dasar pemikiran Shimin byoudou (kesetaraan rakyat), pemerintah Meiji pun mulai menghapus golongan/sistem kelas yang ada pada masyarakat feodal. Penghapusan sistem kelas lapisan masyarakat Jepang ini ternyata berguna untuk merangsang hasrat rakyat dalam meningkatkan statusnya, sehingga usaha-usaha untuk menaiki tangga sosial ini mendorong terjadinya perkembangan ekonomi Jepang.

2.2.2 Teknik Pertanian Petani Jepang sebelum perang sangat bergantung pada tenaga kerja manusia dan ternak, sedangkan mesin pertanian masih sangat sedikit jumlahnya. Pertanian yang dilaksanakan di Jepang sampai dengan masa Tokugawa adalah pertanian tradisional dengan produksi minim. Dalam pertanian tradisional, produksi pertanian dan konsumsi sama banyaknya dan hanya satu atau dua macam tanaman saja yang merupakan sumber pokok bahan makanan. Produksi dan produkivitas rendah karena hanya menggunakan peralatan yang sangat sederhana/tradisional. Penggunaan modal sangat sedikit sekali, sedangkan tanah dan tenaga kerja manusia merupakan faktor produksi yang dominan. Beban pajak yang tinggi serta ketatnya hidup hemat yang di lakukan oleh petani Jepang sebelum perang adalah alasan mereka untuk enggan mengadopsi teknologi mekanisasi di bidang pertanian. Dalam keadaan yang demikian, kekuatan motivasi utama dalam kehidupan para petani ini bukanlah meningkatkan penghasilan, tetapi sekedar untuk mempertahankan kehidupan keluarganya saja. Satusatunya jalan untuk memperbaiki tingkat hidupnya adalah dengan cara bekerja keras, meningkatkan pemakaian pupuk, serta memperbaiki pembibitan tanaman yang bukan melalui sistem teknologi mekanisasi. Pada akhir 1920-an beberapa lahan pertanian pun telah mendapatkan mekanisasi, yang hanya terbatas dengan menggunakan mesin-mesin pemipil padi bertenaga kecil. Proses lainnya kecuali yang dapat dilakukan dengan bantuan kuda atau keledai, masih terbatas pada cara produksi yang dilakukan dengan tangan. Sehingga pada masa sebelum perang pertanian di nilai belum mampu keluar dari tahap perkembangan teknologi mekanisasi tersebut.

2.2.3 Pendapatan Petani Pada tahun 1934-1936 petani pemilik tanah rata-rata menggunakan 49% pendapatannya untuk bahan pangan, petani penggarap menggunakan 52%, sedangkan buruh tani 57%. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata sebagian besar petani sebelum perang, telah menggunakan separuh dari pendapatannya untuk membeli bahan pangan. Konsumsi untuk hal-hal yang tidak mendukung keperluan hidup fisiknya dianggap tidak penting. Mereka juga sangat beralasan untuk menerapkan hidup hemat yang sangat ketat karena sebagian besar para petani sebelum perang sangat menggantungkan pendapatannya hanya dari pertanian dan hanya 31% keluarga tani saja yang mempunyai sebagian kecil pendapatannya di luar pertanian. Beberapa tahun sebelum perang dunia, dalam tahun 1926 dan 1927 Biro Statistik Kabinet membuat survei pendapatan dan menunjukkan bahwa pada umumnya kemiskinan merata pada semua desa di Jepang pada waktu itu. Keluarga petani rata-rata berpendapatan 70% bagian dari penghasilan karyawan kantor dan 90% dari pendapatan buruh pabrik yang tidak diberi upah wajar. Keluarga petani adalah faktor yang membuat pendapatan per kapitanya menjadi kecil. Karena pada umumnya keluarga petani itu lebih besar daripada keluarga buruh pabrik, maka perbandingan penghasilan per kapita keluarga petani menjadi lebih rendah. 2.2.4 Gaya Hidup Petani Sebelum Perang Dunia II sangatlah mudah membedakan anak desa dengan anak kota hanya dengan melihat dari cara berpakaiannya saja. Hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat desa/petani sangat identik dengan kemiskinan. Hidup sederhana, kerja keras dan kesenjangan dalam gaya hidup merupakan akibat dari sistem stratifikasi sosial. Petani sebelum Perang Dunia II sangat beralasan untuk menerapkan hidup hemat yang ketat namun, begitu keras upaya penghematan yang telah dilakukan para petani ini tidak dapat mengubah kondisi kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Sikap hidup hemat sebagai keutamaan tertinggi ini telah membatasi petani dalam berbagai hal. Gaya hidup pada kebiasaan makan, khususnya pada bumbu-bumbu hanya terbatas pada kecap dan tauco saja dan cara memasaknya pun dengan cara tradisional yaitu dengan menggunakan tungku tanah serta bambu sebagai alat untuk memperbesar api. Sedangkan untuk mencari sumber air, mereka biasanya menggunakan ember demi ember melalui jalan yang sulit ditempuh dari sumur ke dapur. Pada bidang rekreasi sebelum perang, biasanya hanya terbatas pada tarian rakyat dalam pesta tahunan Bon dan perayaan Shinto yang relatif sering diadakan. Di desa, tuan tanah dan para petani, mempunyai gaya hidup masing-masing yang bertahan sampai akhir Perang Dunia II. Apabila tuan tanah membeli barangbarang rumah tangga seperti, radio, televisi, mesin cuci dan lemari es, para petani penggarap menganggap bahwa tuan tanah sudah selayaknya memiliki barangbarang mewah tersebut. Petani berstatus pemilik mungkin dapat membeli barang seperti itu namun, bagi petani penggarap/penyewa sebagai petani tingkat paling rendah, pembelian barang-barang mewah seperti itu sama sekali di luar batas impiannya. Keadaan ini terus berlangsung dan tidak ada perubahan yang berarti sampai mereka menunggu sistem tuan tanah itu benar-benar hancur, yang baru terjadi sesudah Perang Dunia II dan adanya land reform.