II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili

I. PENDAHULUAN. Narkotika selain berpengaruh pada fisik dan psikis pengguna, juga berdampak

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. dirasakan semakin menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. penuntutan terhadap terdakwa tindak pidana narkotika adalah:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

Reni Jayanti B ABSTRAK

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 1997 Tentang NARKOTIKA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

I. PENDAHULUAN. harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya, berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

II.TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian tentang Tindak Pidana atau Strafbaar Feit. Pembentuk Undang-undang telah menggunakan kata Strafbaar Feit untuk

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yanag dapat dipidana, orang yang dapat dipidana, dan pidana. Istilah tindak pidana di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara berkembang sangatlah membutuhkan pembangunan yang merata di

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normative adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara konkrit. Mengenai pengertian tindak pidana ( strafbaar feit ) beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut : a. Pompe : Memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu 1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. 2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. b. Simons : Tindak pidana adalah kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab c. Moeljatno :

Perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi baran gsiapa melanggar larangan tersebut Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar di atas, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat di antara pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana ( Tri Andrisman, 2009 : 69 ). B. Penjatuhan Pidana dan Pemidanaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat). Sebagai Negara hukum, Indonesia menganut salah satu asas yang penting yakni asas praduga tak bersalah (presumption of ennocence). Dalam peraturan perundang-undangan Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan : "setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan dan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan merupakan tonggak yang penting bagi cerminan keadilan, termasuk putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana dan pemidanaan. Lahirnya penjatuhan pidana dan pemidanaan bukan muncul begitu saja, melainkan melalui proses peradilan. Proses yang dikehendaki undang-undang adalah cepat, sederhana, dan biaya ringan. Biasanya asas itu masih ditambah bebas, jujur, dan tidak memihak serta adil.

Penjatuhan pidana merupakan upaya mempertahankan hukum pidana materil. Dalam hal ini penjatuhan pidana merupakan upaya agar tercipta suatu ketertiban, keamanan, keadilan, serta kepastian hukum. Dan bagi yang bersangkutan agar dapat menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana ( Bambang Waluyo, 2004 : 35 ) Pasal 193 Ayat (1) KUHAP menyebutkan Putusan pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan Pengadilan Negeri. Putusan pemidanaan terjadi, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Dan dalam Pasal 183 KUHAP Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Hakim dalam hal menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Jadi, bukan balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Memang apabila kita kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan kebenaran materiil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara. Artinya ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil, dan sejahtera ( Andi Hamzah, 1985 : 19). Penjatuhan pidana dan pemidanaan dapat dikatakan cermin peradilan pidana kita. Apabila proses peradilan berakhir dengan penjatuhan pidana itu berjalan sesuai asas peradilan, niscaya peradilan kita dinilai baik. Apabila sebaliknya, tentu saja dinilai sebaliknya pula. Bahkan dapat dianggap sebagai kemerosotan kewibawaan hukum.

C. Ketentuan Pidana Penggunaan Narkotika Pasal 1 UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang. Perundang-undangan tentang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 telah diperbaharui kedalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2009. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini, mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecendrungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Ketentuan pidana mengenai tindak pidana narkotika diatur dalam BAB XV pasal 111 sampai dengan pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Menggunakan narkotika bagi diri sendiri mengandung maksud bahwa penggunaan narkotika tersebut dilakukan tanpa melalui pengawasan dokter. Penggunaan narkotika tanpa melalui

pengawasan dokter tersebutlah yang merupakan suatu perbuatan tanpa hak dan melawan hukum. Di dalam undang-undang yang baru yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga diatur mengenai ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan narkotika dalam Pasal 116, yang memberikan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan p aling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bagi orang yang memberikan narkotika golongan I bagi orang lain. Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa apabila penggunaan narkotika tersebut mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tah un dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pada Pasal 121 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan bahwa pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahu n dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) bagi orang yang memberikan narkotika golongan II bagi orang lain. Sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa apabila penggunaan narkotika tersebut mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga).

Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa Setiap Penyalah Guna narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, pengguna narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun, dan pengguna narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Tidak semua pasal dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan hukuman kepada pengguna narkoba. Pada Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan bahwa apabila pengguna narkoba bagi diri sendiri dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib atau dapat menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Berdasarkan pasal 53 dan pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dalam hal ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan narkotika, menerapkan ketentuan pidana yang diikuti dengan kewajiban untuk memperhatikan ketentuan mengenai pengobatan dan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika. Sehingga Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 memberikan peluang yang lebih besar bagi pecandu narkotika untuk divonis menjalani rehabilitasi. D. Pengertian Putusan Hakim Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa, Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Putusan pengadilan diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa: 1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 2) Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim-hakim yang memutuskan dan panitera yang ikut serta bersidang. Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan berikut ini: a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib b. Putusan Bebas c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum Syarat sahnya suatu putusan hakim sangat penting artinya karena akan dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Pasal 195 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum. Dari hal itu dapat dilihat bahwa syarat sahnya suatu putusan hakim adalah : 1) Memuat hal-hal yang diwajibkan 2) Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum Pasal 12 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa : 1) Pengadilan memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain. 2) Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.

Dengan demikian pada saat hakim menjatuhkan putusan, terdakwa harus hadir dan mendengarkan secara langsung tentang isi putusan tersebut. Apabila terdakwa tidak hadir, maka penjatuhan putusan tersebut harus ditunda, kecuali dalam hal terdapat lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, tidak harus dihadiri oleh seluruh terdakwa. Berdasarkan Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. Dan dalam penjelasan Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang -undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa setelah diucapkan putusan tersebut berlaku baik bagi terdakwa yang hadir maupun yang tidak hadir. Putusan hakim tersebut baru dapat dilaksanakan apabila putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde). Tugas pelaksanaan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ini dibebankan kepada penuntut umum (Jaksa) sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan : Pelaksanaan Putusan Pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. Penjabaran Pasal 54 ayat (1) Undang -Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ini dilaksanakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diatur dalam Pasal 270 sampai dengan 276. Berdasarkan penjelasan mengenai Pasal 54 ayat (1) tersebut, dapat dilihat dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyatakan : 1) Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2) Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 26 Ayat (2) Undang -Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, hukum dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Namun di dalam pelaksanaannya, terpidana tetap harus menjalankan putusan pengadilan tingkat pertama tersebut disamping melakukan upaya banding kepada pengadilan tinggi. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 54 dan 55 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengenai pelaksanaan putusan pengadilan. E. Rehabilitasi Pengguna Narkotika Pemidanaan mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori tentang pemidanaan. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). Rehabilitasi dijelaskan dalan Pasal 97 ayat (1) KUHAP sebagai berikut : Seorang berhak memperoleh Rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus

bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04Tahun 2010 yang merupakan revisi dari Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 07 Tahun 2009 dan Perautaran Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011. Ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika yang diatur di dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 54 dan 103. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Serta Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa: 1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat: a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. 2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Kemudian di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 yang mengatur ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur di dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa :

1) Pecandu Narkotika yang telah melaksanakan Wajib Lapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 wajib menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi social sesuai dengan rencana rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (2). 2) Kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berlaku juga bagi Pecandu Narkotika yang diperintahkan berdasarkan : a. Putusan pengadilan jika Pecandu Narkotika terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; b. Penetapan pengadilan jika Pecandu Narkotika tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika. 3) Pecandu Narkotika yang sedang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. 4) Penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) merupakan kewenangan penyidik, penuntut umum, atau bahkan hakim sesuai dengan tingkat pemeriksaaan setelah mendapatkan rekomendasi dari Tim Dokter. 5) Ketentuan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dan Ayat (4) berlaku juga bagi Korban Penyalahgunaan Narkotika. 6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), Ayat (4), dan Aya t (5) diatur oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian besar narapidana dan tahanan kasus narkotika adalah termasuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan dalam hal pemberdayaan dan pengobatan terhadap pecandu dan penyalahguna narkotika pada saat ini tidaklah mendukung proses penyembuhan baik mental maupun fisik pecandu dan penyalahguna narkotika, karena dampak negatif keterpengaruhan oleh

perilaku kriminal lainnya dapat semakin memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika akan semakin berat. Literatur : DAFTAR PUSTAKA Andrisman, Tri. 2009. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Pidana Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta. Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (TLN Nomor 5076) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (LN Tahun 2009 Nomor 143) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika (LN Tahun 2011 Nomor 46)