DIREKTORAT KEPENDUDUKAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEDEPUTIAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUSUTAMAAN GENDER MELALUI PPRG KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

B A B I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

GENDER BUDGET STATEMENT. (Pernyataan Anggaran Gender) : Kedeputian Bidang SDM dan Kebudayaan. Perlindungan Anak

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 132 TAHUN 2003 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58 Tambahan Le

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

2011, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Pe

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BUPATI BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DIDAERAH

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 118 TAHUN 2015

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

1) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 tahun 2006 jo No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Keuangan di Daerah

WALIKOTA PROBOLINGGO PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN MALANG. BAB I KETENTUAN UMUM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER KABUPATEN SINJAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINJAI,

POLICY BRIEF NO. 005/DKK.PB/2017

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGANTAR DAN PENGENALAN PUG & IMPLEMENTASINYA

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT

ARTIKEL 11 KEGIATAN WORKSHOP PENINGKATAN

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI DAERAH

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU

TINDAK LANJUT STRATEGI NASIONAL PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN YANG RESPONSIF GENDER (PPRG) DEPUTI SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR TAHUN 2010 TENTANG

LAPORAN TENTANG PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS RAKORTEK PUG DI BATAM DARI TANGGAL 10 APRIL 14 APRIL 2017

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

WALIKOTA PEKALONGAN, PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG)

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BUPATI BULUNGAN TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BULUNGAN.

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

-2- Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3277); 2. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 t

WALIKOTA PEKANBARU PROVINSI RIAU PERATURAN WALIKOTA PEKANBARU NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 35 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Jakarta, 4 Maret Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Linda Amalia Sari, S.IP

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 1 TAHUN 2014

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan;

WALI KOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA CIREBON

BUPATI JEPARA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

dalam Pembangunan Nasional;

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2014 NOMOR 1 SERI E

WALIKOTA PROBOLINGGO

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 47 TAHUN 2011 TENTANG

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR : 62 TAHUN 2011 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI TEMANGGUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Direktorat Pembinaan Pendidikan

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN

BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU


SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

Nomor : 18 / MPP-PA / D.II / 05 /2011 Nomor : M.HH.04-HM Tahun 2011

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

PEMBANGUNAN NASIONAL BERWAWASAN GENDER

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 5 TAHUN

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS

4.9 Anggaran Responsif Gender Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , telah menetapkan tiga strategi pengarusutamaan

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DENGAN

WALIKOTA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA CIREBON NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA CIREBON

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 53 TAHUN

PERATURAN MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 9 TAHUN 2015 TENTANG

Jakarta, Maret Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ttd. Linda Amalia Sari, S.IP

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan sumber daya

KESEPAKATAN BERSAMA ANTARA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA DAN KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

LAPORAN AKHIR ANALISIS GENDER DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DIREKTORAT KEPENDUDUKAN DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEDEPUTIAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS 2007

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah- Nya, sehingga laporan akhir Kajian Analisis Gender dalam Perencanaan Pembangunan ini dapat kami selesaikan. Laporan ini adalah hasil dari kegiatan kajian, yang merupakan salah satu fungsi Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan. Kajian ini memiliki dua tujuan, yaitu: pertama, melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih; yang dimaksudkan untuk mengetahui sampai seberapa jauh Kementerian/ Lembaga dan provinsi serta kabupaten/kota yang dikaji telah melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan PUG. Tujuan kedua adalah melakukan analisis gender terhadap beberapa program pembangunan terpilih yang terdapat di dalam RPJMN 2004-2009. Analisis gender tersebut dilakukan bersama-sama dengan Kementerian/lembaga terkait, dengan menggunakan piranti analisis gender yang disebut Gender Analysis Pathway (GAP). Semoga hasil kajian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak terkait, dan untuk itu kami haturkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berpartisipasi dalam pelaksanaan seluruh kegiatan dalam penyusunan kajian tersebut, khususnya kepada Ibu Dr. Yulfita Raharjo, MA dan Bapak Nardho Gunawan, MD, MPH; selaku konsultan yang membantu kami dalam pelaksanaan kajian ini. Di samping itu, masukan dan saran untuk kajian ini juga kami harapkan, sebagai bahan perbaikan untuk periode selanjutnya. Jakarta, Desember 2007 Direktur Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan 2

DAFTAR ISI Kata Pengantar 2 RINGKASAN EKSEKUTIF 5 1. PENDAHULUAN 5 2. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS 10 2.1. PELAKSANAAN PUG DI 18 KEMENTERIAN/LEMBAGA 10 a. Dukungan Politik 10 b. Program yang Responsif Gender 11 c. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional 12 d. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin 13 e. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) 13 2.2. PELAKSANAAN PUG DI DAERAH 14 2.3. Lessons Learned 15 2.4. Analisa Gender Dalam Perencanaan Program/Kegiatan Pembangunan: Kementerian/Lembaga Terpilih 18 2.4.1.Hasil yang Diharapkan 18 2.4.2.Proses Analisis 19 2.4.3.Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih 21 2.4.4. Beberapa Isu Kritis 21 3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 23 BAB 1. PENDAHULUAN 25 1.1. Latar Belakang 25 1.2. Tujuan Kajian 28 1.3. Ruang Lingkup Kegiatan 28 1.4. Metodologi 29 1.5. Pengukuran 33 1.6. Hasil yang Diharapkan 35 1.7. Limitasi 36 3

1.8. Kesimpulan 38 BAB 2. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KEMENTERIAN/LEMBAGA: Tinjauan dari Perspektif gender 39 2.1. Dukungan Politik 42 2.2. Program yang responsif gender 51 2.3. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional 53 2.4. Peran Pokja Gender 60 2.5. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin 62 2.6. Kapasitas Sumberdaya Manusia (SDM) 64 2.7. Kesimpulan 65 Bab 3. PELAKSANAAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN/ KOTA: TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER 67 3.1. Pelaksanaan PUG di Era Desentralisasi: tepat waktu, tepat asas, luput di tatanan praktis 68 3.2. Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan prasyarat 70 3.3. Tantangan pelaksanaan PUG dalam perencanaan pembangunan di Provinsi dan Kabupaten/Kota 86 BAB 4. ANALISA GENDER DALAM PERENCANAAN PROGRAM/KEGIATAN PEMBANGUNAN: KEMENTERIAN/LEMBAGA TERPILIH 91 4.1. Hasil yang Diharapkan 92 4.2. Proses Analisis 92 4.3. Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih 95 4.4. Best Practice 96 4.5. Beberapa Isu Kritis 100 BAB 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 102 5.1. Kesimpulan 102 5.2. Rekomendasi 103 4

RINGKASAN EKSEKUTIF 1. PENDAHULUAN a. LATAR BELAKANG Strategi pengarusutamaan gender (PUG) ke dalam proses pembangunan dewasa ini semakin diakui sebagai kebutuhan pembangunan nasional. Hal tersebut diperkuat dengan telah disahkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional, yaitu suatu Instruksi Presiden kepada semua Menteri, Lembaga Tinggi Negara, Panglima Angkatan Bersenjata, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melakukan PUG dalam keseluruhan proses perencanaan dari seluruh kebijakan dan program pembangunan. Sebagai hasil dari upaya pelaksanaan PUG, khususnya pada tahap perencanaan, dapat dilihat dari Propenas 2000 2004, yaitu telah terdapat 19 program pembangunan yang responsif gender. Program program tersebut mencakup 5 sektor pembangunan yaitu bidang hukum, ekonomi, politik, pendidikan, dan sosial budaya. Pada setiap Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) upaya PUG terus dilakukan, dan hasil nyata yang diperoleh adalah bertambahnya program yang responsif gender. Hingga Repeta 2004, jumlah program yang telah responsif gender bertambah menjadi 38 program, yang terdapat pada sektor sektor pembangunan: ketenagakerjaan, pendidikan, hukum, pertanian, koperasi dan UKM, politik, kesejahteraan sosial, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan hidup. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004 2009, peningkatan kualitas hidup perempuan merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis. Bahkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006 dan 2007, pengarusutamaan gender telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan yang harus dilakukan oleh seluruh kegiatan pembangunan. Untuk keperluan kajian tersebut, terdapat 5 (lima) aspek yang dikaji. Kelima aspek tersebut dianggap merupakan prasyarat dalam proses melaksanakan PUG. Aspek aspek tersebut adalah: 1) dukungan politik; 2) kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender; 3) tersedianya kelembagaan PUG; 4) data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin dalam sistem; dan 5) kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam melaksanakan dan mengawal PUG. 1 1 Lima aspek pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan PUG (Referensi, KPP). 5

Hasil kajian pelaksanaan PUG (Bappenas, 2005) tersebut memperlihatkan bahwa: 1) implementasi 38 program Repeta 2001 2004 yang responsif gender tersebut dapat dikatakan tidak semuanya dilaksanakan; dan 2) meskipun sudah cukup banyak kemajuan, namun secara umum pelaksanaan PUG belum berjalan optimal. Beberapa hal yang menjadi penyebabnya, adalah sebagai berikut: - Payung hukum yang menyatakan tentang keharusan melaksanakan PUG di setiap sektor/lembaga baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, tidak tersosialisasi dengan baik. - PUG lebih dipahami sebagai proyek kegiatan untuk perempuan atau pemberdayaan perempuan semata, dan belum dipahami sebagai strategi pembangunan yang sifatnya cross cutting, menyeluruh dan terintegrasi; - PUG belum melembaga; - Data dan informasi terpilah berdasarkan jenis kelamin masih terbatas. Tidak ada keharusan untuk mengumpulkan data terpilah menurut jenis kelamin, apalagi digunakan untuk keperluan analisis; dan - Masih kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang mampu melaksanakan analisis gender dan mendukung pelaksanaan PUG di tingkat internal masing masing lembaga. Oleh sebab itu, sesuai dengan salah satu fungsi Bappenas yaitu melakukan koordinasi dan peningkatan keterpaduan dalam penyusunan rencana dan program pembangunan nasional (Surat Keputusan Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas No. 050/M.PPN/03/2002), Direktorat Kependudukan dan Pemberdayaan Perempuan Bappenas memandang perlu memperluas kajian gender dalam perencanaan pembangunan dan pelaksanaan PUG di beberapa bidang dalam RPJMN 2004 2009. Untuk keperluan itu, di samping melakukan revisit kepada 12 Kementerian/ Lembaga yang melaksanakan 9 bidang pembangunan (lama), juga menambah dengan 6 (enam) Kementerian/Lembaga (baru) di tingkat nasional. Untuk memperkaya gambaran pelaksanaan PUG di daerah, kajian juga dilakukan di 7 provinsi dan 7 kabupaten/kota terpilih, di luar 3 provinsi dan 3 kabupaten/kota yang telah dilakukan pada tahun 2005. Dengan demikian, kajian gender dalam perencanaan pembangunan pada tahun 2007 ini mencakup 18 Kementerian/Lembaga dengan fokus pada program program pembangunan dalam RPJMN 2004 2009 (untuk nasional) dan di 7 provinsi dan 7 kabupaten/kota terpilih. b. TUJUAN KAJIAN Tujuan pertama untuk melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan PUG di 18 Kementerian/Lembaga, 7 provinsi, dan 7 kabupaten/kota terpilih. 6

Tujuan ini dimaksudkan untuk mengetahui sampai seberapa jauh Kementerian/ Lembaga dan provinsi serta kabupaten/kota yang dikaji telah melaksanakan Inpres No. 9 Tahun 2000, serta peraturan perundangundangan lain yang berkaitan dengan PUG. Tujuan kedua untuk melakukan analisis gender terhadap beberapa program pembangunan terpilih yang terdapat di dalam RPJMN 2004 2009. Hasil yang diharapkan adalah bahwa melalui analisis gender tersebut dapat dihasilkan sejumlah program/kegiatan pembangunan yang responsif gender. Selain itu, juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya capacity building dalam hal melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu gender ke dalam dokumen perencanaan pembangunan. Lebih jauh lagi, diharapkan juga bahwa melalui upaya tersebut dapat dibangun rasa kepemilikan terhadap program yang sudah responsif gender. Analisis gender dilakukan bersama sama dengan Kementerian/lembaga terkait dengan menggunakan piranti analisis gender yang disebut Gender Analysis Pathway (GAP). c. METODOLOGI Kerangka Analisis Untuk tujuan pertama yaitu evaluasi PUG, metode yang dipakai dalam adalah kombinasi dari sejumlah piranti kajian baik kuantitatif maupun kualitatif. Sifat analisis kajian adalah deskriptif analisis. Dimulai dengan menelaah dokumen dasar perencanaan program pembangunan Kementerian/Lembaga yang tersedia. Ini termasuk rencana strategis, pedoman umum perencanaan program pembangunan, kebijakan pembangunan, meta analisis hasil kajian evaluasi 2005, dan dokumen lain yang relevan dari setiap sektor yang terpilih. Dari informasi dan gambaran yang terkumpul, disusun suatu framework dengan mengidentifikasikan beberapa variabel kunci yang kemudian dijabarkan pada pertanyaan pertanyaan yang relevan, untuk memandu proses kajian. Asumsinya adalah secara ideal pelaksanaan PUG dapat berjalan baik dalam suatu Kementerian/Lembaga jika tersedia paling tidak 6 (enam) aspek, yaitu: 1) adanya dukungan politik (komitmen) dari pimpinan/pengambil kebijaksanaan; 2) adanya program/kegiatan yang responsif gender sebagai suatu keniscayaan; 3) adanya kelembagaan baik struktural maupun fungsional sebagai acuan dalam pelaksanaan PUG di Kementeriaan/Lembaga yang bersangkutan; 4) tersedianya dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; 5) tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang memahami gender dan mampu 7

melaksanakan dan mengawal PUG; dan 6) tersedianya dana untuk pelaksanaan PUG 2. Metode Pelaksanaan Kajian Dalam merancang kajian, telah disetujui bersama bahwa sifat kajian ini adalah partisipatori. Pada prinsipnya, pendekatan partisipatori lebih memberikan waktu dan ruang untuk berdiskusi dua arah antara tim kajian dengan para responden. (1) Focus Group Discussion (FGD), forum FGD menjadi piranti yang penting dalam mengumpulkan data informasi; (2) Briefing dan konsultasi dengan para pimpinan, pengelola (unit) dan anggota staf (seperti dari Biro Perencanaan, Sekretaris/Ditjen yang berkaitan dengan kegiatan PUG, focal point gender, Pokja Gender, dll), untuk mendapatkan gambaran tentang budaya Kementerian/Lembaga, termasuk persepsi serta perlakuan lembaga terhadap isu gender pada umumnya, dan isu gender dalam perencanaan program pada khususnya; (3) Wawancara dilakukan dengan pengelola senior dari beberapa program dalam Kementeriaan/Lembaga terkait; (4) Telaah dokumen dilakukan secara sistematis terhadap dokumen perencanaan yang relevan, khususnya Rencana Strategis (Renstra) Kementerian/Lembaga yang memuat kebijakan, strategi, target/sasaran, termasuk program dan kegiatan pembangunan, framework dan piranti analisis dari beberapa Kementerian/ Lembaga terpilih; (5) Meta analisis terhadap hasil kajian perencanaan program yang responsif gender (2005); (6) Kuesioner sebagai kajian cepat untuk menjajagi dukungan, kelembagaan dan mekanisme PUG serta sumber daya manusia yang tersedia dan mampu melaksanakan analisis gender di Kementerian/Lembaga yang dikaji; (7) Debriefing dan konsultasi dengan para pengelola (unit) dan anggota staf (seperti Biro Perencanaan, Sekretaris (Ditjen) yang berkaitan dengan kegiatan PUG, gender focal point, Pokja Gender). Untuk tujuan kedua yaitu analisis gender terhadap program pembangunan maka metode yang digunakan adalah learning by doing 2 Opsional sifatnya, anggaran untuk gender dan PUG masih perlu didiskusikan dan disepakati bersama para pemangku kebijakan. Sebab itu, hanya beberapa Kementerian/Lembaga yang melengkapi pertanyaan dalam kuesioner, tetapi kebanyakan tidak dapat melengkapi. 8

melalui lokakarya. Lokakarya Analisis Gender untuk Perencanaan Program tersebut menggunakan piranti (tool) analisis Gender Analysis Pathway (GAP). Program program yang dianalisa merupakan pilihan oleh wakil wakil dari Kementerian/Lembaga yang diambil dari program pembangunan RPJMN 2004 2009. Data Data yang digunakan ada data sekunder (hasil pelaksanaan kajian PUG Tahun 2005 dan data data lainnya) dan data primer. Terdapat 3 (tiga) fokus pengumpulan data primer dan informasi yang digunakan yaitu: 1) Bagi Kementerian/Lembaga serta Provinsi/Kabupaten/Kota yang baru, kajian dilakukan dengan mengukur pada ketersediaan 5 (lima) aspek yang dianggap suatu keadaan ideal untuk melaksanakan PUG, ditambah satu aspek lagi yaitu ketersediaan gender budget; 2) Bagi Kementerian/Lembaga/Provinsi/ Kabupaten/Kota yang pernah dilakukan kajian, maka fokus kajian kali ini adalah dengan melihat dinamika dari 5 (lima) aspek tersebut di atas, serta aplikasinya; dan 3) Metode yang dipakai adalah kombinasi metode kuantitatif (kuesioner, desk review) dan kualitatif (interview mendalam dan FGD dengan nara sumber yang dianggap sebagai pengambil kebijakan, mengetahui/terlibat dengan perencanaan program/ kegiatan maupun pelaksanaan PUG). Diskusi partisipatif juga dilakukan dengan stakeholders terkait untuk mengidentifikasi masalah, tantangan, dan masukan/ rekomendasi. Sifat analisis adalah deskriptif. 9

2. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS Tujuan pertama melakukan kajian gender dalam perencanaan pembangunan adalah mengetahui sampai seberapa jauh Kementerian/Lembaga serta provinsi/kabupaten/kota yang dikaji melaksanakan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 serta peraturan perundang undangan lain yang mengikutinya, dengan fokus utama pada isuisu kritis dalam pelaksanaan PUG. 2.1. PELAKSANAAN PUG DI 18 KEMENTERIAN/LEMBAGA Sejumlah informasi telah terkumpul dari hasil kajian ini. Demi konsistensi dengan kajian serupa yang dilakukan pada tahun 2005 3 dan aggregasi temuan temuan, serta untuk keperluan diskusi dan melihat dinamikanya, maka data dan informasi dikelompokkan ke dalam lima aspek yang dikaji. Ke lima aspek tersebut dipilih karena merupakan prasyarat ideal untuk melaksanakan PUG, khususnya untuk suatu proses perencanaan pembangunan yang responsif gender 4. Aspek aspek tersebut adalah: 1) dukungan (Politik) dari pimpinan Kementeriaan/Lembaga; 2) ketersediaan wadah, baik struktural maupun fungsional yang memungkinkan PUG (berpotensi) terlembaga; 3) ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin; 4) SDM yang memahami dan mampu melaksanakan dan mengawal PUG; 5) jumlah program/kegiatan yang responsif gender. a. Dukungan Politik Dukungan politik merupakan cerminan dari komitmen para pimpinan Kementerian/Lembaga, yang seringkali dituangkan dalam bentuk payung hukum untuk melaksanakan PUG di institusi masing masing, seperti Surat Keputusan, Instruksi, Surat Perintah, Surat Edaran, dan lain lain. Dari segi capaian pelaksanaan PUG diukur dari terlaksananya sosialisasi internal atas keberadaan payung hukum tersebut, terutama di antara jajaran pimpinan lembaga (horizontal) dan di antara penanggung jawab program/kegiatan (vertikal). Meskipun telah tersedia berbagai payung hukum sebagai dukungan politk terhadap pelaksanaan PUG, namun kurang tersosialisasi secara baik 3 Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP), Evaluasi Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di 9 Sektor Pembangunan (2005) 4 Aspek ke 6 yaitu gender budget, tidak jadi dikaji, karena masih belum ada kesepakatan dalam memahami dan mendefinisikannya. 10

terutama di antara para pimpinan dan pembuat keputusan di Kementeriaan/Lembaga. Oleh karena itu keberadaannya seringkali hanya diketahui oleh orang orang yang tercantum namanya dalam SK tersebut. Umumnya para pimpinan/pengambil kebijakan banyak yang belum memahami konsep gender dan PUG serta manfaatnya 5. Oleh sebab itu meskipun PUG telah dikuatkan dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 dan dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004 2009, akan tetapi karena pemahaman mengenai gender/pug yang masih kurang, dan bahkan seringkali keliru, maka dukungan politik terhadap PUG masih lemah. Hambatan lain PUG adalah pendanaan yang kurang diperhitungkan saat perencanaan. SK yang dikeluarkan tentu berimplikasi pada pendanaan, yang karena bersifat ad hoc berarti alokasi dananya tidak direncanakan sebelumnya. Dari best practise seperti yang diperlihatkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, dan Departemen Pertanian, bahwa dukungan politik, payung hukum dan piranti lain (seperti Pedoman Pelaksanaan) bisa terbangun, jika ada prakarsa internal yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mempunyai komitmen tinggi, konsisten, dan didukung oleh orang orang yang kompeten. Data empirik memperlihatkan bahwa dukungan politik bisa tumbuh dari prakarsa (salah satu) unit kerja dengan program kegiatan yang responsif gender, dengan disertai upaya advokasi pada para pimpinan/pengambil kebijakan. Namun, perlu diwaspadai bahwa dukungan politik dapat melemah bila Surat Keputusan pelaksanaan PUG tidak efektif dipergunakan, sebagaimana halnya yang terjadi di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. b. Program yang Responsif Gender Dari evaluasi PUG 2005, diketahui bahwa 38 program (Propenas) yang sudah responsif gender, hampir tidak ada yang dilaksanakan, kecuali beberapa bagian kegiatan hasil dari pelatihan analisis gender yang pernah dilakukan. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya peralihan dari Propenas ke RPJMN 2004 2009, sehingga masing masing Kementerian/Lembaga menyesuaikan dengan misi dan fokus RPJMN 2004 2009. Penyebab lain adalah 38 program yang sudah dibuat gender responsif oleh individuindividu yang mengikuti pelatihan gender analisis, tidak otomatis menjadi dokumen resmi dari lembaga yang diwakilinya. Selain minimnya diseminasi internal hasil pelatihan gender, juga karena kedudukan individu tersebut di dalam lembaga yang diwakilinya tidak cukup kuat untuk meyakinkan 5 Banyak keluhan yang dilontarkan akan minimnya partisipasi para pimpinan dan pengambil keputusan dalam kegiatan sosialisasi dan advokasi PUG. 11

atasan/rekan kerjanya mengenai program/ kegiatan yang telah dibuatnya gender responsif. Yang sering tidak disadari adalah membuat rancangan program itu adalah suatu proses yang melibatkan banyak orang dan petahapan yang tidak selalu kondusif untuk menerima sesuatu yang baru seperti perspektif gender dalam perencanaan program. Beberapa butir penting yang berkaitan dengan program pembangunan yang responsif gender: 1) Kementeriaan/Lembaga sudah semakin terbuka menerima perspektif gender kedalam program dan kegiatanya, tetapi teknis pelaksanaannya masih menjadi kendala, demikian juga dengan hierarki birokratis pengambilan keputusan; 2) pejabat eselon 3 dan 4 yang sudah dilatih gender analisis untuk perencanaan program merupakan focal point gender dan ujung tombak pelaksanaan PUG di unitnya masing masing. Namun menghadapi kesulitan dalam meyakinkan pimpinan dan rekan kerjanya yang masih bias/buta gender; dan 3) proses perencanaan program dan kegiatan melibatkan berbagai pihak, termasuk yang berada di luar unitnya dan wewenangnya. c. Pelembagaan: Wadah struktural dan wadah fungsional Tidak semua Kementerian/Lembaga yang dikaji memiliki wadah atau kelembagaan yang mengurusi gender, baik kelembagaan struktural maupun fungsional. Sebagai contoh DKP dan LAN tidak/belum mempunyai kedua kelembagaan tersebut. Bahkan di antara Kementerian/Lembaga yang secara eksplisit memiliki kelembagaan akan tetapi bentuk, struktur serta fungsinya beragam. Tiga pola teridentifikasi: 1) kelembagaan fungsional; 2) kelembagaan dengan wadah struktural kombinasi dengan wadah fungsional; dan 3) belum mempunyai keduanya, baik wadah struktural maupun fungsional. Beberapa isu penting berkaitan dengan Kelembagaan: 1) Kedudukan yang rendah secara struktural. Masalah yang dihadapi kegiatan pelaksanaan PUG di Kementerian/Lembaga yaitu ketika yang mengurusi PUG berada di Eselon yang rendah. Secara struktural, di beberapa Kementerian/Lembaga yang mengurusi kegiatan PUG ditempatkan pada struktur eselon 3 (Departemen Sosial) atau echelon 4. Biasanya digabung bersama sama dengan urusan bidang lain, seperti agama, olahraga, dan seterusnya. Karena kedudukannya yang rendah secara struktural, sehingga tidak cukup kuat untuk melakukan pengawalan maupun melakukan terobosan terobosan kedalam sistim. Hal ini disebabkan karena adanya kesalahpahaman dalam memandang PUG. Umumnya PUG dianggap sebagai suatu program Wanita dalam Pembangunan. Hanya beberapa instansi seperti Depkes, Depdiknas, dan Deptan yang sudah mulai memperlakukan gender sebagai cross cutting issues dengan usaha melibatkan semua unit kerja vertikal dan horizontal; 2) 12

Wadah fungsional yang belum berfungsi optimal. Wadah fungsional seperti gender focal point, Dewan Pakar, gender fasilitator karena kedudukannya diluar struktur, bekerja lebih lentur sebab itu seharusnya lebih banyak berperan baik dalam mensosialisasikan gender dan PUG, maupun melaksanakannya. Tetapi tidak semua Kementerian/Lembaga memiliki wadah wadah fungsional ini. Wadah fungsional yang paling banyak dipunyai oleh Kementeriaan/Lembaga yang dikaji adalah focal point gender, meskipun tidak semuanya berfungsi optimal; 3) Peran serta keterlibatan Focal Point. Semua Kementerian/Lembaga yang dikaji memiliki focal point gender yang biasanya sudah terpapar dengan isu gender melalui seminar, sosialisasi, pelatihan, dan lain lain. Namun, mereka tidak mempunyai wewenang yang memadai untuk melakukan intervensi birokrasi, karena umumnya hanya merupakan eselon 3 atau 4; dan 4) peran Pokja Gender. Hampir semua Kementerian/Lembaga telah memiliki SK untuk membentuk Pokja gender/pug. d. Ketersediaan dan efektifnya sistem data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin Permasalahan ketersediaan data terpilah merupakan masalah lama yang belum terselesaikan di semua Kementerian/Lembaga yang dikaji. Depdiknas dan Depkes merupakan dua Kementerian yang sudah mempunyai data terpilah di tingkat dasar, yaitu di level sekolah dan Puskesmas. Akan tetapi seperti yang sering diutarakan dalam FGD maupun wawancara dengan responden, data yang sudah terpilah itu diagregat lagi di tingkat kecamatan. Alasan umum yang banyak disebutkan yaitu karena formulir dari atas (provinsi/nasional) memang tidak terpilah menurut jenis kelamin. Beberapa butir penting yang berkaitan dengan ketersediaan data terpilah: 1) isu yang menonjol sebenarnya adalah kurangnya komitmen politik pimpinan yang berwenang berkaitan dengan penyediaan dan penggunaan data yang terpilah menurut jenis kelamin dalam melakukan analisis untuk perencanaan; 2) kelangkaan data terpilah di hampir semua Kementerian/Lembaga merupakan suatu masalah serius yang sangat menghambat pelaksanaan PUG; dan 3) penggunaan data terpilah tersebut belum melembaga dalam perencanaan terbukti dari formulir standar masingmasing Kementerian/Lembaga yang tidak di disaggregasi. e. Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) SDM yang mau dan mampu melaksanakan dan mengawal pelaksanaan PUG masih amat sedikit. Berbagai kegiatan capacity building 13

sudah banyak dilakukan di sebagian besar Kementerian/Lembaga dengan mengundang pakar, dari Kemeneg. PP maupun dari sumber internal dan eksternal, akan tetapi hasilnya belum cukup memadai. Beberapa butir penting yang berkaitan dengan kurangnya SDM yang handal melakukan dan mengawal PUG: 1) mengingat kekurangan tersebut karena seringnya rotasi pejabat dan masih banyaknya pejabat yang belum memahami konsep gender dan aplikasinya, maka sosialisasi dan capacity building untuk tiap tiap Kementerian/Lembaga perlu ditingkatkan; 2) materi dan metode penyampaian yang diberikan dalam capacity building harus disesuaikan dengan keperluan dan latarbelakang peserta; dan 3) advokasi mengenai gender dan PUG sangat esensial bagi para pimpinan lembaga agar mereka lebih responsif, aspiratif dan akomodatif terhadap isu gender dan pelaksanaan PUG. 2.2. PELAKSANAAN PUG DI DAERAH Isu gender dalam pembangunan di daerah tepat waktu dan tepat asas, tetapi berpotensi luput menggunakan kesempatan. Tepat waktu, karena Inpres No. 9 Tahun 2000 datang bersamaan dengan adanya pergeseran dari sentralistik ke desentralistik melalui otonomi daerah. Kesempatan besar itu sekaligus merupakan tantangan luar biasa bagi daerah, karena daerah diharapkan dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan terobosan terobosan, melalui program/kegiatan pembangunan termasuk pelaksanaan PUG yang lebih cocok dengan keadaan dan aspirasi daerah. Namun harapan besar ini kemungkinan besar luput dimanfaatkan daerah. PUG di telah dilengkapi dengan sejumlah payung hukum, yaitu: 1) KepMendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah; 2) Surat Edaran Mendagri No. 411 Tahun 2006 tentang Percepatan Pelaksanaan Program PP dan PUG di Daerah; dan 3) Peraturan Mendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Indikator Kinerja (meskipun tidak spesifik, tetapi relevan bagi pelaksanaan PUG). Masing masing daerah pun telah menindaklanjutinya dengan kesepakatan politik dalam berbagai bentuk. 6 Semua provinsi, kabupaten/kota yang dikaji sudah memiliki wadah struktural dan fungsional mengelola/mengawal pelaksanaan PUG. Akan tetapi pada tatanan praksis, kecuali di beberapa provinsi/kabupaten/kota, implementasinya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Secara umum pelaksanaan PUG di tatanan perencanaan pembangunan belum terlaksana baik. Akan tetapi beberapa daerah telah menunjukkan kesungguhannya. Desentralisasi yang dinyatakan efektif per tanggal 1 Januari 2001 telah secara nyata berpengaruh terhadap pelaksanaan PUG di daerah. 6 Lihat bagian Kesepakatan politik 14

Pelimpahan wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah dengan hampir tanpa limitasi dan kondisi, bukan tanpa konsekuensi. Sementara itu, pemahaman mengenai gender dan PUG masih rancu. Demikian juga halnya dengan detail prosedur standar operasional untuk melaksanakan PUG juga belum tersedia, meskipun sebenarnya sudah dikeluarkan KepMendagri No. 132 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah. Hasilnya adalah tanggapan daerah beragam dalam interpretasi dan bersikap terhadap pelaksanaan PUG ini. Pada umumnya, pemahaman mengenai gender dan PUG direduksi sebagai suatu program, khususnya program yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan. Sebab itu dalam struktur administrasi ditempatkan bercampur bersama sama dengan program program lain pada satu unit kerja (eselon 4 atau 3). Karena umumnya, karena pemahaman yang kurang tersebut, maka gender dan PUG tidak ditempatkan sebagai prioritas dalam rancangan pembangunan. Hal ini bertolak belakang dengan RPJMN 2004 2008 yang menekankan PUG sebagai suatu strategi pembangunan yang harus diarusutamakan ke dalam keseluruhan proses perencanaan pembangunan. Namun ada beberapa daerah yang lebih tanggap dan menempatkan isu gender dalam proses perencanaan secara bermakna dan menempatkan wadah yang mengurusi PUG pada struktur yang lebih instrumental yaitu di eselon 2. Dalam proses melaksanakan PUG di era desentralisasi yang keduaduanya relatif baru di Indonesia ini sulit untuk mendokumentasikan semua isu dan pengalaman yang mempunyai dampak yang luas dan berjangka panjang. Lagipula, masih terlalu dini untuk menilai apakah pelaksanaan PUG di daerah sudah berjalan sebagaimana diharapkan, mengingat umur keduanya (PUG dan desentralisasi) belum cukup 8 tahun. Beberapa butir penting yang (berpotensi) berdampak terhadap jalanya pelaksanaan PUG didaerah. 2.3. Lessons Learned Lessons Learned yang harus dicermati: 1) pemahaman yang masih sering keliru tentang pelaksanaan desentralisasi dan PUG, sangat berpotensi mereduksi PUG menjadi program atau bahkan menjadi kegiatan; 2) sosialisasi gender dan pelatihan analisis gender diperlakukan seperti proyek dengan waktu pelatihan yang kurang memadai, sehingga hasilnya pemahaman mengenai gender dan kemampuan analisis gender rendah/kurang memadai; 3) dukungan politik pelaksanaan PUG (SK Gubernur, Bupati, Walikota) tidak disosialisasikan; (4) ketersediaan data terpilah menurut jenis kelamin masih belum terlembaga dan kurang mendapat dukungan politik untuk melembagakannya. Konsekuensinya kebijakan dan perencanaan program pembangunan dibuat tidak berdasarkan data yang memadai; 5) keharusan 15

melakukan analisis gender dalam perencanaan masih belum melembaga; 6) orang yang mendapatkan pelatihan analisis gender dan sosialisasi gender tidak selalu orang yang terlibat dalam proses perencanaan program/kegiatan pembangunan, bahkan juga bukan orang yang bisa mempengaruhi pengambil keputusan, sehingga tidak bisa memastikan program/kegiatan pembangunan yang dihasilkan telah responsif gender; 7) di beberapa daerah yang dikaji, fokus PUG masih terlalu luas dan bersifat umum, sehingga berpotensi gagal. Beberapa daerah menyikapi keadaan ini dengan lebih bijak, yaitu berfokus pada isu strategis yang menjadi kepedulian bersama. Misalnya di Provinsi Sumatera Utara berfokus pada beberapa isu yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hak asasi anak, serta trafficking; dan 8) tidak semua Pokja Gender di daerah berfungsi, misalnya tidak ada agenda kerja, tidak ada pertemuan (rutin). Namun di sebagian daerah seperti Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Jawa Tengah, Pokja berfungsi dengan baik, sesuai tujuannya. Di Provinsi Sumatera Utara misalnya, Pokja dibagi ke dalam beberapa gugus tugas sesuai dengan isu yang ditangani. Dengan demikian, Pokja bekerja dengan fokus yang lebih jelas dan terukur dalam menangani permasalahan. Bentuk kelembagaan fungsional seharusnya melibatkan stakeholders internal maupun eksternal sehingga menciptakan jejaring kerja yang luas dan beragam. Proses pelaksanaan PUG tidak selalu berjalan linier dengan prasyaratan. Walaupun suatu Kementerian/Lembaga atau SKPD provinsi/kabupaten/ kota telah memiliki sebagian besar dari 5 prasyarat PUG, namun pelaksanaan PUG tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, terdapat instansi yang telah melaksanakan PUG meskipun baru pada program/kegiatan terbatas, tanpa kelengkapan prasyaratan ideal. Proses pelaksanaan PUG umumnya dapat dibagi ke dalam 3 pola umum 7. Pola pertama adalah yang masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan ideal seraya tetap melanjutkan program/kegiatan Perempuan dalam Pembangunan (WID). Pola kedua adalah yang masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan ideal tetapi sudah mempunyai (beberapa) program/kegiatan dengan mengaplikasikan strategi PUG, walaupun masih bersifat ad hoc. Pola ketiga adalah kondisi prasyaratan ideal masih 7 Ketiga pola tersebut bersifat arbitrar, yaitu bertolak dari opini umum. Dalam kajian ini bentuk kategorisasi tersebut dipakai untuk kepentingan diskusi. Karena dalam kenyataan tidak terjadi kategorisasi yang eksklusif, selalu saja ada proses serta unsur masing-masing pola bercampur satu dengan lainnya. 16

belum terpenuhi, sudah melaksanakan PUG dengan fokus pada isu isu tertentu. Akan tetapi kegiatan masih terisolasi sebagai kegiatan Pokja atau unit kerja yang berinisiatif. PUG belum dipakai sebagai strategi untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam perencanan program pembangunan dan juga belum dilihat sebagai isu lintas bidang/unit kerja (cross cutting issue). Pola pertama, merupakan pola yang paling umum ditemukan di daerah. Pelaksanaan PUG di daerah umumnya masih pada tahap proses kelengkapan prasyaratan, belum sampai pada aplikasi pelaksanaan PUG. Semua daerah yang dikaji, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, telah memiliki SK Gubenur/Bupati/Walikota yang berkaitan dengan pembentukan tim (koordinasi) Pokja Gender. 8 Namun tidak selalu semua stakeholders terkait bahkan di kalangan internal lembaga/unit kerja baik vertikal maupun horizontal mengetahui keberadaan payung hukum tersebut. Umumnya, hanya orang orang yang terlibat langsung atau namanya tercantum dalam Surat Keputusan tersebut yang mengetahui keberadaannya. Pola kedua tidak jauh berbeda dengan pola pertama. Keduanya masih dalam tahap proses memenuhi prasyaratan. Masalah masalah yang ditengerai pada pola pertama, juga merupakan masalah di pola kedua. Perbedaannya adalah pada pola kedua sudah mempunyai (beberapa) program/kegiatan PUG meskipun seringkali masih bersifat ad hoc. Di beberapa Pemerintah Daerah dan juga SKPD, tanpa menanti terpenuhinya 5 prasyaratan tersebut, telah melakukan pengarusutamaan gender di beberapa program/kegiatan pembangunannya. Kementerian/Lembaga terkait serta lembaga donor memegang peran penting dalam proses ini yaitu melalui program block grant (Kementerian/Lembaga) maupun melalui lembaga donor dalam bentuk proyek ujicoba. Depdiknas misalnya memberikan block grant untuk beberapa kegiatan program pembangunan pendidikan yang responsif terhadap isu gender pada satuan kerjanya di daerah 9. Program/kegiatan yang responsif gender juga dibawa oleh lembaga donor/agensi internasional seperti misalnya dalam bentuk proyek ujicoba ataupun bantuan teknis lainnya, melalui Pemda atau SKPD terpilih. Sebagai contoh Kabupaten Bogor dari ADB; Kabupaten Wonosobo dari UNFPA; Propinsi Sulawesi Selatan dari CIDA; kabupaten kabupaten Gowa, Lebak, dan Jayapura dari UNDP. Selain itu, Kemeneg PP sudah 3 tahun terakhir ini memberikan dana stimulan ke daerah. Pada mulanya dana 8 9 Di beberapa Daerah disebut TP4 (Tim Pengelola Program Pemberdayaan Perempuan, dikeluarkan dengan SK Gubernur. Berkaitan dengan PUG, Depdiknas memberi prioritas pada beberapa isu kritis, yaitu: kebijakan, bahan ajar, dan capacity building. 17

stimulan dimaksudkan untuk mendorong daerah mengaplikasikan Inpres No.9 Tahun 2000. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, masing masing kedeputian Kemeneg PP juga mempunyai dana stimulan yang dipakai sesuai dengan masing masing misi kedeputian. Pola ketiga diwakili oleh Depkes, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Kedua provinsi ini termasuk yang telah maju dalam usaha melaksanakan PUG. 10 Dengan atau tanpa bantuan block grant, dana stimulan dan sejenisnya, Biro Pemberdayaan Perempuan sudah menjadi motor untuk pelaksanaan PUG. Fenomena yang menarik untuk disebutkan adalah bahwa kemajuan yang dicapai itu pada umumnya tidak lepas dari tokoh ( the singer) yang menahkodai kegiatan ini, yang pada umumnya faham terhadap apa yang mau dilakukan, penuh inisiatif, percaya pada apuhnya jejaring dengan melibatkan stakeholders yang terkait. Selain itu, semua instansi yang dimasukkan kedalam pola ketiga, semuanya menempatkan pengelola PUG ada dalam struktur birokrasi yang cukup tinggi (eselon 2). 2.4. Analisa Gender Dalam Perencanaan Program/Kegiatan Pembangunan: Kementerian/Lembaga Terpilih Tujuan kedua dari kajian adalah menghasilkan beberapa perencanaan program/kegiatan pembangunan terpilih yang responsif gender dari beberapa Kementerian/Lembaga yang dikaji. Beberapa Kementerian/Lembaga yang dikaji tersebut sebenarnya sudah mempunyai beberapa program yang responsif gender sebagai hasil dari kegiatan capacity building yang pernah diadakan oleh Bappenas dan KPP di tahun 2001 2002 di 9 Kementerian/Lembaga terpilih. Sebagai hasilnya, dalam REPETA (2001 2004) yang kemudian diganti menjadi PROPENAS (2001 2004), tercatat 38 program pembangunan yang merupakan tanggung jawab dari 9 Kementerian/Lembaga tersebut yang sudah responsif terhadap isu gender. 11 2.4.1. Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari kegiatan bersama menganalisa gender ini adalah: 1) Kementeriaan/Lembaga terpilih memiliki beberapa (rancangan) program pembangunan yang responsif gender; 2) adanya transfer of knowledge, karena kegiatan bersama menganalisa gender ini sekaligus dimaksudkan sebagai bagian 10 Keduanya mendapatkan Parahita Eka Praya, suatu penghargaan yang diberikan oleh Kemeneg PP berkaitan dengan pelaksanaan PUG di daerah masing-masing. 11 Lihat Bab 1 18

dari capacity building melalui learning by doing, melakukan analisis gender dan mengintegrasikan isu gender ke dalam program/program kegiatan mereka sendiri; 3) membangun kepemilikan melalui keterlibatan langsung, sehingga pengalaman dan keterampilan yang didapat dari kegiatan bersama ini membangun rasa kepemilikan (sense of ownership); dan 4) membangun jejaring, sebab bekerja bersama dengan stakeholder lainnya akan membangun jejaring kuat yang diperlukan dalam melaksanakan PUG. 2.4.2. Proses Analisis Kegiatan analisis gender dirancang dalam bentuk suatu lokakarya pelatihan analisis gender berdurasi 3 hari. Dari 18 Kementerian/Lembaga peserta lokakarya, 9 diantaranya (Kemeneg KUKM, Kemeneg LH, Dephukham, Depdiknas, Depkes, Deptan, Depnakertrans, dan Depsos) adalah alumni dari dari kegiatan piloting PUG Bappenas KPP 2001 2002. Peserta dari masing masing Kementerian/Lembaga yang diundang sebanyak 2 orang dan diharapkan berasal dari atau mereka yang berkaitan dengan perencanaan program. Masing masing peserta membawa dan bekerja dengan menggunakan program/kegiatan atau tema yang dipilih. Beberapa Kementerian/Lembaga peserta lokakarya membawa program/kegiatan yang akan dianalisa, yaitu: 1) Depkes (Program Upaya Kesehatan Masyarakat dan Program Sumber Daya Kesehatan melalui Inisiatif Desa Siaga ); 2) Depdiknas (Program Pendidikan Non Formal melalui Inisiatif Pemberantasan Buta Aksara); 3) Depsos (Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil, dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Lainnya melalui Kegiatan Usaha Ekonomi Produktif dan Usaha Kesejahteraan Sosial); 4) Deptan (Program Peningkatan Kesejahteraan Petani melalui Inisiatif Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan); 5) Kemeneg KUKM (Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro melalui Inisiatif PERKASA); 6) Depnakertrans (Program Peningkatan Kualitas dan Produktivitas Tenaga Kerja melalui perlindungan TKW); 7) LAN (Program Sumber Daya Manusia Aparatur melalui Kegiatan Peningkatan kemampuan manajerial dan kepemerintahan). Waktu. Kesulitan pertama adalah mencari waktu yang tepat bagi fasilitator dan peserta dari 18 Kementerian/Lembaga. Kesibukankesibukan rutin dan yang bersifat ad hoc di internal lembaga masing masing, membuat waktu mereka terbatas untuk menghadiri pelatihan; hari pelatihan yang telah ditetapkan itupun tidak dapat dipenuhi oleh sebagian peserta. Sehingga diputuskan 19

masing masing kelompok hanya akan mengikuti lokakarya dalam 1 hari saja, dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Lokakarya untuk 3 kelompok itu diadakan tanggal 2,3 dan 5 Oktober 2007. Penyajian dari para peserta tidak dapat dilakukan semuanya, sehingga sebagian luput dari komentar para fasilitator. Beberapa Kementerian/Lembaga terutama yang sudah terpapar dengan pelatihan analisis gender sudah mempersiapkan program yang sudah dianalisis sebelumnya, sehingga waktu dilokakarya dipakai untuk diskusi dengan fasilitator. Bagi yang tidak selesai, pekerjaan itu dibawa kembali ke instansi masing masing untuk dibahas secara internal. Hasilnya kemudian diserahkan kepada fasilitator untuk mendapat komentar dan perbaikan. Akan tetapi, tidak semua pekerjaan kembali lagi ke fasilitator. Beberapa matriks hasil program/kegiatan yang sudah responsif gender terlampir (lihat lampiran). Peserta. Ada 2 Kementerian/Lembaga (PAN dan Depdagri) yang tidak mengirimkan wakilnya dalam lokakarya. Dengan demikian, hanya ada wakil dari 16 Kementerian/Lembaga yang berpartisipasi dalam lokakarya. Meskipun telah diminta dalam undangan untuk mengirimkan wakilnya dari Biro Perencanaan, akan tetapi peserta yang datang dan berpartisipasi tidak selalu orang yang tepat. Pemahamaan tentang gender dan analisisnya juga masih terbatas, sehingga harus dilakukan penjelasan mengenai konsep konsep dasar gender dan PUG, mengapa perlu dilakukan analisis gender. Waktu lokakarya terpaksa dibagi sebagian untuk sosialisasi gender, dan sisanya untuk analisis gender. Dengan demikian, telah mengurangi waktu untuk melakukan analisis gender yang memang sudah terbatas itu. Akibatnya hasil analisis gender menjadi kurang optimal. Fasilitator. Hanya tersedia 2 fasilitator untuk memfasilitasi para peserta dari berbagai Kementerian/Lembaga setiap hari selama lokakarya. Keterbatasan ini turut mengurangi efektivitas lokakarya, sebab para peserta harus antri dalam mendapatkan kesempatan berkonsultasi dengan fasilitator. Materi. Masing masing peserta lokakarya diharapkan untuk membawa program/ kegiatan ataupun kebijakan yang dipilih berikut data data yang diperlukan. Akan tetapi seperti disebutkan diatas tidak semua peserta membawa program/kegiatannya. Fasilitator menyiapkan materi yang berkaitan dengan PUG serta menyajikannya berserta piranti analisis gender GAP. Fasilitator menerangkan lebih lanjut tentang piranti analisis gender GAP ketika mendampingi dan membantu peserta selama mereka 20

bekerja dalam kelompok. Hasil analisis berupa matriks yang sebagian besar masih memerlukan perbaikan perbaikan. 2.4.3. Hasil Analisis Gender dan PUG di Kementerian/Lembaga Terpilih Dari hasil lokakarya sehari melakukan analisis gender pada program/kegiatan yang diikuti oleh wakil dari 15 Kementerian/Lembaga, memperlihatkan ada beberapa Kementerian/Lembaga lebih siap dalam melakukan analisis gender. Tampaknya ada hubungan yang positif antara kesiapan melakukan analisis gender dengan faktor keterpaparan (expose) Sumber Daya Manusia/ kementerian/lembaga yang bersangkutan dengan analisis gender. Hal ini misalnya diperlihatkan oleh Kementerian/Lembaga antara lain seperti Depkes, Depdiknas, Depsos, Deptan, Kemeneg KUKM, Depnakertrans, LAN. Kementerian/Lembaga yang disebutkan tadi kecuali LAN adalah alumni dari kegiatan piloting PUG yang diprakarsai oleh Bappenas dan KPP dengan difasilitasi CIDA melalui Women Support Project II (2001 2002). Namun demikian, tidak semua Kementerian/ Lembaga alumni piloting PUG tersebut melanjutkan keterampilan yang sudah didapat sebelumnya. Kemeneg LH dan Dephukham, misalnya, yang juga merupakan alumni model pilot PUG Bappenas KPP tidak memperlihatkan keterampilan analisis itu dalam lokakarya. 2.4.4. Beberapa Isu Kritis Tujuan utama dari mengadakan lokakarya pelatihan analisis gender bagi Kementerian/Lembaga adalah menghasilkan (beberapa) program/kegiatan yang responsif gender. Hasil lokakarya memperlihatkan beberapa program sudah tanggap terhadap isu gender, meskipun masih harus disempurnakan. Sebagian besar masih memerlukan perbaikan perbaikan. Agar hasil dari lokakarya itu bermanfaat dan operasional, beberapa isu kritis ditengerai: 1) Diseminasi dan pengawalan program/kegiatan yang sudah digenderkan harus dilakukan. Analisis gender adalah salah satu langkah pelaksanaan PUG dalam siklus perencanaan program; 2) perlu mengetahui dan memahami bagaimana proses dan mekanisme perencanaan program dibuat. Pengarusutamaan gender itu masuk dan terintegrasi pada tiap tahapan perencanaan itu dibuat. Analisis gender pada program/kegiatan adalah salah satu tahapan. Sering dipahami rancu, seolah olah dengan selesainya suatu program/kegiatan menjadi gender responsif, PUG telah dilaksanakan; dan 3) melibatkan banyak aktor. Tahapan tahapan sebelum dan sesudah melakukan analisis gender, melibatkan banyak aktor yang belum tentu sudah gender sensitif. Hal ini yang sering luput dari perhatian. Sebab itu 21

membangun kepemilikan (ownership) dari program/kegiatan yang sudah responsif gender itu menjadi penting. 22

Kesimpulan 3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Inpres No. 9 tahun 2000 mengenai keharusan semua sektor pembangunan untuk melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG), merupakan tonggak penting dalam sejarah terhadap segala usaha untuk mencapai kesetaraan gender yang merupakan bagian dari Hak Azasi Manusia dan Keadilan Sosial. Hampir satu dekade telah berlalu sejak dikeluarkannya Inpres tersebut telah cukup banyak hasil yang diperlihatkan, akan tetapi masih lebih banyak lagi yang harus dilakukan. Salah satu keberhasilan pelaksanaan PUG dalam pembangunan adalah bahwa Kementerian/Lembaga, Provinsi serta Kabupaten/Kota yang dikaji sebagian besar telah memiliki empat atau lima unsur ideal PUG, yaitu dukungan politik, kelembagaan, program yang responsif gender, data dan informasi terpilah menurut jenis kelamin, dan SDM yang handal gender Akan tetapi, hasil kajian ini dan juga merujuk dari hasil dua kajian terlebih dahulu yang dilakukan oleh Bappenas dan KPP tahun 2005 dan 2007 mengindikasikan bahwa baik di tingkat nasional (Kementerian/Lembaga) maupun di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota, ditemukan beberapa masalah utama yang menghambat/memperlambat PUG. Walaupun sosialisasi gender relatif sering dilakukan, bahkan sejumlah Kementerian/Lembaga yang sudah melaksanakan pelatihan analisis gender, namun pemahaman sebagian besar para pejabat Kementerian/Lembaga mengenai konsep gender dan PUG masih kurang, bahkan rancu. Seringkali kerancuan itu berkaitan dengan rendahnya pemahaman tentang beberapa konsep dasar, seperti gender dan kesetaraan gender, dimana gender diartikan sama dengan perempuan; kerancuan dalam penggunaan istilah istilah keadilan gender, kesetaraan gender, responsif gender, perspektif gender, dan seterusnya. Rekomendasi - Direkomendasikan untuk melakukan evaluasi secara berkala setiap tahun mengenai dampak serta metode sosialisasi dan pelatihan gender. - Penguatan dasar hukum PUG baik di tingkat nasional maupuan daerah dengan regulasi dan peraturan daerah yang lebih memadai. - Perencanaan bertahap yang menjelaskan dengan cukup rinci kegiatankegiatan dan sasaran capaian yang diharapkan dalam kurun waktu tertentu, baik di tingkat nasional maupun daerah. - Data terpilah menurut jenis kelamin dilembagakan di semua program dan kegiatan Kementerian/Lembaga dan Pemda/SKPD. 23

- Sebaiknya KPP didukung oleh Bappenas dan pakar gender dapat menerbitkan telaah berbagai piranti yang ada dengan memberi penjelasan mengenai tujuan dan kegunaannya. - Pengawalan dari KPP, Bappenas, Biro PP serta Bappeda, dan juga dibantu oleh Pokja Gender diperlukan saat penyusunan RKP dan saat pengalokasian anggaran, hingga pelaksanaan program yang responsif gender dapat terwujud, dengan melibatkan legislatif dan Civil Society Organisations (CSOs). - Direkomendasikan adanya fasilitasi bagi pakar Gender, ahli komunikasi dan ahli yang relevan lainnya untuk menyusun materi dan mendesain metode KIE yang paling efektif untuk setiap target audience. - Dalam sosialisasi PUG dan pelatihan analisis gender, diperlukan narasumber dari bagian perencana (Bappenas dan Bappeda), selain narasumber gender. Selain itu, perlu digarisbawahi bahwa target audience sosialisasi/ pelatihan adalah yang dapat menindaklanjuti hasil sosialisasi/ pelatihan. - Rekomendasi untuk perencanaan pembangunan 5 (lima) tahun mendatang dalam rangka PUG: Data terpilah menurut jenis kelamin menjadi mandatori di semua bidang pembangunan Keluaran dan sasaran dari setiap program pembangunan mencerminkan perspektif gender - Rekomendasi PUG di Bappenas: Memasukkan analisis gender dengan piranti GAP dalam kurikulum peningkatan kapasitas SDM perencana. Advokasi dan sosialisasi gender di lingkungan Bappenas. 24

BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Strategi pengarusutamaan gender (PUG) ke dalam proses pembangunan dewasa ini semakin diakui sebagai kebutuhan pembangunan nasional. Hal tersebut diperkuat dengan telah disahkannya Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional, yaitu suatu Instruksi Presiden kepada semua Menteri, Lembaga Tinggi Negara, Panglima Angkatan Bersenjata, Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melakukan PUG dalam setiap tahap pembangunan dari seluruh kebijakan dan program pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi. Adapun peraturan lain yang berkaitan dengan PUG, antara lain adalah: Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025; Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009, yang antara lain menyebutkan tentang peningkatan kualitas hidup perempuan merupakan salah satu dari agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis; dan Perpres No. 39 Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006, dan Perpres No. 19 Tahun 2006 tentang RKP Tahun 2007, yang menetapkan PUG sebagai salah satu prinsip pengarusutamaan yang harus dilakukan dalam seluruh kegiatan pembangunan. Sejak tahun 2001, pelaksanaan PUG pada tahap perencanaan program telah mulai berjalan. Sejumlah sosialisasi dan pelatihan analisis gender dilakukan di tingkat pusat yang menghasilkan 19 program pembangunan (Propenas 2000-2004) yang responsif gender di 5 (lima) bidang pembangunan, yang meliputi ketenagakerjaan, pendidikan, hukum, 25

pertanian, dan koperasi dan usaha kecil dan menengah (KUKM). Jumlah program tersebut di atas bertambah menjadi 38 program (hingga Repeta 2004), dengan menambahkan lagi 4 (empat) bidang lainnya yaitu: kesejahteraan sosial, keluarga berencana, kesehatan, dan lingkungan hidup 12. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh implementasi dari perencanaan 38 program Repeta 2001-2004 yang sudah responsif gender tersebut, pada tahun 2005 Bappenas bekerjasama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KPP) melakukan kajian di 9 (sembilan) sektor pembangunan yang mencakup 12 Kementerian/Lembaga terpilih. Selain itu, kajian juga diperluas dengan menambah kajian pelaksanaan PUG di daerah, yaitu dengan mengambil 3 (tiga) provinsi dan 3 (tiga) kabupaten/kota yang dipilih secara acak. Ketiga provinsi dan kabupaten/kota tersebut adalah: Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat, Provinsi Kalimantan Barat dan Kota Pontianak, serta Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Sidoarjo. Untuk keperluan kajian tersebut, terdapat 5 (lima) aspek yang dikaji. Kelima aspek tersebut dianggap merupakan prasyarat dalam proses melaksanakan PUG. Aspek-aspek tersebut adalah: a) dukungan politik; b) kebijakan/program/kegiatan yang responsif gender; c) tersedianya kelembagaan PUG; d) data dan informasi yang terpilah menurut jenis kelamin dalam sistem; dan e) kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam melaksanakan dan mengawal PUG. 13 Hasil kajian pelaksanaan PUG (Bappenas, 2005) tersebut memperlihatkan bahwa: 1) implementasi dari perencanaan 38 program Repeta 2001-2004 yang sudah responsif gender tersebut dapat dikatakan sebagian besar belum terlaksana; 2) meskipun sudah ada kemajuan, akan tetapi secara umum pelaksanaan PUG belum berjalan dengan baik. Beberapa penyebab utamanya adalah sebagai berikut: 12 13 Sebanyak 38 program pembangunan dari 9 sektor ini merupakan bagian kegiatan pemula pengintegrasiaan gender ke dalam perencanaan program pembangunan yang dilakukan Bappenas bersama dengan sektor terkait. Sektor-sektor tersebut dipilih berdasarkan berbagai pertimbangan, antara lain: 1) dianggap sudah siap untuk pelaksanaan PUG; dan/atau 2) dianggap cukup banyak mengandung isu gender; dan/atau 3) dianggap sektor yang sangat instrumental/mempunyai daya ungkit tinggi. Lima aspek pendukung yang diperlukan untuk melaksanakan PUG (Referensi, KPP). 26