PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR PELAYANAN REFRAKSI OPTISI/OPTOMETRI

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN TERAPI OKUPASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN OPTIKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR PELAYANAN ORTOTIK PROSTETIK. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.589, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Refraksionis Optisien. Optometris. Penyelenggaraan. Pencabutan.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN REFRAKSIONIS OPTISIEN DAN OPTOMETRIS

KUMPULAN SKEMA SERTIFIKASI RUANG LINGKUP REFRAKSIONIS OPTISIEN LSP BIDANG KETEKNISIAN MEDIK SNI ISO/IEC : 2012

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2016 TENTANG FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1424/MENKES/SK/XI/2002 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN OPTIKAL

2016, No Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negar

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN ASISTEN TENAGA KESEHATAN

2015, No Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 N

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 544/MENKES/SK/VI/2002 TENTANG REGISTRASI DAN IZIN KERJA REFRAKSIONIS OPTISIEN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA OPTIKAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PENATA ANESTESI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2017 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL INTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK ELEKTROMEDIS

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 1424/MENKES/SK/XI/2002 TANGGAL 20 NOVEMBER 2002 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN OPTIKAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN. Menimbang : TENTANG FASILITAS. Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PELAYANAN KESEHATAN. NOMOR 47 TAHUN 2016

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

2017, No Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tingg

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DIREKTUR UTAMA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN,

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

TAR== BERITA DAERAH KABUPATEN TANAH DATAR TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI TANAH DATAR NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG IZIN OPTIK

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI LINGGA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA REGISTRASI TENAGA KESEHATAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG WAJIB KERJA DOKTER SPESIALIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan

2017, No Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lem

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEBIDANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS OLEH LEMBAGA DI BIDANG KESEJAHTERAAN SOSIAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG JARINGAN DOKUMENTASI DAN INFORMASI HUKUM NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN DAN PRAKTIK TENAGA GIZI

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2012 NOMOR 7 SERI D NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR LEMBAGA PENYELENGGARA REHABILITASI SOSIAL TUNA SOSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN PEREKAM MEDIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2017 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PSIKOLOG KLINIS

AN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2015 TENTANG KEMITRAAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN PERAWAT ANESTESI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PERPUSTAKAAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KESEHATAN

2 Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

maka dilakukan dengan carafinger counting yaitu menghitung jari pemeriksa pada jarak 1 meter sampai 6 meter dengan visus 1/60 sampai 6/60.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM INFORMASI KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR PELAYANAN REFRAKSI OPTISI/OPTOMETRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Refraksi Optisi/Optometri; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607); 3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Refraksionis Optisien dan Optometris (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 656); 4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 977); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR PELAYANAN REFRAKSI OPTISI/OPTOMETRI. Pasal 1...

- 2 - Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Standar pelayanan Refraksi Optisi/Optometri adalah pedoman yang harus diikuti oleh refraksionis optisien/optometris dalam melakukan pelayanan kesehatan. 2. Refraksionis Optisien/Optometris adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan refraksi optisi atau optometri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. 4. Pasien/Klien adalah individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat sosial yang mendapatkan pelayanan refraksi optisi/optometri. 5. Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun Refraksionis Optisien/Optometris di Indonesia. Pasal 2 Pengaturan standar pelayanan Refraksi Optisi/Optometri bertujuan untuk: a. memberikan acuan bagi penyelenggaraan pelayanan Refraksi Optisi/Optometri yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan; b. memberikan acuan dalam pengembangan pelayanan Refraksi Optisi/Optometri di fasilitas pelayanan kesehatan; c. memberikan kepastian hukum bagi Refraksionis Optisien/Optometris; dan d. melindungi pasien/klien sebagai penerima pelayanan. Pasal 3 (1) Standar pelayanan Refraksi Optisi/Optometri meliputi alur pelayanan dan proses pelayanan Refraksi Optisi/Optometri. (2) Standar...

- 3 - (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterapkan dalam pemberian pelayanan kepada klien pada semua kasus. (3) Penatalaksanaan pada masing-masing kasus disusun oleh Organisasi Profesi dan disahkan oleh Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar pelayanan Refraksi Optisi/Optometri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) Menteri Kesehatan, Gubernur, Bupati/Walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan dan penerapan standar pelayanan Refraksi Optisi/Optometri. (2) Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Kesehatan, Gubernur, Bupati/Walikota dapat melibatkan organisasi profesi. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk: a. meningkatkan mutu pelayanan Refraksi Optisi/Optometri; dan b. mengembangkan pelayanan Refraksi Optisi/Optometri yang efisien dan efektif. (4) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. advokasi dan sosialisasi; b. pendidikan dan pelatihan; dan/atau c. pemantauan dan evaluasi. (5) Pengawasan terhadap pelaksanaan standar pelayanan Refraksionis Optisien/Optometris sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dilaksanakan oleh instansi dan/atau petugas yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 5...

- 4 - Pasal 5 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Mei 2015 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, ttd NILA FARID MOELOEK Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 866

- 5 - LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR PELAYANAN REFRAKSI OPTISI/OPTOMETRI STANDAR PELAYANAN REFRAKSI OPTISI/OPTOMETRI I. PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan upaya yang menyeluruh meliputi peningkatan mutu dan aksesibilitas terhadap tenaga, sarana, prasarana dan peralatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Pelayanan refraksi optisi/optometri merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan dimana kebutuhan akan pelayanan refraksi optisi/optometri pada fasilitas pelayanan kesehatan akan cenderung meningkat sehubungan dengan meningkatnya prevalensi kelainan refraksi dan penyakit mata dan/atau kebutaan yang diakibatkannya. Guna memenuhi tuntutan pelayanan refraksi optisi/optometri di fasilitas pelayanan kesehatan diperlukan standar pelayanan sehingga pelayanan refraksi optisi/optometri disetiap fasilitas pelayanan kesehatan memiliki keseragaman, bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan. II. SUMBER DAYA MANUSIA A. Kualifikasi Refraksionis optisien/optometris adalah setiap orang yang telah lulus dari pendidikan formal refraksi optisi/optometri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu berijazah refraksionis optisien/optometris serta telah mendapatkan pengakuan kompetensi yang dibuktikan dengan Surat Tanda Registrasi Refraksionis Optisien/Optometris (STR-RO/STR-O).

- 6 - Untuk dapat memberikan pelayanan, refraksionis optisien/ optometris harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. B. Jumlah Pemenuhan kebutuhan jumlah sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pelayanan refraksi optisi/optometri di fasilitas pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kondisi pelayanan kesehatan masing-masing. Kebutuhan tenaga pelaksana refraksionis optisien/optometris di fasilitas pelayanan kesehatan ditentukan berdasarkan analisa beban kerja dan rasio antara klien dan refraksionis optisien/optometris paling banyak 1 (satu) refraksionis optisien/optometris melayani 25 (dua puluh lima) pasien/klien per hari III. STANDAR PELAYANAN REFRAKSI OPTISI/OPTOMETRI Standar pelayanan refraksi optisi/optometri memuat alur dan proses pelayanan refraksi optisi/optometri. alur pelayanan refraksi optisi/optometri merupakan serangkaian urutan alur pelayanan klien hingga sampai mendapatkan pelayanan refraksi optisi/optometri di fasilitas pelayanan kesehatan. Proses pelayanan refraksi optisi/optometri merupakan proses yang akan di lakukan oleh seorang refraksionis optisien/optometris dari mulai pemeriksaan sampai dengan pendokumentasian. A. Alur Pelayanan Dalam melaksanakan praktiknya, refraksionis optisien/optometris dapat menerima klien secara langsung dan menerima klien rujukan dari tenaga kesehatan lainnya.

- 7-1. Alur pelayanan untuk klien langsung (tanpa rujukan dari tenaga kesehatan lain) Klien Pendaftaran Pelayanan Refraksi/ Pelayanan Optisi/ Pelayanan Lensa Kontak Evaluasi dan Tindak Lanjut Selesai Keterangan : a. Klien datang tanpa rujukan b. Pendaftaran c. Pelayanan Refraksi/Pelayanan Optisi/Pelayanan Lensa kontak d. Tindak lanjut e. Selesai

- 8-2. Alur Pelayanan berdasarkan rujukan Klien Dokter dan/atau profesi lain Refraksionis Optisien/ Optometris Proses: Pelayanan Refraksi/ Pelayanan Optisi/ Pelayanan Lensa Kontak Belum Selesai Tindak Lanjut Selesai Keterangan : a. Klien datang dari dokter mata atau profesi lain. b. Proses Pelayanan Refraksi/Pelayanan Optisi/Pelayanan Lensa kontak. c. Tindak lanjut. d. Pelayanan selesai. e. Pelayanan belum selesai dikembalikan kepada pemberi rujukan.

- 9 - B. Proses Pelayanan 1. Pelayanan Refraksi Klien datang Pemeriksaan Pendahuluan Pemeriksaan Refraksi Objektif Pemeriksaan Refraksi Subyektif Penetapan Hasil Refraksi a. Pemeriksaan pendahuluan meliputi anamnesa yaitu mengumpulkan informasi berkaitan dengan kesehatan mata dan kesehatan umum 1) Isi anamnesa yang dilakukan oleh Refraksionis Optisien/Optometris sekurang-kurangnya memuat identitas umum dan riwayat keluhan. 2) Pemeriksaan mata dasar meliputi pemeriksaan mata bagian depan, pergerakan bola mata dan pengukuran jarak kedua pupil mata. 3) Hasil anamnesa dan pemeriksaan mata dasar dicatat dalam rekam medis klien.

- 10 - b. Pemeriksaan Refraksi Obyektif untuk mengetahui besarnya koreksi kelainan refraksi dengan menggunakan autorefraktometer atau streak retinoskopi. c. Pemeriksaan Refraksi Subyektif dilakukan secara monokuler dan binokuler dengan tujuan menetapkan besarnya koreksi pada kelainan refraksi, jika ditemukan kelainan organik maka selanjutnya dirujuk ke dokter mata. d. Melakukan pencatatan pelayanan refraksi/rekam Refraksi pada rekam medis. 2. Pelayanan Optisi Penerjemahan Resep Kacamata Pemesanan Lensa Kacamata Pengecekan Pesanan Kacamata Penyetelan Penyuluhan a. Penerjemahan resep kacamata, pemilihan bingkai dan lensa. b. Pemesanan lensa kacamata. c. Pengecekkan kacamata hasil pesanan meliputi jenis lensa, ukuran, titik fokus dan kualitas lensa.

- 11 - d. Penyetelan/pengepasan kacamata ke klien. e. Penyuluhan dan bimbingan pemakaian kacamata kepada klien. 3. Pelayanan Lensa Kontak Pemeriksaan pendahuluan Pelayanan Refraksi Penentuan parameter lensa kontak Penilian dengan lensa uji Pemesanan lensa kontak Penyuluhan Pemeriksaan kunjungan ulang Pencatan Pelayanan lensa kontak

- 12 - a. Pemeriksaan pendahuluan meliputi anamnesa yaitu mengumpulkan informasi berkaitan dengan kesehatan mata dan kesehatan umum 1) Isi anamnesa yang dilakukan oleh Refraksionis Optisien/Optometris sekurang-kurangnya memuat identitas umum dan riwayat keluhan. 2) Pemeriksaan mata dasar meliputi pemeriksaan mata bagian depan, pengukuran diameter kornea secara horisontal. 3) Pemeriksaan dengan keratometri untuk mengetahui kelengkungan kornea dan kualitas air mata. 4) Hasil anamnesa dan pemeriksaan mata dasar dicatat dalam rekam medis klien. b. Penentuan parameter lensa kontak untuk ujicoba. c. Penilaian dengan lensa uji meliputi peliputan, pergerakan, keketatan, kenyamanan dan sentrasi. d. Pemesanan lensa kontak sesuai parameternya meliputi, Base Curve, ukuran dan diameter. e. Penyuluhan meliputi memberi penjelasan mengenai cara memakai dan melepas lensa kontak, merawat lensa kontak. f. Pemeriksaan kunjungan ulang meliputi pemeriksaan kondisi lensa kontak di mata, jika ditemukan komplikasi yang tidak bisa ditangani maka dirujuk ke dokter mata. g. Menentukan rujukan. h. Pencatatan pelayanan lensa kontak. IV. SARANA, PRASARANA DAN PERALATAN Sarana, prasarana, dan peralatan minimal yang diperlukan dalam melaksanakan pelayanan refraksi optisi/optometri terdiri dari: A. Sarana : 1. Ruang tunggu/ruang pamer 2. Ruang pelayanan refraksi optisi minimal 1 x 3 m 2 3. Ruang pelayanan lensa kontak minimal 1 x 2 m 2

- 13 - B. Prasarana : 1. Penerangan ruang pemeriksaan refraksi (sesuai British Standard 4274) penyinaran luar : 480-600 lux penyinaran dalam : 120 cd/ m 2 kontras > 84 % 2. Meja untuk menempatkan lensa uji-coba dan lensometer 3. Kursi bagi pasien/klien 4. Kursi bagi pemeriksa 5. Kartu kerja/status 6. Bak cuci tangan + handuk C. Peralatan 1. Peralatan pelayanan refraksi meliputi : a. Kartu snellen yang dilengkapi dengan astigmat dials b. Kartu baca c. Lensa uji-coba d. Bingkai uji-coba e. Penggaris pupil distance f. Kaca pembesar (loupe) g. Pen light h. Lensometer i. Retinoskop j. Worth four dots test k. Silinder silang (Cross Cylinder) 2. Peralatan Pelayanan Optisi meliputi : a. Seperangkat tang b. Seperangkat obeng c. Pemanas bingkai kacamata d. Pembersih lensa kacamata 3. Peralatan Pelayanan Lensa kontak meliputi : a. Keratometer b. Lensa kontak lunak uji coba c. Mangkok pencuci lensa kontak d. Cermin cembung dan datar e. Perangkat tes fungsi air mata

- 14 - V. MANAJEMEN PELAYANAN A. Struktur Organisasi Pengelolaan penyelenggaraan pelayanan refraksi optisi/optometri pada fasilitas pelayanan kesehatan dapat berbentuk suatu unit kerja tersendiri atau bergabung dengan pelayanan sejenis, disesuaikan dengan kebutuhan/situasi dan kondisi di fasilitas pelayanan kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan visi, misi, dan tujuan yang mencerminkan filosofi pelayanan refraksi optisi/optometri, disesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan organisasi/fasilitas pelayanan kesehatan dimana pelayanan refraksi optisi/optometri diselenggarakan. Struktur organisasi pelayanan refraksi optisi/optometri paling sedikit terdiri dari pimpinan dan pelaksana yang memiliki tugas, kewenangan, dan tanggung jawab masing-masing dengan mempertimbangkan perencanaan kebutuhan pengembangan pelayanan. Pimpinan pelayanan refraksi optisi/optometri dapat merupakan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, sedangkan pelaksana pelayanan refraksi optisi/optometri adalah seorang refraksionis optisien/optometris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kebutuhan tenaga pelaksana refraksionis optisien/optometris di fasilitas pelayanan kesehatan ditentukan berdasarkan analisa beban kerja, dan rasio antara klien dan refraksionis optisien/optometris paling banyak 1 (satu) refraksionis optisien/optometris melayani 25 (dua puluh lima) pasien/klien per hari. B. Hubungan Kerja dengan tenaga kesehatan lain 1. Dalam menjalankan dan mengelola tata laksana pelayanan refraksi optisi/optometri, refraksionis optisien/optometris dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya. 2. Hubungan kerja dengan tenaga kesehatan lain ditujukan dalam upaya mengoptimalkan pelayanan terhadap pasien/klien.

- 15 - C. Peningkatan Mutu Pelayanan Dalam rangka peningkatan mutu dan kualitas pelayanan, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan melakukan: 1. Penambahan jumlah tenaga refraksionis optisien/optometris yang disesuaikan dengan beban kerja. 2. Pengembangan kualitas refraksionis optisien/optometris melalui pendidikan berkelanjutan, pelatihan, pertemuan ilmiah, studi banding dan/atau penelitian. D. Pengendalian Mutu Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan menjamin adanya pelayanan Refraksi Optisi/Optometri yang berkualitas dengan melibatkan diri dalam pengendalian mutu di fasilitas pelayanan kesehatan. Pelaksanaan pengendalian mutu dinilai dan dievaluasi secara berkala sesuai standar pelayanan Refraksionis Optisien/Optometris. VI. PENUTUP Standarisasi pelayanan refraksi optisi/optometri di fasilitas pelayanan kesehatan diperlukan untuk terwujudnya keseragaman dalam peningkatan mutu pelayanan refraksi optisi/optometri yang profesional, komprehensif, terpadu, merata dan terjangkau sehingga dapat memberikan kontribusi untuk terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal berorientasi kepada kepuasan pasien/klien dan masyarakat. Oleh karena itu, penerapan standar pelayanan refraksi optisi/optometri pada fasilitas pelayanan kesehatan ini menjadi bagian penting dari upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara keseluruhan, dan akan dilakukan bimbingan, monitoring dan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, ttd NILA FARID MOELOEK