KODE ETIK IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
KODE ETIK IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH

KODE ETIK NOTARIS IKATAN NOTARIS INDONESIA (I.N.I)

PERUBAHAN KODE ETIK NOTARIS KONGRES LUAR BIASA IKATAN NOTARIS INDONESIA BANTEN, MEI 2015

KODE ETIK NOTARIS IKATAN NOTARIS INDONESIA (I.N.I.) BAB I KETENTUAN UMUM

RANCANGAN DRAFT PERUBAHAN ANGGARAN DASAR IKATAN NOTARIS INDONESIA KONGRES LUAR BIASA IKATAN NOTARIS INDONESIA BANTEN, 28 MEI 2015

ANGGARAN RUMAH TANGGA IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PERUBAHAN KE VII

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

TANGGUNG JAWAB NOTARIS YANG MENCANTUMKAN LAMBANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA PADA KARTU NAMA NOTARIS RESUME TESIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

BAB 2 KODE ETIK SEBAGAI SARANA KONTROL SOSIAL BAGI NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BAB I PENDAHULUAN. otentik guna tercapainya kepastian hukum. Peran Notaris dalam sektor. Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yaitu:

KODE ETIK P O S B A K U M A D I N

BAB III SIMPULAN DAN SARAN

PERBANDINGAN ATURAN KEWENANGAN, KEWAJIBAN, LARANGAN, PENGECUALIAN DAN SANKSI

KODE ETIK PENERBIT ANGGOTA IKAPI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No Mengingat : 1. Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

PERATURAN ORGANISASI IKATAN PERSAUDARAAN HAJI INDONESIA NOMOR : IV TAHUN 2010 TENTANG

BAB III PENUTUP. sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pelanggaran Kode Etik dan Undang-Undang Jabatan Notaris yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BUPATI TULUNGAGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ANGGARAN RUMAH TANGGA INDONESIA OFF-ROAD FEDERATION. Keputusan Rapat Paripurna Nasional IOF di Jakarta, tanggal 12 Nopember 2011 Nomor :...

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KODE ETIK PEMBELAJAR KLINIK HUKUM ANTI KORUPSI BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Kode Etik ini yang dimaksud dengan : 1. Klinik Hukum adalah klinik

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOSIALISASI KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KAB.BANTUL

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN NOMOR : PER-06/M.

KODE ETIK PEMBELAJAR KLINIK HUKUM PERDATA BAB I KETENTUAN UMUM

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

2 Menetapkan : 3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik I

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERUBAHAN ANGGARAN RUMAH TANGGA IKATAN NOTARIS INDONESIA HASIL RAPAT PLENO PENGURUS PUSAT YANG DIPERLUAS BANTEN 30 MEI 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERUBAHAN ANGGARAN RUMAH TANGGA IKATAN NOTARIS INDONESIA HASIL RAPAT PLENO PENGURUS PUSAT YANG DIPERLUAS DI BALIKPAPAN, 12 JANUARI 2017

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENUNJUK ADVOKAT DAN BANTUAN HUKUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 17 Tahun : 2014

BAB I PENDAHULUAN. Setiap interaksi yang dilakukan manusia dengan sesamanya, tidak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANGGARAN DASAR ASOSIASI KURATOR DAN PENGURUS INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus menjunjung tinggi Kode Etik Profesi Notaris sebagai rambu yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PERATURAN KEPALA LEMBAGA SANDI NEGARA NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMERIKSAAN PEGAWAI DI LINGKUNGAN LEMBAGA SANDI NEGARA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepot

ANGGARAN RUMAH TANGGA INSTITUT AKUNTAN MANAJEMEN INDONESIA TAHUN 2009 BAB I KEANGGOTAAN. Pasal 1 KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

2017, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik In

BAB I PENDAHULUAN. menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. tersebut. Sebagai salah satu contoh, dalam hal kepemilikan tanah

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan sektor pelayanan jasa publik yang saat ini semakin berkembang,

DPN APPEKNAS KODE ETIK ASOSIASI PENGUSAHA PELAKSANA KONTRAKTOR DAN KONSTRUKSI NASIONAL

NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN

ANGGARAN DASAR

DEWAN KEHORMATAN DAN PROSEDUR OPERASIONAL KODE ETIK GURU INDONESIA

PERUBAHAN ANGGARAN DASAR IKATAN NOTARIS INDONESIA KONGRES LUAR BIASA IKATAN NOTARIS INDONESIA BANTEN, MEI 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Pelaksanaan tugas jabatan notaris harus berpedoman pada kaidah hukum dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004


RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SK Rektor Nomor : 591/IKIPVET.H/Q/VII/2013 Tentang PERATURAN DISIPLIN KEMAHASISWAAN BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (Lembaran

2017, No Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4450); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Peg

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR 26 TAHUN 2016

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN MENGENAI MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN. 1. Peraturan Non Hukum (kumpulan kaidah atau norma non hukum)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ANGGARAN DASAR IKATAN NOTARIS INDONESIA HASIL KONGRES XIX IKATAN NOTARIS INDONESIA JAKARTA, 28 JANUARI 2006

PERATURAN SEKRETARIS JENDERAL DEWAN ENERGI NASIONAL NOMOR : 001 K/70.RB/SJD/2011 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

KODE ETIK PSIKOLOGI MUKADIMAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ini, ada dua aturan yang wajib dipatuhi oleh seorang Notaris yaitu Undang-

PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 8 Tahun : 2014

VII. KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS HASANUDDIN Nomor : 1128/J04/P/2006 TENTANG KETENTUAN KETERTIBAN MAHASISWA DALAM KAMPUS

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADVOKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

KODE ETIK IKATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH INDONESIA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah disingkat PPAT adalah perkumpulan/organisasi bagi para PPAT, berdiri semenjak tanggal 24 September 1987, diakui sebagai badan hukum (rechtspersoon) berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 13 April 1989 Nomor C2-3281.HT.01.03.Th.89, merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatannya selaku PPAT yang menjalankan fungsi pejabat umum, sebagaimana hal itu telah diakui dan mendapat pengesahan dari Pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tersebut di atas dan telah diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 11 Juli 1989 Nomor 55 Tambahan Nomor 32. 2. Kode Etik PPAT dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh perkumpulan berdasarkan keputusan Kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti. 3. PPAT adalah setiap orang yang menjalankan tugas jabatannya yang menjalankan fungsi sebagai pejabat umum. 4. Pengurus Pusat adalah Pengurus Perkumpulan/Organisasi IPPAT pada tingkat Nasional yang mempunyai tugas, kewajiban serta kewenangan untuk mewakili dan bertindak atas nama perkumpulan, baik di luar maupun di muka Pengadilan. 5. Pengurus Daerah adalah Pengurus Perkumpulan IPPAT pada tingkat Daerah yang meliputi wilayah kepengurusan tempat kedudukan dan/atau tempat tinggal anggota perkumpulan. 6. Pengurus Cabang adalah Pengurus Perkumpulan IPPAT pada tingkat Cabang yang meliputi wilayah kepengurusan tempat kedudukan dan/atau tempat tinggal anggota perkumpulan. 1

7. a. Majelis Kehormatan adalah suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan dalam perkumpulan IPPAT yang mempunyai tugas dan/atau kewajiban untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan penertiban maupun pembenahan, serta mempunyai kewenangan untuk memanggil, memeriksa dan menjatuhkan putusan, sanksi atau hukuman kepada seseorang anggota perkumpulan yang melakukan pelanggaran Kode Etik; b. Majelis Kehormatan Pusat adalah Majelis Kehormatan pada tingkat nasional dari perkumpulan IPPAT yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan, penertiban dan pembenahan, demikian pula untuk memeriksa, memutus dan menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan pada tingkat banding dan terakhir serta bersifat final; c. Majelis Kehormatan Daerah adalah Majelis Kehormatan pada tingkat Daerah dari perkumpulan IPPAT yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan, pengawasan, penertiban dan pembenahan, demikian pula untuk memeriksa, memutus dan menjatuhkan sanksi atau hukuman kepada anggota perkumpulan pada tingkat pertama. 8. Pelanggaran adalah semua jenis perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh setiap dan semua anggota perkumpulan yang dapat menurunkan keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT, sebagaimana yang tersurat maupun yang tersirat dalam ketentuan Kode Etik. 9. Kewajiban adalah sikap, perilaku dan perbuatan atau tindakan berupa apapun oleh setiap dan semua anggota untuk menjaga dan memelihara citra serta wibawa lembaga notariat dan menjunjung tinggi keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT. 10. Larangan adalah sikap, perilaku dan perbuatan atau tindakan berupa apapun yang harus ditinggalkan (tidak boleh dilakukan) oleh setiap dan semua anggota perkumpulan yang dapat atau setidak-tidaknya dikhawatirkan dapat menurunkan citra serta wibawa lembaga notariat ataupun keluhuran harkat dan martabat jabatan PPAT. 11. Sanksi adalah suatu hukuman sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota perkumpulan dalam menegakkan Kode Etik ini, dalam bentuk atau berupa antara lain: teguran lisan maupun tertulis, peringatan, schorsing (pemecatan sementara) serta pemecatan dari keanggotaan (ontzetting) atau pemberhentian dari keanggotaan secara tidak hormat. 12. Eksekusi adalah pelaksanaan atas sanksi atau hukuman yang dijatuhkan oleh dan berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Daerah maupun Majelis Kehormatan Pusat, yang telah mempunyai kekuatan tetap dan pasti untuk dijalankan. 2

BAB II RUANG LINGKUP BERLAKUNYA KODE ETIK Pasal 2 Kode Etik ini berlaku bagi seluruh PPAT dan bagi para PPAT Pengganti, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (khusus bagi yang melaksanakan tugas jabatan PPAT) ataupun dalam kehidupan sehari-hari. BAB III KEWAJIBAN, LARANGAN DAN HAL-HAL YANG DIKECUALIKAN Bagian Pertama Kewajiban Pasal 3 Baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan (bagi para PPAT serta PPAT Pengganti) ataupun dalam kehidupan sehari-hari, setiap PPAT diwajibkan untuk : a. berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat dan kehormatan PPAT; b. senantiasa menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang berlaku serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan, kode etik dan berbahasa Indonesia secara baik dan benar; c. mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan negara; d. memiliki perilaku profesional dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional, khususnya di bidang hukum; e. bekerja dengan penuh rasa tanggungjawab, mandiri, jujur, dan tidak berpihak; f. memberi pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat yang memerlukan jasanya; g. memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan maksud agar masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan anggota masyarakat; h. memberikan jasanya kepada anggota masyarakat yang tidak atau kurang mampu secara cuma-cuma; i. bersikap saling menghormati, menghargai serta mempercayai dalam suasana kekeluargaan dengan sesama rekan sejawat; j. menjaga dan membela kehormatan serta nama baik korp PPAT atas dasar rasa solidaritas dan sikap tolong menolong secara konstruktif; k. bersikap ramah terhadap setiap pejabat dan mereka yang ada hubungannya dengan pelaksanaan tugas jabatannya; l. menetapkan suatu kantor, dan kantor tersebut merupakan satusatunya kantor bagi PPAT yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari; m. melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam : 3

1). Peraturan Perundangan yang mengatur Jabatan PPAT; 2). isi Sumpah Jabatan; 3). Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ataupun keputusankeputusan lain yang telah ditetapkan oleh Perkumpulan IPPAT, misalnya : - membayar iuran, membayar uang duka manakala ada seorang PPAT atau mantan PPAT meninggal dunia, - mentaati ketentuan tentang tarif serta kesepakatan yang dibuat oleh dan mengikat setiap anggota perkumpulan. Bagian Kedua Larangan Pasal 4 Setiap PPAT, baik dalam rangka melaksanakan tugas jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari, dilarang : a. membuka/mempunyai kantor cabang atau kantor perwakilan; b. secara langsung mengikut-sertakan atau menggunakan perantaraperantara dengan mendasarkan pada kondisi-kondisi tertentu; c. mempergunakan mass media yang bersifat promosi; d. melakukan tindakan-tindakan yang pada hakekatnya mengiklankan diri antara lain tetapi tidak terbatas pada tindakan berupa pemasangan iklan untuk keperluan pemasaran atau propaganda, yaitu : 1). memasang iklan dalam surat kabar, majalah berkala atau terbitan perdana suatu kantor, perusahaan, biro jasa, biro iklan, baik berupa pemuatan nama, alamat, nomor telepon, maupun berupa ucapan-ucapan selamat, dukungan, sumbangan; 2). uang atau apapun, pensponsoran kegiatan apapun, baik sosial, kemanusiaan, olah raga dan dalam bentuk apapun, pemuatan dalam buku-buku yang disediakan untuk pemasangan iklan dan/atau promosi pemasaran; 3). mengirim karangan bunga atas kejadian apapun dan kepada siapapun yang dengan itu nama anggota terpampang kepada umum, baik umum terbatas maupun umum tak terbatas; 4). mengirim orang-orang selaku salesman ke berbagai tempat/lokasi untuk mengumpulkan klien dalam rangka pembuatan akta; e. memasang papan nama dengan cara dan/atau bentuk di luar batasbatas kewajaran dan/atau memasang papan nama di beberapa tempat di luar lingkungan kantor PPAT yang bersangkutan; f. baik langsung maupun tidak langsung, mengadakan usaha-usaha yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan PPAT, termasuk namun tidak terbatas pada penetapan jumlah biaya pembuatan akta; g. melakukan perbuatan ataupun persaingan yang merugikan sesama rekan PPAT, baik moral maupun material ataupun melakukan usahausaha untuk mencari keuntungan bagi dirinya semata-mata; h. mengajukan permohonan, baik lisan maupun tertulis kepada instansi-instansi, perusahaan-perusahaan, lembaga-lembaga 4

ataupun perseorangan untuk ditetapkan sebagai PPAT dari instansi, perusahaan atau lembaga tersebut, baik tanpa apalagi disertai pemberian insentif tertentu, termasuk namun tidak terbatas pada penurunan tarif yang jumlahnya/besarnya lebih rendah dari tarif yang dibayar oleh instansi, perusahaan, lembaga ataupun perseorangan tersebut kepada PPAT tersebut; i. - menerima/memenuhi permintaan dari seseorang untuk membuat akta yang rancangannya telah disiapkan oleh PPAT lain; - dalam hal demikian, anggota yang bersangkutan wajib menolak permintaan itu, kecuali untuk keperluan tersebut telah mendapat izin dari PPAT pembuat rancangan; j. dengan jalan apapun berusaha atau berupaya agar seseorang berpindah dari PPAT lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain; k. menempatkan pegawai atau pegawai-pegawai/asisten PPAT di satu atau beberapa tempat di luar kantor PPAT yang bersangkutan, baik di kantor cabang yang sengaja dan khusus dibuka untuk keperluan itu maupun di dalam kantor instansi atau lembaga/klien PPAT yang bersangkutan, dimana pegawai/asisten tersebut bertugas untuk menerima klien-klien yang akan membuat akta, baik klien itu dari dalam dan/atau dari luar instansi/lembaga itu, kemudian pegawai/asisten tersebut membuat akta-akta itu, membacakannya atau tidak membacakannya kepada klien dan menyuruh klien yang bersangkutan menandatanganinya di tempat pegawai/asisten itu berkantor di instansi atau lembaga tersebut. Selanjutnya, akta-akta tersebut dikumpulkan untuk ditandatangani PPAT yang bersangkutan di kantor atau di rumahnya; l. mengirim minuta kepada klien atau klien-klien untuk ditandatangani oleh klien atau klien-klien tersebut; m. menjelek-jelekkan dan/atau mempersalahkan rekan PPAT atau akta yang dibuat olehnya; n. dalam hal seorang PPAT menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka PPAT tersebut wajib : 1). memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut; 2). segera setelah berhubungan dengan rekan sejawat yang membuat akta tersebut, maka kepada klien yang bersangkutan sedapat mungkin dijelaskan mengenai hal-hal yang salah dan cara memperbaikinya; o. menahan berkas seseorang dengan maksud untuk memaksa orang itu agar membuat akta pada PPAT yang menahan berkas tersebut; p. menjadi alat orang atau pihak lain untuk semata-mata menandatangani akta buatan orang lain sebagai akta yang dibuat oleh/di hadapan PPAT yang bersangkutan; 5

q. membujuk dan/atau memaksa klien dengan cara atau dalam bentuk apapun untuk membuat akta padanya ataupun untuk pindah dari PPAT lain; r. membentuk kelompok di dalam tubuh IPPAT (jadi tidak merupakan salah satu seksi dari Perkumpulan IPPAT) dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga secara khusus/eksklusif, apalagi menutup kemungkinan bagi PPAT lain untuk berpartisipasi; s. melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap : 1). ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan PPAT; 2). isi Sumpah Jabatan; 3). hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi IPPAT tidak boleh dilakukan oleh anggota. Bagian Ketiga Hal-hal yang Dikecualikan Pasal 5 Selain kewajiban dan larangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 4, maka hal-hal tersebut di bawah ini merupakan pengecualian yang tidak termasuk pelanggaran : a. pengiriman kartu pribadi dari anggota yang berisi ucapan selamat pada kesempatan-kesempatan ulang tahun, kelahiran anak, keagamaan, adat atau ucapan ikut berduka cita dan lain sebagainya yang bersifat pribadi; b. pemuatan nama anggota oleh Perum Telkom atau Badan yang ditugasinya dalam lembaran kuning dari buku telepon yang disusun menurut kelompok-kelompok jenis usaha, tanpa pemuatan nama anggota dalam box-box iklan lembaran kuning buku telepon itu; c. pemuatan nama anggota dalam buku petunjuk fax dan/atau telex; d. menggunakan kalimat, pasal, rumusan-rumusan yang terdapat dalam akta yang dibuat oleh atau di hadapan anggota lain, asal saja (turunan dari) akta tersebut sudah selesai dibuat dan telah menjadi milik klien; e. bilamana dianggap perlu memperbincangkan pelaksanaan tugasnya dengan rekan sejawat. BAB IV SANKSI-SANKSI Pasal 6 1. Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik dapat berupa : a. teguran; 6

b. peringatan; c. schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan IPPAT; d. onzetting (pemecatan) dari keanggotaan IPPAT; e. pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT. 2. Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. BAB V TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK Bagian Pertama Pengawasan Pasal 7 Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik ini dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah IPPAT dan Majelis Kehormatan Daerah bersama-sama dengan Pengurus Cabang dan seluruh Anggota; b. pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat IPPAT dan Majelis Kehormatan Pusat. Bagian Kedua Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi 1. Alat Perlengkapan Perkumpulan yang berwenang Pasal 8 Majelis Kehormatan Daerah dan Majelis Kehormatan Pusat merupakan alat perlengkapan organisasi yang berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangan masing-masing. 2. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi pada Tingkat Pertama Pasal 9 1. Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Majelis Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Cabang ataupun pihak lain kepada Majelis Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam waktu tujuh (7) hari Majelis Kehormatan Daerah wajib segera mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Majelis Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut. 7

2. Apabila menurut hasil pembicaraan dalam sidang Majelis Kehormatan Daerah sebagaimana yang tercantum dalam ayat (1), ternyata ada dugaan kuat terhadap pelanggaran Kode Etik, maka dalam waktu tujuh (7) hari setelah tanggal sidang tersebut, Majelis Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri. 3. Majelis Kehormatan Daerah baru akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau tidaknya pelanggaran Kode Etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya (apabila terbukti) setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri dari anggota yang bersangkutan dalam sidang Majelis Kehormatan Daerah yang diadakan untuk keperluan itu, dengan perkecualian sebagaimana yang diatur dalam ayat (6) dan ayat (7) pasal ini. 4. Penentuan putusan tersebut dalam ayat (3) di atas dapat dilakukan oleh Majelis Kehormatan Daerah baik dalam sidang itu, maupun dalam sidang lainnya dari Majelis Kehormatan Daerah, asal saja penentuan keputusan melanggar atau tidak, dilakukan selambatlambatnya dalam waktu lima belas (15) hari setelah tanggal dari sidang Majelis Kehormatan Daerah itu, dimana PPAT tersebut telah didengar. 5. Bila dalam putusan sidang Majelis Kehormatan Daerah dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap Kode Etik, maka sidang itu sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya. 6. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun dalam waktu tujuh (7) hari setelah dipanggil Majelis Kehormatan Daerah, maka Majelis Kehormatan Daerah akan mengulangi panggilannya sebanyak dua (2) kali lagi dengan jarak waktu tujuh (7) hari untuk setiap panggilan. 7. - Dalam waktu tujuh (7) hari setelah panggilan ke tiga (3) ternyata masih juga tidak datang atau tidak memberi kabar, maka Majelis Kehormatan Daerah akan tetap bersidang untuk membicarakan pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota yang dipanggil itu dan menentukan putusannya. - Selanjutnya mutatis mutandis berlaku apa yang ditetapkan dalam ayat (5) dan ayat (6) di atas serta ayat (9). 8. Terhadap sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan dari keanggotaan IPPAT, maka sebelum sanksi itu diputuskan, Majelis Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya. 9. Putusan sidang Majelis Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Majelis Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan Majelis Kehormatan 8

Pusat, semuanya itu dalam waktu tujuh (7) hari setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Majelis Kehormatan Daerah. 10. - Apabila pada tingkat kepengurusan Pengurus Daerah belum dibentuk Majelis Kehormatan Daerah, maka Majelis Kehormatan Pusat berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk menjalankan kewajiban serta kewenangan Majelis Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan Majelis Kehormatan Daerah tersebut kepada Kewenangan Majelis Kehormatan daerah terdekat dari tempat kedudukan atau tempat tinggal anggota yang melanggar Kode Etik tersebut. - Hal tersebut berlaku pula apabila Majelis Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya. 3. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi pada Tingkat Banding Pasal 10 1. Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan dari keanggotaan IPPAT dapat diajukan/dimohonkan banding kepada Majelis Kehormatan Pusat. 2. Permohonan untuk naik banding wajib dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh (30) hari setelah tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Majelis Kehormatan Daerah. 3. - Permohonan naik banding dikirim dengan surat tercatat oleh anggota yang bersangkutan kepada Majelis Kehormatan Pusat dan tembusannya kepada Majelis Kehormatan Daerah, Pengurus Pusat, Pengurus Daerah dan Pengurus Cabang. - Majelis Kehormatan Daerah dalam waktu tujuh (7) hari setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan/foto copy berkas pemeriksaan kepada Majelis Kehormatan Pusat. 4. - Setelah menerima permohonan banding, maka Majelis Kehormatan Pusat wajib memanggil anggota yang naik banding selambat-lambatnya dalam waktu tujuh (7) hari setelah menerima permohonan naik banding dengan surat tercatat. - Anggota yang mengajukan banding dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untukmembela diri dalam sidang Majelis Kehormatan Pusat. 5. Majelis Kehormatan Pusat wajib memberi putusan dalam tingkat banding melalui sidangnya, dalam waktu tiga puluh (30) hari setelah 9

anggota yang bersangkutan dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri. 6. Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak memberi kabar dengan surat tercatat, maka sidang Majelis Kehormatan Pusat tetap akan memberi putusannya dalam waktu yang ditentukan dalam ayat (5) di atas. 7. Majelis Kehormatan Pusat wajib mengirim putusannya kepada PPAT yang minta banding dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Majelis Kehormatan Daerah, Pengurus Cabang, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat IPPAT, semuanya itu dalam waktu tujuh (7) hari setelah sidang Majelis Kehormatan Pusat menjatuhkan keputusannya atas banding tersebut. 8. Apabila pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam tingkat pertama telah dilakukan oleh Majelis Kehormatan Pusat berhubung pada tingkat kepengurusan Pengurus Daerah belum dibentuk Majelis Kehormatan Daerah, maka keputusan Majelis Kehormatan Pusat tersebut merupakan keputusan tingkat pertama sekaligus terakhir. Bagian Ketiga Eksekusi atas Sanksi-sanksi dalam Pelanggaran Kode Etik Pasal 11 1. Putusan yang ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Daerah maupun yang ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Pengurus daerah. 2. - Pengurus Daerah wajib mencatat dalam buku anggota IPPAT yang ada pada Pengurus Daerah atas setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh Majelis Kehormatan Daerah dan/atau oleh Majelis Kehormatan Pusat mengenai kasus Kode Etik berikut nama anggota yang bersangkutan. - Selanjutnya nama PPAT tersebut, kasusnya dan keputusan dari Majelis Kehormatan Daerah/Majelis Kehormatan Pusat diumumkan dalam Media Perkumpulan berikutnya yang terbit setelah pencatatan dalam buku anggota IPPAT tersebut. BAB VI PEMECATAN SEMENTARA (SCHORSING) ANGGOTA IPPAT Pasal 12 Tanpa mengurangi ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara maupun penjatuhan sanksi-sanksi secara bertingkat yang berupa peringatan dan teguran, maka pelanggaran-pelanggaran yang oleh Pengurus Pusat secara mutlak harus dikenakan sanksi pemecatan 10

sementara sebagai anggota IPPAT disertai usul Pengurus Pusat kepada Kongres untuk memecat anggota yang bersangkutan sebagai anggota IPPAT ialah pelanggaran-pelanggaran yang disebut dalam : a. Pasal 4 huruf k, l, o dan q tersebut di atas; b. Peraturan Jabatan PPAT yang berakibat terhadap anggota yang bersangkutan dinyatakan bersalah berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. BAB VII KEWAJIBAN PENGURUS PUSAT Pasal 13 Pengenaan sanksi pemecatan sementara (schorsing), demikian juga sanksi pemecatan (onzetting) maupun pemberhentian dengan tidak hormat sebagai anggota IPPAT terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 di atas wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Menteri/instansi yang berwenang dengan tembusan kepada Mahkamah Agung. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 1. Semua PPAT diwajibkan menyesuaikan prakteknya maupun perilaku dalam menjalankan jabatannya dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam peraturan dan/atau Kode etik ini. 2. Hanya Pengurus Pusat dan/atau Majelis Kehormatan Pusat atau alat perlengkapan yang lain dari Perkumpulan IPPAT atau anggota yang ditunjuk olehnya dengan cara yang dipandang baik oleh kedua lembaga tersebut berhak dan berwenang untuk memberikan penerangan seperlunya kepada masyarakat tentang seluk-beluk dan hal-ikhwal Kode Etik PPAT dan/atau Majelis Kehormatan IPPAT dengan maksud dan tujuan agar dengan penerangan itu masyarakat memperoleh perlindungan hukum yang diakibatkan oleh anggota IPPAT yang melakukan pelanggaran Kode Etik. 11