ANALISIS TERHADAP PENERAPAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN BAKU PERUMAHAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK Pebisnis properti dibidang perumahan adalam memasarkan rumah termasuk tanah selalu membuat format perjanjian baku yang substansinya tidak seragam antara pengembang yang satu dengan pengembang yang lain. Pada saat pemesanan properti rumah tersebut barulah dibuatkan suratperjanjian. Ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala syarat dan ketentuan ditetapkan oleh satu pihak saja yaitu oleh pebisnis tersebut. Di dalam perjanjian tersebut ada penerapan dari klausula eksonerasi. Untu mencegah terjadinya suatu kecurangan maka pentinglah untuk kita mengkaji klausula eksonerasi ini dikaitkan ke dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindunga Konsumen. LATAR BELAKANG Cita-cita luhur bangsa Indonesia yang telah digariskan oleh para pendiri negara dicantumkan dalam alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk menjabarkan arti dan makna melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan rakyat tersebut dituangkanlah dalam pasal-pasal melalui ketentuan yang berhubungan dengan hak asasi manusia dalam Bab X huruf A Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen yang Ke-4, yang terdiri dari Pasal 28 huruf A sampai Pasal 28 huruf J. Pasal 28 huruf H Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pembagunan prerumahan merupakan salah satu upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia. Secara umum dalam dunia bisnis itu diperlukan adanya etika. Ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala
persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan ketentuanketentuan penandatanganan atas dokumendokumen yang telah dipersiapkan lebih awal oleh pengembang, tercantum dalam surat pemesanan yang sering disebut perjanjian baku. Ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara sepihak dan ketentuanketentuan penandatanganan atas dokumendokumen yang telah dipersiapkan lebih awal oleh pengembang, tercantum dalam surat pemesanan yang sering disebut perjanjian baku. Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. 1 Perjanjian semacam itu cenderung secara substansi hanya menuangkan dan menonjolkan hak-hak yang ada pada pihak yang berkedudukan lebih kuat, sedangkan pihak lainnya terpaksa menerima keadaan itu karena posisinya yang lemah Praktiknya pengembang properti dibidang perumahan tidak segan-segan menetapkan klausula eksonerasi tidak hanya yang isinya mengurangi tanggung jawab, akan tetapi seringkali membebaskan diri dari tanggung jawab atau pengalihan tanggung jawab yang tujuannya adalah mengarah kepada perolehan keuntungan sehingga terabaikan hak-hak konsumen. Sehubungan dengan hal tersebut, Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disingkat UUPK) dalam rangka memayungi pemberian perlindungan kepada konsumen pada umumnya, baik terhadap penggunaan produk barang maupun jasa telah mengaturnya. Dengan demikian, UUPK ini merupakan payung yang mengintergrasikan dan memperkuat penegakan hukum dibidang perlindungan konsumen, walaupun sudah diberlakukan Undang-undang perlindungan konsumen namun di Indonesia perjanjian baku/standar yang substansinya mencantumkan klausula eksonerasi kenyataannya sudah merambah sektor bisnis, namum dari kajian akademik oleh para pakar hukum memandangnya secara yuridis masih kontroversial eksistensinya. 2 Model perjanjian baku ini masih sering diperdebatkan di satu sisi dengan dalih kebebasan para pihak sesuai dengan asas 1 Celina Tri S.K., Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hal. 139. 2 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2001), hal. 119.
kebebasan untuk membuat perjanjian, sedangkan di sisi lain dengan dalih kebebasan yang dimiliki secara sepihak oleh pelaku usaha adalah melanggar hak konsumen, walaupun pada asasnya para pihak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian, namun konsep dasar keseimbangan antara para pihak dalam membuat perjanjian merupakan konsep yang tidak dapat ditawar. Bermunculannya berbagai model kontrak baku dalam masyarakat sudah menjadi polemik tentang eksistensinya apalagi di dalam model baku tersebut di dalamnya selalu mencantumkan syarat-syarat eksonerasi. Model perjanjian baku yang berklausula eksonerasi tersebut dibuat oleh salah satu pihak yang mempunyai kedudukan ekonomi kuat seperti pelaku usaha real estate yang berhadapan dengan kedudukan konsumen dalam posisi yang lemah. Tertarik dengna hal tersebut, maka tulisan ini akan membahas tetntang penerpan klausula eksonerasi yang dikaitkan kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen. PENGERTIAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Sebelum kita membaha jauh kedepan ada baiknya kita mengetahui dahulu tentang perlindungan konsumen. Ada beberapa pengertian yang dapat dikemukan dalam pembahasan tentang pengertian konsumen, yaitu terdapat dalam rumusan peraturan perundang-undangan, dan menurut para pakar. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya disebut UUPK, yang menyatakan: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam rumusan ini ditentukan batasan secara jelas limitatif tentang konsumen, yaitu merupakan orang, memakai atau menggunakan suatu barang dan/jasa, untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain atau makhluk lain, dan tidak untuk diperdagangkan kembali. Dalam ilmu ekonomi pengertian di atas termasuk dalam kategori konsumen akhir. Pengertian konsumen di atas kurang tepat dan adanya kerancuan, yaitu pada kata pemakai yang tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan kalimat untuk kepentingan pihak lain, serta rumusannya hanya terpaku pada orang atau makhluk lain, padahal dalam kenyataan tidak hanya orang saja yang disebut konsumen, tetapi
masih ada yang lain, yakni badan usaha. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli, selanjutnya disebut UULPM, secara tegas dinyatakan bahwa : Konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain. Kedua pengertian di atas terdapat perbedaan dimana pengertian konsumen yang terdapat dalam UUPK lebih luas jika dibandingkan dengan pengertian yang tercantum di dalam UULPM, yaitu konsumen tidak terbatas pada manusia semata melainkan juga kepada makhluk hidup lainnya. 3 Secara umum konsumen dapat diartikan setiap orang yang menggunakan atau memakai suatu barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat. Yang menjadi penekanan dalam pengertian konsumen adalah aktifitas atau kegiatan memakai atau menggunakan suatu produk barang dan/atau jasa, sedangkan bagaimana cara memperolehnya atau menggunakannya bukan menjadi persoalan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUPK, dinyatakan, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan tersebut merupakan upaya pembentuk undang-undang untuk membentengi atau untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang-wenang para pelaku usaha. Menurut Yusuf Shofie 4 UUPK di Indonesia mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu; a. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha b. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku. Dengan adanya pengelompokan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha. KONTRAK BAKU BERKLAUSULA EKSONERASI Undang-Undang Perlindungan Konsumen implementasinya masih belum dapat dilihat secara signifikan. Berbagai ketentuan yang terdapat dalam undangundang tersebut dengan mudah diabaikan. Salah satu contoh yang sampai saat ini masih terlihat jelas banyak terjadi pelanggaran adalah pada penetapan klausula baku berklausula eksonerasi, 3 Ahmad Miru & Sutarman Yudo. 4 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 26.
yaitu syarat-syarat untuk mengecualikan tanggung jawab. Pembentuk undang-undang sendiri tidak memberikan definisi klausula eksonerasi dalam UUPK, oleh karena itu untuk selanjutnya dipandang perlu menelusuri berbagai pandangan dari para pakar. Untuk membedakan kedua istilah baku dan eksonerasi, perjanjian yang mengandung syarat-syarat baku adalah meniadakan pembicaraan terlebih dahulu dari isi suatu perjanjian, sedangkan dalam perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi adalah menghilangkan tanggung jawab seseorang atas suatu akibat dari persetujuan. 5 Sebagaimana diuraikan di atas perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi disebut pula perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan berupa penghapusan ataupun pengalihan tanggung jawab. Melalui syarat-syarat semacam ini oleh salah satu dari pihak dibatasi atau dibedakan dari sesuatu tanggung jawab berdasarkan hukum. Beban tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan perundangundangan dihapus oleh penyusun perjanjian melalui syarat-syarat eksonerasi tersebut. 6 Menurut Mariam Darus Badrulzaman terdapat jenis klausula baku eksonerasi, yaitu : 5 AZ., Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Diadit Media, 2001), hal. 6 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo 1. Pengurangan atau penghapusan tanggung jawab terhadap akibatakibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi; 2. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri; 3. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah satu pihak, misalnya penciptaan kewajiban ganti rugi kepada pihak ketiga yang terbukti mengalami kerugian. Oleh karena itu, syarat-syarat eksonerasi dapat berupa penghapusan/pengurangan terhadap akibat hukum, atau pembatasan/penghapusan kewajiban sendiri dan menciptakan kewajiban tetapi membebankan pihak lain. Dalam UUPK secara tegas maupun tersurat tidak ada mencantumkan istilah syarat eksonerasi tersebut. Menurut Pasal 1 angka 1 UUPK di dalamnya hanya mengatur tentang klausula baku sebagai aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi konsumen. Selanjutnya Bab V Ketentuan Pencantuman Klausula Baku dalam Pasal 18 UUPK menentukan sebagai berikut :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen. c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen. d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen. f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau menguari harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa itu. g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti Menurut Henri P. Panggabean, klausula eksonerasi adalah : 7. 7 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo,
Perjanjian-perjanjian yang disertai syarat-syarat mengenai kewenangan salah satu pihak dalam hal ini produsen tentang pengalihan kewajiban atau tanggung jawabnya terhadap produk yang akibatnya dapat merugikan konsumen. Dari batasan yang diberikan tersebut dapat disimpulkan bahwa klausula eksonerasi itu adalah isinya mengalihkan tanggung jawab, jadi klausula eksonerasi tidak sama dengan perjanjian standar. Selanjutnya Mariam Darus Badrulzaman menyatakan bahwa klausula eksonerasi yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri dari pemenuhan kewajibannya untuk membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji ataupun perbuatan melawan hukum. Dengan memaknai pandangan dari para pakar di atas, maka klausula eksonerasi adalah pada dasarnya klausula semacam ini tujuannya adalah untuk membebaskan diri dari tanggung jawab melalui pengalihan tanggung jawab atau mengurangi tanggung jawab dari pihak pelaku usaha terhadap konsumen. Tiadanya pengertian dan pengaturan klausula eksonerasi secara otentik dalam UUPK apakah berarti klausula eksonerasi sama dengan klausula baku? Shidarta yang memperhatikan dengan cermat serta memaknai secara seksama Pasal 18 ayat (1) huruf a khususnya yang berisi tentang pengalihan tanggung jawab dihadapkan pada Pasal 18 ayat (2) dari UUPK yang berisi tentang larangan pelaku usaha mencantumkan klausula baku yang sulit dimengerti, letaknya sulit dilihat, tidak dapat dibaca secara jelas ataupun pengungkapannya sulit dimengerti. Dikatakannya lebih lanjut makna yang dikandung dalam kedua ketentuan di atas tersebut mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Oleh karena itulah, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, merupakan syarat-syarat eksonerasi yang digunakan oleh pelaku usaha sebagai dalil untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya melalui syarat-syarat pengalihan tanggung jawab ataupun mengurangi tanggung jawabnya terhadap konsumen Pencantuman syarat eksonerasi oleh pelaku usaha [vide Pasal 18 ayat (1) huruf a sampai h] yang merugikan konsumen menurut Pasal 18 ayat (2) UUPK dinyatakan batal demi hukum, artinya syarat-syarat tersebut dari semula dianggap tidak pernah ada. Ditinjau dari sanksinya bagi pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku eksonerasi sebagaimana dicantumkan Pasal 18 ayat (2) UUPK dapat dikenakan:
1. Sanksi Perdata : perjanjian standar yang dibuatnya jika digugat di pengadilan oleh konsumen, maka hakim membuat putusan declaratur bahwa perjanjian tersebut batal demi hukum (vide Pasal 18 ayat (3) UUPK), pelaku usaha yang pada saat ini telah mencantumkan kalusula baku dalam dokumen atau perjanjiannya wajib merevisi perjanjian standar tersebut agar sesuai dengan UUPK. 2. Sanksi Pidana : Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- [vide Pasal 62 ayat (1) UUPK]. Berdasarkan hal-hak tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sanksi-sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku usaha, antara lain: 1. Sanksi pidana Sanksi pidana dapat dijatuhkan oleh pengadilan (umum) setelah melalui proses pidana biasa, yaitu lewat proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Proses penyidikan dilakukan oleh Polisi Negara atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah. Sedangkan yang melakukan proses penuntutan adalah badan penuntut umum (jaksa), dan proses pengadilan dilakukan oleh badan pengadilan umum yang berwenang. Sanksi pidana berupa pidana pokok, yaitu: a. Penjara maksimum 5 (lima) tahun atau denda Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk perbuatan tertentu; b. Penjara maksimum 2 (dua) tahun atau denda Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk perbuatan tertentu; atau c. Pidana penjara umum atau denda umum yang berlaku. Di samping itu terdapat juga pidana tambahan berupa: a. Perampasan barang tertentu; b. Pengumuman putusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi; d. Penghentian kegiatan tertentu; e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; f. Pencabutan izin usaha. 2. Sanksi perdata Sanksi perdata kepada pihak pelaku usaha yang telah merugikan konsumen mungkin diberikan dalam bentuk kompensasi atau ganti rugi perdata, yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang;
3. Sanksi administrasi Selain itu, tersedia juga sanksi administrasi bagi pelaku usaha yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, berupa: a. Sanksi administrasi berupa ganti rugi yang dapat dijatuhkan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau oleh pengadilan umum; b. Sanksi administrasi lainnya yang dijatuhkan oleh pengadilan atau pejabat pemerintah yang berwenang. Dengan demikian, lahirnya UUPK potensi ketidakadilan yang dialami konsumen dapat diminimalisir sebagaimana diatur dalam UUPK bahwa jenis klausula baku apalagi mangandung syarat-syarat eksonerasi dilarang dipergunakan oleh pelaku usaha sebenarnya sudah sangat berpihak kepada konsumen. Konsekuensinya adalah berbagai klausula baku yang illegal itu tidak berlaku lagi, maka akan banyak hal yang dapat meringankan konsumen, ketika konsumen mendapatkan produk yang tidak diinginkan dan dibutuhkan atau memperoleh perlakuan yang tidak adil dari pelaku usaha. Berbagai implikasi dengan diberlakukannya peraturan tentang klausula baku dalam UUPK, seperti misalnya karena pelaku usaha tidak dapat mengalihkan tanggung jawabnya, atau tidak dapat menolak pengembalian barang oleh konsumen, maka konsumen terhindar dari potensi kerugian. Implikasinya adalah konsumen dapat menukarkan barang tersebut dengan barang lain atau mengembalikan barang tersebut dengan menerima uang. Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat terlihat bahwa untuk melindungi pihak konsumen dari ketidakadilan, perundang-undangan memberikan larangan-larangan tertentu kepada pelaku usaha dalam hubungan dengan kegiatannya sebagai pelaku usaha. Larangan-larangan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Larangan yang behubungan dengan barang dan atau jasa yang diperdagangkan; 2. Larangan yang berhubungan dengan promosi/iklan yang menyesatkan; 3. Larangan alam hubungan dengan penjualan barang secara obral atau lelang yang menyesatkan; 4. Larangan yang berhubungan dengan waktu dan jumlah yang tidak diinginkan; 5. Larangan terhadap tawaran dengan iming-iming hadiah;
6. Larangan terhadap tawaran dengan paksaan; 7. Larangan terhadap tawaran dalam hubungan dengan pembelian melalui pesanan; 8. Larangan yang berhubungan dengan pelaku usaha periklanan; 9. Larangan yang berhubungan dengan klausula baku. PENUTUP Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Perjanjian jual beli perumahan dalam bentuk kontrak baku berklausula eksonerasi jika ditinjau dari hukum perjanjian merupakan klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual). Ditinjau dari kebebasan membuat perjanjian (freedom of contract), perjanjian baku berklausula eksonerasi tidak memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dengan demikian perjanjian baku tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat. Ini menunjukkan bahwa perjanjian seperti ini dapat dibatalkan, karena perjanjian yang mengandung syarat eksonerasi sebagai kesepakatan yang tidak sempurna dan menyatakan batal demi hukum, dengan alasan bahwa syarat eksonerasi sebagai salah satu tidak terpenuhinya syarat obyektif, yaitu tidak adanya kausa yang halal dalam membuat perjanjian dan hal ini bertentangan dengan syarat sahnya perjanjian; 2. Klausula eksonerasi yang terdapat dalam kontrak baku jual beli perumahan melanggar ketentuan klausula baku sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena klausula eksonerasi yang dicantumkan oleh pengembang dalam perjanjian jual beli rumah yang berisi ketentuan pengalihan tanggung jawab, tindakan berupa pembatalan sepihak dan pengembang tidak mengembalikan uang yang dibayarkan oleh pembeli adalah melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf a, c, dan d Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Selanjutnya, menurut Pasal 18 ayat (3) UUPK setiap klausula baku yang ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) UUPK dinyatakan batal demi hukum, artinya syarat-syarat tersebut dari semula dianggap tidak pernah ada.
DAFTAR PUSTAKA A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Inadonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8 Tahun 1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821 Inoneisa. Undang-undang tentang Perumahan dan Pemukiman. UU Nomor 14 Thun 1992. B. BUKU Miru, ahmad &Sutarman yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008 Nasution, AZ. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta : Diadit Media, 2001. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta : Grasindo, 2001 Shofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumental-instrumental Hukumnya. Bandung : Citra Aditiya Bakti, 2003.