UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

dokumen-dokumen yang mirip
2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

No pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup. Rangkaian tindak pidana terorisme yang terjadi di wilayah Negara Ke

2017, No pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaim

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI PENGGUNAAN UANG KARTAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-03/1.02.1/PPATK/03/12 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN,

1.4. Modul Mengenai Pengaturan Pemberantasan Pencucian Uang Di Indonesia

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45/PMK.06/2013 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENALI PENGGUNA JASA BAGI BALAI LELANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA (Penjelasanan Dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 642)

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

2 dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan tentang Pengenaan Sa

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2012, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjut

PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUAN6AN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2003

Perpustakaan LAFAI

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 08 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2010/122, TLN 5164]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2011, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENALI PENGGUNA

2017, No undangan mengenai pencegahan dan pemberatasan tindak pidana pencucian uang dan wajib melakukan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, T

^uur#i,io,',?i5n,u'o TENTANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan. Pertukaran. Informasi.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG MATA UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

BERITA NEGARA. PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. Pelaporan Transaksi. Penyedia Barang. Jasa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Muhammad Nur Jamaluddin (MNJ) Jawablah pertanyaan dibawah ini!

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kedelapan, Permintaan Keterangan Kepada PPATK (Berdasarkan Informasi PPATK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBATASAN TRANSAKSI UANG KARTAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (Undang Undang RI Nomor 15 Tahun 2002 tanggal 17 April ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2015 TENTANG PIHAK PELAPOR DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN BERSAMA MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

PERATURAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG RAHASIA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PIHAK PELAPOR DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Pasal 1 Dalam P

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN KEWENANGAN PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK!NQONES!A SALIN AN

GUBERNUR BANK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia termasuk pelindungan dari ancaman tindak pidana terorisme dan aktifitas yang mendukung terjadinya aksi terorisme; catatan: setneg mengusulkan berkewajiban diubah menjadi bertujuan. b. bahwa unsur pendanaan merupakan (salah satu) faktor utama dalam setiap aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diyakini tidak akan optimal tanpa diikuti dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan terorisme; c. bahwa dengan telah diratifikasinya Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk membuat atau menyelaraskan peraturan perundang-undangan terkait perdanaan terorisme sehingga sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam konvensi tersebut; d. bahwa ketentuan yang ada berkaitan dengan pendanaan terorisme belum mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan tindak

2 pidana pendanaan terorisme secara memadai dan komprehensif; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang- Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme; Mengingat : 1. 2. 3. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284); Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention For The Suppression Of The Financing Of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4617); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME.

3 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pendanaan Terorisme adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana yang berasal dari sumber yang sah maupun tidak sah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang diketahuinya atau patut diduga bahwa dana tersebut akan digunakan, baik keseluruhannya maupun sebagian, untuk melakukan suatu tindak pidana terorisme. (usulan apakah tidak sebaiknya ditiadakan definisi ini karena membatasi aktifitas pendanaan terorisme yang tidak dicantumkan dalam definisi ini/tidak futuristik, sedangkan modus pendanaan dari waktu ke waktu makin berkembang dan bervariasi, dan di dalam UN Convention juga tidak didefinisikan). 2. Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan undang-undang di bidang pemberantasan terorisme. 3. Tindak pidana pendanaan terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsurunsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. 4. Setiap Orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi. 5. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 6. Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. 7. Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme adalah: a. transaksi yang memadai untuk dicurigai mengunakan dana yang terkait atau berhubungan dengan atau akan digunakan untuk tindak pidana terorisme; alternatif : Transaksi yang patut diduga menggunakan dana yang terkait atau berhubungan dengan atau akan digunakan untuk tindak pidana terorisme. (mengingat kata memadai sulit mencari parameter dan tidak memenuhi asas lex certa)

4 b. transaksi yang melibatkan Setiap Orang yang berdasarkan publikasi pemerintah atau organisasi internasional dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris. 8. Dana adalah harta kekayaan dalam bentuk apapun baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang diperoleh dengan cara apapun, dan dalam bentuk apapun, termasuk dalam format digital atau elektronik, alat bukti kepemilikan, atau keterkaitan, dari harta kekayaan tersebut, termasuk tetapi tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang dikeluarkan oleh bank, perintah pengiriman uang, saham, sekuritas, obligasi, bank draf, dan surat pengakuan hutang. 9. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu saran, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. tulisan, suara, atau gambar; b. peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; dan c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 10. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang diamanatkan dalam Undang-Undang ini untuk menerima, menganalisis dan melaporkan hasil analisis Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme dan tindak pidana pencucian uang. 11. Pihak Pelapor adalah Setiap Orang yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan kepada PPATK. 12. Pengguna Jasa adalah pihak yang menggunakan jasa Pihak Pelapor. 13. Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengeluarkan izin, regulasi, pengawasan dan/atau mengenakan sanksi administratif terhadap Pihak Pelapor atau badan hukum yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan. Alternatif: dibuat perbedaan antara lembaga pengawas dan pengatur untuk pjk dan untuk npo) Catatan : dipending terkait npo

5 Lembaga Pengawas dan Pengatur untuk penyedia jasa keuangan adalah lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengeluarkan izin, regulasi, pengawasan dan/atau mengenakan sanksi administratif terhadap penyedia jasa keuangan. Lembaga Pengawas dan Pengatur untuk badan hukum yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan adalah lembaga yang memiliki kewenangan dalam mengeluarkan izin, regulasi, pengawasan dan/atau mengenakan sanksi administratif terhadap badan hukum yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan 14. Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Catatan : dipending 15. Personil Pengendali Korporasi adalah setiap orang yang memiliki kekuasaan atau wewenang sebagai penentu kebijakan Korporasi atau memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi tersebut tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya. BAB II TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME Pasal 2 Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 3 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan percobaan atau pembantuan menyediakan, mengumpulkan, memberikan atau meminjamkan Dana baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakan, seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

6 Pasal 4 Setiap orang yang dengan sengaja, merencanakan, menggerakkan, atau menyuruh orang lain untuk mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana baik langsung atau tidak langsung, dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakan, seluruhnya atau sebagian, untuk melakukan Tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Pasal 5 Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 6 (1) Dalam hal tindak pidana pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dilakukan oleh Korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap Korporasi, dan/atau Personil Pengendali Korporasi. (2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana pendanaan terorisme: a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi; b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi; dan c. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi. (3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap Korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus dan/atau Personil Pengendali Korporasi di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor. (4) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi hanya pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (5) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan Korporasi; b. pencabutan izin usaha dan dinyatakan sebagai Korporasi terlarang; c. pembubaran dan pelarangan Korporasi; d. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau

7 e. pengambilalihan Korporasi oleh negara. (6) Dalam hal Korporasi tidak mau membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dilakukan perampasan aset Personil Pengendali Korporasi senilai denda yang dijatuhkan. BAB III TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME Pasal 7 (1) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan berkaitan dengan Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme dalam rangka pelaksanaan tugasnya, wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut. (2) Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, atau setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, atau setiap orang apabila dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau demi kepentingan umum. Pasal 8 (1) Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dengan cara apapun, mengenai laporan Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. (2) Pejabat atau Pegawai PPATK, penyelidik atau penyidik, Lembaga Pengawas dan Pengatur, baik secara langsung atau tidak langsung, dengan cara apapun, dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme kepada Pengguna Jasa yang telah dilaporkan kepada PPATK.

8 (3) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar). BAB IV PENCEGAHAN Bagian Kesatu Pihak Pelapor Pasal 9 (1) Setiap Pihak Pelapor wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Yang Terkait Pendanaan Terorisme kepada PPATK. (2) Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyedia jasa keuangan yang meliputi: 1. bank; 2. perusahaan pembiayaan; 3. perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; 4. dana pensiun lembaga keuangan; 5. perusahaan efek; 6. manajer investasi; 7. kustodian; 8. wali amanat; 9. lembaga penyimpanan dan penyelesaian; (catatan : akan dikonfirmasikan dengan Bapepam LK) 10. perposan sebagai penyedia jasa giro; 11. pedagang valuta asing; 12. penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; 13. penyelenggara e-money dan/atau e-wallet; 14. koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam; 15. pegadaian; 16. perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditas;

9 17. penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang; atau 18. jasa kurir uang tunai; dan b. Pihak Pelapor selain sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan dengan Keputusan Kepala PPATK. Pasal 10 (1) Lembaga Pengawas dan Pengatur berwenang melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap Pihak Pelapor dan badan atau lembaga yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan. (2) Lembaga Pengawas dan Pengatur yang berwenang melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap badan atau lembaga yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (3) Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib menyampaikan Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme yang dilaporkan oleh badan atau lembaga yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan kepada PPATK. (4) Badan atau lembaga yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan wajib melaporkan Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur. Bagian Kedua Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Pasal 11 (1) Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa. (2) Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada saat: a. melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa;

10 b. terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. terdapat transaksi keuangan mencurigakan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau d. Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa. (4) Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa. (5) Prinsip mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat: a. identifikasi Pengguna Jasa; b. verifikasi Pengguna Jasa; dan c. pemantauan Transaksi Pengguna Jasa; (6) Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, ketentuan mengenai prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan Peraturan Kepala PPATK. Pasal 12 (1) Pihak Pelapor wajib mengetahui bahwa Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor, bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain. (2) Dalam hal Transaksi dengan Pihak Pelapor dilakukan untuk diri sendiri dan atas nama orang lain, Pihak Pelapor wajib meminta informasi mengenai identitas dan Dokumen pendukung dari Pengguna Jasa dan orang lain tersebut. (3) Dalam hal identitas dan/atau Dokumen pendukung yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap, Pihak Pelapor wajib menolak Transaksi dengan orang tersebut. Pasal 13 (1) Setiap orang yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor wajib memberikan identitas dan informasi yang benar dan dibutuhkan oleh Pihak Pelapor dan sekurangkurangnya memuat identitas diri, sumber dana dan tujuan Transaksi dengan mengisi

11 formulir yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan Dokumen pendukungnya. (2) Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan informasi mengenai identitas diri, sumber dana dan tujuan Transaksi pihak lain tersebut. Pasal 14 (1) Pengguna Jasa yang melakukan Transaksi pengiriman uang secara elektronis wajib memberikan informasi yang benar mengenai pengirim asal, alamat pengirim asal, dan sumber dana kepada Penyedia Jasa Keuangan. (2) Penyedia Jasa Keuangan pengirim wajib menyimpan semua informasi yang diperlukan untuk mengenali semua pengirim asal dan penerima kiriman. Pasal 15 (1) Penyedia Jasa Keuangan wajib meminta informasi yang lengkap tentang pengirim asal, alamat pengirim asal, dan sumber dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1). (2) Dalam hal Pengguna Jasa tidak memberikan informasi yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia Jasa Keuangan wajib menolak pengiriman uang secara elektronis tersebut. Bagian Ketiga Kewajiban Pelaporan Pasal 16 (1) Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme kepada PPATK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Pihak Pelapor mengetahui adanya Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme tersebut. (2) Pihak Pelapor yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan denda administratif paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

12 (3) Penerimaan hasil denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 17 Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank. Bagian Keempat Pengawasan Kepatuhan Pasal 18 Pengawasan kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban pelaporan dilakukan oleh PPATK dan Lembaga Pengawas dan Pengatur yang berwenang. Pasal 19 Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur menemukan adanya Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme yang tidak dilaporkan oleh Pihak Pelapor kepada PPATK, Lembaga Pengawas dan Pengatur terhadap Pihak Pelapor segera menyampaikan temuan tersebut kepada PPATK. BAB V PEMBAWAAN UANG TUNAI DAN/ATAU INSTRUMEN PEMBAYARAN LAIN KE DALAM ATAU KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA Pasal 20 (1) Setiap orang yang membawa uang tunai dalam mata uang Rupiah dan/atau mata uang asing, dan/atau instrumen pembayaran lain dalam bentuk antara lain berupa cek, cek perjalanan atau bilyet giro paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia wajib memberitahukannya kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

13 (2) Direktorat Bea dan Cukai harus membuat laporan mengenai pembawaan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan kepada PPATK dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan. Catatan: perlu definisi tentang hari kerja (lihat di RUU Transfer Dana) (3) PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 21 (1) Setiap orang yang tidak memberitahukan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda paling sedikit sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang telah memberitahukan pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) tetapi jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain yang dibawa lebih besar dari jumlah yang diberitahukan, dikenakan sanksi administratif berupa denda paling sedikit sebesar 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah uang tunai yang dibawa dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Pasal 22 (1) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berwenang melakukan penindakan terhadap pembawaan uang tunai atau instrumen pembayaran lain dari dan keluar daerah pabean: a. paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang setara dengan itu; dan/atau b. yang terkait dengan tindak pidana terorisme atau berdasarkan publikasi pemerintah atau organisasi internasional dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris yang berdasarkan bukti permulaan atau informasi dari penegak hukum lain diduga atau terindikasi terkait dengan tindak pidana terorisme. (2) Dalam menjalankan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan permintaan keterangan permulaan kepada

14 pembawa uang tunai untuk paling lama 3 x 24 jam setelah dilakukannya penindakan, dan menyerahkan pembawaan uang tunai yang terkait tindak pidana terorisme kepada pejabat yang berwenang. (3) Terhadap penindakan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan kepada PPATK dan/atau instansi penegak hukum dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak dilakukan penindakan. (4) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berwenang melakukan pelakukan penyitaan terhadap pembawaan uang tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) yang diduga terkait dengan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. BAB VI PENUNDAAN TRANSAKSI DAN PEMBLOKIRAN Bagian Kesatu Penundaan Transaksi Pasal 23 (1) Penyedia Jasa Keuangan wajib menunda: a. Transaksi yang melibatkan Setiap Orang yang berdasarkan publikasi Pemerintah atau organisasi internasional dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris; atau b. transaksi yang diduga untuk kegiatan terorisme berdasarkan pemberitahuan atau informasi dari penegak hukum atau instansi yang berwenang lainnya. (2) Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja. Catatan : perlu definisi tentang hari kerja (lihat di RUU Transfer Dana) (3) Pelaksanaan penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat oleh Penyedia Jasa Keuangan dalam Berita Acara Penundaan Transaksi. (4) Penyedia Jasa Keuangan memberikan Salinan Berita Acara Penundaan Transaksi kepada Pengguna Jasa.

15 (5) Penyedia Jasa Keuangan tidak dapat dituntut oleh pihak manapun baik secara perdata maupun pidana dalam pelaksanaan penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 24 (1) Penundaan Transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) harus dilaporkan kepada PPATK dengan dilampiri Berita Acara Penundaan Transaksi dalam waktu paling lama 1 (satu) hari kerja sejak penundaan Transaksi dilakukan. (2) Dalam hal penundaan Transaksi telah dilakukan sampai dengan hari kelima, penyedia jasa keuangan harus memutuskan akan melaksanakan Transaksi atau menolak Transaksi tersebut. Pasal 25 (1) Setelah menerima laporan penundaan Transaksi dari Penyedia Jasa Keuangan, PPATK wajib memastikan pelaksanaan penundaan Transaksi dimaksud dilakukan terhadap orang atau Korporasi yang berdasarkan publikasi Pemerintah atau organisasi internasional yang dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris. (2) Dalam hal Pengguna Jasa yang ditunda transaksinya ternyata bukan merupakan orang atau Korporasi yang dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris, atau telah dikeluarkan dari daftar publikasi Pemerintah atau organisasi internasional, PPATK memerintahkan Penyedia Jasa Keuangan yang melakukan penundaan Transkasi tersebut untuk mencabut penundaan Transaksi tersebut. (3) Dalam hal Pengguna Jasa yang ditunda transaksinya tersebut benar-benar merupakan orang atau Korporasi yang dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris berdasarkan publikasi Pemerintah atau organisasi internasional, maka PPATK memerintahkan pemblokiran. (usul disesuaikan dengan Pasal 64 UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU) Bagian Kedua Pemblokiran

16 Pasal 26 (1) Penyedia Jasa Keuangan wajib melaksanakan pembokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran dari PPATK diterima oleh Penyedia Jasa Keuangan. (2) Penyedia Jasa Keuangan wajib menyerahkan Berita Acara Pelaksanaan Pemblokiran kepada PPATK paling lama 1 (satu) hari terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran. (3) Dana yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang melakukan pemblokiran tersebut. (4) Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenai sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (5) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Pasal 27 (1) PPATK membuat surat pemberitahuan pemblokiran dan menyampaikan kepada penyidik paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima Berita Acara Pelaksanaan Pemblokiran tersebut. (2) Dalam hal ditemukan adanya indikasi tindak pidana pendanaan terorisme, PPATK menyerahkan Hasil analisis atau hasil pemeriksaan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. BAB VII PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN Pasal 28 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

17 Pasal 29 Alat bukti yang sah dalam tindak pidana pendanaan terorisme meliputi: a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau b. Dokumen. Pasal 30 (1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pendanaan terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Pihak Pelapor mengenai Dana setiap orang yang diketahui akan digunakan atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme. (2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi keuangan lainnya. (3) Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai: a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; b. identitas setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan Tindak Pidana Pendanaan Terorsime, tersangka, atau terdakwa c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan d. tempat Dana berada. (4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh: a. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala Kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik; b. Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksanaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum; c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan. BAB VIII KERJASAMA DALAM PENCEGAHAN DAN PEBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

18 Pasal 31 (1) Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pendanaan terorisme, Pemerintah Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait, baik dalam lingkup nasional maupun internasional antara lain pertukaran informasi, (2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk kerja sama formal atau berdasarkan hubungan baik atau prinsip resiprositas. Pasal 32 (1) Dalam rangka mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Pemerintah dapat dilakukan kerjasama bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan ekstradisi dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Kerjasama bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance) dan ekstradisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerjasama bantuan timbal balik dengan Negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas. (3) Dalam hal diperlukan dapat dilakukan kerjasama pertukaran tahanan (transfer of sentence person) terhadap pelaku tindak pidana teroris. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka pemeriksaan yang sedang berlangsung terhadap perkara tindak pidana terorisme terkait pelanggaran Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, tetap diperiksa dan diadili sampai perkara tindak pidana terorisme tersebut diputus sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

19 BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 35 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Diundangkan di Jakarta pada tanggal... SUSILO BAMBANG YUDHOYONO MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...