BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMALSUAN MATA UANG DAN UANG KERTAS UNTUK MELINDUNGI KEPENTINGAN UMUM ANCAMAN PIDANA MAKSIMUM RATA- RATA BERAT ASAS YANG DIPAKAI ADALAH ASAS UNIVERSAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

PRESIDEN REPU8L1K INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG MATA UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016

Lex Crimen Vol. IV/No. 6/Ags/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

Bab XII : Pemalsuan Surat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA [LN 1999/66, TLN 3843]

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB I PENDAHULUAN. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jauh sebelum dikenalnya uang sebagai alat pembayaran, masyarakat

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG KERTAS DI KOTA JAMBI. Oleh : Osriansyah Chairijah Iman Hidayat ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI PERPAJAKAN DI INDONESIA

PENUNJUK UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

PANDUAN PENUKARAN RUPIAH TIDAK LAYAK EDAR

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN [LN 1995/64, TLN 3612]

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG KEPABEANAN [LN 2006/93, TLN 4661]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613]

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENUTUP. transaksi menggunakan Rupiah logam sebagai berikut : Rp 1000,00 (seribu Rupiah) dan/atau Rp 1500,00 (seribu lima ratus Rupiah), dan

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

Bab XXV : Perbuatan Curang

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI UANG KARTAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP KEJAHATAN PEMALSUAN UANG KERTAS RUPIAH DAN PENGEDARANNYA

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENGATURAN-PENGATURAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA. Oleh: Nurul Hidayati, SH. 1.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

MEMAHAMI UNTUK MEMBASMI BUKU SAKU UNTUK MEMAHAMI TINDAK PIDANA KORUPSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen,

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB II BENTUK-BENTUK PELANGGARAN HAK CIPTA DAN KETENTUAN SANKSI PIDANANYA

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SECARA BERLANJUT (Studi Kasus No. 55/Pid.B/2010/PN. Palu)

BAB II PENGATURAN TERHADAP PELAKU TANPA IZIN MELAKUKAN KEGIATAN INDUSTRI KECIL

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

ASPEK HUKUM DALAM SISTEM MANAJEMEN MUTU KONSTRUKSI

KETENTUAN PIDANA DALAM UU NO. 3 TAHUN 2011 TENTANG TRANSFER DANA

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/201 /PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

Transkripsi:

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana. 16 Keberadaan hukum adalah penting guna memelihara ketertiban sekaligus sebagai bentuk perlindungan dari suatu tindak kejahatan. Pada kasus tindak pidana pemalsuan uang juga demikian, perbuatan pemalsuan uang adalah tindakan yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Peraturan hukum yang memadai adalah salah satu sarana yang dapat digunakan sebagai bentuk penanggulangan sekaligus pencegahan terjadinya tindak pidana serupa di masa yang akan datang. Keberadaan hukum akan membuat masyarakat tahu tentang boleh tidaknya suatu perbuatan di lakukan. Dengan adanya hukum yang berlaku, maka pelaku kejahatan dapat diberi sanksi, dan dengan adanya pelaku yang dijatuhi sanksi karena melanggar hukum adalah sekaligus sebagai bentuk peringatan bagi masyarakat yang tidak dan/atau belum melakukan kejahatan agar berpikir ulang sebelum melakukan perbuatan serupa. Peraturan hukum yang menyangkut tindak pidana pemalsuan uang bisa di lihat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. hlm. 19. 16 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2011, 18

A. Aturan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244 s.d. 252 KUHP, ditambah Pasal 250bis. Pasal 248 telah dihapus melalui Stb. Tahun 1938 Nomor 593. Di antara pasal-pasal tersebut, terdapat 7 pasal yang merumuskan tentang kejahatan, yakni: 244, 245, 246, 247, 249, 250, 251. 17 Pemalsuan Uang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di atur dalam buku kedua tentang Kejahatan pada Bab X. Dalam sistem hukum pidana kita, kejahatan terhadap mata uang dan uang kertas dikategorikan sebagai kejahatan berat. Alasan yang mendukung pernyataan tersebut antara lain adalah: 18 1. Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini rata-rata berat. Ada 7 bentuk rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas dalam Bab X buku II KUHP, dua diantaranya diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun (Pasal 244 dan 245), dua dengan pidana penjara maksimum 12 tahun (Pasal 246 dan 247), satu dengan pidana penjara maksimum 6 tahun (Pasal 250). Selebihnya, diancam dengan pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun (Pasal 250bis) dan maksimum pidana penjara 4 bulan dua minggu (Pasal 249). 2. Untuk kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas berlaku asas universaliteit, artinya hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia di manapun. (Pasal 17 Adami Chazawi, op.cit., hlm. 22 18 Ibid., hlm. 21. 19

4 sub 2 KUHP). Mengadakan kejahatan-kejahatan yang oleh Undangundang ditentukan berlaku asas universaliteit bukan saja berhubungan terhadap kepentingan hukum masyarakat Indonesia dan kepentingan hukum negara RI, juga bagi kepentingan hukum masyarakat internasional. Sebagai contoh hukum pidana Indonesia dapat digunakan untuk menghukum seorang warga negara asing yang memalsukan uang negaranya yang kemudian melarikan diri ke Indonesia, di mana negara tersebut tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. 1. Meniru atau Memalsu Uang (Pasal 244 KUHP) Berikut adalah rumusan dari Pasal 244 KUHP: Barangsiapa meniru atau memalsu mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedakan mata uang atau uang kertas itu sebagai yang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Apabila dirinci rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut 19. a. Unsur-unsur objektif: 1) Perbuatan: a) meniru; b) memalsu; 2) Objeknya: a) mata uang; b) uang kertas negara; c) uang kertas bank; b. Unsur subjektif dengan maksud untuk: a) mengedarkan; atau 19 Ibid., hlm. 23 20

b) menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas itu seolah-olah asli dan tidak dipalsu. a) Perbuatan Meniru Dalam perbuatan meniru, haruslah ada sesuatu barang yang asli sebelumnya, lalu kemudian barang itu dibuat tiruannya yang menyerupai barang aslinya. Dalam kejahatan Pasal 244, sesuatu barang yang ditiru itu adalah mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara. Membuat uang kertas baru yang sebelumnya tidak terdapat aslinya bukanlah merupakan perbuatan meniru. Meskipun dalam keadaan tersebut terdapat niat dari pelaku untuk mengedarkan uang tersebut, tetapi perbuatan membuat uang itu bukanlah perbuatan meniru karena sama sekali tidak ada uang sebelumnya untuk ditiru. b) Perbuatan Memalsu Berbeda dengan perbuatan meniru yang berupa perbuatan menghasilkan suatu mata uang atau uang kertas baru (tapi palsu atau tidak asli), yang artinya sebelum pembuatan dilakukan sama sekali tidak ada uang. Pada perbuatan memalsu (vervalschen) sebelum perbuatan dilakukan sudah ada uang (asli). Pada uang asli ini dilakukan perbuatan menembah sesuatu baik tulisan, gambar maupun warna, menambah atau mengurangi bahan pada mata uang sehingga menjadi lain dengan yang asli. Tidak menjadi syarat apakah dengan demikian uang kertas atau mata uang itu nilainya menjadi lebih rendah ataukah menjadi lebih tinggi. 21

Demikian juga tidak merupakan syarat bagi motif apa ia melakukan perbuatan itu. Apabila terkandung maksud untuk mengedarkannya atau menyuruh mengedarkannya sebagai uang asli dan tidak dipalsu, maka perbuatan itu termasuk perbuatan yang dilarang dan dipidana. Kejahatan Pasal 244 dirumuskan secara formil, maksudnya ialah melarang melakukan perbuatan tertentu, dan tidak secara tegas menimbulkan akibat tertentu. Sebagai tindak pidana formil, terwujudnya atau selesainya kejahatan ini bergantung pada selesainya perbuatan meniru atau memalsu. Untuk dapat selesai atau terwujudnya perbuatan meniru atau memalsu diperlukan suatu syarat yakni hasil atau akibat dari perbuatan. Perbuatan meniru menghasilkan mata uang atau uang kertas yang palsu atau tidak asli, sedang dari perbuatan memalsu menghasilkan mata uang atau uang kertas yang dipalsu. 20 c) Mata Uang dan Uang Kertas Pengertian mata uang negara dan uang kertas negara masing-masing terdiri dari logam dan uang kertas yang merupakan alat pembayaran yang sah, baik mata uang dan uang negara Republik Indonesia maupun mata uang dan uang negara asing. 21 20 Ibid., hlm. 25. 21 Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana, Sumber Ilmu Jaya, Jakarta, 2012, hlm. 54. 22

d) Maksud untuk: a) Mengedarkan dan b) Menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas itu sebagai asli dan tidak dipalsu Unsur kesalahan dalam kejahatan peniruan dan pemalsuan mata uang dan uang kertas negara maupun uang kertas bank sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 244 KUHP adalah unsur kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerfk) berupa kesalahan dalam arti yang sempit. Pelaku dalam melakukan perbuatan meniru dan memalsu uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang, didorong oleh suatu kehendak (maksud) yang ditujukan untuk mengedarkan atau menyuruh orang lain mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu (uang kertas yang tidak asli) atau uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang yang dipalsu tersebut sebagai uang kertas negara atau uang kertas bank atau mata uang asli dan tidak dipalsu. Memperhatikan unsur kesalahan dalam rumusan Pasal 244 KUHP, dapat disimpulkan bahwa: a) di samping pelaku menghendaki untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan; dan b) juga ia harus mengetahui atau mata uang atau uang kertas itu adalah tidak asli atau dipalsu. Tidak asli atau palsunya itu diketahuinya sebagai hasil dari perbuatannya sendiri berupa meniru atau memalsu. Kesadaran pelaku juga harus ditujukan pada palsunya uang, sedangkan penyebab palsunya itu disadarinya sebagai hasil dari perbuatannya sendiri, maka sikap batin pelaku terhadap perbuatan meniru atau memalsu yang menghasilkan tidak asli atau palsunya mata uang atau uang kertas itu adalah sikap batin sebagaimana yang dimaksud oleh unsur kesengajaan yang menurut MvT sebagai willens en wetens. Oleh karena itu, walaupun secara formal tidak dicantumkan 23

unsur kesengajaan terhadap perbuatan meniru atau memalsu, secara tersirat unsur kesengajaan terhadap kedua perbuatan materil itu sesungguhnya ada. Kesengajaan terhadap kedua perbuatan itu adalah berupa unsur yang terselubung. Oleh karena unsur kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan meniru atau memalsu tidak dicantumkan dalam rumusan, kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan itu tidak perlu dibuktikan. Cukup membuktikan bahwa telah terjadinya perbuatan, maka dianggap unsur kesengajaan itu telah terbukti pula. Berdasarkan pada pandangan ini, hal yang tidak mungkin terjadi pada pemalsuan uang yang dilakukan oleh sebab atau karena kelalaian/culpa. Perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang palsu tidak perlu telah terwujud. Perihal mengedarkan atau menyuruh mengedarkan adalah berupa apa yang dituju oleh maksud pelaku belaka, berupa unsur subjektif. Selesainya kejahatan ditentukan oleh perbuatan meniru atau memalsu, bukan pada telah terjadinya perbuatan mengedarkan atau menyuruh mengedarkan. Uang palsu yang telah diedarkan tidak termasuk kejahatan Pasal 244 KUHP tetapi masuk dalam kejahatan Pasal 245 KUHP. 22 2. Mengedarkan Uang Palsu (Pasal 245 KUHP) Berikut adalah rumusan dari Pasal 245 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan 22 Adami Chazawi, op.cit., hlm. 26-28. 24

maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Dalam rumusan pasal 245 tersebut di atas, ada 4 bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu, yaitu: 23 1. Melarang orang yang dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, uang palsu yang ditiru atau dipalsu olehnya sendiri. 2. Melarang orang yang waktu menerima mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank yang diketahuinya sebagai palsu, dengan sengaja mengedarkannya sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu. 3. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank palsu, yang mana uang palsu itu ditiru atau dipalsu olehnya sendiri dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu. 4. Melarang orang yang dengan sengaja menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang atau uang kertas negara atau uang kertas bank yang waktu diterimanya diketahuinya sebagai uang palsu, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seperti uang asli dan tidak dipalsu. Keempat bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu tersebut, bila bentuk satu per satu dirinci, terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: 24 23 Ibid., hlm. 28-29. 25

Bentuk Pertama a) Unsur unsur objektif: 1. Perbuatan: Mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu; 2. Objeknya: a) Mata uang tidak asli atau dipalsu; b) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3. Tidak asli atau palsunya uang itu karena ditiru atau dipalsu olehnya sendiri; b) Unsur subjektif: 4. Dengan sengaja. Bentuk Kedua a) Unsur unsur objektif: 1. Perbuatan: Mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu; 2. Objeknya: a) Mata uang tidak asli atau dipalsu; b) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3. Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat diterimanya. b) Unsur subjektif: 4. Dengan sengaja. 24 Ibid., hlm. 29-31. 26

Bentuk Ketiga a) Unsur-unsur objektif: 1. Perbuatan: a) Menyimpan; b) Memasukkan ke Indonesia; 2. Objeknya: a) Mata uang tidak asli atau dipalsu; b) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; c) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; 3. Yang ditiru atau dipalsu olehnya sendiri. b) Unsur subjektif: 4. Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu. Bentuk Keempat a) Unsur-unsur objektif: 1. Perbuatan: a) Menyimpan; b) Memasukkan ke Indonesia; 2. Objeknya: a) Mata uang palsu atau dipalsu; b) Uang kertas negara palsu (tidak asli) atau dipalsu; c) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; 3. Yang tidak asli atau palsunya itu diketahuinya pada saat diterimanya. 27

c) Unsur subjektif: 4. Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu. Berdasarkan penjabaran mengenai bentuk-bentuk kejahatan yang dimaksud dalam Pasal 245 KUHP, dapat diketahui terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk pertama dan bentuk kedua, unsur objektif berupa perbuatan dan objeknya adalah sama. Selain itu unsur subjektifnya juga sama, yaitu dengan sengaja. Yang menjadi pembeda adalah di unsur objektif yang ketiga. Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk pertama, pelaku yang mengedarkan uang palsu berperan juga sebagai pemalsu atau peniru uang palsu itu. Sedangkan pada kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk kedua, ada pelaku lain yang membuat uang palsu. Jadi, pengedar dan pembuat adalah dua pelaku yang berbeda. Pada bentuk kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk ketiga dan keempat, persamaannya terdapat pada unsur perbuatan, objeknya, dan unsur subjektif. Sedangkan perbedaannya adalah sama dengan perbedaan antara yang bentuk pertama dan bentuk kedua. Bahwa pada bentuk ketiga tidak asli atau palsunya uang itu disebabkan oleh perbuatan meniru atau memalsu yang dilakukannya sendiri. Berarti sebelum 28

pelaku melakukan perbuatan menyimpan atau memasukkan ke Indonesia, ia terlebih dulu melakukan perbuatan meniru atau memalsu terhadap uang itu. 25 Kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk keempat tidak mengharuskan pelaku penyimpan atau pelaku yang memasukkan uang palsu ke Indonesia tersebut berperan sekaligus sebagai pembuat atau peniru. Pelaku pembuatan atau peniruan uang palsu itu bisa merupakan orang lain yang sama sekali tidak perlu dikenalnya. Yang dijadikan pertimbangan pada kejahatan bentuk keempat adalah kesadaran pelaku saat menerima uang, bahwa uang yang disimpan atau dibawa masuk ke Indonesia olehnya adalah uang palsu. a) Perbuatan: (a) Mengedarkan, (b) Menyimpan dan (c) Memasukkan ke Indonesia Perbuatan mengedarkan, menyimpan, dan memasukkan ke Indonesia haruslah terjadi setelah adanya uang kertas yang tidak asli atau dipalsu. Perbuatan mengedarkan terdapat pada bentuk kejahatan pertama dan kedua. Untuk terwujudnya kejahatan maka perbuatan mengedarkan harus sudah selesai dilakukan. Artinya uang palsu (tidak asli atau dipalsu) tersebut sudah tidak berada dalam kekuasaannya lagi. 26 Berlainan dengan perbuatan menyimpan dimana perbuatannya sangat berlawanan dengan mengedarkan. Jika dalam perbuatan mengedarkan pelaku melepas uang palsu dari kekuasaanya kepada orang lain, maka dalam perbuatan menyimpan justru sebaliknya dimana kekuasaan atas uang palsu beralih dari orang lain kepada si pelaku. 25 Ibid., hlm. 32. 26 Ibid., hlm. 33. 29

Perbuatan menyimpan sebetulnya tidak termasuk dalam pengertian mengedarkan karena pengertiannya berlawanan dengan pengertian mengedarkan. Perbuatan itu dimasukkan dalam rumusan Pasal 245 berhubung dengan maksud dari penyimpanannya itu adalah untuk diedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu. 27 Perbuatan yang ketiga yaitu memasukkan uang palsu ke Indonesia. Maksud dari perbuatan ini adalah bahwa sebelumnya uang palsu berasal dari luar negara Indonesia. b) Mata Uang, Uang Kertas Negara dan Uang Kertas Bank Uang terdiri dari mata uang dan uang kertas. Mata uang berupa uang yang terbuat dari bahan logam seperti emas, tembaga, perak, dan lain sebagainya. Uang kertas dibedakan menjadi dua macam, yakni uang kertas negara dan uang kertas bank. Uang kertas negara adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh negara, dan uang kertas bank adalah uang kertas yang dikeluarkan oleh suatu bank yang ditunjuk oleh pemerintah. Di Indonesia bank yang ditunjuk pemerintah ini adalah Bank Indonesia. 28 Objek uang yang dimaksud dalam Pasal 245 tidak hanya mata uang dan uang kertas Indonesia (Rupiah) saja, tetapi juga termaksud bagi mata uang dan uang kertas asing. c) Palsunya Uang Disebabkan karena Perbuatan Meniru atau Memalsu yang Dilakukan Olehnya Sendiri 27 Ibid., hlm. 35. 28 Ibid., hlm. 26. 30

Dalam melakukan pengedaran uang palsu, pelaku bisa juga berperan sebagai pemalsu. Maksudnya adalah sebelum tindak pengedaran uang palsu terjadi, pelaku sendiri lah yang membuat uang palsu. d) Dengan Sengaja Unsur kesengajaan ini berarti si pelaku harus tahu bahwa barang-barang tersebut adalah uang palsu. Pelaku tidak perlu mengetahui bahwa, berhubung dengan barang-barang itu, telah dilakukan tindak pidana pembuatan uang palsu atau memalsukan uang asli. 29 e) Pada Saat Menerima Diketahuinya Bahwa Uang itu Palsu Pada kejahatan mengedarkan uang palsu bentuk kedua dan keempat, ada unsur pada saat menerima diketahuniya bahwa uang itu palsu (tidak asli dan atau dipalsu). Dalam kalimat ini ada 3 hal yakni: (1) pada saat menerima uang, (2) adanya kenyataan uang itu palsu atau dipalsu dan (3) kenyataan palsunya uang diketahui olehnya. 30 f) Dengan Maksud untuk Mengedarkan atau Menyuruh Mengedarkan sebagai Uang Asli dan Tidak Dipalsu Dalam kalimat dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, mengandung pengertian: (a) 29 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 178. 30 Adami Chazawi, op.cit., hlm. 39. 31

perbuatan menyimpan dan memasukkan ke Indonesia dilakukan dengan sengaja dan bukan dengan atau karena culpa, (b) dalam menyimpan dan memasukkan uang palsu ke Indonesia didorong oleh suatu kehendak untuk mengedarkannya atau menyuruh mengedarkannya sebagai uang asli dan tidak dipalsu, dan (c) ia mengetahui bahwa uang itu tidak asli dan dipalsu. 31 3. Merusak Uang (Pasal 246 KUHP) Berikut adalah rumusan dari Pasal 246 KUHP: Barangsiapa mengurangi nilai mata uang dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang yang dikurangi nilainya itu, dipidana karena merusak uang dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 246 memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 32 a) Unsur-unsur Objektif 1. Perbuatan: mengurangi nilai; 2. Objeknya: mata uang; b) Unsur Subjektif 3. Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang yang dikurangi nilainya. Pasal ini ditujukan pada uang yang dibuat dari logam, baik emas maupun perak atau jenis lainnya, yang dirusak dengan berbagai cara dan berakibat kepada berkurangnya nilai uang. 31 Ibid., hlm. 40. 32 Ibid., hlm. 40-41. 32

Unsur objektif mengurangi nilai maksudnya adalah, akibat dari tindakan si pelaku nilai intrinsik dari mata uang menjadi berkurang, bukan nilai nominalnya. Contohnya seperti melakukan perusakan terhadap uang logam dengan cara melubangi atau mengikirnya. Hal itu akan mengurangi nilai intrinsik dari uang logam. Namun pelaku perusak uang logam tetap berniat/bermaksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang yang sudah berkurang nilainya akibat perusakan yang sudah terjadi sebelumnya. Perbuatan mengedarkan dan menyuruh mengedarkan tidak perlu diwujudkan, karena unsur ini hanya dituju oleh maksud pelaku. 33 Perbuatan yang diatur dalam Pasal ini sudah dapat dipidana apabila terbukti ada suatu niat untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan dari si pelaku. 4. Mengedarkan Uang Rusak (Pasal 247 KUHP) Berikut adalah rumusan dari Pasal 247 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang yang dikurangi nilainya olehnya sendiri atau yang kerusakannya waktu diterima diketahui, sebagai uang yang tidak rusak; ataupun barangsiapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia uang yang demikian itu, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang yang tidak rusak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Kejahatan mengedarkan uang rusak pada dasarnya sama dengan kejahatan mengedarkan uang palsu (Pasal 245), masing-masing mempunyai unsur perbuatan, kesalahan dan cara merumuskan yang sama. 34 Perbedaannya dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu: 33 Ibid., 41. 34 Ibid., hlm. 43. 33

1. Objek dalam Pasal 245 adalah mata uang atau uang kertas palsu, sedangkan dalam Pasal 247 objeknya adalah berupa mata uang rusak. 2. Dalam Pasal 245 penyebab uang tersebut palsu adalah perbuatan meniru atau memalsu, sedangkan dalam Pasal 247 penyebab rusaknya uang adalah karena perbuatan mengurangi nilai. 3. Ancaman pidana maksimal terhadap kejahatan yang diatur dalam Pasal 245 adalah 15 tahun penjara, sedangkan ancaman pidana maksimal bagi kejahatan Pasal 247 adalah 12 tahun penjara. 4. Kejahatan Pasal 245 terjadi setelah timbulnya kejahatan Pasal 244. Sedangkan kejahatan Pasal 247 terjadi setelah timbulnya kejahatan Pasal 246. 5. Mengedarkan Uang Palsu yang Lain dari Pasal 245, 247 (Pasal 249 KUHP) Berikut adalah rumusan dari Pasal 249 KUHP: Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan mata uang yang tidak asli, dipalsu atau dirusak, atau uang kertas negara atau bank yang palsu atau dipalsu, dipidana, kecuali berdasarkan Pasal 245 dan 247, dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500. Unsur-unsur dari kejahatan sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 249 KUHP diatas adalah: 35 a) Unsur-unsur Objektif 1. Perbuatan: mengedarkan; 35 Ibid., hlm. 45. 34

2. Objeknya: a) Mata uang tidak asli atau dipalsu; b) Mata uang yang dirusak; c) Uang kertas negara tidak asli atau dipalsu; d) Uang kertas bank tidak asli atau dipalsu; b) Unsur Subjektif 3. Dengan sengaja. Pada KUHP Pasal 245 dan Pasal 247, palsu atau rusaknya uang diketahui oleh pelaku pengedaran uang karena perbuatan memalsu atau merusak uang itu dilakukan oleh dirinya sendiri. Selain itu, pelaku pengedar uang juga bisa mengetahui mengenai palsu atau rusaknya uang pada saat dia menerima uang itu. Pasal 249 memiliki maksud yang berbeda dari Pasal 245 dan Pasal 247. Penyebab palsunya uang pada Pasal 249 bukan karena dipalsu oleh si pengedar, juga bukan karena dia mengetahui saat menerima uang, melainkan diketahui akan palsunya atau rusaknya uang itu beberapa saat setelah uang tersebut diterimanya. 6. Membuat atau Mempunyai Persediaan Benda atau Bahan Untuk Memalsu Uang (Pasal 250 KUHP) Berikut adalah rumusan dari Pasal 250 KUHP: Barangsiapa membuat atau mempunyai persediaan bahan atau benda yang diketahuinya bahwa itu digunakannya untuk meniru, memalsu, atau mengurangi nilai mata uang, atau untuk meniru atau memalsu uang kertas negara atau bank, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 4500. 35

Dari rumusan pasal 250 KUHP, dapat dilihat unsur-unsurnya, yang adalah: 36 a) Unsur-unsur Objektif 1. Perbuatan: a) Membuat; b) Mempunyai persediaan; 2. Objeknya: a) Bahan; b) Benda; b) Unsur Subjektif Yang diketahuimya bahwa itu digunakan untuk 1) Meniru, memalsu, atau mengurangi nilai mata uang; 2) Meniru atau memalsu uang kertas negara; 3) Meniru atau memalsu uang kertas bank. Dari rumusan dan rincian unsur-unsur diatas, dapat dilihat bahwa Pasal 250 KUHP ini adalah bentuk persiapan sebelum dilakukannya kejahatan Pasal 244 KUHP (meniru atau memalsu uang) dan Pasal 246 KUHP (merusak uang). Perbuatan membuat bahan atau benda adalah membuat bahan-bahan atau benda-benda yang selanjutnya akan digunakan untuk memalsu atau mengurangi nilai mata uang. Perbuatan mempunyai persediaan bahan atau benda maksudnya adalah bahan atau benda yang diketahuinya untuk meniru uang, memalsu uang, 36 Ibid., hlm. 47. 36

atau mengurangi nilai mata uang disimpan atau berada dalam kekuasaannya dalam jumlah tertentu, yang bila diperlukan segera dapat digunakan. 37 7. Menyimpan Kepingan Perak yang Dianggap Mata Uang (Pasal 251 KUHP) Berikut adalah rumusan dari Pasal 251 KUHP: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 10.000,-, barangsiapa dengan sengaja dan tanpa izin pemerintah, menyimpan atau memasukkan ke Indonesia keping-keping atau lembar-lembaran perak, baik yang ada maupun tidak ada capnya atau dikerjakan sedikit, mungkin dianggap sebagai mata uang, padahal tidak nyata-nyata akan digunakan sebagai perhiasan atau tanda peringatan. Unsur-unsur dari kejahatan sebagaimana yang dirumuskan pada Pasal 251 KUHP diatas adalah: 38 a) Unsur-unsur Objektif 1. Perbuatan: a) Menyimpan; b) Memasukkan ke Indonesia; 2. Objeknya: a) Keping-kepingan perak; b) Lembar-lembaran perak; (1) ada capnya; (2) tidak ada capnya: (3) diulang capnya; 37 Ibid., hlm. 49. 38 Ibid., hlm. 51-52. 37

(4) setelah dikerjakan sedikit tampak seperti mata uang; 3. Padahal tidak nyata-nyata akan digunakan sebagai perhiasan atau tanda peringatan. 4. Tanpa izin pemerintah. b) Unsur Subjektif: dengan sengaja Tujuan dari perumusan Pasal 251 adalah agar tidak ada barang yang menyerupai mata uang beredar di Indonesia. Menyimpan atau memasukkan benda berupa keping-kepingan perak atau lembar-lembaran perak harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemerintah. Namun, izin tidak harus diperlukan apabila barang-barang yang dimasukkan ke Indonesia itu secara jelas memang diperuntukkan sebagai perhiasan seperti cincin, kalung, dan sejenisnya. B. Aturan Hukum Tindak Pidana Pemalsuan Uang dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang didasari oleh pertimbangan bahwa Rupiah adalah salah satu simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Indonesia. Penggunaan dan peranan uang yang terus berkembang, merupakan salah satu alasan mengapa pentingnya aturan mengenai mata uang ini. Pengelolaan perekonomian tak akan lepas dari peranan uang, untuk itulah pengelolaan uang juga harus terus diperbaiki, salah satu caranya adalah dengan pembentukan hukum. Kehadiran UU tentang mata uang ini adalah salah satu cara untuk menciptakan peraturan hukum yang lebih baik tentang pengelolaan Rupiah. 38

Dalam bagian penjelasan UU RI Nomor 7 tahun 2011, isu mengenai kejahatan terhadap mata uang, terutama pemalsuan uang, dianggap sebagai salah satu keadaan yang merisaukan karena dampaknya dapat mengancam kondisi moneter dan perekonomian nasional. Pemalsuan uang dianggap seringkali menjadi awal dari kejahatan berat lainnya seperti terorisme, kejahatan politik, pencucian uang (money laundering), pembalakan kayu secara liar (illegal logging), dan perdagangan orang (human trafficking), baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun yang dilakukan oleh korporasi. Modus dan bentuk kejahatan terhadap mata uang, terutama pemalsuan uang, semakin berkembang. Sementara itu, ketentuan tindak pidana pemalsuan uang yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dianggap belum mengatur secara komprehensif jenis perbuatan dan sanksi yang diancamkan. Dengan dasar pemikiran tersebut, lahirnya peraturan hukum baru yang membahas mengenai Rupiah sebagai mata uang Indonesia, berikut larangan dan sanksi dalam suatu undang-undang, diharapkan dapat menjadi suatu langkah baru dalam upaya pemberantasan tindak pidana pemalsuan uang di Indonesia. 1. Larangan Isi dari bab VII dari UU RI Nomor 7 Tahun 2011 merupakan larangan atas beberapa perbuatan terhadap Rupiah sebagai mata uang Indonesia yang terdiri dari 5 pasal, mulai dari Pasal 23 sampai Pasal 27. 39

a) Menolak Rupiah Sebagai Alat Pembayaran (Pasal 23) Berikut adalah rumusan dari Pasal 23: (1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis. Aturan ini bukan merupakan aturan mengenai pemalsuan uang, melainkan tentang kewajiban menerima mata uang Rupiah (baik uang kertas Rupiah maupun uang logam Rupiah) pada suatu pembayaran (sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21). Tapi pasal ini juga memiliki keterkaitan dengan tindak pidana pemalsuan uang, dimana apabila ada keragu-raguan atas keaslian dari rupiah yang diterima dari suatu pembayaran, maka diberikan pengecualian untuk mereka yang menolak Rupiah sebagai alat pembayaran. b) Meniru Rupiah (Pasal 24) Berikut adalah rumusan dari Pasal 24: (1) Setiap orang dilarang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan/ atau promosi dengan memberi kata spesimen. (2) Setiap orang dilarang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan. Perbuatan meniru rupiah menghasilkan Rupiah Tiruan yang dalam UU Mata Uang mengandung arti sebagai suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, atau diedarkan, tidak digunakan sebagai alat pembayaran dengan merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara. 40

c) Merusak Rupiah (Pasal 25) Berikut adalah rumusan dari Pasal 25: (1) Setiap orang dilarang merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara. (2) Setiap orang dilarang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah. (3) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah. Perbuatan merusak Rupiah dianggap sebagai bentuk merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara. Untuk itu setiap orang dilarang melakukan perbuatan merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah. Uang yang telah dirusak itu juga dilarang untuk diperdagangkan atau diedarkan. d) Memalsu Rupiah (Pasal 26) Berikut adalah rumusan dari Pasal 26: (1) Setiap orang dilarang memalsu Rupiah. (2) Setiap orang dilarang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu. (3) Setiap orang dilarang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu. (4) Setiap orang dilarang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (5) Setiap orang dilarang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu. Pada bagian ketentuan umum UU RI Nomor 7 Tahun 2011, Pasal 1 butir ke 9, Rupiah Palsu diartikan sebagai suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum. 41

Pasal 26 ini melarang setiap orang untuk menyimpan, mengedarkan, membelanjakan, membawa atau memasukkan ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Indonesia, dan mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu. e) Memproduksi atau Memiliki Persediaan Bahan untuk membuat Rupiah Palsu (Pasal 27) Berikut adalah rumusan dari Pasal 27: (1) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak, atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu. (2) Setiap orang dilarang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu. Larangan yang dimaksud dalam Pasal 27 dapat dipahami sebagai bentuk pencegahan terhadap pemalsuan Rupiah. Pasal 27 ini bukan merupakan salah satu kejahatan terhadap Rupiah karena terjadi sebelum adanya peniruan, pemalsuan, atau perusakan Rupiah. 2. Ketentuan Pidana Sanksi hukum terhadap kejahatan Mata Uang, khususnya pemalsuan Rupiah, pada UU RI Nomor 7 Tahun 2011 semakin diperberat guna menimbulkan efek jera bagi pelaku sebab dampak yang ditimbulkannya sangat besar, baik bagi negara dan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aturan Pasal yang menerapkan hukuman seumur hidup sebagai ancaman maksimalnya, sedangkan dalam KUHP ancaman maksimal bagi kejahatan yang menyangkut pemalsuan uang adalah 15 tahun penjara. Sanksi denda bagi pelaku pemalsuan uang dalam 42

UU Mata Uang ini juga sangat besar jumlahnya, hal ini menunjukkan keseriusan dari pembentuk undang-undang untuk memberantas kejahatan pemalsuan uang. Pasal 33 (1) Setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam: a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau c. transaksi keuangan lainnya, Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/ atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 34 (1) Setiap orang yang meniru Rupiah, kecuali untuk tujuan pendidikan dan promosi dengan memberi kata spesimen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang menyebarkan atau mengedarkan Rupiah Tiruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 35 (1) Setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan, dan/atau mengubah Rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah sebagai simbol negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (2) Setiap orang yang membeli atau menjual Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/ atau diubah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 43

(3) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah yang sudah dirusak, dipotong, dihancurkan, dan/atau diubah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 36 (1) Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (3) Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (4) Setiap orang yang membawa atau memasukkan Rupiah Palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana. dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (5) Setiap orang yang mengimpor atau mengekspor Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) Pasal 37 (1) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/ atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (2) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor, menyimpan, dan/ atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 44

Pasal 38 (1) Dalam hal perbuatan tindak pidana se bagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan oleh pegawai Bank Indonesia, pelaksana Pencetakan Rupiah, badan yang mengoordinasikan pemberantasan Rupiah Palsu, dan/atau aparat penegak hukum, pelaku dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (satu per tiga). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan secara terorganisasi, digunakan untuk kejahatan terorisme, atau digunakan untuk kegiatan yang dapat mengakibatkan terganggunya perekonomian nasional, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 39 (1) Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal.36, atau Pasal 37 ditambah 1/3 (satu per tiga). (2) Dalam hal terpidana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu membayar pidana denda, dalam putusan pengadilan dicantumkan perintah penyitaan harta benda korporasi dan/atau harta benda pengurus korporasi. (3) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, atau Pasal 37, setiap orang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau perampasan terhadap barang tertentu milik terpidana. Pasal 40 (1) Dalam hal terpidana perseorangan tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pidana denda diganti dengan pidana kurungan dengan ketentuan untuk setiap pidana denda sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan. (2) Lama pidana kurungan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Pasal 41 (1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 adalah pelanggaran. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 adalah kejahatan. 45

C. Perbedaan Antara Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Uang Dalam KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang Tindak pidana pemlasuan uang merupakan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi banyak pihak. Negara sebagai pembuat dan pengelola uang akan mengalami kerugian, bagi masyarakat yang merupakan penerima sekaligus pengguna uang juga demikian. Dampak yang ditimbulkan dari kejahatan pemalsuan uang sangat besar dan tak terbatas ruang lingkupnya. Selama uang palsu masih beredar di pasaran, maka kerugian juga masih berpotensi memakan korban. Pada setiap perbuatan pemalsuan (tidak hanya pemalsuan uang, melainkan semua jenis pemalsuan), dapat dilihat bahwa sudah terjadi pelanggaran terhadap 2 (dua) norma dasar, yaitu: 39 - Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan; - Ketertiban masyarakat yang pelanggarannya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap Negara / ketertiban umum. Mengingat pentingnya menjaga kepercayaan masyarakat kepada uang yang merupakan simbol dari kedaulatan Negara, maka aturan hukum yang cukup atau memadai adalah hal yang penting agar terjadi suatu ketertiban di lingkungan masyarakat, dan para pelaku tindak pidana pemalsuan uang dapat dihukum, timbul penyesalan pada dirinya sehingga jera dan tidak lagi mau melakukan 155. 39 A. K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus, Alumni, Bandung, 1980, hlm. 46

perbuatan serupa. Saat ini aturan hukum yang terkait dengan tindak pidana pemalsuan uang di Indonesia dapat ditemukan dalam KUHP dan UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Pada KUHP, ancaman hukuman maksimal bagi pelaku tindak pidana pemalsuan uang tergolong berat. Negara memandang serius kejahatan pemalsuan uang, sebab dampak dari kejahatan ini tidak hanya mengincar seseorang sebagai korban, melainkan banyak pihak. Kejahatan ini tidak dipandang seperti tindak pidana penipuan dari Pasal 378 atau tindak pidana lain mengenai kekayaan orang. Kejahatan pemalsuan uang dipandang serius sebab potensi kerugian yang ditimbulkannya jauh lebih besar. Menurut sejarah, pada zaman dahulu di beberapa negara Eropa, pernah diberlakukan hukuman mati untuk pelaku pemalsuan uang. 40 Untuk tindak pidana pemalsuan uang, pada KUHP disebutkan bahwa berlaku suatu asas yang disebut sebagai asas universaliteit. Maksud dari asas tersebut adalah agar hukum pidana Indonesia tetap dapat diberlakukan bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana pemalsuan uang diluar Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam KUHP Pasal 4. Setiap orang, baik warga negara Indonesia, maupun warga negara asing yang berbuat kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal ini, meskipun berada diluar wilayah Indonesia dapat dikenakan ketentuanketentuan pidana Indonesia. 41 Terkait kejahatan tindak pidana pemalsuan uang, aturan pasal per pasal dalam KUHP juga sudah tergolong lengkap dengan meliputi berbagai jenis 40 Wirjono Prodjodikoro, op.cit., hlm. 177. 41 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991, hlm. 32. 47

tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara dan masyarakat. Mulai dari kejahatan meniru atau memalsu uang (Pasal 244), mengedarkan uang palsu (Pasal 245), merusak uang (Pasal 246), mengedarkan uang rusak (Pasal 247), mengedarkan uang palsu yang lain dari Pasal 245 dan 247 (Pasal 249), membuat atau mempunyai persediaan benda atau bahan untuk memalsu uang (Pasal 250), dan menyimpan kepingan perak yang dianggap sebagai mata uang (Pasal 251). Objek pemalsuan di aturan tindak pidana pemalsuan uang sebagaimana yang diatur dalam KUHP meliputi uang kertas dan uang logam. Aturan dalam KUHP tidak hanya berlaku bagi pemalsu uang kertas dan uang logam Rupiah saja, melainkan juga uang kertas dan uang logam negara asing. 42 Hal ini menunjukkan luasnya cakupan aturan hukum dalam KUHP terkait dengan tindak pidana pemalsuan uang. Sementara itu dalam UU RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, objek pemalsuan yang dibicarakan terbatas hanya di mata uang Indonesia saja, yaitu Rupiah. Hal ini merupakan pembeda utama antara kedua aturan hukum tersebut. Untuk jenis perbuatan terkait pemalsuan uang yang dilarang, sebenarnya hampir serupa dengan yang diatur dalam KUHP, yaitu meniru Rupiah (Pasal 24), merusak Rupiah (Pasal 25), memalsu Rupiah (Pasal 26), dan membuat atau mempunyai persediaan benda atau bahan untuk memalsu Rupiah (Pasal 27). Semua pasal yang telah disebutkan diatas juga dapat ditemukan rumusannya dalam KUHP. 42 Ibid., hlm. 184. 48

Perbedaan lain yang bisa dilihat saat membandingkan aturan hukum pemalsuan uang di KUHP dan UU RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang adalah ancaman hukuman maksimal dari beberapa bentuk kejahatan. Jika dilihat dalam KUHP, untuk tindak pidana pemalsuan uang ancaman hukuman maksimalnya adalah 15 (lima belas) tahun penjara (untuk Pasal 244 dan Pasal 245). Sementara itu dalam UU RI No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, ancaman hukuman maksimal bagi kejahatan pemalsuan uang adalah pidana penjara seumur hidup (untuk Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1) dan (2), dan Pasal 38 ayat (2)). 49