KARAKTERISTIK STRUKTUR RUANG INTERNAL KOTA DELANGGU SEBAGAI KOTA KECIL DI KORIDOR SURAKARTA - YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAMPAK KEBERADAAN PERMUKIMAN SOLO BARU TERHADAP KONDISI EKONOMI, SOSIAL DAN FISIK PERMUKIMAN SEKITARNYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

PENGARUH KEBERADAAN PERUMAHAN TERHADAP PERUBAHAN HARGA LAHAN DI KECAMATAN CILEDUG TUGAS AKHIR. Oleh : Lisa Masitoh L2D

PENGARUH PERUBAHAN ARUS LALU LINTAS SATU ARAH TERHADAP KINERJA JARINGAN JALAN DI KAWASAN PUSAT KOTA SAMARINDA

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN MENJADI LAHAN INDUSTRI

BAB III TINJAUAN WILAYAH KABUPATEN KLATEN

PENGARUH PEMBANGUNAN PERUMAHAN PONDOK RADEN PATAH TERHADAP PERUBAHAN KONDISI DESA SRIWULAN KECAMATAN SAYUNG DEMAK TUGAS AKHIR

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

PENILAIAN PENGARUH SEKTOR BASIS KOTA SALATIGA TERHADAP DAERAH PELAYANANNYA

BAB III TRANSPORTASI ANGKUTAN JALAN RAYA KABUPATEN KLATEN

KAJIAN KEBUTUHAN PELAYANAN KAWASAN PERINDUSTRIAN KALIJAMBE BERDASARKAN PREFERENSI PENGUSAHA MEBEL KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN SRAGEN

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

EVALUASI KESESUAIAN FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG LOKASI DAN FUNGSI PUSAT KOTA PADA KOTA PINGGIRAN METROPOLITAN ( STUDI KASUS : KOTA MRANGGEN) TUGAS AKHIR

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

FENOMENA PENGELOLAAN PRASARANA DI KAWASAN PERBATASAN

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KAJIAN KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DI KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA DI KECAMATAN UMBULHARJO, KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR

PELAYANAN SARANA PENDIDIKAN DI KAWASAN PERBATASAN SEMARANG-DEMAK TUGAS AKHIR

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

PENGARUH BANGKITAN PERGERAKAN PADA GUNA LAHAN KOMERSIAL TERHADAP TINGKAT PELAYANAN JALAN DI PUSAT KOTA WONOGIRI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PEMILIHAN MODA ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) UNTUK KAWASAN URBAN SPRAWL KOTA SEMARANG (Studi Kasus : Koridor Setiabudi dan Majapahit) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. kota berkembang dari tempat-tempat pemukiman yang sangat sederhana hingga

MODEL BANGKITAN PERJALANAN YANG DITIMBULKAN PERUMAHAN PURI DINAR MAS DI KELURAHAN METESEH KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

EVALUASI RUTE TRAYEK ANGKUTAN UMUM PENUMPANG (AUP) BERDASARKAN PERSEBARAN PERMUKIMAN DI KABUPATEN SRAGEN TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PERANAN KOTA KECIL PADA SISTEM PERKOTAAN SEPANJANG KORIDOR JALAN REGIONAL KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR L2D

IDENTIFIKASI KINERJA JARINGAN JALAN ARTERI PRIMER DI KOTA SRAGEN TUGAS AKHIR. Oleh : S u y a d i L2D

KAJIAN FENOMENA URBANISME PADA MASYARAKAT KOTA UNGARAN KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

SEMARANG. Ngaliyan) Oleh : L2D FAKULTAS

Menunggu Jalur Lintas Selatan Pulau Jawa Menjadi Kenyataan

BAB I PENDAHULUAN. suatu keadaan ke keadaan lain dalam waktu yang berbeda. Suatu proses perubahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN. lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

EVALUASI PELETAKAN TERMINAL BANYUMANIK DAN TERMINAL PENGGARON DALAM MENDUKUNG SISTEM AKTIVITAS SEKITAR TUGAS AKHIR

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

ARAHAN PENGATURAN LALU LINTAS PADA PERSIMPANGAN SETYABUDI RAYA POTROSARI SEBAGAI DAMPAK MUNCULNYA PUSAT PERBELANJAAN ADA, BANYUMANIK SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

PERANAN ANGKUTAN PLAT HITAM DALAM MENDUKUNG AKTIVITAS PEREKONOMIAN DI KECAMATAN BATUWARNO KABUPATEN WONOGIRI TUGAS AKHIR

ABSTRAK. Kata kunci : Produk unggulan, strategi pengembangan

BAB III TINJAUAN LOKASI Studio Foto Sewa di Kota Yogyakarta

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ria Fitriana, 2016

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

(Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta) TUGAS AKHIR

PERUBAHAN FUNGSI PEMANFAATAN RUANG DI KELURAHAN MOGOLAING KOTA KOTAMOBAGU

TUGAS AKHIR. Oleh: RICO CANDRA L2D

BAB I PENDAHULUAN. pemicu munculnya permasalahan lingkungan baik biotik, sosial, kultural,

18 Desember STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI KERJASAMA EKONOMI SUB REGIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KONDISI PELAYANAN FASILITAS SOSIAL KECAMATAN BANYUMANIK-SEMARANG BERDASARKAN PERSEPSI PENDUDUK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Perilaku Pergerakan Masyarakat Perkotaan Dalam Proses Urbanisasi Wilayah di Kabupaten Tegal TUGAS AKHIR. Oleh: TITI RATA L2D

SEA SIDE MALL PADA KAWASAN WATERFRONT KOTA BENGKALIS-RIAU (Studi Kasus pada Pantai Andam Dewi Bengkalis) Penekanan Desain Arsitektur Morphosis

BAB 1. Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Gunung Kidul, yaitu sebanyak 454 jiwa per kilo meter persegi.

ARAHAN PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG TUGAS AKHIR. Oleh: SULISTIANTO L2D

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

HASIL PENELITIAN ANALISIS PERKEMBANGAN AKTIVITAS KOMERSIL GALALA DI JALAN LINTAS HALMAHERA

EVALUASI ALTERNATIF LOKASI PASAR INDUK SAYUR DI KOTA SURABAYA TUGAS AKHIR. Oleh: YANUAR RISTANTYO L2D

KECENDERUNGAN PASAR JOHAR SEBAGAI OBYEK WISATA BELANJA DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

ANALISIS DAYA TARIK DUA PUSAT PELAYANAN DALAM PENGEMBANGAN SISTEM PERKOTAAN DI KABUPATEN PURWOREJO (Studi Kasus: Kota Kutoarjo dan Kota Purworejo)

BAB I PENDAHULUAN. besar, dimana kondisi pusat kota yang demikian padat menyebabkan terjadinya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK URBAN SPRAWL DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 Indra santoso, Kamus praktis bahasa indonesia, Ibid 3 Ibid 4 Ibid 5 Ibid 6 Ibid

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG TERJADINYA KEMACETAN LALU LINTAS DI JALAN ARTERI PRIMER KAWASAN PASAR UNGARAN KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI PENGADAAN RUMAH SWADAYA OLEH MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH DI KECAMATAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

PENDAHULUAN Latar belakang

KAJIAN PERUBAHAN SPASIAL KAWASAN PINGGIRAN KOTA SEMARANG DITINJAU DARI RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) TAHUN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ARI KRISTIANTI L2D

IDENTIFIKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI TAMAN SERIBU LAMPU KOTA CEPU TUGAS AKHIR. Oleh: IKA PRASETYANINGRUM L2D

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. A. Kesimpulan

IDENTIFIKASI FAKTOR PENENTU LOKASI INDUSTRI DI KOTA SEMARANG DAN DAERAH YANG BERBATASAN TUGAS AKHIR. Oleh: FAHRIAL FARID L2D

ANALISIS KESELAMATAN DAN KENYAMANAN PEMANFAATAN TROTOAR BERDASARKAN PERSEPSI DAN PREFERENSI PEJALAN KAKI DI PENGGAL JALAN M.T. HARYONO KOTA SEMARANG

MODEL DINAMIS BANGKITAN DAN TARIKAN PERGERAKAN BERDASARKAN PERKEMBANGAN GUNA LAHAN (STUDI KASUS KOTA SEMARANG) TUGAS AKHIR

BAB III: GAMBARAN UMUM LOKASI STUDI

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI PEDAGANG KAKI LIMA DI KAWASAN PENDIDIKAN TEMBALANG KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

IDENTIFIKASI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN JALAN DAN SALURAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH DI KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN STUDI KASUS: KECAMATAN JATEN, KABUPATEN KARANGANYAR

ANALISIS KARAKTERISTIK PARKIR KHUSUS TERHADAP INTENSITAS PARKIR DI KAWASAN SIMPANG LIMA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. lemahnya perencanaan dan kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi

BAB V KESIMPULAN. wilayahnya yang sebelumnya berbasis agraris menjadi Industri. Masuknya Industri

PENGARUH KEBERADAAN TRANSPORTASI UMUM ANGKUTAN DESA TERHADAP PERGERAKAN PENDUDUK DI KECAMATAN DELANGGU KABUPATEN KLATEN. Publikasi Karya Ilmiah

Transkripsi:

KARAKTERISTIK STRUKTUR RUANG INTERNAL KOTA DELANGGU SEBAGAI KOTA KECIL DI KORIDOR SURAKARTA - YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : AHMAD NURCHOLIS L2D 003 325 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008 i

ABSTRAK Perkembangan perkotaan di Indonesia cenderung mengarah terbentuknya kawasan perkotaan yang semakin besar dan terintegrasi (mega-urban region), ini terlihat dari semakin luasnya daerah yang menunjukkan ciri perkotaan di kawasan suburban yang telah menyatu dengan kota intinya. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada kota besar, tetapi juga pada kota-kota kecil yang berada di antara koridor kota besar, salah satunya terjadi pada koridor Surakarta-Yogyakarta. Dimana koridor tersebut memperlihatkan kaburnya batas antara wilayah perkotaan dengan pedesaan. Adanya fenomena tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan, perubahan aktivitas penduduk serta meningkatnya pergerakan orang dan aliran barang yang terjadi antar pusat aktivitas maupun dengan wilayah lain. Sehingga kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan bentuk dan struktur ruang internal kota yang terbentuk, salah satunya di Kota Delanggu. Penelitian tentang karakteristik sruktur ruang internal Kota Delanggu sebagai kota kecil di koridor Surakarta-Yogyakarta dilakukan berdasarkan pendekatan fisik dan non fisik. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui karakteristik struktur ruang internal kota yang terbentuk. Untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana karakteristik struktur ruang internal Kota Delanggu yang terbentu, ada beberapa fokus pembahasan seperti karakteristik penggunaan lahan, sistem aktivitas penduduk, serta pergerakan orang dan barang yang kesemuanya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya struktur ruang internal suatu kota. Penelitian ini dirasa penting untuk dilakukan sebagai dasar pertimbangan dalam pengembangan kota-kota kecil di masa yang akan datang. Khususnya kota-kota kecil yang berada diantara koridor kota besar, dalam hal ini koridor Surakarta-Yogyakarta, baik bagi Pemda Kabupaten Klaten, Pemkot Surakarta maupun Pemprov Yogyakarta. Hal ini karena kebijakan pembangunan perkotaan masih bersifat administratif dan sektoral, sehingga dengan adanya Otonomi Daerah maka kebijakan pembangunan yang bersifat kewilayahan serta terintegrasi dinilai lebih tepat untuk terapkan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dengan teknik analisis yang digunakan yaitu analisis kuantitatif deskriptif, kualitatif deskriptif, dan statistik deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang. Hasil analisis menunjukkan bahwa karakteristik penggunaan lahan di Kota Delanggu didominasi oleh permukiman sedangkan kawasan komersil berkembang di sepanjang jalan-jalan utama di Kota Delanggu. Hal ini karena adanya tarikan yang kuat antara Kota Solo, Klaten dan Jogjakarta serta Kota Delanggu berfungsi sebagai pusat pelayan terhadap beberapa wilayah sekitar. Penduduk Kota Delanggu sebagian besar bekerja di sektor non-agraris, seperti industri, perdagangan dan jasa, sedangkan penduduk sebagai petani jumlahnya relatif sedikit (15.31%), sehingga kondisi tersebut memperlihatkan Kota Delanggu lebih bersifat perkotaan. Pergerakan penduduk di Kota Delanggu berasal dari pergerakan internal dan eksternal dengan lokasi tujuan kawasan komersil, dengan tujuan untuk bekerja, belajar, belanja dan keperluan lain. Penduduk di Kota Delanggu tidak perlu ke kota-kota besar untuk mengakses barang kebutuhan sehari-hari, hal ini karena hampir semua kebutuhan hidup sudah tersedia di Kota Delanggu. Perkembangan lahan terbangun di Kota Delanggu terjadi ke segala arah secara seimbang karena kondisi topografi yang datar, tetapi pada sisi-sisi jalan-jalan utama Kota Delanggu lebih mengalami percepatan perkembangannya, hal ini terkait adanya fenomena mega-urban region yang terjadi di koridor Surakarta-Yogyakarta maupun dengan wilayah sekitarnya. Berdasarkan fenomena tersebut, perkembangan Kota Delanggu bertipe kompak, sedangkan struktur ruang internal yang terbentuk lebih melihat fungsi dari masing-masing kawasan meskipun kondisinya masih terjadi percampuran fungsi. Sehingga tipe struktur ruang kota yang mendekati adalah tipe sektor, meskipun tidak seideal seperti yang terjadi di nagara maju. Terjadinya perluasan kawasan perkotaan di sepanjang koridor Surakarta-Jogjakarta akan mengancam keberadaan lahan pertanian yang subur kondisi tersebut terjadi karena perkembangan kawasan perkotaan tersebut tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ada. Selain itu perkembangan lahan terbangun (permukiman dan komersil) akan menimbulkan dampak terhadap arus pergerakan transportasi. Untuk menghindari perkembangan yang tidak terkendali maka diperlukan suatu kerjasama lintas sektoral maupun antara Pemkot Surakarta, Pemda Klaten dan Pemprop Jogjakarta dalam berbagai bidang agar perkembangan koridor perkotaan tersebut lebih terarah, sehingga permasalahan-permasalahan yang timbul dapat diminimalisasi. Kata kunci: struktur ruang internal, kota kecil, Guna lahan, sistem aktivitas dan pergerakan.

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan perkotaan di Indonesia cenderung mengarah terbentuknya kawasan perkotaan yang semakin membesar dan terintegrasi. Kondisi tersebut terlihat dari semakin luasnya daerah yang menunjukkan ciri fisik perkotaan di kawasan suburban yang telah menyatu dengan kota intinya, dimana proses pengkotaan yang terjadi di pinggiran kota besar terjadi lebih cepat dibanding yang terjadi di kota besar itu sendiri. Adanya fenomena tersebut mengakibatkan terjadinya proses transformasi ruang dan sosio-ekonomik wilayah kota-kota menengah maupun kota kota kecil di sekitarnya sebagai akibat dari proses modernisasi dan industrialisasi kota besar (inti), dimana pada akhirnya mengakibatkan perkembangan kota-kota tersebut terkesan menyatu (Sugiana, 2005: 42). Menyatunya kota-kota tersebut pada akhirnya mengakibatkan terjadinya fenomena wilayah perkotaan yang sangat besar (mega-urban regions), seperti halnya yang terjadi di kota-kota megapolitan seperti Kota Jakarta dengan kota-kota kecil di sekitarnya (Jabodetabek), dimana kota megapolitan tersebut berperan sebagai inti (Firman dan Tjahjati, 2005: 87). Fenomena perkembangan kawasan perkotaan tersebut terlihat jelas pada pola keruangan perkembangan penduduk perkotaan, terutama di Jawa memperlihatkan kecenderungan perkembangan koridor perkotaan yang menghubungkan antara kota-kota besar seperti koridor Serang-Jakarta-Kerawang, koridor Jakarta-Bandung, koridor Cirebon-Semarang, koridor Semarang-Yogyakarta, serta koridor Surabaya-Malang, dimana pembentukan koridor-koridor tersebut sering diwarnai oleh semakin kaburnya perbedaan antara wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan (Firman, 1992:213). Munculnya fenomena tersebut tidak terlepas dari keberadaan jalur transportasi yang menghubungkan antar kota-kota tersebut, sehingga akan terbentuk semacam koridor perkotaan antara kota-kota besar. Di saat perekonomian berkembang dengan pesat dan akan terlihat wilayah perkotaan yang sangat luas (metropolitan) dimana terdapat kantong-kantong pertanian tetapi dengan kegiatan perkotaan (agrourban activities) diantara koridor antar kota (Soegijoko, 1997:107). Pesatnya perkembangan tersebut mengakibatkan perubahan warga perkotaan, jumlah kepadatan penduduk yang meningkat mempengaruhi pola penggunaan lahan suatu kota yang berakibat terjadinya konflik penggunaan lahan, sehingga permukiman penduduk cenderung bergeser keluar yang mengakibatkan munculnya wilayah desa-kota di sekeliling atau di sepanjang koridor kota besar. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah sekitar atau di antara koridor kota besar yaitu lahan pertanian bersententuhan dengan permukiman, komersil, industri, jasa yang menjadi ciri fisik 1

2 perkotaan. Sehingga dengan adanya perkembangan tersebut juga berpengaruh terhadap karakteristik perilaku penduduknya serta bertambah kuatnya interaksi yang terjadi. Selain itu, terjadinya perkembangan kawasan perkotaan di sekitar kota besar maupun di sepanjang koridor antar kota besar juga ditandai dengan adanya proses restrukturisasi internal pada kota-kota tersebut, baik secara sosial-ekonomi maupun secara fisik. Secara fisik proses restrukturisasi ditandai oleh adanya perubahan guna lahan, baik di kota inti maupun di kawasan pinggiran. Kawasan pusat kota mengalami perubahan penggunaan lahan sangat intensif dari kawasan permukiman menjadi komersil, sedangkan di kawasan pinggiran kota terjadi alih fungsi (konversi) lahan pertanian yang subur menjadi kawasan terbangun yaitu industri dan permukiman. Fenomena terjadinya perluasan wilayah perkotaan yang ditandai dengan semakin kaburnya batas antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan juga terlihat di sepanjang koridor Surakarta- Yogyakarta. Berdasarkan penelitian (Nugroho, 2002:124), beberapa wilayah kecamatan yang terdapat di koridor Surakarta-Yogyakarta mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk dan aksesbilitas yang tinggi, di antaranya Kecamatan Delanggu, Ceper, Prambanan dan Kota Klaten. Hal ini karena keberadaan Kota Solo dan Yogyakarta secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan wilayah disekitarnya, terutama daerah-daerah yang berada pada jalur regional antara kedua kota tersebut. Selain karena lokasinya yang saling berdekatan juga didukung oleh keberadaan jalur regional yang menghubungkan kedua kota tersebut, Kota Yogyakarta berfungsi sebagai pusat pelayanan Propinsi DIY sedangkan Kota Surakarta sebagai pusat pertumbuhan di Bagian Tenggara Propinsi Jawa Tengah dan pusat perekonomian di wilayah Subosukawonosraten (RTRW Provinsi Jawa Tengah, 2003). Akibatnya di sepanjang koridor tersebut tumbuh dan berkembang kota-kota menengah dan kecil yang berfungsi sebagai pusat pelayanan terhadap daerah sekitarnya, penyuplai tenaga kerja dan bahan baku maupun sebagai daerah pemasaran produk-produk industri perkotaan, sehingga mempengaruhi perkembangan koridor kedua kota besar tersebut. Pesatnya perkembangan daera perkotaan di sepanjang koridor Surakarta-Yogyakarta tidak terlepas dari adanya interaksi yang terjadi antara kedua kota tersebut, hal ini karena interaksi antar kota/ wilayah merupakan faktor ekternal yang berpengaruh serta berperan penting terhadap perkembangan suatu kota. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan suatu kota terlihat dari seberapa kuat interaksi antar kota/ wilayah di sekitarnya, seperti pergerakan penduduk berupa perjalanan atau migrasi, aliran investasi baik berupa aliran aset atau SDM, penyebaran inovasi, aliran informasi dan komoditas yang didorong oleh kemajuan dalam bidang teknologi transportasi, informasi dan produksi (Firman, 2000; dalam Soegijoko, 2005: 23). Sehingga kondisi tersebut akan mempengaruhi tingkat perubahan penggunaan lahan di suatu kota, sebagai akibat munculnya berbagai aktivitas sosial ekonomi diatasnya. Selain terjadi perubahan penggunaan lahan juga

3 berpengaruh terhadap aktivitas penduduk yang terdapat di dalam kota tersebut untuk melangsungkan kehidupannya. Dalam studi ini dilakukan pembatasan pembahasan pertumbuhan dan perkembangan kota kecil di koridor Surakarta-Yogyakarta dengan studi kasus Kota Delanggu dalam bentuk karakteristik struktur ruang internal yang terbentuk. Pembahasan karakteristik struktur ruang internal kota lebih difokuskan pada karakteristik penggunaan lahan, sistem aktivitas penduduknya serta interaksi yang terjadi tetapi hanya sebatas pada pergerakan orang dan barang. Kota Delanggu merupakan salah satu kota kecil yang berada di koridor Surakarta- Yogyakarta. Berdasarkan hirarki perkotaan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Klaten, Kota Delanggu berfungsi sebagai kota hirarki II. Hal ini karena kota tersebut telah berkembang menjadi pusat pelayanan wilayah Kabupaten Klaten sebelah utara dan timur, serta sekitar kota tersebut telah berkembang aktivitas pertanian yang dipertahankan sampai sekarang. Selain itu, Kota Delanggu juga berfungsi sebagai Sub Wilayah Pembangunan (SWP) II yang meliputi wilayah-wilayah Kecamatan Delanggu, Polanharjo, Juwiring dan Wonosari dengan pusat pengembangannya berada di Kota Delanggu. Sesuai dengan fungsinya sebagai pusat pertumbuhan, kota Delanggu akan selalu mengimbaskan pertumbuhan dan perkembangan kepada kota-kota yang berperan sebagai pusat-pusat SWP tersebut sebaliknya pertumbuhan kota Delanggu itu sendiri banyak didukung oleh keberadaan kota-kota (desa-desa) yang berada belakangnya terutama oleh adanya kapasitas produk pertanian, perindustrian dan pariwisata. Sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan wilayah Kabupaten Klaten bagian utara dan timur, Kota Delanggu mengalami perkembangan yang relatif cepat bila dibandingkan dengan daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari semakin berkurangnya lahan pertanian yang berubah menjadi lahan terbangun, baik berfungsi sebagai permukiman maupun komersil yang disebabkan oleh adanya pertambahan jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya. Secara umum penggunaan lahan di Kota Delanggu pada tahun 2007 didominasi oleh lahan pertanian dengan persentase sekitar 59,30 %, sedangkan sisanya telah berubah menjadi kawasan terbangun yaitu sebesar 40,70 % dari total luas keseluruhan, dengan rincian luas penggunaan lahan untuk permukiman 29,86 %, perdagangan dan jasa 5,40 %, fasilitas umum 2,47 % serta sisanya berupa penggunaan untuk industri dan campuran. Kondisi tingkat perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun memiliki karakteristik yang sama dengan kota atau daerah lain yaitu umumnya mengikuti pola jalan. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan di Kota Delanggu dapat dilihat pada Gambar I.1 berikut.