BAB I PENDAHULUAN. Peran pemerintah daerah dalam bidang kepariwisataan tidak dapat

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR : 4 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 86 TAHUN : 2008 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAHAN KABUPATEN BELITUNG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 19 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASAMAN NOMOR 19 TAHUN 2007

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN KETAPANG

PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA

TENTANG BUPATI MUSI RAWAS,

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN SIAK

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 11 TAHUN 2008 SERI : E NOMOR : 6

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN CIAMIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan (2)

PEMERINTAH KABUPATEN PARIGI MOUTONG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA TENGAH NOMOR: 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN SUMBA TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI SERI E NO.1/E 15 PEBRUARI 2010 SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

PEMERINTAH KABUPATEN PARIGI MOUTONG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DAN KEMANDIRIAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU

PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT dan GUBERNUR PAPUA BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN REMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BREBES

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 80 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH DAERAH KOTA SAMARINDA PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 06 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TUBAN Nomor 7 Tahun 2008 Seri E

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN MAMUJU

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH KOTA BLITAR

PEMERINTAHAN KABUPATEN BINTAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LABUHANBATU SELATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BREBES

BAB I PENDAHULUAN. diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

LEMBARAN DAERAH KOTA BANJARMASIN TAHUN 2008 NOMOR 12

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 01 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN LUWU TIMUR

LEMBARAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 9 TAHUN 2008

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KOTA BALIKPAPAN

LEMBARAN DAERAH KOTA TARAKAN TAHUN 2008 NOMOR 06 SERI D 01

LEMBARAN DAERAH KOTA SUNGAI PENUH NOMOR 17 TAHUN 2010

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PERATURAN DAERAH SULAWESI BARAT NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 7 TAHUN 2008 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWAKARTA NOMOR : 7 TAHUN TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH KOTA PAREPARE

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN BADUNG

PEMERINTAH KOTA PONTIANAK PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAHAN DAERAH

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 43 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR,

PERATURAN DAERAH KOTA MOJOKERTO NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH KOTA MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

PROVINSI PAPUA BUPATI YALIMO PERATURAN DAERAH KABUPATEN YALIMO NOMOR 10 TAHUN 2014

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 2 TAHUN 2008

Otonomi Daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah, BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH PROVINSI KALBAR

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 02 TAHUN 2008

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 12 TAHUN 2008

URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN BATANG HARI

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN PROVINSI SUMATERA SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

LEMBARAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN TANA TORAJA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEKADAU NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN YANG MENJADI KEWENANGAN KABUPATEN SEKADAU BUPATI SEKADAU,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG Nomor : 21 Tahun 2008

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 2 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 07 Tahun :2010 Seri : E

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 1 TAHUN : 2010 SERI : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

BUPATI LAMANDAU, Ir. MARUKAN

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2007 TENTANG PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI LAMPUNG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2008 NOMOR : 4 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran pemerintah daerah dalam bidang kepariwisataan tidak dapat dihindarkan. Seperti yang ditulis Kusmayadi (2000: 4) bahwa pariwisata timbul dari interaksi wisatawan, bisnis pemerintah tuan rumah, serta masyarakat tuan rumah. Keterlibatan pemerintah ini termasuk pada pembangunan, perawatan, dan pengembangan objek wisata. Kesemuanya ini membutuhkan biaya yang dianggarkan oleh pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD disusun berdasarkan usulan dari setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), yang pada akhirnya disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD serta disahkan dengan Peraturan Daerah. Salah satu SKPD yang ada di Kabupaten Sukabumi adalah Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Kepariwisataan (Disporapar) dengan salah satu tugasnya yaitu mengelola objek wisata yang ada di Kabupaten Sukabumi. Adanya kegiatan pengelolaan ini, mengharuskan dinas tersebut menganggarkan biaya operasional objek wisata. Honor pekerja, listrik, kebersihan, dan pemeliharaan objek merupakan bagian dari biaya operasional. Biaya operasional ini ditujukan agar terpeliharanya objek wisata sehingga dapat menarik minat wisatawan sebanyak mungkin yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan objek wisata tersebut. Pendapatan dari objek wisata ini pada akhirnya akan memberikan 1

2 kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan salah satu komponen APBD. Menurut Mulyadi dalam Ari Hermana (2003: 23), biaya dalam arti luas adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu. Tujuan tertentu yang dimaksud dalam kalimat tersebut tentu beragam tergantung objek biaya yang ditujunya. Namun secara garis besar, sesuai dengan anggapan bahwa perusahaan senantiasa memaksimalisasi laba (Winardi, 2000: 442), serta pengertian biaya menurut Weygandt (2002: 14), Expenses are the cost of asset consumed or services used in the process of earning revenue, maka pengeluaran biaya ini tidak lain adalah untuk menambah laba atau pendapatan bagi perusahaan meskipun belum tentu berpengaruh secara langsung. Dengan demikian, seluruh biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada perusahaan yang pada akhirnya mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Bila dihubungkan dengan penjelasan di atas mengenai biaya yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk operasional objek wisata, maka secara teoritis dengan bertambahnya biaya yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk objek wisata, maka diharapkan pendapatan objek wisata pun akan bertambah, yang pada akhirnya akan menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Biaya operasional objek wisata dari Disporapar yang telah disinggung di atas terdiri atas biaya honor pekerja, biaya pemeliharaan objek, biaya listrik, dan biaya kebersihan objek. Perincian biaya ini disesuaikan oleh Disporapar dengan

3 kebutuhan objek wisata. Biaya operasional sendiri ditujukan agar objek wisata dapat melakukan aktivitas operasionalnya sehari-hari dalam menarik dan memfasilitasi wisatawan yang berkunjung ke objek wisata. Dari wisatawan inilah nantinya objek wisata akan menerima pemasukan/pendapatan. Dalam hal Disporapar dengan objek wisatanya merupakan sektor publik yang dikenal dengan sifat nirlabanya, bukan berarti tidak mengenal pendapatan atau laba, melainkan tidak mengutamakan laba. Dari penjelasan di atas, kemudian penelitian ini menghubungkan biaya operasional yang dikeluarkan Disporapar dengan pendapatan objek wisata, bukan dengan laba objek wisata. Pendapatan objek wisata ini didapat dari wisatawan yang datang ke objek wisata. Pada kenyataannya pada salah satu objek wisata Kabupaten Sukabumi yaitu objek wisata Cinumpang, terlihat data biaya operasional dan pendapatan sebagai berikut: Tabel I.1 Data Biaya Operasional dan Pendapatan Objek Wisata Cinumpang (Dalam Rupiah) Tahun Biaya Pendapatan Surflus 2002 32100000 34665000 2565000 2003 32650000 35750000 3100000 2004 32500000 36600000 4100000 2005 32400000 37130000 4730000 2006 32400000 37575000 5175000 2007 33000000 36500000 4100000 Sumber: Disporapar Kabupaten Sukabumi

4 38000000 36000000 34000000 34665000 35750000 36600000 37130000 37575000 32100000 32650000 32500000 32000000 36500000 32400000 32400000 33000000 30000000 28000000 2002 2003 2004 Biaya Operasional 2005 2006 2007 Pendapatan Gambar I.1 Data Biaya Operasional dan Pendapatan Objek Wisata Cinumpang (Dalam Rupiah) Dalam tabel I.1 dan diagram I.1 di atas terlihat bahwa pendapatan dan biaya operasional tidak selalu berbanding lurus. Terlihat pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 biaya operasional Objek Wisata Cinumpang adalah tetap, sementara pendapatan objek wisata mengalami kenaikan pada tahun 2005 dan 2006, serta mengalami penurunan pada tahun 2007 sebesar 2,86%. Jika dihubungkan dengan harapan perusahaan dalam mengeluarkan biaya yaitu agar pada akhirnya mendatangkan pendapatan, maka dirasa perlu untuk dilakukan penelitian pengaruh biaya terhadap pendapatan. Berdasarkan kondisi-kondisi kondisi kondisi yang diuraikan di atas, masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini berkenaan dengan pengaruh biaya operasional terhadap pendapatan objek wisata.

5 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaruh biaya honor pekerja terhadap pendapatan objek wisata? 2. Bagaimanakah pengaruh biaya pemeliharaan objek terhadap pendapatan objek wisata? 3. Bagaimanakah pengaruh biaya listrik terhadap pendapatan objek wisata? 4. Bagaimanakah pengaruh biaya kebersihan terhadap pendapatan objek wisata? 5. Bagaimanakah pengaruh biaya operasional objek secara keseluruhan terhadap pendapatan objek wisata? 1.3 Batasan Masalah 1. Objek wisata di kabupaten Sukabumi yang diteliti adalah objek wisata Cinumpang yang dikelola oleh Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Kepariwisataan (Disporapar) Kabupaten Sukabumi. 2. Jenis biaya yang diteliti adalah biaya operasional objek yang terdiri dari biaya honor pekerja, biaya pemeliharaan objek, biaya listrik, dan biaya kebersihan pada tahun 2002 sampai dengan 2007. 3. Pendapatan yang diteliti adalah pendapatan objek wisata Cinumpang pada tahun 2002 sampai dengan 2007, bukan merupakan pendapatan Disporapar Kabupaten Sukabumi secara keseluruhan.

6 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh biaya honor pekerja terhadap pendapatan objek wisata. 2. Mengetahui pengaruh biaya pemeliharaan objek terhadap pendapatan objek wisata. 3. Mengetahui pengaruh biaya listrik terhadap pendapatan objek wisata. 4. Mengetahui pengaruh biaya kebersihan terhadap pendapatan objek wisata. 5. Mengetahui pengaruh biaya operasional objek secara keseluruhan terhadap pendapatan objek wisata. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis Penelitian dapat memberi sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan, yaitu: a. Menambah pengetahuan mengenai pengaruh biaya terhadap pendapatan. b. Untuk kajian Akuntansi Sektor Publik sebagai referensi mengenai pengaruh biaya terhadap pendapatan dalam mengelola suatu objek wisata. 1.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi untuk dijadikan sebagai

7 bahan pertimbangan dalam pengalokasian belanja daerah dalam upaya mengoptimalkan potensi daerah. 1.6 Kerangka Pemikiran Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah seringkali disebut sebagai tonggak dimulainya otonomi daerah. Namun ternyata, otonomi daerah bukanlah hal baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Otonomi daerah telah secara implisit diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), sedangkan secara eksplisit otonomi daerah disebutkan dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945. berikut: Pasal 18 UUD 1945 (sebelum di-amandemen) menetapkan sebagai Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar pemusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. Dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 disebutkan: Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungan yang bersifat staat juga, daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah Propinsi dan daerah Propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat Autonoom streek en lokale rechtsgemeenschappen atau bersifat administratif belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undangundang. Dari ketentuan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta penjelasannya, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

8 1. Wilayah Indonesia dibagi ke dalam daerah-daerah, baik yang bersifat otonom maupun yang bersifat administratif. 2. Daerah itu mempunyai pemerintahan. 3. Pembagian wilayah, seperti termaksud dalam ad. 1 dan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan atau atas kuasa undang-undang. 4. Dalam pembentukan daerah-daerah itu, terutama daerah-daerah otonom dan dalam menentukan susunan pemerintahannya harus diingat permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul daerah-daerah yang bersifat istimewa. Perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah telah mengalami beberapa perubahan karena adanya penyesuaian dengan kondisi dan situasi pemerintahan negara. Perubahan ini antara lain: 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah; 2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah; 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah; 4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah; 5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah; 6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 7. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (BPID, 2005:1) Perubahan undang-undang yang terakhir (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5) mendefinisikan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

9 peraturan perundang-undangan. Sementara itu dalam ayat 6 didefinisikan daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini juga terdapat dalam Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 23 Tahun 2006 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Sukabumi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 5: otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan desentralisasi menurut pasal 1 ayat 7 undang-undang yang sama adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konsep desentralisasi secara umum, dikemukakan oleh Pheni Chalid (2005: 1). Menurut beliau, secara umum konsep desentralisasi terdiri atas desentralisasi politik, administratif, dan ekonomi. Dalam desentralisasi bidang ekonomi (keuangan), adanya otonomi daerah menimbulkan konsekuensi kepada daerah untuk membiayai pemerintahannya sendiri dan mengurangi ketergantungannya kepada pemerintah pusat dengan cara mengoptimalkan sumber ekonomi asli daerah. Dalam rangka mengoptimalkan keuangan daerahnya, pemerintah daerah dituntut untuk merencanakan seluruh anggaran pendapatan,

10 anggaran belanja, anggaran pembiayaan dalam satu tahun dengan baik. Dalam mengurus rencana belanja dan penerimaan daerahnya, pemerintah daerah menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 17 disebutkan bahwa: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Anggaran yang dibuat pemerintah daerah dalam hal mengurus keuangan daerah, terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan anggaran pembiayaan. Yang dimaksud pendapatan adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Istilah belanja daerah sama dengan istilah biaya dalam ilmu ekonomi, sesuai dengan Kamus Umum Bahasa Indonesia. Dalam Kamus Umum Indonesia disebutkan bahwa biaya adalah uang yang dikeluarkan untuk mengadakan (mendirikan, melakukan, dsb.) sesuatu; ongkos; belanja. Dalam kamus yang sama disebutkan bahwa belanja adalah uang yang dipakai untuk sesuatu; ongkos; biaya. Sementara itu yang dimaksud dengan pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya (Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 15-17).

11 Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, komponen yang menjadi sumber penerimaan keuangan daerah yaitu: 1. Dana perimbangan a. Dana bagi hasil b. Dana alokasi umum c. Dana alokasi khusus 2. Pendapatan asli daerah 3. Pinjaman daerah Dalam Pasal 26 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: a. Pajak daerah; b. Retribusi daerah; c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Bagian Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam APBD menunjukkan tingkat kemandirian daerah dalam hal ketergantungannya terhadap dana perimbangan yang berasal dari pemerintah pusat, serta pinjaman daerah. Perlu ditekankan bahwa pemerintah daerah tidak diharuskan lepas dari dana perimbangan pemerintah pusat, melainkan harus mengoptimalkan potensi daerah dalam menghasilkan pendapatan daerah. Jadi, satu daerah akan berbeda dari daerah

12 lainnya dalam hal jumlah PAD dan ketergantungannya terhadap dana perimbangan dari pemerintah pusat sesuai dengan potensi keuangan daerah masing-masing. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Koswara: Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola, dan menggunakannya untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara (Abdul Halim, 2002: 370 dalam Novi Atie Lestari, 2005: 2). Bagian lain yang ada dalam APBD selain pendapatan adalah belanja daerah. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Meneteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 32, belanja daerah diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Belanja urusan wajib: a. Pendidikan; b. Kesehatan; c. Pekerjaan umum; d. Perumahan rakyat; e. Penataan ruang; f. Perencanaan pembangunan; g. Perhubungan; h. Lingkungan hidup;

13 i. Pertanahan; j. Kependudukan dan catatan sipil; k. Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; l. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera; m. Sosial; n. Ketenagakerjaan; o. Koperasi dan usaha kecil dan menengah; p. Penanaman modal; q. Kebudayaan; r. Kepemudaan dan olahraga; s. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; t. Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; u. Ketahanan pangan; v. Pemberdayaan masyarakat desa; w. statistik; x. kearsipan; y. komunikasi dan informatika; dan z. perpustakaan. 2. Belanja urusan pilihan: a. Pertanian; b. Kehutanan; c. Energi dan sumber daya mineral;

14 d. Pariwisata; e. Kelautan dan perikanan; f. Perdagangan; g. Industri; dan h. Ketransmigrasian. Belanja (biaya) di atas bertujuan agar kegiatan pemerintahan serta pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan lancar, di dalamnya termasuk biaya untuk menjalankan fasilitas yang dimiliki pemerintah daerah seperti menjalankan/mengoperasikan objek wisata. Biaya ini disebut biaya operasional yang diajukan oleh dinas terkait kepada pemerintah daerah sebagai salah satu usulan menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Dianggarkannya biaya operasional ini tidak lain bertujuan agar objek wisata tetap dapat beroperasi sehingga pada akhirnya akan memberikan masukan (pendapatan) bagi pemerintah daerah dari kunjungan wisatawan. Sesuai dengan asumsi para ahli ekonomi secara tradisional bahwa perusahaan senantiasa ingin memaksimalkan laba, maka biaya yang dikeluarkanpun diharapkan pada akhirnya dapat memberikan keuntungan, dan lebih jauhnya laba, bagi perusahaan. Jika dihubungkan dengan penjelasan di atas yaitu adanya biaya yang dikeluarkan untuk kemudian menghasilkan sejumlah pendapatan, maka dapat dikatakan bahwa semakin besar biaya operasional sebuah objek wisata, maka diharapkan semakin besar pula pendapatan objek wisata tersebut.

15 Pada penelitian ini, akan diteliti lebih lanjut mengenai pengaruh biaya honor pekerja biaya pemeliharaan objek, biaya listrik, dan biaya kebersihan yang termasuk biaya operasional. Pengaruh biaya operasional tersebut dihitung menggunakan statistik nonparametrik untuk membandingkan antara teori dengan kenyataan yang terjadi di lapangan mengenai biaya dan pendapatan yang diharapkan memiliki hubungan positif (berbanding lurus). Kerangka pemikiran ini dapat digambarkan sebagai berikut:

16 Otonomi Desentralisasi Politik Administratif Ekonomi Mengoptimalkan sumber ekonomi asli daerah Dana Perimbangan APBD Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Belanja Pembiayaan Pinjaman Daerah Belanja Urusan Wajib Belanja Urusan Pilihan Pertanian Kehutanan Energi dan Sumber daya Mineral Pariwisata Kelautan dan Perikanan Perdagangan Industri Ketransmigrasian Biaya Operasional Biaya Honor Pekerja (X 1 ) Biaya Pemeliharaan Objek (X 2 ) Biaya Listrik (X 3 ) Biaya Kebersihan (X 4 ) H 4 H 3 H 5 H 1 H 2 Biaya Non-Operasional Pendapatan Objek Wisata (Y) Berkontribusi terhadap Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran

17 Keterangan: H 1 : Terdapat pengaruh X 1 terhadap Y H 2 : Terdapat pengaruh X 2 terhadap Y H 3 : Terdapat pengaruh X 2 terhadap Y H 4 : Terdapat pengaruh X 3 terhadap Y H 5 : X 1, X 2, X 3, dan X 4 secara bersama-sama berpengaruh terhadap Y 1.7 Asumsi Suharsimi Arikunto dalam bukunya yang berjudul Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (2002: 58) mengemukakan pendapatnya mengenai asumsi yaitu, Agar ada dasar berpijak yang kukuh bagi masalah yang diteliti, untuk mempertegas variabel yang menjadi pusat perhatian serta guna menentukan dan merumuskan hipotesis. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa tidak terjadi perubahan kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan objek penelitian selama waktu penelitian dan data yang diperoleh adalah data yang sebenarnya terjadi di lapangan. 1.8 Hipotesis Dalam penelitian ini hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh antara biaya honor pekerja dengan pendapatan objek wisata. 2. Terdapat pengaruh antara biaya pemeliharaan objek dengan pendapatan objek wisata. 3. Terdapat pengaruh antara biaya listrik dengan pendapatan objek wisata. 4. Terdapat pengaruh antara biaya kebersihan dengan pendapatan objek wisata.

18 5. Terdapat pengaruh antara biaya operasional secara keseluruhan dengan pendapatan objek wisata. 1.9 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Sukabumi tepatnya di objek wisata Cinumpang Kecamatan Kadudampit serta Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2008 sampai dengan 30 Juni 2008.