EVALUASI KETERSEDIAAN HAYATI

dokumen-dokumen yang mirip
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN : PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS

UNIVERSITAS INDONESIA

UNIVERSITAS INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UJI BIOEKIVALENSI IN VITRO PRODUK OBAT BERMEREK DAN GENERIK BERLOGO YANG MEGANDUNG FUROSEMID

Registrasi Obat Jadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Referensi: Bioavailabilitas dan bioekivalensi. Bioavailabilitas. Bioavailabilitas. Bioavailabilitas. Bioavailabilitas

BIOFARMASI Dhadhang Wahyu Kurniawan Laboratorium Farmasetika

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

DESAIN SEDIAAN FARMASI

BADAN POM RI Ind P PEDOMAN PENILAIAN EFIKASI DAN KEAMANAN ANTIHIPERTENSI

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

Pengantar Farmakologi

Rute Pemberian Obat. Indah Solihah

YANG DIBERIKAN SECARA REKTAL

DRUG DELIVERY SYSTEM INTRANASAL FIFI ELVIRA JAMRI ( )

konvensional 150 mg dapat menghambat sekresi asam lambung hingga 5 jam, tetapi kurang dari 10 jam. Dosis alternatif 300 mg dapat meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan analisis obat semakin dikenal secara luas dan bahkan mulai

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

Aplikasi Farmakokinetika Klinis Tidak diragukan lagi bahwa salah satu kunci keberhasilan terapi dengan menggunakan obat adalah ditentukan dari

MATA KULIAH PROFESI INTERAKSI OBAT PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Tujuan Instruksional:

ilfi ,/' Konversi Energi Politeknik (I Gede Rasagama, Agos Setiawan, Liliasari dan Hermagasantos Zein) VoI.13 No.l Juni 20ll

Tujuan Instruksional:

Prinsip-prinsip Farmakologi. Copyright 2002, 1998, Elsevier Science (USA). All rights reserved.

APLIKASI FARMAKOKINETIKA DALAM FARMASI KLINIK MAKALAH

MATA KULIAH FARMAKOLOGI DASAR

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

bentuk sediaan lainnya; pemakaian yang mudah (Siregar, 1992). Akan tetapi, tablet memiliki kekurangan untuk pasien yang mengalami kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Furosemid merupakan obat golongan loop diuretik yang banyak digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS) banyak digunakan untuk terapi

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik

BAB I PENDAHULUAN. Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul obat

Waspada Keracunan Phenylpropanolamin (PPA)

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, hipotesis dan manfaat penelitian.

BAB 8: UJI KLINIS SEDIAAN OBAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Substitusi Produk Obat

PENDAHULUAN YENI FARIDA M.SC., APT

Paradigma dalam pengembangan obat. Pertimbangan terapeutik Pertimbangan biofarmasetik Pendekatan fisikokimia 4/16/2013 1

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PROSES PELEPASAN, PELARUTAN, DAN ABSOPRSI

INTERAKSI FARMAKOLOGI. Oleh: Wantiyah

CHECK LIST DOKUMEN REGISTRASI OBAT BARU

DOSIS OBAT. Dra. Helni. MKes, Apt

BAB VIII UJI KLINIS SEDIAAN OBAT

STUDI BIOEKIVALENSI AMOKSISILIN GENERIK DAN DAGANG MENGGUNAKAN MATRIKS URIN

TECHNOLOGY. Yeyet Cahyati Sumirtapura Kelompok Keilmuan Farmasetika Sekolah Farmasi ITB RINGKASAN

PEMBERIAN OBAT RASIONAL (POR) dr. Nindya Aryanty, M. Med. Ed

Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Pelepasan, Pelarutan dan Absorbsi Obat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat hewan pada masa

BAB I PENGANTAR FARMAKOKINETIKA. meliputi ruang lingkup ilmu farmakokinetik dan dasar-dasar yang menunjang ilmu

diperlukan pemberian secara berulang. Metabolit aktif dari propranolol HCl adalah 4-hidroksi propranolol yang mempunyai aktifitas sebagai β-bloker.

Mekanisme Kerja Obat

Effervescent system digunakan pada penelitian ini. Pada sistem ini formula tablet mengandung komponen polimer dengan kemampuan mengembang seperti

MAKALAH PERHITUNGAN DOSIS OBAT DISUSUN OLEH : VERTI AGSUTIN

(AIS) dan golongan antiinflamasi non steroidal (AINS). Contoh obat golongan AINS adalah ibuprofen, piroksikam, dan natrium diklofenak.

Sedangkan kerugiannya adalah tablet tidak bisa digunakan untuk pasien dengan kesulitan menelan. Absorpsi suatu obat ditentukan melalui disolusi

tanpa tenaga ahli, lebih mudah dibawa, tanpa takut pecah (Lecithia et al, 2007). Sediaan transdermal lebih baik digunakan untuk terapi penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

OBAT-OBATAN DI MASYARAKAT

PENETAPAN LAJU EKSKRESI TABLET KIMOXIL 500 MG MELALUI URINE

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

By: Dr. Fatma Sri Wahyuni, Apt.

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

mudah ditelan serta praktis dalam hal transportasi dan penyimpanan (Voigt, 1995). Ibuprofen merupakan obat analgetik antipiretik dan anti inflamasi

Dept.Farmakologi dan Terapeutik, Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tinggal obat dalam saluran cerna merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

PENGEMBANGAN OBAT BARU

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

Medikasi: pemberian zat/obat yang bertujuan untuk diagnosis, pengobatan, terapi, atau pereda gejala, atau untuk pencegahan penyakit Farmakologi: ilmu

Teknik likuisolid merupakan suatu teknik formulasi dengan obat yang tidak terlarut air dilarutkan dalam pelarut non volatile dan menjadi obat dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TUGAS FARMAKOKINETIKA

Penggunaan Obat pada Anak FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Penggunaan Obat pada Anak. Alfi Yasmina. Dosis: berdasarkan usia, BB, LPT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

NASIB OBAT DALAM TUBUH (FARMAKOKINETIKA) REZQI HANDAYANI S.Farm, M.P.H., Apt

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS

FARMAKOTERAPI PADA KELOMPOK KHUSUS. Alfi Yasmina

UJI PRESISI DAN PROFIL DISOLUSI TABLET LOSARTAN INOVATOR DAN COPY PRODUCT DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET-VISIBLE

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM. Perancangan program aplikasi yang dibuat dalam skripsi ini menggunakan aturan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Obat on-label On-label adalah penggunaan obat yang telah memiliki izin penjualan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGANTAR FARMAKOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR. dr. Agung Biworo, M.Kes

Bab 2 Metode Penelitian

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

PENENTUAN EKIVALENSI ANTAR TABLET SALBUTAMOL NAMA GENERIK DENGAN MEREK DAGANG

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR

2/20/2012. Oleh: Joharman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

12/11/2012 1 EVALUASI KETERSEDIAAN HAYATI Metode uji ketersediaan hayati Perhitungan parameter ketersediaan hayati @Dh hadhang_wk Jurusan Farm asi FKIK Unsoed Pwt

PENDAHULUAN Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) berkewajiban menilai semua produk obat sebelum dipasarkan, memberikan izin i pemasaran, dan melakukan pengawasan terhadap produk obat tersebut setelah dipasarkan. Produk obat yang mengandung zat aktif berupa zat kimia baru (new chemical entity = NCE) dibutuhkan penilaian mengenai efikasi, keamanan dan mutu secara lengkap. NCE yang dipatenkan oleh pabrik penemunya disebut obat inovator. Produk obat yang merupakan produk copy hanya dibutuhkan standar mutu antara lain berupa bioekivalensi dengan produk obat innovator sebagai produk pembanding (reference product) yang merupakan baku mutu. @Dhadh Unsoed hang_wk Juru Pwt 2 usan Farmasi FKIK

BEBERAPA DEFINISI Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin Bioavailabilitas absolut: bila dibandingkan dengan sediaan intravena yang bioavailabilitasnya 100 % Bioavailabilitas relatif: Bila dibandingkan dengan sediaan bukan intravena 3

BEBERAPA DEFINISI Ekivalensi farmaseutik: dua produk obat mempunyai ekivalensi farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama dalam jumlah yang sama dan bentuk sediaan yang sama. Alternatif farmaseutik: dua produk obat merupakan alternatif farmaseutik jika keduanya mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk kimia (garam, ester, dsb) atau bentuk sediaan atau kekuatan. 4

BEBERAPA DEFINISI Bioekivalensi: Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan. Jika bioavailabilitas tidak memenuhi kriteria bioekivalen maka kedua produk obat tersebut disebut bioinekivalen 5

BEBERAPA DEFINISI Ekivalensi terapeutik: Dua produk obat mempunyai ekivalensi terapeutik jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan efikasi klinik dan keamanan yang sebanding. Dengan demikian, ekivalensi/inekivalensi terapeutik seharusnya ditunjukkan dengan uji klinik. 6

EKIVALENSI TERAPETIK Untuk produk obat yang bekerja sistemik, ik uji klinik ik mempunyai kendala berikut: pada penyakit ringan tidak terlihat, pada penyakit berat tidak etis; endpoint yang diukur seringkali kurang akurat sehingga variabilitasnya besar sekali, dengan akibat dibutuhkan sampel yang besar; sebagai uji klinik untuk menunjukkan ekivalensi dibutuhkan sampel yang besar sekali. Sebagai alternatif dilakukan uji bioekivalensi yang endpointnya sangat akurat (yakni kadar obat dalam plasma) sehingga variabilitasnya rendah sampel yang dibutuhkan jauh lebih kecil. Jika terdapat perbedaan yang bermakna secara klinik dalam bioavailabilitasnya, maka kedua produk obat tersebut dinyatakan inekivalen secara terapeutik (inekivalensi terapeutik). 7

PRODUK OBAT PEMBANDING (REFERENCE PRODUCT) Produk obat inovator yang telah diberi izin pemasaran di Indonesia berdasarkan penilaian dossier lengkap yang membuktikan efikasi, keamanan dan mutu. Hanya jika produk obat inovator tidak dipasarkan di Indonesia atau tidak lagi dikenali yang mana karena sudah terlalu lama beredar di pasar, maka dapat digunakan produk obat inovator dari primary market (Negara dimana produsennya menganggap bahwa efikasi, keamanan dan kualitas produknya terdokumentasi paling baik) atau produk yang merupakan market leader yang telah diberi i izin i pemasaran di Indonesia dan telah lolos penilaian efikasi, keamanan dan mutu. Produk obat pembanding yang akan digunakan harus disetujui oleh Badan POM. 8

PRODUK OBAT COPY Produk obat yang mempunyai ekivalensi farmasetik atau merupakan alternative farmaseutik dengan produk obat inovator/pembandingnya, dapat dipasarkan dengan nama generik atau dengan nama dagang. 9

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI YG PERLU UJI IN VIVO Produk obat yang memerlukan uji ekivalensi in vivo Uji ekivalensi in vivo dapat berupa studi bioekivalensi farmakokinetik, studi farmakodinamik komparatif, atau uji klinik komparatif. Dokumentasi ekivalensi in vivo diperlukan jika ada risiko bahwa perbedaan bioavailabilitas dapat menyebabkan inekivalensi terapi. 10

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI YG PERLU UJI IN VIVO Produk obat oral lepas cepat yang bekerja sistemik, jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut ini: a. Obat-obat b t untuk kondisi i yang serius yang memerlukan respons terapi yang pasti (critical use drugs), misal : antituberkulosis, antiretroviral, antimalaria, antibakteri, antihipertensi, antiangina, obat gagal jantung, antiepilepsi, antiasma. b. Batas keamanan/indeks k terapi yang sempit; kurva dosis-respons yang curam, misal : digoksin, antiaritmia, antikoagulan, obat-obat sitostatik, litium, fenitoin, i siklosporin, i sulfonilurea, teofilin. 11 @Dhadh Unsoed hang_wk Juru Pwt usan Farmasi FKIK

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI YG PERLU UJI IN VIVO c. Terbukti ada masalah bioavailabilitas atau bioinekivalensi dengan obat yang bersangkutan atau obat-obat dengan struktur kimia atau formulasi yang mirip (tidak berhubungan dengan masalah disolusi), misal : absorpsi bervariasi atau tidak lengkap; eliminasi i i presistemik ik yang tinggi; i farmakokinetik nonlinear; sifat-sifat fisiokimia yang tidak menguntungkan (misal: kelarutan rendah, permeabilitas rendah, tidak stabil, dsb.). d. Eksipien dan proses pembuatannya diketahui mempengaruhi bioekivalensi 12

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI YG PERLU UJI IN VIVO Produk obat non-oral dan non-parenteral yang didesain untuk bekerja sistemik, misal: sediaan transdermal, supositoria, permen karet nikotin, gel testosteron dan kontraseptif bawah kulit. Produk obat lepas lambat atau termodifikasi yang bekerja sistemik. Produk kombinasi tetap untuk bekerja sistemik, yang paling sedikit salah satu zat aktifnya memerlukan studi in vivo. 13

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI YG PERLU UJI IN VIVO Produk obat bukan larutan untuk penggunaan nonsistemik (oral, nasal, okular, dermal, rektal, vaginal, dsb.) dan dimaksudkan untuk bekerja lokal (tidak untuk diabsorpsi sistemik). Untuk produk demikian, bioekivalensi harus ditunjukkan dengan studi klinik atau farmakodinamik, dermatofarmakokinetik komparatif dan/atau studi in vitro. Pada kasus-kasus tertentu, pengukuran kadar obat dalam darah masih diperlukan dengan alasan keamanan untuk melihat adanya absorpsi yang tidak diinginkan. Pengukuran kadar obat dalam plasma versus waktu biasanya cukup untuk membuktikan efikasi dan keamanan. Jika tidak, studi klinik atau farmakodinamik dapat digunakan untuk membuktikan ekivalensi. i 14 @Dhadh Unsoed hang_wk Juru Pwt usan Farmasi FKIK

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI CUKUP UJI IN VITRO Produk obat yang cukup dilakukan uji ekivalensi in vitro (uji disolusi terbanding) Produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo (tidak termasuk yang dijelaskan di atas). Produk obat copy yang hanya berbeda kekuatan uji disolusi terbanding dapat diterima untuk kekuatan yang lebih rendah berdasarkan perbandingan profil disolusi. a. Tablet lepas cepat Produk obat copy dengan kekuatan berbeda, yang dibuat oleh pabrik obat yang sama di tempat produksi yang sama, jika : semua kekuatan mempunyai proporsi p zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat aktif yang sangat poten ( sampai 10 mg per satuan dosis), zat inaktifnya sama banyak untuk semua kekuatan; 15

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI CUKUP UJI IN VITRO a. Tablet lepas cepat (lanjutan) studi ekivalensi telah dilakukan sedikitnya pada salah satu kekuatan (biasanya kekuatan yang tertinggi, kecuali untuk alasan keamanan dipilih kekuatan yang lebih rendah); profil disolusinya mirip antar kekuatan, f2 > 50. b. Kapsul berisi i butir-butir b i lepas lambat Jika kekuatannya berbeda hanya dalam jumlah butir yang mengandung zat aktif, maka perbandingan profil disolusi (f2 > 50) dengan satu kondisi uji yang direkomendasi sudah cukup. 16

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI CUKUP UJI IN VITRO c. Tablet lepas lambat Jika produk uji dalam bentuk sediaan yang sama tetapi berbeda kekuatan, dan mempunyai proporsi zat aktif dan inaktif yang persis sama atau untuk zat aktif yang sangat poten (sampai 10 mg per satuan dosis) zat inaktifnya sama banyak, dan mempunyai mekanisme pelepasan obat yang sama, kekuatan yang lebih rendah tidak memerlukan studi in vivo jika menunjukkan profil disolusi yang mirip, f2 > 50, dalam 3 ph yang berbeda (antara ph 1.2 dan 7.5) dengan metode uji yang direkomendasi. 17

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI CUKUP UJI IN VITRO Berdasarkan sistem klasifikasi biofarmaseutik (Biopharmaceutic Classification System = BCS) dari zat aktif* serta karakteristik disolusi** dan profil disolusi*** dari produk obat. Berlaku untuk produk obat oral lepas cepat, tetapi tidak berlaku untuk produk obat oral lepas cepat seperti yang disebutkan di atas. a. zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi dan permeabilitas dalam usus yang tinggi (BCS kelas 1), serta : produk obat memiliki disolusi yang sangat cepat, atau ; produk obat memiliki disolusi yang cepat dan profil disolusinya mirip dengan produk pembanding. 18

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI CUKUP UJI IN VITRO b. Zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi tetapi permeabilitas dalam usus yang rendah (BCS kelas 3), serta : produk obat memiliki disolusi i yang sangat cepat, dan; produk obat tidak mengandung zat inaktif yang diketahui mengubah motilitas dan/atau permeabilitas saluran cerna. 19

KRITERIA UNTUK UJI EKIVALENSI CUKUP UJI IN VITRO c. Zat aktif memiliki permeabilitas dalam usus yang tinggi tetapi kelarutan dalam air yang rendah (kelarutan dalam air tinggi hanya pada ph 6.8; BCS kelas 2 asam lemah), serta : produk obat memiliki disolusi yang cepat pada ph 6.8, dan ; produk obat memiliki profil disolusi yang mirip dengan produk pembanding (juga berlaku jika disolusi < 10% pada salah satu ph). 20

PRODUK OBAT YANG TIDAK MEMERLUKAN UJI EKIVALENSI Produk obat copy untuk penggunaan intravena sebagai larutan dalam air yang mengandung zat aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dengan produk pembanding. Produk obat copy untuk penggunaan parenteral yang lain (misal : intramuskular, subkutan) sebagai larutan dalam air dan mengandung g zat aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dan eksipien yang sama atau mirip (similar) dalam kadar yang sebanding seperti dalam produk pembanding. Eksipien tertentu (misal : bufer, pengawet, antioksidan) boleh berbeda asalkan perubahan eksipien ini diperkirakan tidak mempengaruhi keamanan dan/atau efikasi produk obat tersebut. 21

PRODUK OBAT YANG TIDAK MEMERLUKAN UJI EKIVALENSI Produk obat copy berupa larutan untuk penggunaan oral (termasuk sirup, eliksir, tingtur atau bentuk larutan lain tetapi bukan suspensi), yang mengandung zat aktif dalam kadar molar yang sama dengan produk pembanding, dan hanya mengandung eksipien yang diketahui tidak mempunyai efek terhadap transit atau permeabilitas dalam saluran cerna dan dengan demikian terhadap absorpsi atau stabilitas zat aktif dalam saluran cerna. Produk obat copy berupa bubuk untuk dilarutkan dan larutannya memenuhi kriteria i tersebut di atas. 22

PRODUK OBAT YANG TIDAK MEMERLUKAN UJI EKIVALENSI Produk obat copy berupa gas. Produk obat copy berupa sediaan obat mata atau telinga sebagai larutan dalam air dan mengandung zat (-zat) aktif yang sama dalam kadar molar yang sama dan eksipien yang praktis sama dalam kadar yang sebanding. Eksipien tertentu (misal: pengawet, buffer, zat untuk menyesuaikan tonisitas atau zat pengental) boleh berbeda asalkan penggunaaan eksipien ini diperkirakan tidak mempengaruhi keamanan dan/atau efikasi produk obat tersebut. 23

PRODUK OBAT YANG TIDAK MEMERLUKAN UJI EKIVALENSI Produk obat copy berupa sediaan obat topikal sebagai larutan dalam air dan mengandung g zat (- zat) aktif yang sama dalam kadar molar yang sama & eksipien yang praktis sama dalam kadar yg sebanding. Produk obat copy berupa larutan untuk aerosol atau produk inhalasi nebulizer atau semprot hidung, yg digunakan dg atau tanpa alat yg praktis sama, sebagai larutan dalam air & mengandung zat(-zat) zat) aktif yg sama dalam kadar yg sama & eksipien yg praktis sama dalam kadar yg sebanding. Produk obat tersebut boleh memasukkan eksipien lain asalkan penggunaannya diperkirakan k tidak akan mempengaruhi keamanan dan/atau efikasi produk obat tersebut 24

DESAIN DAN PELAKSANAAN BIOEKIVALENSI Studi bioekivalensi (BE) adalah studi bioavailabilitas (BA) komparatif yang dirancang untuk menunjukkan bioekivalensi antara produk uji (suatu produk obat copy ) dengan produk obat inovator/pembandingnya. Caranya dengan membandingkan profil kadar obat dalam darah atau urin antara produk-produk obat yang dibandingkan pada subyek manusia. Karena itu desain dan pelaksanaan studi BE harus mengikuti Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB), termasuk harus lolos Kaji Etik. 25

DESAIN DAN PELAKSANAAN BIOEKIVALENSI Kaji Etik Oleh karena studi BA/BE dilakukan pada subyek manusia (suatu uji klinik) maka protokol studi harus lolos kaji etik terlebih dahulu sebelum studi dapat dimulai. i Desain Studi biasanya dilakukan pada subyek yang sama (dengan desain menyilang) untuk menghilangkan variasi biologik antarsubyek (karena setiap subyek menjadi kontrolnya sendiri), i) hal ini i sangat memperkecil jumlah subyek yang dibutuhkan. Jadi untuk membandingkan 2 produk obat, dilakukan studi menyilang 2-way (2 periode untuk pemberian 2 produk obat pada setiap subyek). 26

DESAIN DAN PELAKSANAAN BIOEKIVALENSI DESAIN Pemberian produk obat yang pertama harus dilakukan secara acak agar efek urutan (order effect) maupun efek waktu (period effect), bila ada, dibuat seimbang. Kedua perlakuan dipisahkan oleh periode washout yang cukup untuk eliminasi produk obat yang pertama diberikan (biasanya lebih dari 5 x waktu paruh terminal dari obat, atau lebih lama jika mempunyai metabolit aktif dengan waktu paruh yang lebih panjang. Jika obat mempunyai kecepatan eliminasi yang sangat bervariasi antarsubyek, periode washout yang lebih lama diperlukan untuk memperhitungkan kecepatan eliminasi yang lebih rendah pada beberapa subyek. Karena itu, untuk obat dengan waktu paruh eliminasi yang panjang (> 24 jam), dapat dipertimbangkan penggunaan desain 2 kelompok paralel. 27

DESAIN DAN PELAKSANAAN BIOEKIVALENSI DESAIN Pada umumnya, studi dosis tunggal sudah cukup, tetapi studi dalam keadaan tunak (steady-state) mungkin diperlukan untuk : obat dengan kinetik yang non-linear (eliminasinya bergantung pada dosis atau mengalami kejenuhan pada dosis terapi), misal : difenilhidantoin, fluoksetin, paroksetin; obat dengan kinetik yang bergantung pada waktu pemberian obat (kronofarmakologi), misal: kortikosteroid, siklosporin, teofilin; 28

DESAIN DAN PELAKSANAAN BIOEKIVALENSI DESAIN beberapa p bentuk sediaan lepas lambat/terkendali (studi dosis tunggal lebih sensitif untuk menjawab pertanyaan utama BE, yakni penglepasan zat aktif dari produk obat ke dalam sirkulasi sistemik, karena itu studi keadaan tunak umumnya tidak dianjurkan oleh FDA, bahkan jika kinetiknya nonlinear sekalipun). 29

DESAIN DAN PELAKSANAAN BIOEKIVALENSI DESAIN dapat dipertimbangkan untuk : obat dengan kadar plasma atau kecepatan eliminasi intra-subyek yang sangat bervariasi sehingga tidak memungkinkan untuk menunjukkan bioekivalensi dengan studi dosis tunggal, sekalipun pada jumlah subyek yang cukup banyak, dan variasi ini berkurang pada keadaan tunak. obat yang metode penetapan kadarnya dalam plasma tidak cukup sensitif untuk mengukur kadarnya dalam plasma pada pemberian dosis tunggal (sebagai alternatif dari penggunaan metode penetapan kadar yang lebih sensitif), misal loratadin. 30

DESAIN DAN PELAKSANAAN BIOEKIVALENSI DESAIN Pada studi keadaan tunak,,jadwal pemberian obat harus mengikuti aturan dosis lazim yang dianjurkan. Pada studi ini, menurunnya kadar obat yang pertama terjadi bersamaan dengan meningkatnya kadar obat yang kedua, sehingga periode washout dapat diperpendek menjadi sedikitnya 3 x waktu paruh eliminasi obat. 31

DESAIN DAN PELAKSANAAN BIOEKIVALENSI SUBYEK Subyek Kriteria seleksi Kriteria inklusi dan eksklusi harus dinyatakan dengan jelas dalam protokol : Sukarelawan sehat (untuk mengurangi variasi antarsubyek); Sedapat mungkin pria dan wanita (jika wanita pertimbangkan risiko pada wanita usia subur; Umur antara 18 55 tahun; Berat badan dalam kisaran normal: 32

DESAIN DAN PELAKSANAAN BIOEKIVALENSI SUBYEK (KRITERIA SELEKSI) Kriteria sehat berdasarkan uji laboratorium klinis yang baku (hematologi rutin, fungsi hati, fungsi ginjal, gula darah, dan urinalisis), riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik; Pemeriksaan khusus mungkin harus dilakukan sebelum, selama dan setelah studi selesai, bergantung pada kelas terapi dan profil keamanan obat yang diteliti. Misalnya, untuk obat dari kelas fluorokuinolon yang diketahui dapat memperpanjang interval QT, harus dilakukan pemeriksaan EKG; Sebaiknya bukan perokok. Jika perokok sedang (kurang dari 10 batang sehari) diikutsertakan, harus disebutkan dan efeknya pada hasil studi harus didiskusikan; 33

DESAIN DAN PELAKSANAAN BIOEKIVALENSI SUBYEK (KRITERIA SELEKSI) Tidak mempunyai riwayat ketergantungan g pada alkohol atau penyalahgunaan obat; Tidak kontraindikasi atau hipersensitif terhadap obat yang diuji; Untuk obat yang terlalu toksik untuk diberikan kepada sukarelawan sehat (misal : sitostatik, antiaritmia), maka digunakan penderita dengan indikasi yang sesuai; Uji serologis terhadap Hepatitis i B (HBsAg), Hepatitis C (anti-hcv) dan HIV (anti-hiv) optinal B. 34