DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

dokumen-dokumen yang mirip
2 Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tent

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

2 berkeinginan untuk membeli Properti maupun kendaraan bermotor. Langkah tersebut dilakukan bersamaan dengan pelonggaran Rasio Loan to Value atau Rasi

No.17/ 25 /DKMP Jakarta, 12 Oktober Kepada SEMUA BANK UMUM, BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

Bank Konvensional Syariah Roda 2 20% 20% Roda 3 atau lebih non produktif 25% 25% Roda 3 atau lebih produktif 20% 20%

No. 18/19/DKMP Jakarta, 6 September 2016 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM, BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA

No. 15/40/DKMP Jakarta, 24 September Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

No. 15/40/DKMP Jakarta, 24 September Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

No. 14/ 33 /DPbS Jakarta, 27 November Kepada SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA

No. 14/ 10 /DPNP Jakarta, 15 Maret Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA

BANK INDONESIA SEPTEMBER 2013

2017, No menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

2017, No e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia t

2 Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/3/PBI/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum untuk pengadaan tanah dan/atau pengolahan tanah; e. bahwa berdasarkan pertimbangan seb

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/12/PBI/2015

DAMPAK PERUBAHAN KEBIJAKAN LOAN TO VALUE (LTV) TERHADAP PERKEMBANGAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH Oleh Tim Riset SMF

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ketentuan Loan to Value meningkatkan aspek kehati-hatian bank dalam penyaluran

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/4/PBI/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 16 /PBI/2012 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 26 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Pedoman Penilaian dan Laporan Perkembangan Pembangunan Properti terkait LTV

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/24/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 35 /PBI/2008 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

2 Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kembali Peraturan Bank Indonesi

Pedoman Penilaian dan Laporan Perkembangan Pembangunan Properti terkait LTV

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Pedoman Penilaian Properti Untuk Kepentingan LTV (P2L) & Laporan Perkembangan Pembangunan Properti (LP3)

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/ 26 /PBI/2011 TENTANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/16/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH

- 1 - SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/4/PBI/2015 TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

2017, No e. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Ban

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/3/PBI/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENGGUNAAN RUPIAH DI WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

MATRIKS RANCANGAN POJK KPMM BPRS

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 18/15/PBI/2016 TENTANG PENYELENGGARA JASA PENGOLAHAN UANG RUPIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/ 19 /PBI/2004 TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 6 /PBI/2011 TENTANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 11/29/PBI/2009 TENTANG FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

2017, No khusus terhadap kredit atau pembiayaan bank bagi daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam; e. bahwa berdasarkan pertimba

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 13/26/PBI/2011 TENTANG

2015, No.73 2 e. bahwa sehubungan dengan huruf a sampai dengan huruf d diatas diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan M

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/19/PBI/2006 TENTANG KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF DAN PEMBENTUKAN PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/6/PADG/2017 TENTANG PINJAMAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL

2 d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/ 9 /PBI/2003 TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA,

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran N

PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNUR NOMOR 19/8/PADG/2017 TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH BAGI BANK UMUM SYARIAH

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5 /POJK.03/2015 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM

2 Mengingat d. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian tersebut sejalan dengan upaya untuk mendorong pendalaman pasar keuangan domestik; e. bahwa penera

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Ke

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA ANGGOTA DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (L

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 3/POJK.02/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 41 /POJK.03/2017 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PEMERIKSAAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.81, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5012)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

OOTORITAS JASA KEUANGAN ReREPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

2 Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Nega

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2016 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF

GUBERNUR BANK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /POJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

ATAS RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 22 /PBI/2012 TENTANG

- 1 - SALINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambah

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13/POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 16/ 15 /PBI/2014 TENTANG KEGIATAN USAHA PENUKARAN VALUTA ASING BUKAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi terutama yang berpihak kepada usaha mikro, kecil, dan menengah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI INDONESIA. Perihal : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Perkreditan Rakyat

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /POJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/ TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN

Transkripsi:

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/10/PBI/2015 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menjaga pertumbuhan perekonomian nasional diperlukan upaya untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan melalui penyesuaian terhadap kebijakan makroprudensial; b. bahwa penyesuaian kebijakan makroprudensial tetap dilakukan secara proporsional dan terukur untuk menjaga stabilitas sistem keuangan; c. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan memelihara stabilitas sistem keuangan perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai perkreditan; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Rasio Loan To Value atau Rasio Financing To Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir...

- 2 - terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/11/PBI/2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5546); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 2. Kredit adalah kredit sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. 3. Pembiayaan adalah pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan syariah. 4. Properti...

- 3-4. Properti adalah Rumah Tapak, Rumah Susun, dan Rumah Kantor atau Rumah Toko. 5. Rumah Tapak adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertifikat, atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. 6. Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, antara lain griya tawang, kondominium, apartemen, dan flat. 7. Rumah Kantor atau Rumah Toko adalah tanah berikut bangunan yang izin pendiriannya sebagai rumah tinggal sekaligus untuk tujuan komersial antara lain perkantoran, pertokoan, atau gudang. 8. Kredit Properti yang selanjutnya disingkat KP adalah kredit konsumsi yang terdiri atas: a. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Tapak, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Tapak, yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak; b. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Susun, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Susun, yang selanjutnya disebut KP Rusun; dan c. Kredit yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, termasuk Kredit konsumsi beragun Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut KP Ruko atau KP Rukan. 9. Pembiayaan Properti yang selanjutnya disebut KP Syariah adalah Pembiayaan konsumsi yang terdiri atas: a. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Tapak, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Tapak, yang selanjutnya disebut KP Rumah Tapak Syariah; b. Pembiayaan...

- 4 - b. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Susun, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Susun, yang selanjutnya disebut KP Rusun Syariah; dan c. Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, termasuk Pembiayaan konsumsi beragun Rumah Toko dan/atau Rumah Kantor, yang selanjutnya disebut KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah. 10. Musyarakah Mutanaqisah yang selanjutnya disingkat MMQ adalah musyarakah atau syirkah dalam rangka kepemilikan Properti antara Bank dengan nasabah dengan kondisi penyertaan kepemilikan Properti oleh Bank akan berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh nasabah. 11. Uang Jaminan yang selanjutnya disebut Deposit adalah uang yang harus diserahkan oleh nasabah kepada Bank dalam rangka kepemilikan Properti yang dilakukan dengan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT). 12. Rasio Loan to Value yang selanjutnya disebut Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai Kredit yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Kredit berdasarkan harga penilaian terakhir. 13. Rasio Financing to Value yang selanjutnya disebut Rasio FTV adalah angka rasio antara nilai Pembiayaan yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian Pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir. 14. Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut KKB atau KKB Syariah adalah Kredit atau Pembiayaan yang diberikan Bank untuk pembelian kendaraan bermotor. 15. Uang Muka adalah pembayaran di muka sebesar persentase tertentu dari harga pembelian Properti atau kendaraan bermotor yang sumber dananya berasal dari debitur atau nasabah. Pasal 2 (1) Bank Indonesia menetapkan batasan Rasio LTV atau Rasio FTV KP atau KP Syariah dan batasan Uang Muka KKB atau KKB Syariah. (2) Bank...

- 5 - (2) Bank wajib memenuhi batasan Rasio LTV atau Rasio FTV KP atau KP Syariah dan batasan Uang Muka KKB atau KKB Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB II PENGATURAN RASIO LTV ATAU RASIO FTV Bagian Pertama Fasilitas Kredit, Nilai Agunan dan Penilaian Agunan Pasal 3 (1) Perhitungan Kredit dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio LTV untuk Bank Umum ditetapkan sebagai berikut: a. Kredit ditetapkan berdasarkan plafon Kredit yang diterima oleh debitur sebagaimana tercantum dalam perjanjian Kredit; dan b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern Bank atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. (2) Perhitungan Pembiayaan dan nilai agunan dalam perhitungan Rasio FTV untuk Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. Pembiayaan ditetapkan berdasarkan jenis akad yang digunakan, yaitu: 1. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah atau akad istishna ditetapkan berdasarkan harga pokok Pembiayaan yang diberikan kepada nasabah sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; 2. Pembiayaan berdasarkan akad MMQ ditetapkan berdasarkan penyertaan Bank dalam rangka kepemilikan Properti sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan; dan 3. Pembiayaan berdasarkan akad IMBT ditetapkan berdasarkan hasil pengurangan harga Properti dengan Deposit sebagaimana tercantum dalam akad Pembiayaan. b. nilai...

- 6 - b. nilai agunan ditetapkan berdasarkan nilai taksiran yang dilakukan penilai intern Bank atau penilai independen terhadap Properti yang menjadi agunan. Pasal 4 Tata cara penilaian agunan ditetapkan sebagai berikut: a. apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai intern Bank atau penilai independen; dan b. apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) maka nilai agunan didasarkan pada taksiran yang dilakukan oleh penilai independen. Pasal 5 Penilai independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 adalah kantor jasa penilai publik yang paling kurang memenuhi kriteria: a. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang; b. tidak merupakan pihak terkait dengan Bank; c. tidak merupakan pihak terafiliasi dengan debitur atau nasabah dan pengembang yang dinyatakan dalam surat pernyataan dari kantor jasa penilai publik (KJPP); dan d. tercatat sebagai anggota asosiasi penilai independen atau asosiasi penilai publik. Bagian Kedua Rasio LTV atau Rasio FTV Pasal 6 Rasio LTV atau Rasio FTV untuk Bank yang memberikan KP dan KP Syariah diatur sebagai berikut: a. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah pertama ditetapkan paling tinggi sebesar: 1. 90%...

- 7-1. 90% (sembilan puluh persen) untuk KP Rusun dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); 2. 85% (delapan puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT, dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); dan 3. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun, KP Rumah Tapak, KP Rusun Syariah, dan KP Rumah Tapak Syariah berdasarkan akad murabahah atau akad istishna dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). b. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah kedua diatur sebagai berikut: 1. Untuk KP kedua ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan d) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). 2. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad murabahah atau akad istishna ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 70%...

- 8 - d) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). 3. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad MMQ dan IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 75% (tujuh puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). c. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah ketiga dan seterusnya diatur sebagai berikut: 1. Untuk KP ketiga dan seterusnya ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). 2. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad murabahah atau akad istishna ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70%...

- 9 - b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). 3. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad MMQ dan IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 65% (enam puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). Pasal 7 Penentuan urutan Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib memperhitungkan seluruh KP dan KP Syariah yang telah diterima debitur atau nasabah di Bank yang sama maupun Bank lainnya. Pasal 8 (1) Ketentuan mengenai Rasio LTV dan/atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku apabila Bank memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio...

- 10 - b. rasio KP atau KP Syariah bermasalah dari total KP atau KP Syariah secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dan rasio KP atau KP Syariah bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada laporan bulanan Bank Umum atau laporan bulanan Bank Umum Syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya. Pasal 9 Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) maka Rasio LTV atau Rasio FTV diatur sebagai berikut: a. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah pertama ditetapkan paling tinggi sebesar: 1. 90% (sembilan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); 2. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); 3. 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad MMQ atau akad IMBT dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); dan 4. 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak, KP Rusun, KP Rumah Tapak Syariah, dan KP Rusun Syariah berdasarkan akad murabahah atau akad istishna dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). b. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah kedua diatur sebagai berikut: 1. Untuk KP kedua ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b). 70%...

- 11 - b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). 2. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad murabahah atau akad istishna ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). 3. Untuk KP Syariah kedua berdasarkan akad MMQ dan IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 80% (delapan puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 75% (tujuh puluh lima persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). c. Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP dan KP Syariah ketiga dan seterusnya diatur sebagai berikut: 1. Untuk KP ketiga dan seterusnya ditetapkan paling tinggi sebesar: a). 60%...

- 12 - a) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rusun dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 60% (enam puluh persen) untuk KP Ruko atau KP Rukan; dan d) 50% (lima puluh persen) untuk KP Rumah Tapak dan KP Rusun dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). 2. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad murabahah atau akad istishna ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 60% (enam puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 50% (lima puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). 3. Untuk KP Syariah ketiga dan seterusnya berdasarkan akad MMQ dan IMBT ditetapkan paling tinggi sebesar: a) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dengan luas bangunan 22m 2 (dua puluh dua meter persegi) sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); b) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Rusun Syariah dengan luas bangunan sampai dengan 70m 2 (tujuh puluh meter persegi); c) 70% (tujuh puluh persen) untuk KP Ruko Syariah atau KP Rukan Syariah; dan d) 60% (enam puluh persen) untuk KP Rumah Tapak Syariah dan KP Rusun Syariah dengan luas bangunan di atas 70m 2 (tujuh puluh meter persegi). Pasal...

- 13 - Pasal 10 Penetapan Rasio LTV dan Rasio FTV untuk Kredit atau Pembiayaan selain yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 9 diserahkan kepada kebijakan Bank dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit atau Pembiayaan. Bagian Ketiga Kewajiban Administratif Pasal 11 Dalam rangka penetapan Rasio LTV dan/atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 9, Bank wajib: a. memperlakukan debitur atau nasabah suami dan istri sebagai 1 (satu) debitur atau nasabah kecuali terdapat perjanjian pemisahan harta yang disahkan oleh notaris; b. meminta surat pernyataan dari calon debitur atau nasabah yang paling kurang memuat keterangan mengenai KP dan/atau KP Syariah yang masih berjalan (outstanding) dan/atau yang sedang dalam proses pengajuan permohonan, baik pada Bank yang sama maupun pada Bank yang lain; dan c. menolak permohonan KP dan/atau KP Syariah yang diajukan apabila calon debitur atau nasabah tidak bersedia menyerahkan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf b. Bagian Keempat Tambahan Kredit atau Pembiayaan (Top Up) dan Kredit atau Pembiayaan yang Diambil Alih (Take Over) Pasal 12 Dalam hal Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up) berdasarkan Properti yang masih menjadi agunan dari KP atau KP Syariah sebelumnya, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up) tersebut diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; b. Rasio...

- 14 - b. Rasio LTV atau Rasio FTV Kredit atau Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada huruf a mengacu pada Rasio LTV atau Rasio FTV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau Pasal 9; dan c. jumlah Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up) yang diberikan oleh Bank wajib memperhitungkan jumlah baki debet Kredit atau Pembiayaan sebelumnya yang menggunakan agunan yang sama. Pasal 13 Dalam hal Bank memberikan Kredit atau Pembiayaan dengan mengambil alih (take over) Kredit atau Pembiayaan dari Bank lain, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Kredit atau Pembiayaan yang hanya ditujukan untuk pelunasan Kredit atau Pembiayaan sebelumnya di Bank lain tidak diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru; atau b. Kredit atau Pembiayaan yang disertai dengan tambahan (top up) diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12. Bagian Kelima Larangan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Uang Muka Pasal 14 Bank dilarang memberikan Kredit atau Pembiayaan untuk pemenuhan Uang Muka dalam rangka KP, KP Syariah, KKB, dan KKB Syariah kepada debitur atau nasabah. Pasal 15 (1) Dalam rangka penerapan ketentuan mengenai Rasio LTV dan/atau Rasio FTV, Bank hanya dapat memberikan KP atau KP Syariah jika Properti yang akan dibiayai telah tersedia secara utuh. (2) Bank dapat memberikan KP atau KP Syariah dengan Properti yang akan dibiayai belum tersedia secara utuh apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Kredit atau Pembiayaan merupakan KP atau KP Syariah pada urutan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. terdapat...

- 15 - b. terdapat perjanjian kerjasama antara Bank dengan pengembang yang paling kurang memuat kesanggupan pengembang untuk menyelesaikan Properti sesuai dengan yang diperjanjikan dengan debitur atau nasabah; dan c. terdapat jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank baik yang berasal dari pengembang sendiri atau pihak lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban pengembang apabila Properti tidak dapat diselesaikan dan/atau tidak dapat diserahterimakan sesuai perjanjian. Pasal 16 (1) Dalam hal Bank memberikan KP atau KP Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) maka pencairan KP atau KP Syariah dimaksud hanya dapat dilakukan secara bertahap sesuai perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai. (2) Perkembangan pembangunan Properti yang dibiayai didasarkan atas laporan perkembangan pembangunan Properti yang berasal dari: a. pengembang, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); atau b. penilai independen, apabila Kredit atau Pembiayaan untuk 1 (satu) atau beberapa debitur atau nasabah secara keseluruhan pada proyek yang sama bernilai di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 17 Kredit atau Pembiayaan dalam rangka pelaksanaan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, sepanjang didukung dengan dokumen yang menyatakan bahwa Kredit atau Pembiayaan tersebut merupakan Program Perumahan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dikecualikan dari ketentuan mengenai Rasio LTV atau Rasio FTV untuk KP atau KP Syariah. BAB...

- 16 - BAB III PENGATURAN UANG MUKA KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR Pasal 18 Uang Muka yang harus dipenuhi oleh debitur atau nasabah dalam rangka KKB atau KKB Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua; b. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif apabila memenuhi salah satu syarat sebagai berikut: 1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan c. paling rendah 25% (dua puluh lima persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b. Pasal 19 (1) Ketentuan mengenai Uang Muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlaku apabila Bank memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau Pembiayaan secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen); dan b. rasio KKB atau KKB Syariah bermasalah dari total KKB atau KKB Syariah secara bruto (gross) kurang dari 5% (lima persen). (2) Penghitungan rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dan rasio KKB atau KKB Syariah bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada laporan bulanan Bank Umum atau laporan bulanan Bank Umum Syariah periode 2 (dua) bulan sebelumnya. Pasal...

- 17 - Pasal 20 Bagi Bank yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 maka Uang Muka yang harus dipenuhi oleh debitur atau nasabah dalam rangka KKB atau KKB Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. paling rendah 25% (dua puluh lima persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua; b. paling rendah 20% (dua puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih untuk keperluan produktif apabila memenuhi salah satu syarat sebagai berikut: 1. merupakan kendaraan yang memiliki izin untuk angkutan orang atau barang yang dikeluarkan oleh pihak berwenang; atau 2. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan oleh pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimilikinya; dan c. paling rendah 30% (tiga puluh persen) untuk pembelian kendaraan bermotor roda tiga atau lebih yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam huruf b. BAB IV PEMERIKSAAN OLEH BANK INDONESIA Pasal 21 (1) Bank Indonesia berwenang melakukan pemeriksaan kepada Bank untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Bank Indonesia dapat menunjuk pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia guna melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia dapat berkoordinasi dan bekerjasama dengan otoritas lain. BAB...

- 18 - BAB V SANKSI Pasal 22 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18 dan/atau Pasal 20, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 9, Pasal 18 dan Pasal 20, selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari selisih antara plafon Kredit atau Pembiayaan yang diberikan dengan plafon Kredit atau Pembiayaan yang seharusnya. (3) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 selain dikenakan sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit atau Pembiayaan Uang Muka atau plafon KP dan KP Syariah. (4) Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk menyampaikan rencana pelaksanaan perbaikan (action plan) atas pelanggaran Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). (5) Bank yang tidak menyampaikan dan/atau tidak melaksanakan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit atau Pembiayaan untuk setiap Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan. (6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan setiap akhir bulan untuk periode paling lama 12 (dua belas) bulan. Pasal 23 Selain mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Bank Indonesia dapat merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan. Pasal...

- 19 - Pasal 24 Bank Indonesia mengenakan sanksi kewajiban membayar kepada Bank dengan mendebit rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Bank Indonesia ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 26 Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar...

- 20 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Juni 2015 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D. W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Juni 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 141 DKMP

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/10/PBI/2015 TENTANG RASIO LOAN TO VALUE ATAU RASIO FINANCING TO VALUE UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN PROPERTI DAN UANG MUKA UNTUK KREDIT ATAU PEMBIAYAAN KENDARAAN BERMOTOR I. UMUM Dalam rangka menjaga pertumbuhan perekonomian nasional agar tetap berada pada momentum yang positif, diperlukan upaya untuk mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan melalui penyesuaian terhadap kebijakan makroprudensial. Penyesuaian kebijakan makroprudensial dilakukan secara proporsional dan terukur untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk pemberian Kredit atau Pembiayaan ke sektor Properti dan kendaraan bermotor dengan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian. Pelonggaran ketentuan perkreditan di kedua sektor tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa sektor Properti dan kendaraan bermotor memiliki multiplier effect yang besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Upaya yang ditempuh yaitu dengan menurunkan beban biaya yang ditanggung oleh anggota masyarakat yang berkeinginan untuk membeli Properti maupun kendaraan bermotor. Langkah tersebut dilakukan bersamaan dengan pelonggaran Rasio Loan to Value atau Rasio Financing to Value untuk Kredit Properti dan Uang Muka untuk kredit kendaraan bermotor. Namun demikian, agar kebijakan tersebut tidak meningkatkan potensi risiko Kredit atau Pembiayaan, maka pelonggaran kebijakan dimaksud dikaitkan dengan pemenuhan rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah yang terjaga. II. PASAL Pasal...

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Pasal 3 Ayat (1) Ayat (2) Huruf a Huruf b Penetapan nilai taksiran mengacu pada metode dan prinsip-prinsip yang berlaku umum dalam penilaian agunan yang ditetapkan oleh asosiasi dan/atau institusi yang berwenang. Pasal 4 Huruf a Yang dimaksud dengan proyek yang sama adalah Properti yang berada pada area yang sama dan dibangun oleh pengembang yang sama. Huruf b Pasal 5 Huruf a Huruf b Yang dimaksud dengan pihak terkait dengan Bank adalah sebagaimana dimaksud pada ketentuan perbankan yang berlaku mengenai batas maksimum pemberian kredit. Huruf c Huruf...

- 3 - Huruf d Yang dimaksud dengan asosiasi penilai independen atau asosiasi penilai publik adalah asosiasi yang diakui oleh instansi yang berwenang mengatur kantor jasa penilai publik. Pasal 6 Pasal 7 Penentuan urutan Kredit atau Pembiayaan dilakukan dengan menggabungkan seluruh Kredit dan Pembiayaan yang telah diperoleh debitur atau nasabah, baik berupa KP dan/atau KP Syariah di Bank yang sama maupun Bank lainnya berdasarkan urutan tanggal perjanjian Kredit atau akad Pembiayaan. Dalam hal terdapat tanggal perjanjian Kredit atau akad Pembiayaan yang sama maka penentuan urutan diawali dari Kredit atau Pembiayaan dengan nilai agunan paling rendah. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau Pembiayaan adalah rasio antara jumlah Kredit atau Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total Kredit atau Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan rasio KP atau KP Syariah bermasalah adalah rasio antara jumlah Kredit atau Pembiayaan kepada sektor rumah tangga untuk kepemilikan perumahan dan jumlah Kredit atau Pembiayaan konsumsi lainnya yang beragun Properti dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan...

- 4 - dan macet, terhadap total Kredit atau Pembiayaan pada sektor rumah tangga untuk kepemilikan perumahan dan jumlah Kredit atau Pembiayaan konsumsi lainnya yang beragun Properti. Ayat (2) Pasal 9 Pasal 10 Contoh penetapan Rasio LTV yang diserahkan kepada kebijakan Bank adalah Rasio LTV untuk KP Rumah Tapak dengan luas bangunan sampai dengan 21m 2 (dua puluh satu meter persegi). Pasal 11 Pasal 12 Huruf a Huruf b Mengingat Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up) diperlakukan sebagai Kredit atau Pembiayaan baru maka urutan dan besaran Rasio LTV dan/atau Rasio FTV mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 atau Pasal 9. Huruf c Pasal 13 Huruf a Huruf b Perlakuan terhadap Kredit atau Pembiayaan dengan mengambil alih (take over) Kredit atau Pembiayaan dari Bank lain yang disertai dengan Kredit atau Pembiayaan tambahan...

- 5 - tambahan (top up) disamakan dengan Kredit atau Pembiayaan tambahan (top up). Pasal 14 Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud telah tersedia secara utuh yaitu telah terlihat wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan dan siap diserahterimakan. Ayat (2) Huruf a Huruf b Huruf c Jaminan yang diberikan oleh pengembang kepada Bank dapat berupa aset tetap, aset bergerak, bank guarantee, standby letter of credit dan/atau dana yang dititipkan dan/atau disimpan dalam escrow account di Bank pemberi Kredit atau Pembiayaan. Nilai jaminan yang diberikan oleh pengembang paling kurang sebesar selisih antara komitmen Kredit atau Pembiayaan dengan pencairan yang telah dilakukan oleh Bank. Jaminan yang diberikan oleh pihak lain dapat berbentuk corporate guarantee, stand by letter of credit atau bank guarantee. Pasal 16 Pasal 17 Pasal 18 Pasal...

- 6 - Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan rasio Kredit atau Pembiayaan bermasalah dari total Kredit atau Pembiayaan adalah rasio antara jumlah Kredit atau Pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet kepada pihak ketiga bukan Bank terhadap total Kredit atau Pembiayaan kepada pihak ketiga bukan Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan rasio KKB atau KKB Syariah bermasalah adalah rasio antara jumlah Kredit atau Pembiayaan untuk kepemilikan kendaraan bermotor pada sektor rumah tangga dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet, terhadap total Kredit atau Pembiayaan pada sektor rumah tangga untuk kepemilikan kendaraan bermotor. Ayat (2) Pasal 20 Pasal 21 Pasal 22 Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) dari plafon Kredit atau Pembiayaan Uang Muka atau plafon KP atau KP Syariah dari setiap debitur atau nasabah. Ayat...

- 7 - Ayat (4) Ayat (5) Pengenaan sanksi dihitung sebesar 1% (satu persen) per bulan dari plafon Kredit atau Pembiayaan dari setiap debitur atau nasabah. Dalam hal Kredit atau Pembiayaan yang melanggar ketentuan tersebut telah dilunasi pada periode pengenaan sanksi, maka pengenaan sanksi dilakukan sampai dengan satu periode sebelum pelunasan. Ayat (6) Pasal 23 Pasal 24 Pasal 25 Pasal 26 Pasal 27 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5706