BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

BAB I PENDAHULUAN. dan perhatian, sehingga setiap anak dapat tumbuh dan berkembang secara

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan dengan asas-asas dan norma-normanya dan juga oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dipersidangan, dan hakim sebagai aparatur penegak hukum hanya akan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. prinsip hukum acara pidana yang mengatakan peradilan dilakukan secara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1989), hal.1. Presindo, 1986), hal.1. Universitas Indonesia. Lembaga hakim..., Ervan Saropie, FHUI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. Ditinjau dari hal-hal yang baru dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. 1 Hal ini berarti setiap

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun. Setiap warga memiliki kewajiban untuk menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan dan lain sebagainya. Setiap hak akan dibatasi oleh hak orang lain. Jika dalam melaksanakan hak, kita tidak memperhatikan hak orang lain, maka yang terjadi adalah benturan hak atau kepentingan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hak Asasi Manusia di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila, yang artinya Hak Asasi Manusia mendapat jaminan kuat dari falsafah bangsa, yakni Pancasila. Bermuara pada Pancasila dimaksudkan bahwa pelaksanaan hak asasi manusia tersebut harus memperhatikan garis-garis yang telah ditentukan dalam ketentuan falsafah Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, melaksanakan hak asasi manusia bukan berarti melaksanakan dengan sebebas-bebasnya, melainkan harus memperhatikan ketentuan-ketetntuan yang terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Hal ini disebabkan pada dasarnya memang tidak ada hak yang dapat dilaksanakan secara mutlak tanpa memperhatikan hak orang lain. Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tidak

2 terpisah dari manusia yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusian, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan. Di Indonesia sendiri HAM dilindungi melalui berbagai macam Undangundang namun secara khusus dilindungi oleh Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Indonesia sendiri juga telah meratifikasi berbagai instrument HAM Internasional. Hal yang kontras adalah disatu pihak sebagai das sollen adanya kesadaran dan usaha serta perjuangan untuk menegakkan hak-hak asasi manusia, namun dilain pihak terdapat das sein yang dalam praktek kehidupan sehari-hari terdapat ketidakseimbangan antara das solen dan das sein itu, karena adanya tindakan, kegiatan atau tingkah laku yang terasa oleh masyarakat justru sebagai perkosaan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan proses seperti itu maka jelas bahwa usaha untuk menegakkan hak-hak asasi manusia serta usaha untuk menghilangkan perkosaan hak-hak asasi manusia adalah tugas dan tanggung jawab dari seluruh umat manusia secara umum dan menjadi tanggung jawab dari pemerintah baik dari bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sesunguhnya sejarah hak-hak asasi manusia adalah sama tuanya dengan sejarah umat manusia itu sendiri, karena hak-hak asasi manusia melekat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah umat manusia. 1 Ketentuan perundangan-undangan dalam hukum publik seringkali disorot rawan melanggar Hak Asasi Manusia, sehingga dalam hal penerapannya harus hati- 1 M.Satrio, Maslah Penahanan dan Djaminan Hak-Hak Azasi Manusia (Jakarta : Nasional, 1996) hlm.7

3 hati, ketentuan hukum publik yang dimaksud adalah hukum pidana. 2 Sistem hukum pidana di Indonesia mengenal adanya sanksi pidana yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok dibagi lagi menjadi pidana mati, pidana penjara, kurungan, dan denda. Sedangkan untuk pidana tambahan dibagi lagi menjadi pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. 3 Menurut Martiman Prodjohamidjodjo, kebebasan dan kemerdekaan bukan hanya hak segala bangsa, akan tetapi hak dari setiap manusia. Kebebasan dan kemerdekaan karena nilainya sangat tinggi dan merupakan milik dari setiap insani, maka berbagai Undang-undang memberikan perlindungan secara khusus terhadap kebebasan dan kemerdekaan manusia tersebut. 4 Dalam pasal 17 Undang-Undang HAM diatur bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan serta diadili melalui proses peradilan yang bebas serta tidak memihak, oleh karena itu perlu ditekankan adanya keadilan dalam mengadili seseorang. Pembahasan mengenai sendi-sendi tata hukum akan didasarkan pada pembidangan hukum publik dan hukum perdata, serta hukum hlm.10 2 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta : Djambatan, 1989), 3 Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 1988 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, LN No. 136 Tahun 1988, TLN No. 4152, pasal 10. 4 Martiman Prodjohamidjojo, Penangkapan dan Penahanan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm.11

4 material dan hukum formil. 5 Yang akan dibahas adalah tentang pembagian dalam hukum publik yang dalam hal ini adalah hukum pidana. Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang adalah hukum pidana yang telah dikodifikasi, yaitu sebagian besar aturan-aturannya telah disusun dalam satu Kitab Undang-undang (wetboek), yang dinamakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 6 Mengenai pembagian dalam hukum pidana, maka ada pembagian hukum pidana yang membagi antara hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. 7 Mengenai perbedaan hukum pidana materil dan hukum pidana formil, Profesor van Hammel memberikan pendapatnya demikian: Het materieele strafecht wijst de beginselen en regelen aan waarnaar aan het onrecht straf is verboden; het formale de vormen en termijnen, waaraan de verwezenlijking van het materieele strafecht gebonden is. 8 Yang terjemahan bebasnya: hukum pidana materil itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman, sedang hukum pidana formil menunjukkan bentuk-bentuk dan jangkajangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materiil. 9 5 Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.54 6 Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta :Rineka Cipta, 2002), hlm.16 hlm.10 7 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), 8 Ibid. 9 Ibid.

5 KUHAP merupakan Undang-undang yang mengatur mengenai Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sebagai salah satu instrument dalam norma hukum Indonesia, KUHAP harus memberikan perlindungan terhadap hak-hak kemanusiaan. Dalam menegakkan hukum pidana materiil, para penegak hukum membutuhkan proses hukum pidana formil, disinilah kita akan menggunakan KUHAP, sebagai dasar hukum pidana formil. Namun dalam rangka pencapaian tujuan dari dibentuknya KUHAP tersebut adalah dengan melakukan optimalisasi terhadap peraturan tersebut untuk menjamin tercapainya keadilan dan keamanan demi tegaknya hukum. Dalam KUHAP inilah, diberikan batasan dan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk menjalankan penegakan hukum. KUHAP sudah mengatur secara jelas mengenai tata cara dalam menegakkan Hukum Acara Pidana, namun pada prakteknya masih saja terjadi penyimpanganpenyimpangan, entah dalam proses penyidikan, penangkapan, penahanan dan prosesproses lain yang diatur dalam KUHAP. Namun tulisan ini akan lebih menitikberatkan pada proses penangkapan dan penahanan terhadap tersangka pelaku tindak pidana oleh aparat Kepolisian. Dari hak-hak yang telah disebutkan di atas, penulis akan lebih memfokuskan kepada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi pada proses penahanan oleh Kepolisian. Penahanan sebagai salah satu bentuk upaya paksa diatur pada pasal 1 butir 21 KUHAP yaitu penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan peneteapanya, dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini. Untuk kepentingan

6 pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan hal ini tercantum dalam KUHAP pasal 20 butir 3, kebebasan tersangka/terdakwa, guna kepentingan penyidik atau penuntutan. 10 Akan tetapi, harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP. Untuk itu KUHAP dalam Bab V Bagian Kesatu, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19 telah menetapkan ketentuan tata cara tindakan penangkapan. 11 Adapun yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyidik, penyidik pembantu, dan penyidik atas perintah Penyidik (termasuk atas perintah penyidik pembantu). Penangkapan yang dilakukan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penahanan serta tembusannya. Perintah penahananhanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 12 Bukti permulaan berarti bukti-bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana. Pada penjelasan Pasal 17 KUHAP, dinyatakan bahwa bukti permulaan yang 10 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm.153 11 Ibid, hlm.154 12 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 LN No.76 tahun 1987, TLN No. 3209, Pasal 17

7 cukup menunjukkan bahwa perintah penahanan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana. Dalam KUHAP tidak diatur secara detail mengenai apa saja yang termasuk dalam bukti permulaan yang cukup akan merujuk ke Mahkejapol. Dalam hal ini, penulis menganggap bahwa permasalahan mengenai tata cara penahanan ini patut untuk diangkat dalam sebuah skripsi dikarenakan ada beberapa penyimpangan yang terjadi antara ketentuan penahanan yang diatur dalam perundang-undangan dengan mekanisme pelaksanaan penahanan yang terjadi pada kenyataannya. Kasus yang menarik mengenai penyimpangan yang terjadi pada proses penahanan, yaitu kasus penahanan Prof. DR. Ir. Ginanjar Kartasasmita yang disidangkan melakukan tindak pidana korupsi dalam pembuatan technical contract antara pertamina dengan PT. Ustraindo Petro Gas yang dibuat pada tahun 1992-1993, tersangka selaku Menteri Pertambangan dan Energi, dan masih berstatus sebagai prajurit aktif, telah ditahan di RUTAN Kejaksaan Kejaksaaan Agung RI terhitung sejak tanggal 6 April 2001 dengan surat penetapan tahanan tanggal 17 April 2001 No. Prin/052/F/FJp/04/2001, yang dilaksanakan dengan Berita Acara Pelaksanaan perintah penahanan tanggal 18 april 2001, tersangka ditahan selama 20 (dua puluh) hari terhitung mulai tanggal 9 april 2001 sampai dengan 28 april 2001, meskipun praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 2 Mei 2001 No.11/Pid.prap/2001/PN.JakSel. Putusan praperadilan mengenai sah atau tidak sahnya penahanan yang dilakukan oleh tim penyidik koneksitas dalam perkara tindak

8 pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh tersangka, dan harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer bersamaan dengan tersangka yang harus diadili juga oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dapat dikasasi. Atas dasar uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian hukum, untuk itu penulis mengangkat judul : TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEABSAHAN PENAHANAN DALAM PERKARA PIDANA (Studi Kasus Perkara No.11/Pid.Prap/2001/PN.JakSel). B. Pokok Permasalahan Untuk memperoleh hasil penelitian yang kualitatif dan memenuhi syarat-syarat ilmiah serta dapat memberikan kesimpulan yang sesuai dengan judul, maka perlu adanya pembatasan masalah. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan persoalan-persoalan dengan pokok permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Ketentuan Perundang-undangan Di Indonesia Mengatur Mengenai Syarat Dan Prosedur penahanan? 2. Bagaimanakah keabsahan penahanan dalam perkara pidana menurut Hukum Acara Pidana Di Indonesia (Studi Kasus Perkara No.11/Pid.Prap/2001/PN.JakSel)?

9 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai penulis adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui ketentuan perundang-undangan di Indonesia mengatur mengenai syarat dan prosedur penahanan. 2. Untuk mengetahui keabsahan penahanan dalam perkara pidana menurut Hukum Acara Pidana Di Indonesia. D. Definisi Operasional Definisi operasional merupakan sebagai landasan teoritis dalam menganalisa pokok permasalahan, beberapa definisi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Penangkapan; adalah Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan atau peradilan. 13 2. Penahanan; adalah Penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 14 13 Ibid, pasal 1 angka 20 14 Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, pasal 1 angka 21

10 3. Tersangka; adalah Seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. 15 4. Praperadilan; adalah Wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang; 16 a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. E. Metode Penelitian Metode diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencapai sesuatu. Sebagaimana tentang cara penelitian harus dilakukan, maka metode penelitian yang digunakan penulis antara lain mencakup: 1. Tipe Penelitian 15 Indonesia, Undang-Undang tentang Hukum Acara pidana 16 Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209, pasal 1 angka 10

11 Tipe penelitian hukum yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah tipe penelitian hukum normatif yuridis. Tipe penelitian hukum normatif disebut juga Penelitian Kepustakaan (Library Research); adalah penelitian yang dilakukan dengan cara menelusuri atau menelaah dan menganalisis bahan pustaka atau bahan dokumen siap pakai. Dalam penelitian hukum bentuk ini dikenal sebagai Legal Research, dan jenis data yang diperoleh disebut data sekunder. Jenis kegiatan ini lazim dilakukan dalam penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, bentuk penelitian dengan meneliti studi kepustakaan, sering juga disebut penelitian kepustakaan atau studi dokumen seperti Undang-undang, buku-buku, yang disebut sebagai Legal Research. 17 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Deskriptif Analistis. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara sistematis dan menyeluruh yang dapat membantu memperkuat teoriteori tentang upaya paksa penangkapan dalam hukum acara pidana di Indonesia. 3. Jenis Data Data yang digunakan adalah data sekunder dan didukung data primer, a. Data sekunder diperoleh dari : 17 Henry Arianto, Metode Penelitian Hukum, (Modul Kuliah Metode Penelitian Hukum, Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta: 2006), hlm.8

12 1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan; 18 a) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP) b) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. c) Peraturan perundang-undangan lain yang terkait. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer diantaranya yang berasal dari hasil karya para Sarjana Hukum, jurnal, serta buku-buku kepustakaan yang dapat dijadikan referensi dalam penelitian ini. 19 3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder 20, seperti kamus, ensiklopedi hukum dan saranasarana pendukung lainnya. 18 Ibid, hlm.20 19 Ibid. 20 Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, UI-press, 2007), hlm.52

13 b. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data. 21 4. Metode Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam peneltian ini oleh penulis analisis secara kualitatif. Pengertian dari analisis kualitatif dilakukan pada data yang tidak dapat dihitung, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus. 22 F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya, sekaligus memudahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Keseluruhan sistematika penulisan skripsi ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya, disusun dalam 5 (lima) bab dimana dalam setiap bab menguraikan tentang pokok bahasan dari materi yang sedang dikaji. Adapun sistematikanya sebagai berikut; BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang: Latar Belakang Masalah, Pokok Permasalahan, Tujuan Penelitian, 21 Henry Arianto, Loc. Cit 22 Ibid, hlm.2

14 Definisi Operasional, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PENAHANAN Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang: Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana, Tinjauan Umum Tentang penahanan, Pengaturan Penangkapan Di Indonesia, Penangkapan dan Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. BAB III : TINJAUAN YURIDIS TENTANG PRAPERADILAN DI INDONESIA Dalam bab ini penulis akan menjelaskan mengenai: Tinjauan Umum Tentang Praperadilan, Proses Pemeriksaan Praperadilan. BAB IV : ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEABSAHAN PENANGKAPAN DALAM PERKARA PIDANA (Studi Kasus Perkara No. 11/Pid.Prap/2001/PN.JakSel) Dalam bab ini penulis akan menguraikan hasil penelitian yang disertai dengan pembahasan dari permasalahan yang ada, yaitu: Analisia yuridis terhadap keabsahan penahanan Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita menurut Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Penulis juga mengkolaborasikannya dengan sistem dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

15 BAB V : PENUTUP Pada bab ini penulis akan menguraikan tentang hasil analisis dan evaluasi data yang merupakan perumusan suatu kesimpulan dari pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya, yang juga akan menjelaskan saran dari penulis untuk diusulkan menjadi penyelesaian permasalahan yang diajukan pada penulisan skripsi ini.