BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENDAPAT MAŻHAB ANAK LUAR NIKAH

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan

BAB IV NASAB DAN PERWALIAN ANAK HASIL HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH (INCEST) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

Kaidah Fiqh. Seorang anak dinasabkan kepada bapaknya karena hubungan syar'i, sedangkan dinasabkan kepada ibunya karena sebab melahirkan

BAB III KEDUDUKAN ANAK YANG DILAHIRKAN MELALUI PROSES KLONING. A. Kedudukan Anak Yang Dilahirkan Melalui Proses Kloning

Perzinahan dan Hukumnya SEPUTAR MASALAH PERZINAHAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP STATUS ANAK DARI PEMBATALAN PERKAWINAN

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

BAB IV ANALISIS TERHADAP ANAK TEMUAN (AL-LAQITH) MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

SIAPAKAH MAHRAMMU? 1

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAKAN ASUSILA DAN PENGANIAYAAN OLEH OKNUM TNI

BAB IV PARADIGMA SEKUFU DI DALAM KELUARGA MAS MENURUT ANALISIS HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELARANGAN NIKAH DIKALANGAN KIAI DENGAN MASYARAKAT BIASA DI DESA BRAGUNG KECAMATAN GULUK-GULUK KABUPATEN SUMENEP

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

BAB I PENDAHULUAN. kalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tumbuhan maupun hewan. Perkawinan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PELAKSANAAN PERNIKAHAN WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI KUA KECAMATAN CERME KABUPATEN GRESIK

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

Rasulullah SAW suri teladan yang baik (ke-86)

Fatawa Ar-Radha ah: Menyusu dengan Isteri Pertama Paman, Apakah Mahram dengan Anak Paman dari Isteri Kedua? (Asy- Syaikh Shalih Al-Fauzan)

BAB III ANALISIS. Pada dasarnya hukum islam tidak memberatkan umatnya. Akan tetapi

BAB III ANALISIS MASHLAHAH DAN MAFSADAH KETENTUAN KAWIN HAMIL DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM

SIAPAKAH MAHRAMMU? Mahram adalah orang yang haram untuk dinikahi karena hubungan nasab atau hubungan susuan atau karena ada ikatan perkawinan1)

Istri-Istri Rasulullah? Adalah Ibunya Orang-Orang Beriman

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

BAB V ANALISIS LEGISLASI ANAK LUAR NIKAH DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIQH

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

APAKAH ITU MAHRAM. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

BAB III DEFINISI IJBAR, DASAR HUKUM DAN SYARAT IJBAR. Kata ijbar juga bisa mewajibkan untuk mengerjakan. 2 Sedangkan Ijbar

TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA HUBUNGAN PERSUSUAN (Studi Kasus Putusan Nomor 0456/Pdt.G/2011/PA.Ska)

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

BAB IV ANALISIS URF TERHADAP PEMBERIAN RUMAH KEPADA ANAK PEREMPUAN YANG AKAN MENIKAH DI DESA AENG PANAS KECAMATAN PRAGAAN KABUPATEN SUMENEP

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH. A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

BAB V PENUTUP. A. Simpulan Perkawinan menurut Pasal 1 UU 1/1974 adalah ikatan lahir bathin

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MEJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG NASAB ANAK LUAR NIKAH

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

PROSES AKAD NIKAH. Publication : 1437 H_2016 M. Disalin dar Majalah As-Sunnah_Baituna Ed.10 Thn.XIX_1437H/2016M

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan pada dasarnya merupakan perilaku makhluk ciptaan. TuhanYang Maha Esa yang tidak hanya terbatas pada diri seorang manusia

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

BAB IV. PERSPEKTIF IMAM SYAFI'I TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN AGAMA GRESIK TENTANG CERAI GUGAT KARENA SUAMI MAFQU>D NO: 0036/PDT. G/2008/PA Gs.

FATWA TARJIH MUHAMMADIYAH HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

BAB V PEMBAHASAN. A. Praktek Dan Pemahaman Masyarakat Desa Pinggirsari Kecamatan Ngantru tentang Kafa ah Dalam Perkawinan

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

Pendidikan Agama Islam

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI BARANG SERVIS DI TOKO CAHAYA ELECTRO PASAR GEDONGAN WARU SIDOARJO

waka>lah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan

BAB IV. A. Analisis Terhadap Dasar Hukum yang Dijadikan Pedoman Oleh Hakim. dalam putusan No.150/pdt.G/2008/PA.Sda

BAB I PENDAHULUAN. berpasang-pasangan termasuk di dalamnya mengenai kehidupan manusia, yaitu telah

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

melakukan pernikahan tetap dikatakan anak. 1

Seorang Bapak Tidak Boleh Memaksa Putrinya Menikah

A. Analisis Implementasi Pemberian Mut ah dan Nafkah Iddah dalam Kasus Cerai Gugat Sebab KDRT dalam Putusan Nomor 12/Pdt.G/ 2012/PTA.Smd.

MENGENAL PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Oleh: Marzuki

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka rumusan kesimpulan yang

HUKUM MENIKAHI WANITA YANG SEDANG HAMIL (Bag-2)

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

PANDUAN ISLAMI DALAM MENAFKAHI ISTRI

dan kepada kaum perempuan (sesama) mereka (QS an-nur [24]: 31).

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ

BAB IV A. ANALIS HUKUM ISLAM TENTANG STATUS HAK WARIS. elemen masyarakat, bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan

Bab 26 Mengadakan Perjalanan Tentang Masalah Yang Terjadi dan Mengajarkan kepada Keluarganya

(الإندونيسية بالغة) Wara' Sifat

BAB IV ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI

BAB II KERJASAMA USAHA MENURUT PRESPEKTIF FIQH MUAMALAH. Secara bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilath (bercampur), yakni

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, baik hubungan dengan Allah swt. maupun hubungan dengan

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMAKSAAN MENIKAH MENURUT HUKUM ISLAM

Munakahat ZULKIFLI, MA

Siapakah Mahrammu? Al-Ustadz Abu Muhammad Dzulqarnain

Qawaid Fiqhiyyah. Niat Lebih Utama Daripada Amalan. Publication : 1436 H_2015 M

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN AKAD QARD\\} AL-H\}ASAN BI AN-NAZ AR DI BMT UGT SIDOGIRI CABANG WARU SIDOARJO

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

Penyuluhan Hukum Hukum Perkawinan: Mencegah Pernikahan Dini

BAB I PENDAHULUAN. yang wajar dan dalam ajaran nabi, pernikahan ditradisikan menjadi sunnah beliau. dan Anas melihatnya, dan beliau bersabda:

BAB III Rukun dan Syarat Perkawinan

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU- VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DI LUAR PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. bermakna perbuatan ibadah kepada Allah SWT, dan mengikuti Sunnah. mengikuti ketentuan-ketentuan hukum di dalam syariat Islam.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN WANITA HAMIL OLEH SELAIN YANG MENGHAMILI. Karangdinoyo Kecamatan Sumberrejo Kabupaten Bojonegoro

CONTOH IJTIHAD DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

KAIDAH FIQH. Jual Beli Itu Berdasarkan Atas Rasa Suka Sama Suka. Publication 1437 H_2016 M. Kaidah Fiqh Jual Beli Itu Berdasarkan Suka Sama Suka

CINTAKU HANYA KARENA-NYA...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Pembahasan perwalian nikah dalam pandangan Abu Hanifah dan Asy-

DZIKIR PAGI & PETANG dan PENJELASANNYA

DIPLOMA PENGAJIAN ISLAM. WD4053 : Fiqh Munakahat (Minggu 4 )

ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI I TENTANG MAHAR DENGAN SYARAT

YANG HARAM UNTUK DINIKAHI

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN WASIAT DENGAN KADAR LEBIH DARI 1/3 HARTA WARISAN KEPADA ANAK ANGKAT

1 1 I 2. 3 I II. Zuhair bin Harb mengabarkan kepadaku dan Jarir juga mengabarkannya dari Suhail, dari Ayahnya, dari ayah Hurairah berkata :

BAB IV ANALISIS GUGATAN SUAMI DALAM HAL MENGINGKARI KEABSAHAN ANAK YANG DILAHIRKAN ISTRINYA

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS TAUKIL WALI NIKAH VIA TELEPON

BAB IV ANALISIS TERHADAP STATUS NASAB DAN KEWAJIBAN NAFKAH ANAK YANG DI LI AN AYAHNNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERDATA INDONESIA

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV ANALISIS TENTANG STATUS PERWALIAN ANAK AKIBAT PEMBATALAN NIKAH

Transkripsi:

BAB IV PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA PENDAPAT MAŻHAB SYAFI I DAN MAŻHAB HANAFI TENTANG STATUS DAN HAK ANAK LUAR NIKAH A. Analisis Status dan Hak Anak Luar Nikah menurut Mażhab Syafi i dan Mażhab Hanafi Dalam Islam, anak bukan hanya sekedar karunia namun lebih dari itu ia juga merupakan amanah dari Allah SWT. Setiap anak yang lahir telah melekat pada dirinya pelbagai hak yang wajib dilindungi, baik oleh orangtuanya maupun Negara. Hal ini mengandung makna bahwa orang tua dan negara tidak boleh menyianyiakannya, terlebih menelantarkan anak. Karena mereka bukan saja menjadi aset keluarga tapi juga aset bangsa. 1 Menurut hukum Islam, anak akan memperoleh haknya apabila telah telah terpenuhi faktor-faktor yang menyebabkan orangtua harus memenuhi kewajibannya kepada hak anaknya. Faktor yang paling berpengaruh adalah status, atau nasab anak tersebut terhadap keluarganya, faktor tersebut berimplikasi kepada hak anak untuk memperoleh warisan, nafkah, serta perwalian. 1 Qudwatul Aimmah, Skripsi Implikasi Kewarisan atas Pengakuan Anak Luar Kawin (Studi Komparasi Antara Hukum Islam Dan Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek), (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010), 1. 76

77 Pengikut mażhab Syafi i berbeda pendapat dengan mażhab Hanafi tentang definisi anak luar nikah atau anak zina, dalam mażhab Syafi i bahwa anak luar nikah adalah anak yang lahir kurang dari enam bulan setelah adanya persetubuhan dengan suami yang sah. Adapun menurut mażhab Hanafi bahwa anak luar nikah adalah anak yang lahir kurang dari enam bulan setelah adanya akad perkawinan. Perbedaannya bahwa mażhab Syafi i mengharuskan adanya indikasi persetubuhan antara suami istri kemudian melahirkan anak kurang dari enam bulan, sedangkan menurut mażhab Hanafi dicukupkan dengan adanya akad perkawinan, karena hal tersebut adalah sebab yang nyata dari persetubuhan antara suami istri. Dalam kasus anak luar nikah para ulama berbeda pendapat tentang status serta implikasinya terhadap hak anak tersebut. Pengikut mażhab Syafi i berpendapat bahwa nasab anak luar nikah terhadap bapaknya terputus, maka status anak tersebut adalah sebagai ajnabiyyah (orang asing), oleh karena itu, menurut mażhab Syafi i bahwa anak tersebut boleh dinikahi oleh bapak biologisnya, karena status anak tersebut adalah sebagai orang asing (ajnabiyyah), serta bukan merupakan mah}ram bagi bapak biologisnya. Menurut mażhab Syafi i tidak dibedakan antara nasab hakiki maupun Syar i, maka nasab status anak tersebut adalah terputus secara mutlak. Adapun implikasinya yaitu terputusnya semua hak yang berkenaan dengan adanya nasab seperti kewarisan, nafkah, serta perwalian, namun imam Syafi i menambahkan bahwa anak luar nikah boleh menerima waris dari bapak biologisnya dengan syarat bahwa anak tersebut adalah dapat memperoleh harta waris atau di

78 akui oleh semua ahli warisnya, adanya orang yang mengakui (mustalh}iq) anak kepada yang meninggal (pewaris), tidak diketahui kemungkinan nasab selain dari pewaris, dan pihak (mustalh}iq) yang membenarkan nasab anak tersebut adalah seorang yang berakal dan telah baligh. Menurut pegikuti mażhab Hanafi bahwa nasab anak luar nikah tetap ṡa>bit terhadap bapak biologisnya, karena pada hakekatnya anak tersebut adalah anaknya, seorang anak disebut anak dari bapaknya melainkan karena anak tersebut lahir dari hasil air mani bapaknya, oleh karenanya diharamkan bagi bapak biologis untuk menikahi anak luar nikahnya. Adapun nasab menurut pandangan Syari at adalah terputus, yang berimplikasi kepada hilangnya kewajiban bagi bapak biologis untuk memenuhi hak anak, seperti nafkah, waris, maupun perwalian, karena adanya nasab Syar i adalah untuk menetapkan kewajiban bagi bapak biologis untuk memenuhi hak anaknya. Dalam hal ini mażhab Hanafi membedakan antara nasab secara hakiki, dan nasab secara Syar i. Penulis sependapat dengan mażhab Hanafi, bahwa nasab anak luar nikah kepada bapak biologisnya adalah tetap (ṡa>bit), karena secara hakiki anak luar nikah tersebut tetap merupakan anaknya, atau dengan kata lain darah dagingnya, oleh karena itu haram bagi bapak biologis untuk menikahinya, sebagaimana disebutkan dalam hadits;

79 Artinya: Dari Āisyah sesungguhnya beliau berkata : Abd bin Zam ah dan Sa ad bin Abi Waqqaṣ mengadu kepada Rasulullah tentang anak, maka berkata Sa ad : dia Wahai Rasulullah, adalah anak dari saudaraku Utbah bin Abī Waqqaṣ yang telah berwasiat kepadaku bahwa sesungguhnya anak itu adalah anaknya, lihatlah kemiripan dengannya (Utbah bin Abī Waqqaṣ) berkata Abd bin Zam ah : Dia adalah saudaraku, Wahai Rasulullah, dia lahir di dalam firāsy ayahku dari budak wanitanya. Rasulullah melihat kemiripannya, beliau melihat anak itu memiliki kemiripan yang jelas dengan Utbah bin Abi Waqqaṣ, maka berkata Rasulullah : Dia adalah bagimu wahai Abd bin Zam ah, sesungguhnya anak adalah bagi pemilik firāsy dan bagi pezina adalah batu sandungan(celaan/rajam), dan berhijablah darinya wahai Sawdah binti Zam ah, Sawdah berkata: dia tidak akan pernah melihat Sawdah. Muḥammad bin Rumḥ tidak menyebutkan lafal Ya Abd. (HR. al-mālik, al-bukhāriy, dan al-muslim menurut lafal Muslim 2.) Dari keterangan hadits di atas, bahwa Rasulullah memerintahkan Sawdah binti Zam ah untuk berhijab dari anak tersebut, hal tersebut karena ih}tiya>t} (kehatihatian) dari Rasulullah, bahwa pada hakekatnya anak tersebut adalah anak yang lahir dari air mani Utbah bin Abī Waqqāṣ, maka Sawdah binti Zam ah bukan merupakan mah}ram baginya. Ada hal yang menarik dari pendapat mażhab Hanafi tentang status anak luar nikah, bahwa meskipun nasab hakiki anak luar nikah tetap 2 Hadiṡ no. 1457, Abū al-ḥussayn Muslim bin al-hajjāj, S}ah}i>h} Muslim, (Terjemahan) Nasiruddin al- Khattab, English Translation Of S}ah}i>h Muslim,Vol. 4, (Riyadh: Maktabah Dār as-salām, 2007), 110.

80 ṡa>bi terhadap bapak biologisnya, namun tidak ada implikasi apapun atas hak anak tersebut terhadap bapak biologisnya. Penulis juga sependapat dengan mażhab Syafi i tentang pengakuan atas anak (istilh}a>q) yang dapat menyebabkan anak dapat memperoleh waris dari bapak biologisnya, bahwa anak luar nikah boleh menerima waris dari bapak biologisnya dengan syarat sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. 1. Analisis Istinba>t} Hukum Terdapat perbedaan antara mażhab Syafi i, dan mażhab Hanafi dalam memahami nas} al-qur an. Dalam memahami ayat tentang keharaman menikahi anak dalam al-qur an; Artinya : Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan... (QS. An-Nisā : 22). 3 Imam Syafi i melakukan takhs}i>s} 4 terhadap ayat tersebut, menurut imam Syafi i yang dimaksud oleh ayat ك ب ن ات ك adalah anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah, oleh karena itu, maka anak yang lahir di luar nikah, atau anak hasil hubungan gelap (zina) tidak termasuk dalam ayat di atas sebagaimana imam Syafi i 3 Departemen Agama RI, al-qur an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV Pusaka Agung Harapan, 2006), 105. 4 Takhs}i>s} adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup lafazh am. Manna al-qaṭṭān, Muba>h}i>ṡ fi Ulu>m al-qur an, (Terjemahan), Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur an, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2006), 278.

81 tidak memasukkan anak luar nikah dalam ayat tentang kewajiban orangtua memberi nafkah kepada anaknya yaitu sebagai berikut; Artinya : Dan kewajiban ayah menanggung nafkah mereka (QS. al-baqarah : 233). 5 Imam Syafi i mentakhs}i>s} ayat الم و ك ل و د hanya kepada anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah, dalil yang digunakan untuk mentakhs}i>s} adalah hadits tentang fira>sy, bahwa anak luar nikah merupakan orang asing (ajnabiyyah) bagi bapak biologisnya, atau dengan kata lain anak tersebut sama sekali tidak dianggap sebagai anak dari bapak biologisnya. Pengikut mażhab Syafi i mengunakan pendekatan pemahaman mant}u>q 6 nas} dalam memahami hadits fira>sy, pengikut mażhab Syafi i mengambil pemahaman secara z}a>hir terhadap kandungan hadits fira>sy. Artinya: Anak yang dilahirkan adalah hak pemilik fira>sy, dan bagi pezina adalah batu sandungan(tidak mendapat apa-apa). (HR. Muslim.) 7 5 Departemen Agama RI, al-qur an dan Terjemahannya, 47. 6 Mant}u>q adalah sesuatu yang ditunjukan oleh lafazh pada saat diucapkannya, yakni bahwa penunjukan makna berdasarkan materi huruf yang diucapkan. Manna al-qaṭṭān, Muba>h}i>ṡ fi Ulu>m al-qur an, (Terjemahan), Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur an, 311. 7 Hadiṡ no. 1458, Abū al-ḥussayn Muslim bin al-hajjāj, S}ah}i>h} Muslim, (Terjemahan) Nasiruddin al- Khattab, English Translation Of S}ah}i>h} Muslim,Vol. 4, 111.

82 Dari hadits di atas jelas bahwa nasab anak tidak boleh dinisbatkan kepada selain pemilik fira>sy, sebagaimana keputusan Nabi tentang status anak yang diadukan oleh Sa ad bin Abī Waqqāṣ, dan Abd bin Zam ah, dalam kasus ini meskipun Nabi mengetahui kemiripan fisik antara anak tersebut dengan Utbah bin Abī Waqqāṣ (pezina), namun beliau tidak memutuskan dengannya, melainkan anak tersebut diakui kepada Abd bin Zam ah, karena anak tersebut lahir dari fira>sy bapaknya. Dari pemahaman di atas bahwa Nabi lebih mengutamakan untuk memutuskan status anak tersebut dengan fira>sy, bukan dengan kemiripan fisik. Menurut mażhab Hanafi bahwa ayat ك ب ن ت ك di dalam ayat di atas tidak mengkhususkan anak yang lahir di dalam perkawinan saja, melainkan anak dalam pengertian umum, yang lahir di dalam perkawinan yang sah, atau melalui hubungan gelap (zina). Pengikut mażhab Hanafi berpendapat bahwa anak yang lahir di luar perkawinan yang sah merupakan makhlu>qah (yang diciptakan) dari air mani bapak biologisnya, maka status anak tersebut adalah sama dengan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Seorang anak dianggap merupakan anak dari bapaknya melainkan karena anak tersebut merupakan hasil dari air mani bapaknya. Adapun pengikut mażhab Hanafi menggunakan pendekatan dengan kaidah istih}sa>n dalam memahami hadits tentang fira>sy, bahwa hadits fira>sy hanya berlaku bagi pemilik fira>sy apabila pemilik fira>sy adalah seorang muslim, serta tidak menafikan nasab kepada selain pemilik fira>sy. Disebutkan dalam hadits;

83 Artinya: Anak yang dilahirkan adalah hak pemilik fira>sy, dan bagi pezina adalah batu sandungan(tidak mendapat apa-apa). (HR. Muslim). 8 Pengikut mażhab Hanafi berpendapat bahwa hadits fira>sy hanya berlaku bagi pemilik fira>sy yang muslim, karena implikasinya adalah untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan Allah kepada orangtua kepada anaknya di dalam al-qur an, dan hal ini tidak akan berlaku kecuali pemilik fira>sy adalah seorang Muslim. Para pengikut mażhab Hanafi lebih berpegang kepada hakekat, bahwa anak yang lahir di luar nikah tetap memiliki hubungan nasab dengan bapak biologisnya, meskipun Nabi telah bersabda dan bagi pezina adalah batu(yakni tidak mendapatkan apa-apa).. Pengikut mażhab Hanafi berpegang dengan kaidah istih}sa>n dalam permasalahan ini, yaitu mengutamakan suatu pendapat dari yang lainnya, karena tampak lebih sesuai, meskipun pendapat yang diutamakan lebih lemah daripada pendapat yang seharusnya diutamakan. Dari penjelasan di atas, bahwa yang menjadi titik perbedaan secara substansial antara mażhab Syafi i dan Hanafi adalah dalam memahami nas} itu sendiri, dalam hadits fira>sy pengikut mażhab menggunakan pendekatan z}a>hir nas}, sedangkan mażhab Hanafi menggunakan kaidah istih}sa>n. 8 Hadiṡ no. 1458, Abū al-ḥussayn Muslim bin al-hajjāj, S}ah}i>h} Muslim, (Terjemahan) Nasiruddin al- Khattab, English Translation Of S}ah}i>h} Muslim,Vol. 4, 111.

84 B. Persamaan dan Perbedaan Antara Pendapat Mażhab Syafi i dan Mażhab Hanafi 1. Persamaan Antara Pendapat Mażhab Syafi i dan Mażhab Hanafi Berdasarkan pada pemaparan bab-bab sebelumnya maka dapat dipahami bahwa terdapat persamaan antara pendapat mażhab Syafi i, dan mażhab Hanafi mengenai anak luar nikah, persamaannya dapat disebutkan sebagai berikut : a) Kewarisan Terdapat persamaan antara pendapat mażhab Syafi i, dan mażhab Hanafi tentang kewarisan anak luar nikah, bahwa anak luar nikah tidak mewarisi dari bapak biologisnya, melainkan hanya dari ibu, dan keluarga ibunya. Adapun menurut mażhab Syafi i terdapat pengecualian, bahwa anak luar nikah boleh menerima waris dari bapak biologisnya dengan syarat bahwa anak tersebut diakui oleh semua ahli warisnya, adanya kemungkinan orang yang mengakui (mustalh}iq) anak kepada yang meninggal (pewaris), tidak diketahui kemungkinan nasab selain dari pewaris, dan pihak yang mengklaim (mustalh}iq) anak tersebut adalah seorang yang berakal dan telah baligh. b) Nafkah Persamaan antara pendapat mażhab Syafi i, dan mażhab Hanafi tentang nafkah, yaitu anak luar nikah tidak memperoleh hak nafkah dari pihak bapak biologis, karena status nasab anak tersebut menurut pandangan Syari at terputus dari pihak bapak biologisnya, maka bapak biologisnya tidak dibebani kewajiban untuk menunaikan hak nafkah anak luar nikahnya.

85 c) Perwalian Terdapat persamaan pula antara mażhab Syafi i, dan mażhab Hanafi tentang perwalian anak luar nikah, bahwa anak luar nikah tidak mempunyai hak perwalian dari bapak biologisnya, bapak biologis tidak berhak menjadi wali baginya karena telah terputus nasab Syar i diantara keduanya yang menjadi syarat ditetapkannya hak perwalian. Adapun yang berhak menjadi walinya adalah hakim. 2. Perbedaan Antara Pendapat Mażhab Syafi i, dan Mażhab Hanafi Adapun perbedaan antara mażhab Syafi i, dan mażhab Hanafi tentang status, dan hak anak luar nikah adalah sebagai berikut : a) Status anak luar nikah Menurut mażhab Syafi i anak luar nikah adalah anak yang lahir kurang dari enam bulan setelah adanya persetubuhan dengan suami yang sah, sehingga menimbulkan kepastian bahwa anak yang lahir bukan merupakan anak dari suami yang sah. Berbeda dengan mażhab Hanafi yang mendefinisikan bahwa anak luar nikah adalah adalah anak yang lahir enam bulan setelah terjadinya akad nikah dengan dalil telah cukup dengan adanya akad nikah yang menjadi sebab yang jelas, daripada sebab yang samar yaitu persetubuhan. Menurut mażhab Syafi i, bahwa terputus nasab anak luar nikah dari bapak biologisnya secara mutlak, maka statusnya adalah sebagai orang asing (ajnabiyyah), oleh karena itu bapak biologis boleh menikahi anak luar nikahnya yang perempuan, serta sah perkawinan diantara keduanya, karena telah terputusnya nasab yang

86 menyebabkan diharamkannya bapak biologis untuk menikahinya. Adapun menurut mażhab Hanafi, nasab anak luar nikah tersebut tetap ṡa>bit terhadap bapak biologisnya, karena secara hakekat, anak luar nikah adalah sama dengan anak yang lahir di dalam perkawinan yang sah, karena anak tersebut lahir dari air mani bapaknya. Oleh karena itu, anak luar nikah tersebut diharamkan untuk dinikahi oleh bapak biologisnya, karena secara hakekat anak tersebut adalah darah dagingnya, maka hal tersebut sudah cukup untuk menjadi sebab atas keharamannya. 3. Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Faktor yang mendasar perbedaan pendapat antara mażhab Syafi i, dan mażhab Hanafi adalah mengenai latar metode istinba>t} hukum yang digunakan, serta landasan dalil. Hal ini berdasarkan pada : a) Faktor Metodologi Dalam Ijtihad Dalam berijithad imam Syafi i beserta pengikutnya selalu mencari dalil naqli untuk dijadikan h}ujjah, serta memberikan porsi yang sedikit bagi akal untuk menginterpratasi suatu permasalahan hukum, bahkan imam Syafi i mengeluarkan statemen bahwa apabila ditemukan sebuah hadits yang shahih maka beliau menganggap itu adalah mażhabnya msekipun beliau tidak meriwayatkannya. Pengikut mażhab Syafi i dikenal dengan Ahl al-h}adi>ṡ. Mażhab Hanafi didirikan oleh imam Abū Ḥanīfah di daerah Irāq, yaitu daerah yang jauh dari pusat keilmuan tentang riwayat, dan hadits, sehingga dalam memutuskan suatu perkara, imam Abū Ḥanīfah lebih menekankan kepada rasio,

87 serta menggunakan dalil aqli untuk dijadikan landasan ijtihad, karena tidak didapati hadits tentang permasalahan tersebut, oleh karena itu mereka disebut sebagai Ahl ar-ra y. b) Faktor Landasan Dalil Dalam memahami nas} pengikut mażhab Syafi i lebih menekankan kepada pemahaman naṣ itu sendiri, dalam memahami hadits tentang fira>sy pengikut mażhab Syafi i menetapkan pemahaman secara z}a>hir yang dikehendaki nas}, bahwa Nabi tidak menetapkan nasab dengan perzinaan, oleh karena itu status nasab antara bapak biologis dan anak luar nikahnya terputus secara mutlak, sehingga berimplikasi atas kebolehan bagi bapak biologis menikahi anak luar nikahnya. Berbeda dengan mażhab Hanafi yang menggunakan kaidah istih}sa>n, karena secara hakiki anak luar nikah tetap merupakan anak dari bapak biologis, sehingga tetap diharamkan bagi bapak biologis untuk menikahi anak luar nikahnya demi menjaga terjaganya kejelasan nasab, karena hal demikian lebih sesuai dan lebih selamat. Adapun secara normatif pemahaman z}a>hir dari nas} bertentangan dengan kaidah umum serta kebiasaan (urf) serta tidak ada penjelasan yang s}ari>h} tentang kebolehan bapak biologis menikahi anak anak luar nikahnya, maka kaidah urf bisa ditetapkan, karena urf (kebiasaan) bisa digunakan sebagai landasan dalam hukum dan dalam hal ini mażhab Hanafi mengakui keabsahan urf sebagai landasan hukum.