BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No.

dokumen-dokumen yang mirip
2008, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Porno

UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI [LN 2008/181, TLN 4928]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Isi Undang-Undang Pornografi & Pornoaksi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PORNOGRAFI

BAB II PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PORNOGRAFI DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA SEBELUM LAHIRNYA UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

Apa Dong (dot) Com

Ringkasan Putusan.

No berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlu

Pasal 5: Setiap orang dilarang

BAB I PENDAHULUAN. kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

PENJELASAN ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PORNOGRAFI

BAB 4 ANALISIS DATA. Kesimpulan/Fakta. Penjelasan. Analisis. Gambar 2 Struktur Wacana Berita

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masuknya informasi dari luar negeri melalui media massa dan

Brought to you by

Lampiran 2 UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Jalan Jenderal Gatot Subroto - Jakarta 10270

2008, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tenta

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 17/PUU-VI/2009 tentang Undang-undang Pornografi (Kemajemukan budaya yang terlanggar)

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA JAMBI dan WALIKOTA JAMBI M E M U T U S K A N :

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

BAB 1 PENDAHULUAN. itu setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada hukum. Hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA [LN 2002/85, TLN 4229]

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN.. TENTANG ANTI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG SERAH SIMPAN KARYA CETAK, KARYA REKAM, DAN KARYA ELEKTRONIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA. A. Profil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PORNOGRAFI MENURUT UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan muatan yang melanggar kesusilaan

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

HAK ANAK DALAM KETENAGAKERJAAN

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR TAHUN TENTANG PENGELOLAAN WARUNG INTERNET DI KABUPATEN KUDUS

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

I. PENDAHULUAN. Pada saat ini banyak sekali ditemukan berbagai macam event-event hiburan yang

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR : 14 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA WARUNG INTERNET

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. macam informasi melalui dunia cyber sehingga terjadinya fenomena kejahatan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

Tata Cara Merubah Komitmen:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. bidang teknologi informasi dan komunikasi, pers telah memberikan andil yang

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR : 8TAHUN 2010 TANGGAL : 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG : TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang artinya porstitusi, pelacur; dan graphien yang artinya menggambarkan, menulis,

Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (ITE)

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO.8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

BAB IV ANALISIS STUDI KOMPARATIF ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEDOFILIA

ASPEK HUKUM PIDANA VIDEO PORNO DARI PERSPEKTIF UU NO. 44 TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI S K R I P S I

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

Main. Course Title This is the slide title PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK. Disampaikan di BP3AKKB Jawa Barat 12 Februari 2014

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

Institute for Criminal Justice Reform

MATRIKS PERBANDINGAN PERUBAHAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

PERATURAN DAERAH KOTA SAMBAS NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PELACURAN DAN PONOGRAFI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

RechtsVinding Online

Kebijakan Kriminal dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Bisnis Live Sex

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2008 TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PERATURAN-PERATURAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG DI INDONESIA

Pelanggaran terhadap nilai-nilai kesopanan yang terjadi dalam suatu. masyarakat, serta menjadikan anak-anak sebagai obyek seksualnya merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia di kenal sebagai salah satu negara yang padat penduduknya.

Transkripsi:

72 BAB III TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM UNDANG UNDANG NO. 44 TAHUN 2008 A. Pengertian Pornografi Menurut Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi telah diundangkan pada tanggal 26 November 2008. Berbagai tanggapan telah terjadi dalam masyarakat sejak difatwakannya Larangan Pornografi dan Pornoaksi oleh Majelis Ulama Indonesia Nomor 287 Tahun 2001 yang dikeluarkan pada tanggal 22 Agustus 2001. Larangan Pornografi di Indonesia yang ditentukan dalam Hukum Tertulis sudah dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai warisan dari penjajah Hindia Belanda dan berlaku di Indonesia sejak tahun 1917, yang kemudian menjadi Undang-Undang dan berlaku setelah Indonesia merdeka berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 hingga saat ini. Pasal-pasal yang mengatur dan menentukan larangan dan hukuman bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana pornografi dan pornoaksi terdapat Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 532, dan Pasal 533 KUHP. Tetapi ketentuan-ketentuan dalam KUHP tidak efektif, maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi.

73 Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi masih diperdebatkan, terutama Penjelasan Pasal 4 ayat (1) mengenai batasan membuat pornografi yang merupakan pengecualian, bahwa Yang dimaksud dengan membuat adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Penjelasan tersebut mengundang polemik, karena isinya bertentangan dengan ketentuan pasal yang dimuat dalam batang tubuh Undang-Undang Pornografi itu sendiri. 1 Undang-Undang Pornografi (UUP) yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) pada hari Kamis, 30 Oktober 2008 merupakan keberhasilan bangsa dan negara Republik Indonesia dalam mengawali upaya menyelamatkan bangsa dan negara, terutama generasi muda, anak-anak, dan perempuan. Pornografi dan Pornoaksi adalah perbuatan yang berdampak negatif terhadap perilaku generasi muda. Anak-anak dan perempuan banyak yang telah menjadi korban, baik sebagai korban murni maupun sebagai pelaku sebagai korban. Karena itu, pornografi dan pornoaksi dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Hal ini bukan masalah baru, karena Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 532, dan Pasal 533 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah melarang pornografi maupun pornoaksi dan telah menentukan hukumannya. 1 Neng Djubaedah, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (Perspektif Negara Hukum Berdasarkan Pancasila), Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet. I, hlm. 1.

74 Sebagaimana telah diketahui, bahwa KUHP mulai berlaku di Indonesia sejak Januari Tahun 1917, tentu pada masa itu pun sebab ditentukannya pidana bagi pelaku pornografi dan pornoaksi adalah karena adanya alasan bahwa pornografi dan pornoaksi merupakan perbuatan yang merusak moral dan akhlak bangsa. Pasal-pasal yang menentukan larangan pornoaksi dan pornografi beserta hukumannya dimasukkan ke dalam Bab tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan. Pornografi dan pornoaksi berdampak pula terhadap perbuatan amoral lainnya atau tindak pidana lainnya, misalnya perzinaan, pemerkosaan, pelacuran, aborsi, pembunuhan, dan lain-lain. 2 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi pada Bab I Ketentuan Umum Pasal I Ayat I, yang dimaksud dengan pengertian Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 3 2 Ibid, hlm. 3. 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Undang-undnag Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Yogyakarta: Bening, 2010, Cet. I, hlm. 62.

75 Undang-Undang Pornografi (UUP) tidak memberi batasan pegertian tindak pidana pornografi, tetapi UUP sekedar memuat batasan pornografi dan merumuskan bentuk-bentuk tindak pidana pornografi. 4 Dengan demikian, tindak pidana dapat diberi batasan sebagai perbuatan yang dilarang oleh UU disertai ancaman pidana terhadap siapa saja yang melakukan perbuatan tersebut. Sementara itu, menurut UUP pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 5 Berdasarkan pengertian tindak pidana dan pornografi tersebut, dapat diberi batasan tindak pidana pornografi adalah perbuatan dengan segala bentuk dan caranya mengenai dan yang berhubungan dengan gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat yang dirumuskan dalam UUP dan diancam pidana bagi siapa yang melakukan perbuatan tersebut. 4 Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi (Penyerangan Terhadap Kepentingan Hukum Mengenai Tegaknya Tatanan Kehidupan Akhlak dan Moral Kesusilaan Yang Menjunjung Tinggi Nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab), Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009, hlm. 137. 5 Pasal 1 Angka 1 UUP.

76 Menurut UUP, pengertian objek pornografi lebih luas daripada objek pornografi menurut KUHP. KUHP menyebut 3 (tiga) objek, yaitu tulisan, gambar, dan benda. Adapun yang termasuk benda ialah alat untuk mencegah dan menggugurkan kehamilan. 6 Objek pornografi menurut UUP telah diperluas sedemikian rupa termasuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komuikasi. Dalam objek pornografi mengandung 3 (tiga) sifat, yaitu (1) isinya mengandung kecabulan, (2) eksploitasi seksual, (3) melanggar norma kesusilaan. Sementara itu, KUHP menyebutnya dengan melanggar kesusilaan. Antara benda pornografi dengan sifat kecabulan dan melanggar norma kesusilaan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karena memuat kecabulan, maka melanggar norma kesusilaan. Kecabulan merupakan isi dari pornografi. Pornografi yang mengandung isi kecabulan tersebut harus terbentuk dalam suatu wujud, misalnya dalam bentuk gambar, sketsa ilustarsi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan. Pada wujud inilah terdapat isi kecabulan. Misalnya, dalam gambar terdapat kecabulan bila gambar tersebut memuat secara eksplisit persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; 6 Pasal 283, 534, 535 KUHP.

77 alat kelamin; atau pornografi anak. 7 Wujud dari kecabulan yang melekat pada suatu benda disebut benda pornografi. Misalnya, surat kabar, majalah, tabloid, dan media cetak sejenisnya, film, dan/atau yang dipersamakan dengan film, video, video compact disc, digital video disc, compact disc, personal computer-compact disc read only memory, kaset dan rekaman hand phone dan/atau alat komunikasi lainnya. B. Dasar-dasar Pornografi Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang pada awalnya berjudul Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi, memuat larangan pornoaksi, meskipun hanya dimuat secara tersirat (implisit) dalam Pasal 1 angka 1, dan secara tersurat (eksplisit) dalam Pasal 10, dan hukumannya dalam Pasal 36 Undang-Undang tersebut. Rasio dimuatnya larangan dan hukuman terhadap pelaku pornoaksi dapat diumpamakan sebagai berikut. Pornografi dan Pornoaksi sebagai unsur penting dalam pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pornoaksi diumpamakan sebagai unsur pokok dalam pembuatan suatu produk benda terlarang. Misalnya opium, sebagai bahan utama pembuatan serbuk heroin. Jika pembuatan heroin dilarang, maka tentu opium sebagai bahan utama pembuatan heroin juga dilarang diproduksi, disebarluaskan, dan digunakan. Tetapi jika opium itu digunakan untuk obat penghilang nyeri dalam ukuran tertentu berdasarkan alasan ilmiah dalam ilmu kedokteran 7 Pasal 4 Ayat 1 UUP.

78 untuk menyelamatkan nyawa seorang, misal ketika seorang harus menjalankan operasi anggota tubuhnya, maka penggunaan opium untuk tujuan anestesi tentu diperbolehkan. 8 Asas-asas dan tujuan di undangkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi perlu dimuatkan dalam bagian ini, karena berdasarkan asas-asas dan tujuan-tujuan inilah yang seharusnya terjabar dalam Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 yang menentukan tindak pidana pornografi dan hukumannya serta peraturanperaturan lainnya, seperti peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, peran masyarakat, perlindungan anak. Pemusnahan produk pornografi, dan lain-lain. Asas-asas Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 ditentukan dalam Pasal 2 sebagai berikut: Pengaturan pornografi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Asas-asas Undang-Undang Pornografi terdiri dari enam asas, yaitu: 1. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Asas penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, 3. Asas kebhinnekaan, 4. Asas kepastian hukum, 8 Neng Djubaedah, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (Perspektif Negara Hukum Berdasarkan Pancasila), op.cit., hlm. 22.

79 5. Asas nondiskriminasi, dan 6. Asas perlindungan terhadap warga negara. 9 Adapun dasar Pornografi yang diatur dalam UU No. 44 tahun 2008 Bab II mengenai LARANGAN DAN PEMBATASAN Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, yaitu: Pasal 4 yaitu; (1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, mengandakan meyebarluaskan, menyiarkan mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. Kekerasan seksual; c. Masturbasi atau onani; d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. Alat kelamin; atau f. Pornografi anak. (2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau 9 Ibid, hlm. 31.

80 d. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual. Pasal 5 yaitu; Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Ayat (1). Pasal 6 yaitu; Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 7 yaitu; Setiap orang dilarang menandai atau memfasilitasi perbuatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 8 yaitu; Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Pasal 9 yaitu; Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi. Pasal 10 yaitu; Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain, dalam pertunjukan atau di muka umum, yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.

81 Pasal 11 yaitu; Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10. Pasal 12 yaitu; Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi. Pasal 13 yaitu; (1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. (2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus. Pasal 14 yaitu; Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13, diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, Undang-undnag Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, op.cit., hlm. 64-67.

82 Adapun yang dijelaskan dalam Bab IV yaitu mengenai PENCEGAHAN dibagi dalam 2 (dua) bagian yaitu: Bagian Kesatu mengenai Peran Pemerintah dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19, yaitu; Pasal 17 yaitu; Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal 18 yaitu; Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. Melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet; b. Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan,. Dan penggunaan pornografi; dan c. Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal 19 yaitu; Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah daerah berwenang: a. Melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;

83 b. Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; c. Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan d. Mengembangkan sistem komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya. Bagian Kedua mengenai Peran Serta Masyarakat dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, yaitu; Pasal 20 yaitu; Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Pasal 21 yaitu; (1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dapat dilakukan dengan cara: a. Melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini; b. Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan d. Melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf a dan huruf b, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

84 Pasal 22 yaitu; Masyarakat yang melaporkan pelanggaran, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, berhak mendapat perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 11 C. Sanksi Pidana Pornogafi Dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Adapun Sanksi Pidana Pornografi yang diatur dalam UU No. 44 tahun 2008 Bab VII mengenai KETENTUAN PIDANA Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41, yaitu: Pasal 29 yaitu; Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 30 yaitu; Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda 11 Ibid, hlm. 68-70.

85 paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 31 yaitu; Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 12 Pasal 32 yaitu; Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 33 yaitu; Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah). Pasal 34 yaitu; Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 12 Ibid, hlm. 74.

86 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 13 Pasal 35 yaitu; Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 36 yaitu; Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 37 yaitu; Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya. 14 13 Ibid, hlm. 75. 14 Ibid, hlm. 76.

87 Pasal 38 yaitu; Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 39 yaitu; Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan. Pasal 40 yaitu; (1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama satu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. (2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orng-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

88 (4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), dapat diwakili oleh orang lain. (5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. (6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dilakukan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap Pasal dalam Bab ini. 15 Pasal 41 yaitu; Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa: a. Pembekuan izin usaha; b. Pencabutan izin usaha; c. Perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan d. Pencabutan status badan hukum. 16 15 Ibid, hlm. 77. 16 Ibid, hlm. 78.