KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 45/PJ/2013 TENTANG

dokumen-dokumen yang mirip
PER - 11/PJ/2012 TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PMK.03/2012 TENTANG

PER - 71/PJ/2010 TATA CARA PENATAUSAHAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERTAMBANGAN MINYAK DAN GAS BUMI

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PMK.03/2015 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PMK.03/2015 TENTANG

MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN

1 of 11 7/26/17, 12:19 AM

PER - 36/PJ/2011 PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERHUTANAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 267/PMK.011/2014

bahwa untuk memberikan kepastian hukum terhadap

PER - 50/PJ/2008 PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.03/2014 TENTANG

2017, No Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4435) sebagaimana telah beberapa kal

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-64/PJ/2012 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.03/2014

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4435) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi Bangunan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahu

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Sumber Daya Alam. Penilaian.

2010 MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENILAIAN KEKAYAAN YANG DIKUASAI NEGARA BERUPA SUMBER DAYA ALAM. BAB I KETENTUAN UMUM

MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALIN AN

ANALISIS PENATAUSAHAAN DAN PERHITUNGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA TAHUN PAJAK 2013

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

2017, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang

TENTANG PENDAFTARAN, PENDATAAN DAN PENILAIAN OBJEK DAN SUBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN WALIKOTA SURABAYA,

2017, No perjanjian kontrak kerja sama bagi hasil minyak dan gas bumi antara satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas

SE - 48/PJ/2011 TATA CARA PENGENAAN PBB SEKTOR PERTAMBANGAN NON MIGAS SELAIN PERTAMBANGAN ENERGI PA

2016, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 142/PMK.02/2013 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 163/PMK.03/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 195/PMK.02/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 150/PMK.03/2010 TENTANG

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009; c. bahwa untuk memberikan pedoman pelaksanaan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak terkait penerbitan Sura

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN WALIKOTA PARIAMAN NOMOR 30 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9/PMK.02/2016 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2017, No Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2015 tentang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

TENTANG BENTUK DAN ISI FORMULIR SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERUTANG DAN SURAT SETORAN PAJAK DAERAH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERKOTAAN

2017, No (fee) kepada penjual minyak dan/atau gas bumi bagian negara yang dibebankan pada bagian negara dari penerimaan hasil penjualan minyak

2015, No Sumber Daya Mineral tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi; Mengingat : 1. Undang-Und

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5767); MEMUTUSKAN: Menetap

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanju

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114/PMK.02/2017 TENTANG

MEMUTUSKAN: : PERATURAN BUPATI TENTANG TATA CARA PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN (PBB P2) KABUPATEN BANYUWANGI.

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 253/PMK.03/2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 22 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunannasional selain dari aspek sumber daya manusia, sumber daya

2016, No Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nom

BUPATI INDRAGIRI HULU PERATURAN BUPATI INDRAGIRI HULU NOMOR : 74 TAHUN 2012

WALIKOTA MATARAM PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR: 30 TAHUN TENTANG TATA CARA PENDATAAN OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 26/PJ/2014 TENTANG SISTEM PEMBAYARAN PAJAK SECARA ELEKTRONIK DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

SE - 81/PJ/2008 PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-50/PJ/2008 TENTANG

DASAR HUKUM. ASAS PBB 1.Memberikan kemudahan dan kesederhanaan 2.Adanya kepastian hukum 3.Mudah dimengerti dan adil 4.Menghindari pajak berganda

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS BUMI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 47/PJ/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 dan

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 32 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI KATINGAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 12 TAHUN 2014 TENTANG

2015, No dan Gas Bumi kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagaimana ditetapkan dalam Pera

: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

257/PMK.011/2011 TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN LAIN KONTRAK

-2- No.1927, 2015 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara; 2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan N

BERITA DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG

Mengingat ; 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-02/BC/2008 TENTANG

BERITA NEGARA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 7/PJ/2011 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

RANCANGAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 5/PJ/2011 TENTANG

DAFTAR STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR BARU, REVISI, DAN HAPUS SEMESTER II TAHUN 2013 DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2017 TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN PADA KEGIATAN USAHA HULU MINYAK

bahwa untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141/PMK.03/2016 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 43/PJ/2017 TENTANG

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 29 Tahun : 2015

MENTERi ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2017

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 24 TAHUN 2018 TENTANG PENETAPAN NILAI JUAL OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82/PMK.03/2017 TENTANG PEMBERIAN PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

Transkripsi:

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 45/PJ/2013 TENTANG TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi; b. bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang selama ini menjadi beban Pemerintah diubah menjadi beban bersama Pemerintah dan kontraktor dengan cara membukukan pembayaran pajak tersebut sebagai komponen biaya, dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, pemegang Izin Usaha Pertambangan wajib membayar sendiri Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Panas Bumi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569); 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi; MEMUTUSKAN:

- 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG TATA CARA PENGENAAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERTAMBANGAN UNTUK PERTAMBANGAN MINYAK BUMI, GAS BUMI, DAN PANAS BUMI. Pasal 1 Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan: 1. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. 2. PBB sektor pertambangan untuk pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut PBB Migas adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi. 3. PBB sektor pertambangan untuk pertambangan Panas Bumi yang selanjutnya disebut PBB Panas Bumi adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi. 4. Pengenaan adalah kegiatan menetapkan subjek pajak atau Wajib Pajak dan besarnya pajak terutang untuk PBB Migas dan PBB Panas Bumi berdasarkan peraturan perundangundangan PBB. 5. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak Bumi dan Gas Bumi. 6. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, termasuk antara lain gas metan batubara (coalbed methane). 7. Panas Bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. 8. Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi. 9. Izin

- 3-9. Izin Usaha Pertambangan adalah izin atau bentuk kontrak kerja sama lain untuk melaksanakan kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi. 10. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, atau Panas Bumi, termasuk kegiatan studi kelayakan dalam kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi, di Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya. 11. Eksploitasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, atau Panas Bumi, dari Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya. 12. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi. 13. Wilayah Sejenisnya adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, atau daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. 14. Areal Produktif adalah areal tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya yang secara nyata dipunyai haknya dan/atau diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi, yang sedang diusahakan untuk pengambilan hasil produksi. 15. Areal Belum Produktif adalah areal tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya yang secara nyata dipunyai haknya dan/atau diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi, yang belum diusahakan untuk pengambilan hasil produksi. 16. Areal Tidak Produktif adalah areal tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya yang secara nyata dipunyai haknya dan/atau diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi, yang tidak dapat atau telah selesai diusahakan untuk pengambilan hasil produksi. 17. Areal Emplasemen adalah areal tanah dan/atau perairan pedalaman di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi, yang secara nyata dipunyai haknya dan/atau diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk menunjang kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi, yang di atasnya

- 4 - atasnya berdiri bangunan dan sarana pendukungnya, tidak termasuk Areal Produktif. 18. Areal Offshore adalah areal perairan lepas pantai di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, yang secara nyata dipunyai haknya dan/atau diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak. 19. Areal Lainnya adalah areal tanah, perairan pedalaman, dan/atau perairan lepas pantai, di dalam Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya yang tidak dikenakan PBB sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, dan/atau yang secara nyata tidak dipunyai haknya dan tidak diperoleh manfaatnya oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi. 20. Tubuh Bumi Eksplorasi adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi pada Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya yang memiliki potensi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, atau Panas Bumi. 21. Tubuh Bumi Eksploitasi adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi pada Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya yang telah menghasilkan hasil produksi berupa Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, atau Panas Bumi. 22. Angka Kapitalisasi adalah angka pengali yang digunakan untuk mengonversi hasil produksi yang terjual dalam setahun menjadi nilai bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi. 23. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti. 24. Surat Pemberitahuan Objek Pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi yang selanjutnya disebut SPOP adalah surat yang digunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak dan subjek pajak atau Wajib Pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi ke Direktorat Jenderal Pajak. 25. Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi yang selanjutnya disebut LSPOP adalah formulir yang digunakan oleh subjek pajak atau Wajib Pajak untuk melaporkan data rinci objek pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi. 26. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak. 27. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang- Undang

- 5 - Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1994. 28. Kantor Pelayanan Pajak adalah Kantor Pelayanan Pajak yang mengadministrasikan objek pajak PBB Migas dan/atau PBB Panas Bumi. Pasal 2 (1) Objek pajak PBB Migas adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi. (2) Objek pajak PBB Panas Bumi adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Panas Bumi. (3) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terdiri dari: a. permukaan bumi, meliputi: 1) tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore); dan 2) perairan lepas pantai (offshore); b. tubuh bumi. (4) Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. (5) Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi: a. Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya; dan b. wilayah di luar Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya yang merupakan satu kesatuan dan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi. (6) Wilayah di luar Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya yang merupakan satu kesatuan dan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi, sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b merupakan wilayah penunjang kegiatan usaha pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi, atau Panas Bumi yang menjadi bagian yang secara fisik tidak terpisahkan dengan permukaan bumi yang dikenakan PBB Migas atau PBB Panas Bumi di dalam Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya. Pasal 3 (1) Permukaan bumi onshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a angka 1) meliputi: a. areal yang dikenakan PBB Migas atau PBB Panas Bumi, berupa: 1) Areal Produktif; 2) Areal Belum Produktif; 3) Areal

- 6-3) Areal Tidak Produktif; dan 4) Areal Emplasemen; b. areal yang tidak dikenakan PBB Migas atau PBB Panas Bumi, berupa Areal Lainnya. (2) Permukaan bumi offshore sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a angka 2) meliputi: a. areal yang dikenakan PBB Migas, berupa Areal Offshore; dan b. areal yang tidak dikenakan PBB Migas, berupa Areal Lainnya. (3) Tubuh bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b berupa: a. Tubuh Bumi Eksplorasi; atau b. Tubuh Bumi Eksploitasi. Pasal 4 (1) Subjek pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan, atas objek pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi. (2) Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar PBB Migas atau PBB Panas Bumi menjadi Wajib Pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi. Pasal 5 (1) Subjek pajak atau Wajib Pajak melakukan pendaftaran atau pemutakhiran data objek pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi dengan cara mengisi SPOP, dengan jelas, benar, dan lengkap, serta ditandatangani, dan dilengkapi dengan dokumen pendukung. (2) Dalam hal SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh bukan subjek pajak atau Wajib Pajak, harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus. (3) SPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan LSPOP yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPOP. Pasal 6 (1) SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) terdiri dari SPOP PBB Migas dan SPOP PBB Panas Bumi. (2) SPOP PBB Migas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. onshore, dilampiri dengan: 1) LSPOP PBB Migas Onshore; 2) LSPOP

- 7-2) LSPOP PBB Migas Bangunan Umum; dan/atau 3) LSPOP PBB Migas Bangunan Khusus. b. offshore, dilampiri dengan: 1) LSPOP PBB Migas Offshore; 2) LSPOP PBB Migas Bangunan Umum, dan/atau 3) LSPOP PBB Migas Bangunan Khusus. c. tubuh bumi, dilampiri dengan LSPOP PBB Migas Tubuh Bumi. (3) SPOP PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk: a. onshore, dilampiri dengan: 1) LSPOP PBB Panas Bumi Onshore; 2) LSPOP PBB Panas Bumi Bangunan Umum, dan/atau 3) LSPOP PBB Panas Bumi Bangunan Khusus. b. tubuh bumi, dilampiri dengan LSPOP PBB Panas Bumi Tubuh Bumi. Pasal 7 (1) Subjek pajak atau Wajib Pajak harus menyampaikan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang telah diisi dengan jelas, benar, dan lengkap, serta ditandatangani, ke Kantor Pelayanan Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP oleh subjek pajak atau Wajib Pajak. (2) Tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP oleh subjek pajak atau Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tanggal tanda terima, dalam hal SPOP dan LSPOP disampaikan secara langsung oleh Kantor Pelayanan Pajak; atau b. tanggal bukti pengiriman, dalam hal SPOP dan LSPOP dikirim oleh Kantor Pelayanan Pajak melalui pos atau jasa pengiriman lainnya. (3) Dalam hal tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah tanggal sebelum 1 Januari tahun pajak, maka tanggal diterimanya SPOP dan LSPOP adalah tanggal 1 Januari tahun pajak. (4) Tanggal disampaikannya SPOP dan LSPOP ke Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. tanggal tanda terima, dalam hal SPOP dan LSPOP diterima secara langsung di Kantor Pelayanan Pajak; atau b. tanggal bukti pengiriman, dalam hal SPOP dan LSPOP diterima di Kantor Pelayanan Pajak melalui pos atau jasa pengiriman lainnya. Pasal

- 8 - Pasal 8 (1) Dasar Pengenaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi adalah NJOP. (2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil penjumlahan antara NJOP bumi dan NJOP bangunan. (3) NJOP bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk: a. permukaan bumi merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang dikenakan PBB Migas atau PBB Panas Bumi dengan NJOP bumi per meter persegi; dan b. tubuh bumi merupakan hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya dengan NJOP bumi per meter persegi. (4) NJOP bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP Bumi. (5) NJOP bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi. (6) NJOP bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi NJOP Bangunan. Pasal 9 (1) Nilai bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) pada tahap Eksplorasi untuk: a. permukaan bumi onshore, merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas areal yang dikenakan PBB Migas atau PBB Panas Bumi; b. permukaan bumi offshore, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak; dan c. Tubuh Bumi Eksplorasi, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. (2) Nilai bumi per meter persegi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) pada tahap Eksploitasi untuk: a. permukaan bumi onshore, merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas areal yang dikenakan PBB Migas atau PBB Panas Bumi; b. permukaan bumi offshore, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak; dan c. Tubuh Bumi Eksploitasi, dalam hal: 1) terdapat hasil produksi yang terjual, merupakan hasil pembagian antara nilai bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi

- 9 - Eksploitasi dengan luas Wilayah Kerja atau Wilayah Sejenisnya; 2) tidak terdapat hasil produksi yang terjual, merupakan nilai bumi per meter persegi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. (3) Total nilai bumi untuk permukaan bumi onshore sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, merupakan jumlah dari perkalian luas masingmasing areal yang dikenakan PBB Migas atau PBB Panas Bumi dengan nilai bumi per meter persegi masing-masing areal dimaksud. (4) Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditentukan dengan menggunakan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual-beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual-beli, ditentukan melalui perbandingan harga objek lain yang sejenis. (5) Nilai bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi dalam hal terdapat hasil produksi yang terjual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 1), ditentukan melalui pendekatan pendapatan sebagai berikut: a. Untuk PBB Migas: Nilai bumi = Angka Kapitalisasi x [(hasil produksi Minyak Bumi yang terjual dalam satu tahun sebelum tahun pajak x harga minyak mentah Indonesia) + (hasil produksi Gas Bumi yang terjual dalam satu tahun sebelum tahun pajak x harga Gas Bumi)]. b. Untuk PBB Panas Bumi yang pembangkit listriknya dikelola sendiri oleh Wajib Pajak: Nilai bumi = Angka Kapitalisasi x [(hasil produksi uap yang terjual dalam satu tahun sebelum tahun pajak x harga uap) + (hasil produksi listrik yang terjual dalam satu tahun sebelum tahun pajak x harga listrik)]. c. Untuk PBB Panas Bumi yang pembangkit listriknya tidak dikelola sendiri oleh Wajib Pajak: Nilai bumi = Angka Kapitalisasi x hasil produksi uap yang terjual dalam satu tahun sebelum tahun pajak x harga uap. (6) Angka Kapitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. (7) Nilai bangunan per meter persegi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) merupakan hasil pembagian antara total nilai bangunan dengan total luas bangunan. (8) Total nilai bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan jumlah nilai bangunan masing-masing bangunan. (9) Nilai bangunan masing-masing bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditentukan melalui pendekatan biaya yaitu sebesar biaya pembangunan baru dikurangi penyusutan. Pasal

- 10 - Pasal 10 (1) Harga minyak mentah Indonesia, harga Gas Bumi, harga uap, harga listrik, dan kurs yang digunakan sebagai dasar penentuan nilai bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5), ditetapkan sebagai berikut: a. harga minyak mentah Indonesia, menggunakan harga yang ditetapkan dalam APBN/APBN Perubahan satu tahun sebelum tahun pajak; b. harga Gas Bumi, sebesar 17,96% dari harga minyak mentah Indonesia yang ditetapkan dalam APBN/APBN Perubahan satu tahun sebelum tahun pajak; c. harga uap dan/atau listrik, sebesar rata-rata harga kontrak uap dan/atau listrik yang berlaku yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak; dan d. kurs, menggunakan kurs dalam APBN/APBN Perubahan satu tahun sebelum tahun pajak. (2) Menteri Keuangan dapat menetapkan harga minyak mentah Indonesia, harga Gas Bumi, harga uap, harga listrik, dan kurs sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal Menteri Keuangan menetapkan harga minyak mentah Indonesia, harga Gas Bumi, harga uap, harga listrik, dan kurs sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku. Pasal 11 (1) Pengadministrasian data objek pajak PBB Migas onshore dan PBB Panas Bumi dilakukan oleh: a. Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan wilayah kabupaten, kota, atau wilayah DKI Jakarta, yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak PBB Migas onshore dan/atau PBB Panas Bumi; atau b. Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk, dalam hal terdapat lebih dari satu Kantor Pelayanan Pajak dalam satu kabupaten, kota, atau wilayah DKI Jakarta. (2) Pengadministrasian data objek pajak PBB Migas offshore dan tubuh bumi dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak yang ditunjuk. Pasal 12 (1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 menetapkan besarnya PBB Migas atau PBB Panas Bumi terutang menurut keadaan objek pajak PBB Migas atau PBB Panas Bumi pada tanggal 1 Januari berdasarkan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dengan menerbitkan SPPT. (2) SPPT

- 11 - (2) SPPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. SPPT untuk onshore; b. SPPT untuk offshore; dan c. SPPT untuk tubuh bumi. Pasal 13 Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dapat berkoordinasi dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka: 1. penyampaian SPOP dan LSPOP kepada subjek pajak atau Wajib Pajak; 2. penerimaan pengembalian SPOP dan LSPOP yang telah diisi oleh subjek pajak atau Wajib Pajak; dan 3. penyampaian SPPT kepada Wajib Pajak. Pasal 14 (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKP PBB dalam hal subjek pajak atau Wajib Pajak: a. tidak menyampaikan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau b. menyampaikan SPOP dan LSPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang seharusnya terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP dan LSPOP. (2) Jumlah pajak yang terutang dalam SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak. (3) Jumlah pajak yang terutang dalam SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan SPOP dan LSPOP ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terutang. (4) Dalam hal SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang pembayaran PBB Migas atau PBB Panas Bumi melalui pemindahbukuan, denda administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak menggunakan Surat Setoran Pajak PBB melalui Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. (5) Dalam hal SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang pembayaran PBB Migas atau PBB Panas Bumi dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak

- 12 - Pajak, jumlah pajak terutang dalam SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak menggunakan Surat Setoran Pajak PBB melalui Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. Pasal 15 Bentuk formulir: 1. SPOP PBB Migas, adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I Peraturan 2. SPOP PBB Panas Bumi, adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran II Peraturan 3. LSPOP PBB Migas Onshore (kode L01-31), adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III Peraturan 4. LSPOP PBB Migas Offshore (kode L01-32), adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IV Peraturan 5. LSPOP PBB Migas Bangunan Umum (kode L02-31), adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini; 6. LSPOP PBB Migas Bangunan Khusus (kode L02-32), adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran VI Peraturan 7. LSPOP PBB Migas Tubuh Bumi (kode L03-31), adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran VII Peraturan 8. LSPOP PBB Panas Bumi Onshore (kode L01-51), adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran VIII Peraturan 9. LSPOP PBB Panas Bumi Bangunan Umum (kode L02-51), adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran IX Peraturan 10. LSPOP PBB Panas Bumi Bangunan Khusus (kode L02-52), adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran X Peraturan dan 11. LSPOP PBB Panas Bumi Tubuh Bumi (kode L03-51), adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran XI Peraturan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Pasal 16 Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, pengenaan PBB Migas dan PBB Panas Bumi untuk tahun pajak 2013 dan sebelumnya dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang berlaku pada tahun pajak yang bersangkutan. Pasal

- 13 - Pasal 17 Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/ PJ/ 2012 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 18 Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2014. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal?0 Desember 2013 DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd A. FUAD RAHMANY Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL PAJAK u.b. BAGIAN ORGANISASI DAN TATALAKSANA SEKRETARIAT/ JOKO SUSILO 221991031006