Pentingnya Pelayanan BK Dalam Pengembangan Kurikulum 2013 Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Di Sekolah

dokumen-dokumen yang mirip
(1) suatu usaha untuk melengkapi individu dengan pengetahuan, pengalaman dan informasi tentang dirinya sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing,

I. PENDAHULUAN. memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi. penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

PELATIHAN PENGEMBANGAN SILABUS DAN RPP MATA PELAJARAN IPS TERINTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA GURU IPS SMP DI MGMP SLEMAN

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2008 TENTANG STANDAR KUALIFIKASI AKADEMIK DAN KOMPETENSI KONSELOR

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan karakter (character building) generasi bangsa. Pentingnya pendidikan

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENGEMBANGAN PROFESI BIMBINGAN DAN KONSELING YANG BERORIENTASI KURIKULUM 2013

BAB I PENDAHULUAN. yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan

MENJADI KONSELOR PROFESIONAL : SUATU PENGHARAPAN Oleh : Eva Imania Eliasa, M.Pd

BAB I PENDAHULUAN. bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Long life education adalah motto yang digunakan oleh orang yang

1. PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peranan penting dalam pembentukan generasi muda penerus bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. dampak bagi gaya hidup manusia baik positif maupun negatif. Di sisi lain kita

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan pilar utama bagi kemajuan bangsa dan negara.

BUPATI LUWU PROPINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU NOMOR : TENTANG PENDALAMAN MATERI PENDIDIKAN AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. sikap, perilaku, intelektual serta karakter manusia. Menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHUHUAN. solusinya untuk menghindari ketertinggalan dari negara-negara maju maupun

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Pendidikan dapat dimaknai sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

BAB I PENDAHULUAN. demokratis senantiasa memberi perhatian terhadap pendidikan melalui regulasi yang mengatur

I. PENDAHULUAN. karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.

BAB I PENDAHULUAN. belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

BAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang dan Masalah. 1. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kebutuhan yang sangat penting bagi manusia.

BAB I PENDAHULUAN. tentu tidak dapat dipisahkan dari semua upaya yang harus dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. kewibawaan guru di mata peserta didik, pola hidup konsumtif, dan sebagainya

BAB I PENDAHULUAN. Sesederhana apapun peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu tujuan cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sesuai dengan tujuan pendidikan yang berbunyi :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. terus diupayakan melalui pendidikan. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan sebagai tempat mencetak sumber daya manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Suatu bangsa bisa dikatakan telah maju apabila seluruh warga negaranya

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kemajuan suatu negara berbeda antara negara yang satu dengan

PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER DI PERGURUAN TINGGI: KAJIAN TEORITIS PRAKTIS

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai kehidupan guna membekali siswa menuju kedewasaan dan. kematangan pribadinya. (Solichin, 2001:1) Menurut UU No.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan karakter merupakan salah satu upaya kebijakan dari pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan matematika dapat diartikan sebagai suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Kemudian dalam

I. PENDAHULUAN. yang mana didalamnya terdapat pembelajaran tentang tingkah laku, norma

BAB I PENDAHULUAN. hanya manusia yang berkualitas saja yang mampu hidup di masa depan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan pondasi kemajuan suatu negara, maju tidaknya

I. PENDAHULUAN. berpengaruh dalam kemajuan suatu bangsa. Pendidikan juga awal dari. terbentuknya karakter bangsa. Salah satu karakteristik bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tantangan terberat bagi bangsa Indonesia pada era globalisasi abad

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan tuntutan baru dalam masyarakat. Perubahan tersebut. terlebih jika dunia kerja tersebut bersifat global.

BAB I PENDAHULUAN. Umbara, Bandung, 2003, hlm Ahmad Juntika Nurihsan dan Akur Sudiarto, Manajemen Bimbingan dan Konseling di

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana karakteristik dari negara tersebut. Pendidikan merupakan kunci untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang matang akan menciptakan generasi-generasi yang cerdas baik cerdas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENERAPAN KONSEP PEMBELAJARAN HOLISTIK DI SEKOLAH DASAR ISLAM RAUDLATUL JANNAH WARU SIDOARJO PADA MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2015 PROGRAM PENINGKATAN KINERJA GURU BIMBINGAN DAN KONSELING BERDASARKAN HASIL ANALISIS KINERJA PROFESIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diharapkan dapat

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan upaya manusia untuk memperluas cakrawala

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

BAB I PENDAHULUAN. Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional kabupaten hingga diimplementasikan langsung disekolah

BAB I P E N D A H U L U A N. Karakter yang secara legal-formal dirumuskan sebagai fungsi dan tujuan

BAB IV ANALISIS. 2002), hlm.22

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BIMBINGAN DAN KONSELING DAN PENELUSURAN MINAT DI SMP DALAM KURIKULUM 2013

BAB I PENDAHULUAN. Remaja Rosda Karya, 2013) hlm. 16. aplikasinya (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2009) hlm, 13

BAB I PENDAHULUAN. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab. I, pasal 1:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia memerlukan berbagai macam pengetahuan dan nilai. Terkait

BAB I PENDAHULUAN. pengawasan orang tua terhadap kehidupan sosial anak, kondisi lingkungan anak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indri Murniawaty, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Akhir-akhir ini masalah kenakalan remaja menjadi semakin

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kehidupan lainnya seperti keluarga, sosial kemasyarakatan, pemerintahan,

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan

BAB I PENDAHULUAN. Arif Hadipranata, 2000, Peran psikologi di Indonesia,Yogyakarta, Fakultas Psikologi UGM,, hlm 75. 2

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pendidikan nasional ditujukan untuk mewujudkan cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu wadah yang didalamnya terdapat suatu

Judul BAB I PENDAHULUAN

PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI STRATEGI PENGUATAN WAWASAN KEBANGSAAN SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 23 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. membangun banyak ditentukan oleh kemajuan pendidikan. secara alamiah melalui pemaknaan individu terhadap pengalaman-pengalamannya

BAB I PENDAHULUAN. patriotisme, dan ciri khas yang menarik (karakter) dari individu dan masyarakat bangsa

BAB 1 PENDAHULUAN. terpenting dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang berkualitas adalah yang. Pasal 3 tentang fungsi dan tujuan pendidikan adalah:

I. PENDAHULUAN. ini karena tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan akan

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan prasyarat mutlak

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan individu dan perkembangan masyarakat, selain itu pendidikan

Transkripsi:

Pentingnya Pelayanan BK Dalam Pengembangan Kurikulum 2013 Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Di Sekolah Siti Fitriana fitrifitriana26@yahoo.co.id 23 Abstrak Pendidikan di Indonesia saat ini belumlah optimal dan masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini bisa dilihat dari perbandingan pendidikan kita dengan negara-negara lain dari waktu ke waktu selalu mengalami penuruan. Meskipun banyak di antara peserta didik yang memenangi berbagai ajang olimpiade akademik, juga banyak di antara peserta didik yang mempunyai posisi penting di beberapa perusahaan global, tetapi prestasi tersebut lebih disebabkan karena faktor individual, bukan hasil dari program yang dijalankan secara nasional.satu hal yang sering dilupakan adalah proses pembentukan pribadi, proses pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian (cura personalis) siswa. Akibatnya adalah banyak penilaian yang menganggap bahwa secara hard skills siswa Indonesia tidak kalah dengan negara lain, tetapi secara soft skills. Dilihat dari kacamata teoritis maupun empiris, tampaknya tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pendidikan karakter saat ini telah menjadi kebutuhan mendesak di negeri ini.karakter merupakan nilainilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.dalam upaya membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan,sesuai dengan arahan Pasal 4 (3) UU No. 20/2003, Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan. Dalam konteks ini kolaborasi guru bimbingan dan konseling dengan guru mata pelajaran hendaknya terjadi dalam konteks yang lebih luas yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Kata-kata Kunci: Pelayanan BK, Kurikulum 2013, Mutu Pendidikan 215

A. PENDAHULUAN Kurikulum 2013 banyak menjadi bahan pembicaraan bagi semua pihak terutama di kalangan pendidik baik guru, dosen, pengawas, praktisi, maupun pemerhati pendidikan sampai dengan tingkat DPR yang membidangi pendidikan juga turut ambil peran guna memberikan masukan kepada pemerintah tentang kebermanfaatan kurikulum tersebut jika diberlakukan pada tahun ini. Banyak praktisi yang memikirkan nasib keilmuan yang mereka tekuni selama ini apakah masih digunakan atau tidak, dengan kepentingan yang bermacam-macam dari para pihak sehingga sering menimbulkan kontroversi tentang banyaknya pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum 2013 hanya dibuat untuk kepentingan tertentu atau benar-benar berorientasi pada siswa yang akhirya dapat meningkatkan kualitas peserta didik di sekolah. Pendidikan adalah salah satu pijakan penting dalam kehidupan, baik dalam lingkup kehidupan pribadi maupun sosial. Hal ini juga disadari sepenuhnya pemerintah karena diwujudkan dalam pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang meneguhkan pentingnya pendidikan bagi setiap pribadi yang hidup di tanah air indonesia. Lalu bagaimanakah kondisi pendidikan Indonesia saat ini? Jika kita melihat dengan kacamata objektivitas, maka akan muncul kesimpulan bahwa pendidikan di Indonesia belumlah optimal dan masih sangat jauh dari yang diharapkan. Kalau kita melihat perbandingan pendidikan kita dengan negaranegara lain dari waktu ke waktu selalu mengalami penuruan. Hal ini dapat dilihat pada data statistik mengenai pendidikan Indonesia. Di antaranya laporan United Nation Educational, Scientific, and Cultural (UNESC)yang menyebutkan, bahwa peringkat Indonesia di bidang pendidikan turun dari 58 ke 62. Selain itu, daya saing Indonesia menurut World Economic Forum, 2007-2008, berada di level 54 dari 131 negara. Jauh di bawah peringkat daya saing sesama negara ASEAN seperti Malaysia yang berada di urutan ke-21 dan Singapura pada urutan ke-7. Hal ini sebetulnya menunjukkan indikasi adanya ketertinggalan pendidikan kita dari pendidikan negara-negara lain, baik di kawasan regional maupun di kawasan global. Bahkan secara khusus Bank Dunia (World Bank) mempublikasikan laporan mengenai adanya peningkatan kuantitas pendidikan dan anak yang bersekolah di Indonesia, namun tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pendidikan (http://siteresources.worldbank.org). B. PEMBAHASAN Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan. Meskipun banyak di antara peserta didik yang memenangi berbagai ajang olimpiade akademik, juga banyak di antara peserta didik yang mempunyai posisi penting di beberapa perusahaan global, tetapi prestasi tersebut lebih disebabkan karena faktor individual, bukan hasil dari program yang dijalankan secara nasional.secara faktual, tujuan pendidikan Indonesia sering dibiaskan seturut dengan pandangan umum; demi mutu keberhasilan akademis seperti persentase 216

lulusan, tingginya nilai ebtanas murni, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi negeri. Satu hal yang sering dilupakan adalah proses pembentukan pribadi, proses pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values) dan pemeliharaan kepribadian (cura personalis) siswa (Kartono,2007). Akibatnya adalah banyak penilaian yang menganggap bahwa secara hard skills siswa Indonesia tidak kalah dengan negara lain, tetapi secara soft skills (di antaranya EQ, karakter, kedisiplinan, semangat juang, dsb), siswa Indonesia masih harus banyak belajar dari negara-negara lain.mengingat proses pembentukan, pendampingan, dan pemeliharaan pribadi, terutama di sekolah, adalah bagian dari peran bimbingan dan konseling, maka perlu disadari bahwa sebetulnya bimbingan dan konseling memegang peran yang cukup menentukan dalam peningkatan kualitas pendidikan di sekolah, dan tentu saja berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Bimbingan dan Konseling di Sekolahmerupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pendidikan karena di dalam kegiatan pendidikan terdapat pengajaran, pembimbingan maupun pelatihan. Shertzer dan Stone (dalam Winkel, 2005: 1) mengemukakan bahwa bimbingan (guidance) adalah suatu proses membantu orang-perseorangan untuk memahami dirinya sendiri dan lingkungan hidupnya. Dalam kerangkaini, maka bimbingan bisa diartikan sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku (Prayitno, 2004: 99). Senada dengan itu, Djumhur dan Moh. Surya (1975:15), berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bimbingan merupakan kegiatan yang memberikan bantuan pada individu untuk menentukan arah, menemukan jalan ataupun mengambil keputusan bagi dirinya sesuai maupun oleh lingkungannya. Sedangkan konseling (counseling) didefinisikan sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut klien atau konseli) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien (Prayitno, 2004: 105). Senada dengan itu, Winkel (2005:35) mendefinisikan konseling sebagai serangkaian kegiatan paling pokok dari bimbingan dalam usaha membantu konseli/klien secara tatap muka dengan tujuan agar klien 217

dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah.dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konseling adalah usaha membantu konseli atau klien dengan tujuan agar klien dapat mengambil tanggung jawab sendiri terhadap berbagai persoalan atau masalah khusus yang dihadapinya dan berujung pada pemecahan masalah tersebut. Jika diambil benang merah antara bimbingan (guidance) dan konseling (counseling), maka bisa dikatakan bahwa masing-masing mempunyai peranan yang khas namun saling melengkapi satu sama lain. Bimbingan lebih bersifat membantu secara preventif (menentukan langkah atau mengambil keputusan ke depan untuk menghindari munculnya masalah atau problem), sedangkan konseling merupakan bantuan yang lebih bersifat represif (mengupayakan solusi setelah mengalami masalah atau problem). Jika dikaitkan dengan implementasi bimbingan konseling dalam institusi pendidikan, bagaimanakah proses bimbingan konseling yang terjadi di sekolah-sekolah? Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa menjadi sangat beragam dan relatif. Di satu sisi, bisa disebut bimbingan konseling di sekolah dan pendidikan Indonesia sudah terakomodasi dengan baik. Pemerintah melalui UU no 20 th 2003 tentang pendidikan nasional menegaskan pentingnya bimbingan konseling yang tersirat dalam makna pendidikan dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini menunjukkan adanya kepedulian pemerintah terhadap implementasi bimbingan konseling di sekolah. Sehingga ketika ada campur tangan pemerintah dalam pelaksanaan bimbingan konseling di sekolah, bisa dikatakan ada dukungan kuat, karena dalam penerapan bimbingan konseling di sekolah, peran serta pemerintah dan pihak yang berwenang adalah sesuatu yang penting (Tan, 2004: 232). Akan tetapi, di sisi lain, secara faktual dan aktual, implementasi bimbingan konseling di sekolah belumlah seperti yang diharapkan. Adanya sasaran utama pencapaian standar akademik semisal ujian nasional ataupun kompetensi kognitif lain, terkadang mengabaikan peranan bimbingan konseling. Sementara di lain pihak, ada kecenderungan umum bahwa terjadi kerancuan peran bimbingan konseling di sekolah. Peran pembimbing dan konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi sekadar sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang sebenarnya paling potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi terutama dalam mengembangkan pendidikan karakter yang saat ini didambakan bagi semua pihak, ditempatkan dalam konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa. Dilihat dari kacamata teoritis maupun empiris, tampaknya tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pendidikan karakter saat ini telah menjadi kebutuhan mendesak di negeri ini. Untuk itu- 218

lah, sejak lebih dari satu tahun ke belakang pemerintah terus berupaya menggulirkan wacana tentang pentingnya penerapan pendidikan karakter di sekolah.terkait dengan pendidikan di SMP, pada bulan Maret 2010 lalu pemerintah telah menerbitkan sebuah buku yang diberi judul Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Sebagai buku terbitan dari lembaga yang paling bertanggungjawab dalam pengembangan pendidikan nasional, buku ini tentu akan menjadi bacaan dan pegangan wajib seluruh stakeholder pendidikan di negeri ini, terutama para praktisi pendidikan di sekolah-sekolah. Jika kita lihat isi buku tersebut terkesan bahwa pengembangan pendidikan karakter di SMP hanya dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan, yaitu: (1) pembelajaran; (2) Manajemen Sekolah; dan (3) Ekstra Kurikuler. Dengan adanya konsep pendidikan karakter, timbul pertanyaan dimanakah sebenarnya posisi bimbingan dan konseling dalam pengembangan pendidikan karakter? Padahal kalau kita meihat konteks yang ada bahwa bimbingan dan konseling sangat kental dengan karakter, tetapi seolah-olah terjadi dikotomi antara keberhasilan akademik dengan pembentukan kepribadian. Hal ini kemudian menimbulkan kegelisahan tersendiri, karena sebetulnya bimbingan konseling mempunyai peran penting dalam meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Secara nyata, bimbingan konseling mempunyai kaitan erat dengan ketiga hal ini, sehingga bisa dilihat peran bimbingan konseling dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pertama, kaitan antara bimbingan konseling dengan administrasi sekolah, dimana yang dimaksud dengan administrasi sekolah bukanlah aspek tata usaha, melainkan lebih pada aspek manajerial dan kepemimpinan sekolah. Tan (2004: 232) menyebutkan bahwa kesuksesan bimbingan konseling juga sangat tergantung pada administrasi, kepemimpinan di sekolah, dan seluruh sumber daya yang ada di sekolah. Secara khusus bimbingan konseling dan administrasi sekolah mempunyai hubungan yang bersifat mutualistik. Administrasi sekolah membutuhkan bimbingan konseling dalam hal masukan, saran-saran, dam laporan-laporan yang terutama berkaitan dengan kebutuhan siswa, tujuannya adalah supaya terjadi peningkatan mutu dan layanan yang diberikan pihak sekolah terhadap siswa (Winkel, 2005: 85). Dengan melakukan bimbingan dan konseling pada siswa, pihak BK diharapkan mengerti dan memahami apa yang menjadi kebutuhan siswa secara komperehensif untuk disampaikan pada pihak sekolah. Sedangkan bimbingan konseling juga terutama membutuhkan dukungan dan antusiasme dari pihak administrator sekolah baik dalam segi moral, etika, fasilitas, maupun profesionalitas. Dua kaitan ini sebenarnya mengindikasikan diperlukannya bimbingan konseling dalam hal meningkatkan kualitas layanan sekolah bagi siswa, baik dalam hal pendidikan maupun aspek pelayanan yang lainnya (afektif, psiko-sosial,dsb). Kedua, kaitan antara bimbingan konseling dengan aspek pengajaran dan pembelajaran di sekolah. Aspek pengajaran dan pembelajaran di sekolah identik dengan kurikulum yang ada, dimana kemudian tujuannya adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa. Se- 219

dangkan bimbingan konseling membantu siswa untuk meresapi pengalaman belajar tersebut. Dengan kata lain, bidang pengajaran menyajikan pengalaman belajar, sedangkan bimbingan konseling mengajak siswa untuk merefleksikan pengalaman belajar itu dalam konteks personal dan sosialnya (Winkel, 2005: 89). Artinya dengan masukan dari bimbingan konseling, kurikulum bisa menjadi lebih personal bagi siswa. Bimbingan konseling juga dapat membantu peningkatan aspek pengajaran dan pembelajaran dalam hal pengembangan kurikulum (agar sesuai dengan kebutuhan dan kapabilitas siswa) dan juga dalam penentuan penjurusan siswa, terutama agar penjurusan siswa tidak hanya didasarkan pada hasil tes IQ semata, tetapi juga memperhitungkan aspek minat, bakat, psikologis, dan kompetensi siswa. Ketiga, keterkaitan antara bimbingan konseling dengan siswa. Dimana sesungguhnya, bimbingan konseling punya peran besar dalam meningkatkan kualitas siswa. Hal ini sejalan dengan tujuan utama dari bimbingan dan konseling di sekolah yakni untuk membantu individu (siswa) mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (seperti: kemampuan dasar dan bakat-bakatnya), berbagai latar belakang yang ada (seperti: latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial ekonomi) serta sesuai dengan tuntutan positif lingkungannya. Dalam kaitan ini bimbingan dan konseling membantu individu untuk menjadi insan yang berguna dalam hidupnya yang memiliki wawasan, pandangan, interpretasi, pilihan, penyesuaian dan keterampilan yang tepat berkenaan dengan diri sendiri dan lingkungannya (Prayitno, 2004: 114). Bimbingan konseling bertugas untuk membantu siswa dalam hal perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis), mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak, menentukan cita-cita dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan itu, serta mengatasi masalah pribadi yang mengganggu belajar di sekolah atau hubungan dengan orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup (Kartono, 2007). Dengan mengenal dan memahami siswa secara personal, psikologis maupun sosial, maka bimbingan konseling mengakomodasi keberagaman siswa, serta membantu siswa untuk mengalami pembelajaran yang terkait dan relevan dengan kehidupan mereka, dimana hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan yang kontekstual (Johnson, 2008: 21). Bimbingan konseling juga membantu siswa menemukan kapabilitas dan kecerdasannya masing-masing tanpa diukur hanya dari IQ sebagai harga mati. Karena di dalam masing-masing siswa setidaknya tersimpan delapan kecerdasan dasar yang bisa dioptimalkan dengan bantuan bimbingan konseling. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka 220

mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP) apalagi berkembangnya kurikulum 2013 ini yang ingin mengedepankan pendidikan karakter sebagai tolok ukur keberhasilan peserta didik, dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, dan secara lebih operasional UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU ini di sebutkan secara jelas dan eksplisit kualifikasi pendidik, yaitu guru, dosen, konselor, pamong 221

belajar, widyaiswara, tutor, instruktur dan fasilitator (Pasal 1 Butir 6 UU No.20/2003). Pada satuan pendidikan dasar dan menengah (sekolah/ madrasah) berkinerja pendidik yang disebut guru, guru BK atau konselor (sesuai dengan penyebutan yang ada secara eksplisit pada PP No. 74/ 2008 tentang Guru). Yang dimaksud guru BK di sini adalah pendidik yang berstatus guru yang ditugaskan menyelenggarakan pelayanan Bimbingan dan Konseling (BK), sedangkan Konselor adalah pendidik yang sudah menyandang gelar profesi Konselor, yaitu gelar yang diperoleh setamat dari Pendidikan Profesi Konselor (PPK) yang selama ini telah terselenggara di beberapa LPTK. Dalam hal ini, di sejumlah sekolah/ madrasah di Indonesia telah bertugas pendidik yang bergelar Konselor. Dengan demikian kurikulum yang dikembangkan perlu mengefektifkan tenaga pendidik tersebut di sekolah/ madrasah (yaitu guru, guru BK atau Konselor). Hal ini telah dengan sangat bijak dikemukakan pada PP No. 74/ 2008 tentang Guru yang sekaligus mencantumkan keberadaan guru, guru BK atau Konselor. Guru BK secara eksplisit dicantumkan karena kondisi sekarang memang jumlah Konselor (tamatan program PPK) belum memadai, sehingga untuk penyelenggara BK masih kebanyakan ditugaskan kepada guru (yang selanjutnya disebut guru BK). Keberadaan Konselor disebutkan secara eksplisit dalam PP tersebut mengacu kepada kondisi ke depan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 20/ 2003 yaitu bahwa pendidik profesional penyelenggara pelayanan BK adalah Konselor. Sesuai dengan landasan operasional dan amanat UU serta PP di atas jelaslah bahwa pelayanan BK seharusnyalah diselenggarakan di sekolah/ madrasah seiring dengan diberlakukannya kurikulum pada satuan pendidikan tersebut. Menurut Prayitno (2012) dalam kaitannya dengan pengembangan Kurikulum 2013 yang direncanakan akan segera diberlakukan, pelayanan BK yang dimaksud akan memperkuat kurikulum baru itu; oleh karenanya keberadaan pelayanan BK tersebut perlu mendapat tempat dan arahan operasional yang eksplisit jelas dan terukur. Hal ini semua diperlukan untuk menyukseskan kurikulum baru yang dimaksud dalam pengembangan potensi peserta didik secara optimal, sesuai dengan fokus pengembangan upaya pendidikan yaitu dikuasainya oleh peserta didik kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang berguna bagi peserta didik, masyarakat, bangsa dan Negara (Pasal 1 Butir 1 UU No. 20/2003). Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan seharihari.sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. 222

Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik. Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbolsimbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas. 223

Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan. Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak. Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah dan pentingnya BK dalam pengembangan karakter siswa juga perlu mendapatkan tempat yang layak dan memadai agar dapat mewujudkan cita-cita dan tujuan dari pendidikan nasional. Dalam upaya membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan,sesuai dengan arahan Pasal 4 (3) UU No. 20/2003, Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan. Dalam konteks ini kolaborasi guru bimbingan dan konseling dengan guru mata pelajaran hendaknya terjadi dalam konteks yang lebih luas yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. C. KESIMPULAN Pendidikan adalah salah satu pijakan penting dalam kehidupan, baik dalam lingkup kehidupan pribadi maupun sosial. Hal ini juga disadari sepenuhnya pemerintah karena diwujudkan dalam pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang meneguhkan pentingnya pendidikan bagi setiap pribadi yang hidup di tanah air indonesia.kualitas pendi- 224

dikan di Indonesia saat ini sedang mengalami penurunan. Meskipun banyak di antara peserta didik yang memenangi berbagai ajang olimpiade akademik, juga banyak di antara peserta didik yang mempunyai posisi penting di beberapa perusahaan global, tetapi prestasi tersebut lebih disebabkan karena faktor individual, bukan hasil dari program yang dijalankan secara nasional. Mengingat proses pembentukan, pendampingan, dan pemeliharaan pribadi, terutama di sekolah, adalah bagian dari peran bimbingan dan konseling, maka perlu disadari bahwa sebetulnya bimbingan dan konseling memegang peran yang cukup menentukan dalam peningkatan kualitas pendidikan di sekolah, dan tentu saja berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Bimbingan konseling adalah sebuah layanan yang berorientasi pada siswa. Bimbingan konseling berusaha memahami keberadaan dan kebutuhan siswa, serta membantu siswa dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. 225

DAFTAR PUSTAKA Armstrong, Thomas, 2004. Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences dalam Pendidikan. Bandung: Kaifa. Depdiknas RI, 2008, PenataanPendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Ditjen PMPTK, 2007, Rambu-rambu Penyelenggaraan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Djumhar dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance & Counseling). Bandung : CV Ilmu. Kartono, ST, 2007. Perlunya Bimbingan Konseling. Didaktika (online). Tersedia:http:// qodrat.wordpress.com/2007/10/03/pentingnya-bimbingan-konseling-oleh-st-kartono dalam-didaktika/ Permendiknas RI, 2008, Nomor 27 tentang Standar Kualifikasi akademik dan Kompetensi Konselor. Prayitno, & Erman Amti, 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta. Tan, Esther, 2004. Counselling in Schools: Theories, Processes dan Techniques Singapore : Graw Hill. Winkel, W.S. & M.M. Sri Hastuti, 2004. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi. --------------, 2002. Laporan Peningkatan Kualitas Pendidikan. World Bank (online). Tersedia: http://siteresources.worldbank.org/intindonesia/resources/publication/. 226