PAJAK PENGHASILAN. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

dokumen-dokumen yang mirip
PAJAK PENGHASILAN. Pembagian Subjek Pajak. Subjek Pajak Dalam Negeri Subjek Pajak Luar Negeri SIAPA SUBJEK PAJAK?

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UMUM. Amanita Novi Yushita, M.Si

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

Rekonsiliasi LK Komersial ke LK Fiskal

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

Pajak Penghasilan (PPh) Umum

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN.

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. pembangunan adalah penerimaan yang berasal dari dalam negeri yaitu dari sektor pajak.

BAB II LANDASAN TEORI. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 angka 1, Pajak adalah kontribusi

RUGI LABA BIAYA FISKAL

BAB II TELAAH PUSTAKA Pengertian Penghasilan menurut Akuntansi dan Pajak. Penghasilan menurut SAK No. 23 meliputi pendapatan (revenue)

HAKIKAT REKONSILIASI. Perbedaan timbul terkait pengakuan pendapatan dan beban di laporan laba rugi.

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Laporan Keuangan

BAB II LANDASAN TEORI

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

PAJAK PENGHASILAN. Saiful Rahman Yuniarto, S.Sos, MAB

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

OLEH: Yulazri M.Ak. CPA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi koperasi yang terdapat dalam Peraturan Undang-Undang. Koperasi No.25Tahun 1992 yang berbunyi:

BAB II LANDASAN TEORI. adalah sebagai berikut, iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

Undang-Undang PPh dan Peraturan Pelaksanaannya

Konsep Dasar Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan dan BUT

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Pengertian Pajak Penghasilan. 2) Subjek Pajak Penghasilan. Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, yaitu.

KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN (PPh)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

1. Pengertian Penghasilan Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan

Penghasilan dari usaha di luar profesi dokter *) Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 57/PUU-XII/2014 Penghitungan Pajak Penghasilan

BAB II LANDASAN TEORITIS. 2.1 Pengertian dan Fungsi Pajak Penghasilan. 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

Perpustakaan LAFAI

Penghitungan PPh Akhir Tahun

PAJAK PENGHASILAN. Tujuan Instruksional :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

BAB II LANDASAN TEORI. (2006), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang

Repositori STIE Ekuitas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam Siti Resmi (2009:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara

BAB II URAIAN TEORITIS

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB I BENDAHARA DAN KEWAJIBAN PAJAKNYA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu :

Lampiran 1. Penghasilan termasuk Objek Pajak. Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 Pasal 4(1):

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

BAB III PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PAJAK DEPARTEMEN IKK - IPB

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PAJAK PENGHASILAN. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008

SPT TAHUNAN PPh WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI 2 0

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

KONSEP PENDAPATAN DALAM PAJAK

1. Latar Belakang Pembangunan nasional merupakan sarana bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur merata

Transkripsi:

PAJAK PENGHASILAN Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan

SUBJEK PAJAK Orang Pribadi Warisan yang Belum Terbagi Badan Bentuk Usaha Tetap

SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI Tanpa batasan tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha Perusahaan Perorangan Karyawan Profesional / Tenaga Ahli Pekerjaan Bebas (dokter, akuntan, pengacara, konsultan, arsitek, notaris, penilai, aktuaris)

WARISAN YANG BELUM DIBAGI Merupakan satu kesatuan, menggantikan yang berhak (ahli waris) Tetap harus membayar pajak meskipun warisan belum dibagi kepada yang berhak.

SUBJEK PAJAK BADAN Sekumpulan orang dan atau kumpulan modal sebagai satu kesatuan, baik melakukan usaha atau tidak melakukan usaha PT, CV, firma, koperasi, dana pensiun, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, lembaga

BENTUK USAHA TETAP Bentuk usaha yang digunakan oleh subyek pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia Berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk promosi/penjualan, pertambangan, pengeboran, pertanian, proyek konstruksi, pemberian jasa, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai asuransi, komputer untuk e-commerce

JENIS SUBJEK PAJAK SPDN : Subjek Pajak Dalam Negeri SPLN : Subjek Pajak Luar Negeri

Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi (OP) yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau OP yang berada di Indonesia dan berniat tinggal di Indonesia; Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF DALAM NEGERI MULAI Pada waktu OP dilahirkan, berada, atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia Pada waktu Badan didirikan atau bertempat kedudukan Indonesia Pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi

KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF DALAM NEGERI BERAKHIR Pada saat OP meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya Pada saat Badan dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia Pada saat warisan selesai dibagi

Subjek Pajak Luar Negeri Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal/ berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan Badan yang tidak didirikan/berkedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.

BUKAN SUBJEK PAJAK BADAN PERWAKILAN NEGARA ASING PEJABAT PERWAKILAN DIPLOMATIK, KONSULAT, ATAU PEJABAT- PEJABAT ASING, DAN ORANG-ORANG YANG DIPERBANTUKAN DENGAN SYARAT BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA DAN TIDAK MENJALANKAN KEGIATAN LAIN UNTUK MEMPEROLEH PENGHASILAN DI INDONESIA ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL YANG DITETAPKAN OLEH MENTERI KEUANGAN DENGAN SYARAT: PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL YANG DITETAPKAN DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN DENGAN SYARAT BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA DAN TIDAK MENJALANKAN KEGIATAN LAIN UNTUK MEMPEROLEH PENGHASILAN DI INDONESIA

PENENTUAN PENGHASILAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN TAXABLE INCOME PASAL 4 AYAT 1 NON TAXABLE INCOME PASAL 4 AYAT 2 OBJEK PPH FINAL PASAL 4 AYAT 2 OBJEK PPH NON FINAL

WAJIB PAJAK Mempunyai kewajiban pajak subjektif dan objektif Termasuk pemungut pajak dan pemotong pajak (withholding agents)

OBJEK PPH : PENGHASILAN setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun

PENGELOMPOKAN PENGHASILAN 1. PENGHASILAN DALAM HUBUNGAN KERJA DAN PEKERJAAN BEBAS 2. PENGHASILAN DARI USAHA DAN KEGIATAN 3. PENGHASILAN DARI MODAL 4. PENGHASILAN LAIN (HADIAH & PEMBEBASAN UTANG)

PPH & LAPORAN LABA RUGI Besarnya PPh atas laba dihitung tersendiri menurut ketentuan fiskal, bukan dari laporan laba rugi yang disusun menurut ketentuan akuntansi Laporan laba rugi komersial disusun menurut standar akuntansi keuangan Laporan laba rugi fiskal disusun menurut peraturan perpajakan (pajak penghasilan) Proses penyusunan laporan laba rugi fiskal melalui koreksi fiskal atas laporan laba rugi komersial 17

PENGHASILAN AKUNTANSI Kenaikan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari penanaman modal Meliputi revenues dan gain PAJAK Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi dan atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak ybs dengan nama dan dalam bentuk apapun Ada Obyek Pajak dan Bukan Obyek Pajak 18

EXPENSES & LOSS AKUNTANSI Revenue Expenditure (Expenses) Loss PAJAK Deductible Expenses (Pengurang Penghasilan) Nondeductible Expenses (Bukan Pengurang Penghasilan) 19

LAPORAN LABA RUGI LAPORAN LABA RUGI KOMERSIAL PRETAX FINANCIAL INCOME (LABA SEBELUM PAJAK PENGHASILAN) KOREKSI FISKAL LAPORAN LABA RUGI FISKAL TAXABLE INCOME (PENDAPATAN KENA PAJAK) PAJAK PENGHASILAN PAJAK PENGHASILAN LABA SETELAH PAJAK 20

KOREKSI FISKAL Rekonsiliasi fiskal adalah usaha mencocokkan perbedaan yang terdapat dalam laporan laba rugi komersial dan laporan laba rugi fiskal. Ada dua jenis koreksi fiskal Koreksi positif yang menyebabkan Penghasilan Kena Pajak membesar Koreksi negatif yang menyebabkan Penghasilan Kena Pajak mengecil 21

LAPORAN LABA RUGI Financial Income Taxable Income Revenues 130.000 110.000 Expenses 60.000 50.000 70.000 Pretax Financial Income Taxable Income 60.000 Tax Expense (Tax rate 25%) 15.000 22

PENYEBAB PERBEDAAN PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PPH FINAL Contoh : PPh atas Bunga Deposito, PPh atas Sewa Tanah & Bangunan BEDA TETAP (PERMANENT DIFFERENCE) Contoh : Sumbangan, Upah dalam bentuk natura BEDA WAKTU (TEMPORARY DIFFERENCE) Contoh : Penyusutan 23

MEKANISME PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK MEMBAYAR PAJAK ATAS PENGHASILAN SENDIRI MEMOTONG PAJAK ATAS PENGHASILAN PIHAK LAIN (WITHHOLDING TAX) MENGHITUNG PPH TAHUNAN MEMBAYAR UANG MUKA PPH BULANAN MEMBAYAR ANGSURAN BULANAN DIPOTONG PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG DIBAYAR OLEH PIHAK LAIN (WITHHOLDING TAX) 24

MEKANISME PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK MEMBAYAR PAJAK ATAS PENGHASILAN SENDIRI MEMOTONG PAJAK ATAS PENGHASILAN PIHAK LAIN (WITHHOLDING TAX) MENYETORKAN KE PEMERINTAH 25

MEKANISME PAJAK PENGHASILAN MEMBAYAR PAJAK ATAS PENGHASILAN SENDIRI MENGHITUNG PPH TAHUNAN (PPH TERUTANG) MEMBAYAR UANG MUKA PPH BULANAN MEMBAYAR ANGSURAN BULANAN DIPOTONG PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG DIBAYAR OLEH PIHAK LAIN (WITHHOLDING TAX) SETORAN KE PEMERINTAH ADALAH PPH TERUTANG TAHUNAN DIKURANGI UANG MUKA PPH BULANAN 26

OBJEK PAJAK PENGHASILAN (1) Pasal 4 Ayat 1 1. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini 2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan 3. laba usaha 4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta

OBJEK PAJAK PENGHASILAN (2) 5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; 6. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; 7. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 8. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

OBJEK PAJAK PENGHASILAN (3) 9. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala 11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

OBJEK PAJAK PENGHASILAN (4) 12. keuntungan selisih kurs mata uang asing; 13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; 14. premi asuransi; 15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

OBJEK PAJAK PENGHASILAN (5) 16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; 17. penghasilan dari usaha berbasis syariah; 18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan 19. surplus Bank Indonesia.

PPH FINAL 1. Penghasilan dikenakan PPh saat diperoleh 2. Penghasilan tersebut tidak perlu dilaporkan atau dihitung kembali pada akhir tahun 3. PPh tersebut sifatnya Final tidak dapat dikreditkan terhadap PPh Terutang di akhir tahun 4. Contoh: bunga deposito, hadiah undian, sewa tanah dan bangunan, dan lain-lain

OBJEK PAJAK PENGHASILAN FINAL 1. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; 2. penghasilan berupa hadiah undian; 3. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; 4. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan 5. penghasilan tertentu lainnya

Tarif PPh Final (1) Pasal 4 Ayat 2 No. Jenis Penghasilan DPP / Tarif Pajak 1. Penghasilan Bunga Deposito, Termasuk Simpanan pada Bank Dalam Negeri yang Memiliki Cabang di Luar Negeri 2. Penghasilan Bunga Tabungan, Jasa Giro, dan Diskonto Sertifikat Bank Indonesia Jumlah Bruto/20% Jumlah Bruto/20% 3. Penghasilan Berupa Hadiah Jumlah Bruto/25% 4. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan Jumlah Bruto/5% 5. Penghasilan Sewa Tanah dan/atau Bangunan Jumlah Bruto/10%

Tarif PPh Final (2) No. Jenis Penghasilan DPP / Tarif Pajak 6. Penghasilan yang Diterima/Diperoleh dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek 7. Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi lebih dari Rp. 240.000 1.Nilai Transaksi / 0,1% untuk non pemilik saham pendiri 2.Nilai Transaksi / 0,1% + 0,5% untuk pemilik saham pendiri Jumlah Bruto / 10%

Tarif PPh Final (3) No. Jenis Penghasilan DPP / Tarif Pajak Usaha Jasa Konstruksi 8. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penghasilan Penyedia Jasa yang memiliki Kualifikasi Usaha Bruto/2% Kecil. 9. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki Kualifikasi Usaha. 10. Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain penyedia Jasa yang memiliki Kualifikasi Usaha Kecil dan penyedia Jasa yang tidak memiliki Kualifikasi Usaha. 11. Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang Memiliki Kualifikasi Usaha. 12. Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh penyedia Jasa yang tidak Memiliki Kualifikasi Usaha Penghasilan Bruto/4% Penghasilan Bruto/3% Penghasilan Bruto/4% Penghasilan Bruto/6%

BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN Pasal 4 ayat 3 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 2. harta hibahan yang diterima oleh: keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN (2) 3. Warisan 4. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)

BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN (3) 6. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; 7. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;

BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN (4) 8. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; 9. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; 10. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; 11. penghasilan yang diterima atau modal ventura

BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN (5) 12. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 13. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

BUKAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN (6) 14. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

PENGURANG PENGHASILAN BRUTO Objek PPh : Laba Usaha (Penghasilan Netto) menurut ketentuan fiskal LABA FISKAL Penghasilan Netto = Penghasilan Bruto yang Merupakan Objek Pajak Beban yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto

PENENTUAN PENGURANG PENGHASILAN BRUTO EXPENSES DEDUCTIBLE EXPENSES PASAL 6 AYAT 1 NON DEDUCTIBLE EXPENSES PASAL 9 AYAT 1

DEDUCTIBLE EXPENSES 1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: a. biaya pembelian bahan; b. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang c. bunga, sewa, dan royalti; d. biaya perjalanan; e. biaya pengolahan limbah; f. premi asuransi; g. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; h. biaya administrasi; dan

DEDUCTIBLE EXPENSES 2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A 3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; 4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; 5. kerugian selisih kurs mata uang asing; 6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; 7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

DEDUCTIBLE EXPENSES 8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; c. atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; d. syarat sebagaimana dimaksud pada HURUF C tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil

DEDUCTIBLE EXPENSES 9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah 10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; 11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; 12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan

DEDUCTIBLE EXPENSES : ENTERTAINMENT HARUS DIDUKUNG DENGAN DOKUMENTASI MEMADAI DAN DAFTAR NOMINATIF YANG MEMUAT INFORMASI: 1. Nomor urut 2. Tanggal diberikan 3. Nama/tempat entertainment diberikan 4. Alamat entertainment 5. Jenis entertainment 6. Jumlah 7. Relasi, nama, posisi,nama perusahaan dan jenis usaha

DEDUCTIBLE EXPENSES : HANDPHONE dan KENDARAAN PERUSAHAAN (KEP. DJP No. KEP-220/PJ./2002, tanggal 18 April 2002) 1. Handphone a. Cost diakui 50%, disusutkan sebagai aktiva Kelompok I b. Abonemen, Pulsa (voucher isi ulang), dan Perbaikan dibebankan 50% pada tahun pengeluaran 2. Bus/Minibus untuk Antar Jemput Karyawan a. Cost (termasuk perbaikan besar) diakui 100%, disusutkan sebagai aktiva Kelompok II b. Pemeliharaan rutin dibebankan seluruhnya pada tahun pengeluaran 3. Sedan/Sejenisnya untuk Pegawai dengan Jabatan/Pekerjaan Tertentu a. Cost (termasuk perbaikan besar) diakui 50%, disusutkan sebagai aktiva Kelompok II b. Pemeliharaan rutin dibebankan 50% pada tahun pengeluaran

DEDUCTIBLE EXPENSES : PENYUSUTAN Infomasi penting untuk menghitung penyusutan berdasarkan pajak adalah: Penyusutan dalam peraturan perpajakan ditentukan berdasarkan tarif sesuai dengan metode penyusutan yang di pilih Tarif penyusutan berdasarkan pengelompokkan barang yang diatur dalam peraturan perpajakan. Penyusutan dengan menggunakan saldo menurun, nilai sisa pada akhir masa masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Penyusutan dimulai pada bulan saat barang tersebut siap untuk di pakai.

TARIF & METODE PENYUSUTAN

Contoh Menghitung Biaya Penyusutan Harga Perolehan 100,000,000 Tahun Tarif Penyusutan Akumulasi Penyusutan Penyusutan Per Tahun Penyusutan 2009 25% 12,500,000 12,500,000 2010 25% 25,000,000 37,500,000 2011 25% 25,000,000 62,500,000 2012 25% 25,000,000 87,500,000 2013 25% 12,500,000 100,000,000 Total 100,000,000

KOMPENSASI KERUGIAN Kerugian Fiskal muncul apabila Beban Fiskal lebih besar daripada Penghasilan Fiskal Kerugian Fiskal dapat dikompensasikan mulai tahun pajak berikutnya berturutturut sampai 5 tahun Tidak boleh digabung dengan kerugian fiskal tahun berikutnya.

KOMPENSASI KERUGIAN PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp. 1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut: 2010 : laba fiskal Rp. 200.000.000 2011 : rugi fiskal Rp.(300.000.000) 2012 : laba fiskal Rp. Nihil 2013 : laba fiskal Rp. 100.000.000 2014 : laba fiskal Rp. 800.000.000

KOMPENSASI KERUGIAN

LATIHAN KOMPENSASI KERUGIAN 2009. Rugi Fiskal Rp 1. 200.000 2010. Laba Fiskal Rp 200.000 2011. Rugi Fiskal Rp 300.000 2012. NIHIL 2013. Laba Fiskal Rp 100.000 2014. Laba Fiskal Rp 800.000 2015. Laba Fiskal Rp 75.000 2016. Laba Fiskal Rp 200.000 2017. Laba Fiskal Rp 500.000

2009 Rugi Fiskal Rp 1.200.000 2010 Laba Fiskal Rp 200.000 Sisa Rugi Fiskal 2009 Rp 1.000.000 2011 Rugi Fiskal Rp 300.000 Sisa Rugi Fiskal 2009 Rp 1.000.000 Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 300.000 2012 NIHIL Sisa Rugi Fiskal 2009 Rp 1.000.000 Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 300.000

2013 Laba Fiskal Rp 100.000 Sisa Rugi Fiskal 2009 Rp 900.000 Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 300.000 2014 Laba Fiskal Rp 800.000 Sisa Rugi Fiskal 2009 Rp 100.000 (habis masa kompensasinya) Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 300.000 2015 Laba Fiskal Rp 75.000 Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 225.000

2016 Laba Fiskal Rp 200.000 Sisa Rugi Fiskal 2011 Rp 25.000 (habis masa kompensasinya) 2017 Laba Fiskal Rp 500.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Pengurang Penghasilan Untuk WP Orang Pribadi Besaran atau nominal Rp 15.840.000 bagi diri WP Rp 1.320.000 tambahan bagi WP yang kawin Rp 15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami Rp 1.320.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungan, maksimum 3 Mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2009

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Peraturan Menteri Keuangan No. 162/PMK.011/2012 besaran atau nominal Rp24.300.000,00 bagi diri WP Rp2.025.000,00 tambahan bagi WP yang kawin Rp24.300.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami Rp2.025.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungan mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2013

TANGGUNGAN setiap anggota keluarga keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya (tidak memiliki penghasilan) paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

HUBUNGAN KELUARGA WAJIB PAJAK SEDARAH SEMENDA LURUS: ORANGTUA ANAK KANDUNG KE SAMPING: SAUDARA (KAKAK & ADIK) LURUS: MERTUA, ANAK TIRI KE SAMPING: IPAR

ISTILAH DALAM PTKP TK/0 : tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan TK/1 : tidak kawin dan mempunyai satu tanggungan TK/2 : tidak kawin dan mempunyai dua tanggungan K/1 : kawin dan mempunyai satu tanggungan K/2 : kawin dan mempunyai dua tanggungan K/3 : kawin dan mempunyai tiga tanggungan K/I/1: kawin, isteri mempunyai penghasilan yang digabung dengan penghasilan suami dan mempunyai 1 tanggungan PH : wajib pajak kawin dan pisah harta dan penghasilan HB : wajib pajak kawin yang telah hidup berpisah ditambah banyak tanggungan yang mendapatkan pengurangan PTKP

NON DEDUCTIBLE EXPENSES 1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; 3. pembentukan atau pemupukan dana cadangan

NON DEDUCTIBLE EXPENSES 4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; 5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

NON DEDUCTIBLE EXPENSES 6. jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

NON DEDUCTIBLE EXPENSES 7. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; 8. Pajak Penghasilan; 9. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

NON DEDUCTIBLE EXPENSES 10. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; 11. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang perpajakan. 12. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi

NON DEDUCTIBLE EXPENSES 1. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak 2. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final 3. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto 4. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan 5. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.

Penggabungan Penghasilan Untuk Keluarga Pasal 8 berdasarkan Undang-Undang PPh menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga.

Pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah Penghasilan isteri diperoleh sematamata dari satu pemberi kerja dan Penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

Penghitungan pajaknya dilakukan secara proposional suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim; dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.

Penghasilan Anak Yang Belum Dewasa penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama. Yang dimaksud dengan anak yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

Definisi Penghasilan Kena Pajak Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.

PPH TERUTANG PPH TERUTANG = TARIF PPH X PENGHASILAN KENA PAJAK UNTUK WP ORANG PRIBADI PENGHASILAN KENA PAJAK = PENGHASILAN NETTO - PTKP UNTUK WP BADAN PENGHASILAN KENA PAJAK = PENGHASILAN NETTO

PENGHASILAN NETTO PENGHASILAN NETTO WP OP PEMBUKUAN NORMA PERHITUNGAN PENGHASILAN NETTO WP BADAN: PEMBUKUAN

NORMA PERHITUNGAN Hanya untuk WP Orang Pribadi Peredaran bruto dalam satu tahun < Rp 4,8 milyar Memberitahukan kepada DJP dalam 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan Wajib menyelenggarakan pencatatan

CONTOH : PENGGUNAAN NORMA Seorang dokter, status kawin, istri tidak bekerja/tidak memiliki penghasilan, mempunyai 3 (tiga) orang anak, bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon. Norma perhitungan penghasilan netto industri rotan (kode 33100) adalah 12,5% dan untuk dokter (kode 93213) sebesar 45% Penghasilan selama tahun 2009: - Peredaran usaha dari Industri Rotan : Rp. 200.000.000 - Penerimaan bruto sebagai dokter : Rp. 72.000.000

Penghasilan neto dihitung sebagai berikut : - Industri rotan : 12,5%XRp. 200.000.000 : Rp.25.000.000 - Dokter : 45%XRp. 72.000.000: Rp.32.400.000 Jumlah Penghasilan Neto Rp.57.400.000 Penghasilan Kena Pajak untuk WP Orang Pribadi = Penghasilan Neto dikurangi PTKP = Rp. 57.400.000 - Rp. 21.120.000 = Rp. 36.280.000 Pajak penghasilan yang terutang : 5% X Rp. 36.280.000 = Rp. 1.814.000

Contoh Perhitungan PKP untuk WP Orang Pribadi yang Menyelenggarakan Pembukuan Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan Rp (5,400,000,000) Laba Usaha (Penghasilan Neto Usaha) Rp 600,000,000 Penghasilan lainnya Rp 50,000,000 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya Rp (30,000,000) Rp 20,000,000 Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 620,000,000 Kompensasi kerugian Rp (10,000,000) Penghasilan neto setelah kompensasi kerugian Rp 610,000,000 PTKP (K/2) Rp (19,800,000) Penghasilan Kena Pajak bagi WP Orang Pribadi Rp 590,200,000

Contoh Perhitungan PKP untuk WP Badan (Harus Menyelenggarakan Pembukuan) Peredaran Bruto Rp 6,000,000,000 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan Rp (5,400,000,000) Laba Usaha (Penghasilan Neto Usaha) Rp 600,000,000 Penghasilan lainnya Rp 50,000,000 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya Rp (30,000,000) Rp 20,000,000 Jumlah seluruh penghasilan neto Rp 620,000,000 Kompensasi kerugian Rp (10,000,000) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan Rp 610,000,000

TARIF PPH Pasal 17 UU No. 36/2008 tentang PPh WP Orang Pribadi Lapisan Penghasilan Kena Pajak (dalam Rupiah) Tarif PPh sampai dengan 50.000.000 5% 50.000.000-250.000.000 15% 250.000.000-500.000.000 25% di atas 500.000.000 30%

TARIF PPH Pasal 17 UU No. 36/2008 tentang PPh WP Badan Lapisan Penghasilan Kena Pajak (dalam Rupiah) Tarif PPh Untuk semua penghasilan kena pajak 25% 1. Tarif ini ditetapkan sebesar 28% dan berubah menjadi 25% sejak tahun pajak 2010 2. Bagi WP yang telah go public dengan minimal 40% saham Dimiliki masyarakat diberikan pengurangan 5%

CONTOH PENERAPAN TARIF 1. WP A (ORANG PRIBADI) PENGHASILAN KENA PAJAK Rp 600.000.000. PAJAK PENGHASILAN TERUTANG : - s/d Rp 50.000.000.- 5% = Rp 2.500.000.- - Rp 200.000.000.- 15% = Rp 30.000.000. - Rp 250.000.000.- 25% = Rp 62.500.000.- - Rp 100.000.000.- 30% = Rp 30.000.000.- JU M L A H = Rp 125.000.000. 2. WAJIB PAJAK BADAN : PT ANTARIKSA, PENGHASILAN NETO 2009 = Rp 1.250.000.000. PPh Terutang 28% x Rp 1.250.000.000 = Rp 350.000.000. PT ANTARIKSA, PENGHASILAN NETO 2010 = Rp 1.250.000.000. PPh Terutang 25% x Rp 1.250.000.000 = Rp 312.500.000.

Hubungan Istimewa Pasal 18 Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Kepemilikan WP memiliki 25% atau lebih WP lain, baik langsung maupun tidak langsung 25% D A B 60% 50% HUBUNGAN A & B: KEPEMILIKAN LANGSUNG HUBUNGAN A & C: KEPEMILIKAN TIDAK LANGSUNG A-B-C-D: HUBUNGAN ISTIMEWA C

HUBUNGAN KELUARGA BEDAKAN DENGAN KETENTUAN UNTUK TANGGUNGAN WAJIB PAJAK SEDARAH SEMENDA LURUS: ORANGTUA ANAK KANDUNG KE SAMPING: SAUDARA (KAKAK & ADIK) LURUS: MERTUA, ANAK TIRI KE SAMPING: IPAR

Penguasaan Manajemen WP menguasai WP lainnya atau dua/lebih pengusaha. Terjadi karena penguasaan manajemen atau teknologi, kendati tidak ada hubungan kepemilikan

Pajak Penghasilan Kurang Bayar /Lebih Bayar Untuk WPOP

Pajak Penghasilan Kurang/Lebih Bayar Untuk WP OP dengan Norma

Pajak Penghasilan Kurang/Lebih Bayar Untuk WP Badan

JENIS-JENIS PEMBAYARAN PPh YANG DAPAT DIKREDITKAN BAGI WPDN/BUT a. Pasal 21 PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN DARI PEKERJAAN,JASA, DAN KEGIATAN LAIN b. Pasal 22 c. Pasal 23 d.pasal 24 PEMUNGUTAN PAJAK ATAS PENGHASILAN DARI KEGIATAN DIBIDANG IMPOR ATAU KE GIATAN USAHA DIBIDANG LAINNYA PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN BERUPA DEVIDEN, BUNGA, SEWA, ROYALTY, HADIAH, DAN PENGHARGAAN & IMBALAN JASA LAINNYA. PAJAK YG DIBAYAR ATAU TERUTANG ATAS PENGHASILAN DARI LN YG BLH DIKREDITKAN e. Pasal 25 PEMBAYARAN YG DILAKUKAN WP SENDIRI. f. Pasal 26 Ayat (5) TIDAK BOLEH DIKREDITKAN PEMOTONGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YANG TIDAK BERSIFAT FINAL SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA, DENDA DAN KENAIKAN PAJAK PASAL 28 Ayat (1) dan (2)

Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak Pasal 31E Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp. 4,5 Milyar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 500 juta. Karena peredaran bruto kurang dari Rp. 4,8 Milyar, sehingga tarif pajak yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak tersebut adalah 50% dari tarif Pajak Penghasilan yang berlaku. Perhitungan PPh terhutang adalah: Penghasilan Kena Pajak Rp 500,000,000 Tarif PPh yang berlaku 25% x 50% PPh terhutang Rp62,500,000

Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp.30 Milyar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 3 Milyar. Karena peredaran bruto PT X lebih dari Rp. 4,8 Milyar, maka yang mendapatkan fasilitas pengurang tarif dihitung secara proposional. Perhitungan PPh terhutang adalah:

Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak 1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas Rp. 4.800.000.000 x Rp. 3.000.000.000 = Rp. 480.000.000 Rp. 30.000.000.000 2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas Rp. 3.000.000.000 - Rp. 480.000.000 = Rp. 2.520.000.000 PPh terhutang adalah: 1. (50% x 25%) x Rp. 480.000.000 = Rp 60,000,000 2. 25% x Rp. 2.520.000.000 = Rp 630,000,000 Total PPh terhutang Rp 690,000,000

Penghitungan PPh Terutang Orang Pribadi Penghasilan Neto dari Pekerjaan Penghasilan Neto dari Usaha atau Pekerjaan Bebas (Laba Usaha) Penghasilan dari Modal/Investasi Penghasilan Lain-lain Penghasilan Neto (Kompensasi Rugi) Penghasilan Neto setelah Kompensasi Rugi (PTKP) Penghasilan Kena Pajak (PKP) PPh Terutang = Tarif PPh x PKP

Penghitungan PPh Terutang Badan Penghasilan Neto dari Usaha (Laba Usaha) Penghasilan dari Modal/Investasi Penghasilan Lain-lain Penghasilan Neto (Kompensasi Rugi) Penghasilan Kena Pajak (PKP) PPh Terutang = Tarif PPh x PKP

Penghitungan PPh pada Akhir Tahun PPh Terutang dikurangi: Kredit Pajak I (PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain) PPh yang Masih Harus Dibayar Sendiri dikurangi: Kredit Pajak II (PPh yang dibayar sendiri) PPh yang Kurang atau Lebih Dibayar