BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STRUKTUR APBD DAN KODE REKENING

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

KEBIJAKAN LRA A. TUJUAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG POKOK POKOK PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukan penelitian terlebih dahulu yang hasilnya seperti berikut : Peneliti Judul Variabel Hasil

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB II KAJIAN TEORI. pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi. rencana pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan yang diukur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB III PENGELOLAAN KEUANGAN DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2017

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) (Yuwono, 2008: 85).

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH

BAB V PENDANAAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 37 TAHUN 2008 TENTANG

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BUPATI MOJOKERTO PROVINSI JAWA TIMUR

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

3.2. Kebijakan Pengelolalan Keuangan Periode

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Keuangan Daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. II.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

PEDOMAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) KABUPATEN PASURUAN TAHUN ANGGARAN 2016

Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

BAB 1 PENDAHULUAN. diartikan sebagai hak, wewenwang, dan kewajiban daerah otonom untuk

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN JEMBRANA TAHUN ANGGARAN 2014

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

-1- KEBIJAKAN AKUNTANSI PENDAPATAN-LRA, BELANJA, TRANSFER DAN PEMBIAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURANDAERAH KOTABATU NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2016

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

BAB III Gambaran Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kerangka Pendanaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pembentukan pemerintahan di daerah pada prinsipnya adalah untuk lebih memberdayakan peran serta pemerintah dan masyarakat di daerah dalam pembangunan wilayah. Mardiasmo (2004:59) menyatakan bahwa tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada UU No.17 Tahun 2003 Pasal 16 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa: 1. APBD merupakan pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan peraturan Daerah. 2. APBD terdiri atas Anggaran Pendapatan, Anggaran Belanja, dan Pembiayaan. 3. Pendapatan Daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah. 4. Belanja Daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Menurut Permendagri No.32 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 1 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2009 menyebutkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Menurut Permendagri No.13 Tahun

2006 Pasal 22 ayat 1, struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari: Pendapatan Daerah, Belanja Daerah, dan Pembiayaan Daerah. Menurut Halim (2001:245) APBD merupakan rencana kerja pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk uang (rupiah) selama periode waktu tertentu (satu tahun) serta merupakan salah satu instrument utama kebijakan dalam upaya peningkatan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat didaerah. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Menurut Erlina (2008:23) laporan realisasi anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu periode pelaporan. Pertanggung jawaban keuangan daerah merupakan tanggung jawab kepala daerah atas pelaksanaan APBD sebagaimana dalam UU No.17 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005. Pada UU No.17 pasal 6 Tahun 2003 presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan itu antara lain: diserahkan kepada bupati selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola kauangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan

daerah yang dipisahkan. Penganggaran memerlukan kerjasama para pimpinan satuan kerja dalam organisasi pemerintahan. Struktur organisasi satuan kerja menunjukkan tanggungjawab setiap pelaksana anggaran. Setiap pelaksana bertanggungjawab untuk menyiapkan dan mengelola elemen anggarannya masing - masing. Kepala SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) selaku Pengguna Anggaran menyusun Laporan Keuangan sebagai pertanggungjawaban pelaksanaan APBD pada Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan. Laporan keuangan tersebut harus disampaikan oleh Kepala SKPD kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) selaku Bendahara Umum Daerah yang menyusun laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan daerah. Laporan Keuangan tersebut oleh PPKD disampaikan kepada gubernur/bupati/walikota untuk memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Selanjutnya laporan keuangan pemerintah daerah ini disampaikan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, gubernur/ bupati/walikota memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian terhadap laporan keuangan serta koreksi lain berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Selanjutnya, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menyusun rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, yang harus disampaikan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selambatlambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, Pemerintah Daerah tidak hanya diwajibkan

untuk menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan, tetapi juga harus membuat Laporan Kinerja, yang berisi ringkasan tentang keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari masing-masing program sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan APBD. Jadi, laporan keuangan pemerintah daerah beserta rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, dilampiri dengan ikhtisar laporan realisasi kinerja dan ikhtisar laporan keuangan Pemerintah Daerah. Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, untuk tingkat pemerintah provinsi disampaikan kepada menteri keuangan, dan untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota disampaikan kepada gubernur. Teori tradisional keuangan publik merupakan peran utama pada desentralisasi fiskal. Empat elemen dasar pemerintah daerah menggunakan sumber pendapatan daerahnya. Pertama, pemerintah daerah memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Kedua, pemerintah daerah memberikan penyediaan layanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, pemerintah daerah menggunakan anggaran untuk memberikan penyediaan layanan publik yang efisien. Dan keempat, desentralisasi dapat mendorong melakukan inovasi untuk kebijakan publik. Teori tentang desentralisasi fiskal sudah ada sejak abad ke-17 dan ke-18. Pemerintah pusat sedikit tidak percaya, pemerintah demokratis dipandang sebagai harapan utama untuk melindungi kebebasan setiap manusia. Ada dua uraian pendukung pemerintah yang terdesentralisasi yaitu nilai efisiensi dan menilai pemerintahan. Nilai efisiensi dipandang sebagai maksimalisasi kesejahteraan sosial.

Sektor publik tidak mengandung penetapan harga yang sama seperti sektor swasta, untuk mengatur penawaran dan permintaan. Alokasi sektor publik untuk barang dan jasa sudah menjadi politik, tetapi seteliti mungkin pelayanan pajak harus mencerminkan pengumpulan preferensi anggota masyarakat. Pemerintahan harus responsif, akuntabilitas, dan membuat keputusan daerah tentang masalah-masalah dan kebutuhan daerah. Akuntabilitas melalui pemilu daerah yang cenderung didorong oleh alokasi daerah, sedangkan pemilu pemerintah pusat jarang difokuskan pada penyediaan layanan daerah. Desentralisasi fiskal adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, fungsi khusus dengan kewenangan administratif dan pendapatan fiskal. Para ekonom umumnya berfokus pada efisiensi dan ekuitas, sedangkan administrasi publik cenderung berfokus pada kekuasaan dan akuntabilitas. Pemerintah pusat memberikan tanggung jawab dan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam penentuan setiap program atau kegiatan daerah. Penentuan pada output daerah dengan sistem terpusat terjadi melalui keputusan dari legislatif pusat. Desentralisasi fiskal dapat menghasilkan kesejahteraan dimana biaya penyediaan layanan publik bervariasi dengan tuntutan yang diberikan, biaya berbeda akan menghasilkan perbedaan tingkat efisien pada output. Mengukur kesejahteraan dari desentralisasi fiskal dengan memaksimalkan jumlah surplus dari penyediaan pelayanan publik yang baik. Alasan membentuk desentralisasi fiskal antara lain: untuk membangun kapasitas daerah, pemerintah pusat mendelegasikan tanggung jawab kepada

pemerintah daerah. Pemerintah daerah membantu pemerintah pusat dalam pembangunan daerah. Dan pemimpin daerah yang menuntut otonomi yang lebih dan kekuasaan perpajakan bersama dengan tanggung jawab pengeluaran daerah. Dalam membangun akuntabilitas untuk belanja daerah, pemerintah daerah harus mengontrol sendiri sumber pendapatan yang cukup untuk memungkinkan beberapa pertimbangan dalam pencocokan kebutuhan daerahnya. Pada UU No.17 Tahun 2003 Pasal 10 Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh kepala daerah satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat APBD. Dan dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah. Bentuk dan struktur APBD menurut permendagri No.59 Tahun 2007 dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Tabel 2.1. Bentuk Dan Struktur Anggaran Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota No I 1 2 3 Uraian PENDAPATAN Pendapatan Asli Daerah Pajak Daerah Retribusi Daerah Bagian Laba Usaha Daerah Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Khusus Dana Perimbangan dari Propinsi Lain-lain Pendapatan yang Sah Anggaran (Rp) Realisasi (Rp) Jumlah Pendapatan

Lanjutan Tabel 2.1. II BELANJA 1 Belanja Tidak Langsng Belanja Pegawai Belanja Bunga Belanja Subsidi Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Bantuan Keuangan 2 Belanja Langsng Belanja Pegawai Belanja Barang dan Jasa Belanja Modal II 1 2 Jumlah Belanja Surplus/(Defisit) PEMBIAYAAN Penerimaan Pembiayaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Lalu Pencairan Dana Cadangan Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yg Dipisahkan Penerimaan Pinjaman Daerah Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman Penerimaan Piutang Daerah Pengeluaran Pembiayaan Pembentukan Dana Cadangan Investasi Pemda Pembayaran Pokok Utang Pemberian Pinjaman Daerah Jumlah Pembiayaan Sumber: Mardiasmo (2004:164-165). Otonomi Manajemen dan Keuangan Daerah Yogyakarta: Andi. 2.1.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Permendagri No.32 Tahun 2008, dalam upaya peningkatan PAD, agar tidak menetapkan kebijakan yang memberatkan dunia usaha dan masyarakat. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui penyederhanaan sistem dan prosedur administrasi pemungutan pajak dan retribusi daerah, meningkatkan ketaatan wajib

pajak dan pembayar retribusi daerah serta meningkatkan pengendalian dan pengawasan atas pemungutan PAD yang diikuti dengan peningkatan kualitas, kemudahan, ketepatan dan kecepatan pelayanan. Secara teoritis pengukuran kemandirian daerah diukur dari PAD. Sesuai dengan UU No.33 Tahun 2004 disebutkan bahwa PAD terdiri dari: pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Namun di dalam perkembangan selanjutnya, diantara semua komponen PAD, pajak dan retribusi daerah merupakan penyumbang terbesar, sehingga muncul anggapan bahwasanya PAD identik dengan pajak dan retribusi daerah. Halim (2007:96) menyatakan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Yani (2008:44) menjelaskan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah diperoleh dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, Dan Lain-lain PAD yang sah. 2.1.2.1. Pajak Daerah Halim (2007:96) menyatakan Pajak Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang berasal dari pajak. Lebih lanjut Simanjuntak (2003:32) menyatakan bahwa Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dipungut oleh daerah-daerah seperti propinsi, kabupaten maupun kotamadya berdasarkan peraturan daerah masing-masing dan hasil

pemungutannya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerahnya masingmasing. Kesit (2003:2) menyatakan bahwa Pajak Daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan Berdasarkan undang-undang yang berlaku, yang hasilnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pajak Kabupaten/Kota yang dipungut terdiri dari: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, dan pajak pengambilan bahan galian golongan C. Dalam UU No.34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, jenis-jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan pajak parkir. 2.1.2.2. Retribusi Daerah Pemungutan retribusi dibayar langsung oleh mereka yang menikmati suatu pelayanan, dan biasanya dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagai dari biaya pelayanannya. Besarnya retribusi seharusnya (lebih kurang) sama dengan nilai layanan yang diberikan. Mardiasmo (2004:141) retribusi daerah terdiri dari: retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perijinan tertentu. Koswara (2001:191) menjelaskan bahwa retribusi daerah adalah imbalan atas pemakaian atau manfaat yang diperoleh secara langsung seseorang atau badan atau jasa layanan, pekerjaan, pemakaian barang, atau izin yang diberikan oleh pemerintah

daerah. Sedangkan Simanjuntak (2003:34) menyatakan bahwa retribusi daerah merupakan iuran rakyat kepada pemerintah berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan mendapat jasa balik atau kontra prestasi dari pemerintah yang secara langsung ditunjuk. Dalam UU No.34 Tahun 2000, jenis retribusi terdiri dari: 1. Retribusi Jasa Umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan. Misalnya: retribusi pelayanan kesehatan, persampahan, akta catatan sipil, KTP, dll. 2. Retribusi Jasa usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan oleh swasta dan atau penyewaan aset/kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan misalnya: retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong hewan, dll. 3. Retribusi Perijinan Tertentu yang merupakan pungutan yang dikenakan sebagai pembayaran atas pemberian ijin untuk melakukan kegiatan tertentu yang perlu dikendalikan oleh daerah misalnya: ijin pengambilan hasil hutan, pengelolaan hutan, dll. 2.1.2.3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan Menurut Yani (2008:45) jenis pendapatan yang termasuk hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, antara lain bagian laba, dividen, dan penjualan saham milik daerah. UU No.33 Tahun 2004, jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dapat dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup bagian laba atas

penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/bumn. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/bumn dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. 2.1.2.4. Dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah Jenis Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah sesuai UU No.33 Tahun 2004 disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang antara lain : hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan secara tunai atau angsuran/cicilan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah, penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagaimana akibat dari penjualan atau pengadaan barang dan jasa oleh daerah, penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. 2.1.3. Dana Perimbangan Menurut Permendagri No.32 Tahun 2008, dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, kepada daerah diberikan Dana Perimbangan melalui APBN yang bersifat transfer dengan prinsip money follows function. Salah satu tujuan pemberian Dana Perimbangan tersebut adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dengan daerah dan antar daerah, serta meningkatkan kapasitas daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah.

Pada aspek hubungan pemerintahan pusat dan daerah ini Elmi (2002:55) mengungkapkan bahwa dengan adanya kebijakan tersebut diharapkan akan terjadi pembagian keuangan yang adil dan rasional. Artinya bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam akan memperoleh bagian pendapatan yang jumlahnya lebih besar sedangkan daerah-daerah lainnya akan mengutamakan bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). UU No.33 Tahun 2004 pada Pasal 1 ayat 19, menjelaskan Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dan Pasal 10 ayat 1 menjelaskan dana perimbangan terdiri atas: Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. 2.1.3.1. Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Menurut UU No.33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Menurut Elmi (2002:56) dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah yaitu pembagian hasil penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) dan penerimaan perpajakan (tax sharing). Termasuk dalam pembagian hasil perpajakan adalah: Pajak Perseorangan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sedangkan pembagian hasil penerimaan dari SDA berasal dari: minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. 2.1.3.2. Dana Alokasi Umum (DAU) Menurut UU No.33 Tahun 2004, Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiscal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi daerah dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil. Jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah yang dimaksud adalah gaji pokok ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan sesuai peraturan penggajian pegawai negeri sipil termasuk didalamnya tunjangan beras dan tunjangan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 21). DAU disalurkan dengan cara pemindahanbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening umum daerah. Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu per dua belas) dari alokasi DAU daerah yang bersangkutan yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan.

2.1.3.3. Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dana Alokasi Khusus merupakan bagian dari dana perimbangan sesuai dengan UU No.33 Tahun 2004. Yani (2008:172) menyatakan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas daerah. Dan DAK dialokasikan untuk membantu daerah mendanai kebutuhan fisik sarana dan prasarana yang merupakan prioritas nasional dibidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur (jalan, irigasi, dan air bersih), kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintahan daerah, serta lingkungan hidup. Pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau dibawah rata-rata nasional. Kemampuan fiskal daerah didasarkan pada selisih antara realisasi penerimaan umum daerah dengan belanja pegawai negeri sipil daerah pada APBD tahun anggaran. 2.1.4. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan pendapatan daerah yang tidak termasuk dalam kelompok pendapatan asli daerah dan dana perimbangan. Yani (2008:211-212) menyatakan bahwa cakupan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah terdiri dari:

1. Hibah yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat. 2. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan bencana alam. 3. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota 4. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah. 5. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya. Menurut UU No.32 Tahun 2004 Pasal 164, menyebutkan bahwa Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan seluruh Pendapatan Daerah selain PAD dan Dana Perimbangan, yang meliputi Hibah, Dana Darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah. 2.1.5. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kinerja merupakan gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan, visi dan misi suatu organisasi (Bastian, 2006:117). Pengukuran kinerja pemerintah daerah dapat diukur dengan menilai efisiensi atas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat (Moore, 2003). Penilaian efisiensi sangat penting dilakukan karena akan berdampak pada standar hidup masyarakat. Penghitungan rasio efisiensi yaitu: Efisiensi = Realisasi pengeluaran Realisasi penerimaan

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara output dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Semakin kecil rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Dalam hal ini dengan mengasumsikan bahwa pengeluaran yang dibelanjakan sesuai dengan peruntukkannya dan memenuhi dari apa yang direncanakan. Pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dan seminimal mungkin. Suatu kegiatan dikatakan efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output) maksimal dengan menggunakan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan. Pengelolaan keuangan yang efisien akan meningkatkan kualitas akan pengambilan keputusan sehingga bila keputusan yang diambil berkualitas akan meningkatkan kinerja keuangan pemerintah daerah. Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi pengeluaran dan realisasi penerimaan dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut, maka penilaian kinerja keuangan dapat ditentukan (Medi, 1966 dalam Budiarto, 2007). Apabila kinerja keuangan diatas 100% ke atas dapat dikatakan tidak efisien, 90% - 100% adalah kurang efisien, 80% - 90% adalah cukup efisien, 60% - 80% adalah efisien dan dibawah dari 60% adalah sangat efisien. Efisiensi mempunyai dua makna yaitu: Kinerja suatu program atau kegiatan sangat baik. Dan dampak yang maksimum berkaitan dengan sumber daya yang dialokasikan. Pengukuran efisiensi dalam organisasi sektor publik merupakan hal yang penting, hal ini dikarenakan kurangnya net income sebagai gambaran akan kinerja keuangan pemerintah daerah saat ini. Suatu kegiatan dikatakan efisien jika

pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output) maksimal dengan menggunakan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan. Pengelolaan keuangan yang efisien akan meningkatkan kualitas akan pengambilan keputusan sehingga bila keputusan yang diambil berkualitas akan meningkatkan kinerja keuangan pemerintah daerah. Anggaran daerah dipergunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan, pengeluaran, dan pembiayaan, alat bantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan. Kinerja yang terkait dengan anggaran merupakan kinerja keuangan daerah berupa perbandingan antara penerimaan dan pengeluaran yang terdapat pada realisasi anggaran. Kinerja merupakan pencapaian atas apa yang direncanakan, apabila pencapaian sesuai dengan yang direncanakan, maka kinerja yang dilakukan terlaksana dengan baik. Untuk menilai kinerja digunakan ukuran penilaian berdasarkan indikator sebagai berikut : a) Masukan (input) adalah tolak ukur kinerja berdasarkan besaran sumber dana yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan; b) Keluaran (output) adalah tolak ukur kinerja berdasarkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan; c) Hasil (outcame) adalah tolak ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dicapai berdasarkan tingkat keluaran program atau kegiatan yang sudah dilaksanakan.

2.1.6. Belanja Daerah Menurut Kepmendagri No.29 Tahun 2002 Pasal 1 huruf q, Belanja Daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Menurut UU No.32 Tahun 2004, Belanja Daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Halim (2007:322) menyatakan bahwa Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah mengurangi nilai kekayaan bersih. Lebih lanjut Yuwono dkk, (2005:108) menyatakan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah atau kewajiban yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Belanja daerah terdiri dari belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung adalah bagian belanja yang dianggarkan terkait langsung dengan pelaksanaan program. Belanja langsung terdiri dari: belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah dan telah dianggarkan oleh pemerintah daerah. Sedangkan belanja tidak langsung adalah bagian belanja yang dianggarkan tidak terkait langsung dengan pelaksanaan program. Belanja tidak langsung terdiri dari: belanja pegawai, belanja bunga, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil kepada propinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.

Menurut Yani (2008:375-377) Belanja Daerah terdiri dari: 1. Belanja Pegawai Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang, sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh: gaji dan tunjangan, honorium, lembur, kontribusi sosial, dan lain-lain. 2. Belanja Barang dan Jasa Belanja barang dan jasa digunakan untuk pembelian barang dan jasa yang habis pakai guna memproduksi barang dan jasa. Contoh: pembelian keperluan kantor, jasa pemeliharaan, dan ongkos perjalanan dinas. 3. Belanja Modal Pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan, dan hewan. 4. Bunga Pembayaran bunga utang, pembayaran yang dilakukakan atas kewajiban penggunaan pokok utang (principal outstanding), yang dihitung berdasarkan posisi pinjaman jangka pendek atau jangka panjang. Contoh: bunga utang kepada pemerintah pusat, bunga utang kepada Pemda lain, dan lembaga keuangan lainnya.

5. Subsidi Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/lembaga tertentu yang bertujuan untuk membantu biaya produksi agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak. 6. Hibah Hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian uang/barang atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus. 7. Bantuan sosial Yang dimaksud disini adalah pemberian bantuan yang sifatnya tidak secara terusmenerus dan selektif dalam bentuk uang/barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Contoh: bantuan partai politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 8. Belanja Bantuan Keuangan Belanja bantuan keuangan diberikan kepada daerah lain dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan. Contoh: bantuan keuangan provinsi kepada kabupaten/kota/desa.

2.1.7. Pentingnya Anggaran Sektor Publik dan Kelemahan Anggaran Menurut Mardiasmo (2002:63) Anggaran sektor publik penting karena beberapa alasan, yaitu: 1. Anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. 2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas. 3. Anggaran diperlukan untuk menyakinkan bahwa pemerintah daerah telah bertanggung jawab terhadap rakyat. Selain anggaran sektor publik penting, menurut Nafarin (2004: 16) anggaran juga memiliki kelemahan antara lain: 1. Anggaran dibuat berdasarkan taksiran dan asumsi sehingga mengandung unsur ketidakpastian. 2. Menyusun angaran yang cermat memerlukan waktu, uang, dan tenaga yang tidak sedikit, sehingga tidak semua instansi pemerintah mampu menyusun anggaran secara lengkap dan akurat. 3. Pihak yang merasa dipaksa untuk melaksanakan anggaran dapat menentang, sehingga pelaksanaan anggaran dapat menjadi kurang efektif.

2.2. Review Penelitian Terdahulu Abdullah dan Halim (2006) meneliti tentang Studi Atas Belanja Modal Pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Hubungannya Dengan Belanja Pemeliharaan Dan Sumber Pendapatan. Hasil penelitiannya Belanja Modal berasosiasi positif terhadap Belanja Pemeliharaan dan menunjukkan bahwa hubungan asosiatif antara belanja modal dan pemeliharaan adalah robust. Sumber pendapatan daerah berupa dana perimbangan berasosiasi positif terhadap Belanja Modal, sementara PAD tidak. Khairani (2008) meneliti tentang Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Aparatur dan Belanja Pelayanan Publik pada Pemerintah Daerah (Studi Empiris Kabupaten/ Kota di Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung). Hasil penelitiannya DAU dan PAD yang diuji secara terpisah berpengaruh terhadap Belanja Aparatur dan Belanja Publik. Namun ketika diuji secara serentak pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Aparatur menunjukkan hasii yang signifikan. Hal itu berarti tidak terjadi flypaper effect. Sedangkan untuk pengujian pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Publik menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Yudani (2008) meneliti tentang Desentralisasi Fiskal Dalam Hubungannya Dengan PAD Dan Belanja Pembangunan Dilingkup Propinsi Bali. Hasil penelitiannya adanya pengaruh positif pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui komponen dana perimbangan terhadap pendapatan asli daerah tetapi tidak dengan komponen lain-lain pendapatan. Terhadap belanja pembangunan hanya komponen pendapatan asli daerah yang berpengaruh positif terhadap belanja pembangunan,

sementara dana perimbangan dan lain-lain pendapatan tidak. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat ketergantungan sumber penerimaan dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan untuk kabupaten/kota yang ada di lingkup propinsi Bali. Andirfa (2009) meneliti tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Empiris Pada Kabupaten/ Kota Pemerintah Aceh). Hasil penelitian menunjukkkan bahwa Pertumbuhan Ekonomi, PAD, Dana Perimbangan, Lain-Lain Pendapatan Yang Sah Mempunyai hubungan sangat kuat dengan Pengalokasian Anggaran Balanja Modal. Secara parsial dan simultan PDRB, PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Sari dan Yahya (2009) meneliti tentang Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Langsung pada Pemerintah/Kota di Propinsi Riau. Hasil penelitian Secara Parsial Dana Alokasi umum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Belanja langsung sedangkan Pendapatan Asli Daerah menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan tethadap Belanja Langsung. Dan secara simultan Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung.

Tabel 2.2. Review Penelitian Terdahulu Peneliti/ Tahun Syukriy Abdullah dan Abdul Halim (2006). Siti Khairani (2008) Yudani, Ni Nengah (2008) Judul Penelitian Studi Atas Belanja Modal Pada Anggaran Pemerintah Daerah Dalam Hubungannya Dengan Belanja Pemeliharaan Dan Sumber Pendapatan. Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Aparatur dan Belanja Pelayanan Publik pada Pemerintah Daerah (Studi Empiris Kabupaten /Kota di Provinsi Sematera Selatan dan Bangka Belitung). Desentralisasi Fiskal Dalam Hubungannya Dengan PAD Dan Belanja Pembangunan Dilingkup Propinsi Bali. Variabel yang digunakan Belanja Modal, Belanja Pemeliharaan, Dana Perimbangan, Pemerintah daerah, Anggaran Daerah. DAU, PAD, Belanja Aparatur, Belanja Publik, Flypaper effect. Desentralisasi Fiskal, Dana Perimbangan, Lain-lain Pendapatan, PAD, Belanja Pembangunan. Hasil Belanja Modal berasosiasi positif terhadap Belanja Pemeliharaan dan menunjukkan bahwa hubungan asosiatif antara belanja modal dan pemeliharaan adalah robust. Sumber pendapatan daerah berupa dana perimbangan berasosiasi positif terhadap Belanja Modal, sementara PAD tidak. DAU dan PAD yang diuji secara terpisah berpengaruh terhadap Belanja Aparatur dan Belanja Publik. Namun ketika diuji secara serentak pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Aparatur hasii yang signifikan. Hal itu berarti tidak terjadi flypaper effect. Sedangkan untuk pengujian pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Publik hasil yang tidak signifikan. Adanya pengaruh positif pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui komponen dana perimbangan terhadap pendapatan asli daerah tetapi tidak dengan komponen lain-lain pendapatan. Terhadap belanja pembangunan hanya komponen pendapatan asli daerah yang berpengaruh positif terhadap belanja pembangunan, sementara dana perimbangan dan lain-lain pendapatan tidak. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat ketergantungan sumber penerimaan dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan untuk kabupaten/kota yang ada di lingkup propinsi Bali.

Lanjutan Tabel 2.2. Mulia Pengaruh Pertumbuhan Andirfa Ekonomi, Pendapatan (2009) Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Empiris Pada Kabupaten/ Kota Pemerintah Aceh) Noni Pengaruh Dana Alokasi Puspita Sari Umum (DAU) dan dan Idhar Pendapatan Asli Daerah terhadap Yahya Belanja Langsung pada (2009) Pemerintah/Kota di Propinsi Riau. Pertumbuhan Ekonomi, PAD, Dana Perimbangan, Dan Lain-lain Pendaptan Yang Sah, Anggaran Belanja Modal. Dana Alokasi Umum (DAU), PAD, dan Belanja Langsung. Pertumbuhan Ekonomi, PAD, Dana Perimbangan, Lain-Lain Pendapatan Yang Sah Mempunyai hubungan sangat kuat dengan Pengalokasian Anggaran Balanja Modal. Secara parsial dan simultan PDRB, PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Secara Parsial Dana Alokasi umum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Belanja langsung sedangkan Pendapatan Asli Daerah menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan tethadap Belanja Langsung. Dan secara simultan Dana Alokasi Umum dan PAD secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung.