BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana. Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidup,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

Wacana Pasal Penghinaan Presiden atau Wakil Presiden Dalam RUU KUHP Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 28 Agustus 2015; disetujui: 31 Agustus 2015

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB I PENDAHULUAN. melekat pada diri masing-masing individu. Hal itu cukup beralasan, betapa tidak,

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipidana jika tidak ada kesalahan ( Green Straf Zonder Schuld) merupakan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet) dan kelalaian (culpa). Seperti

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCURIAN DANA NASABAH BANK MELALUI MODUS PENGGANDAAN KARTU ATM (SKIMMER) DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 363 AYAT (5) KITAB UNDANG-

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN [LN 1983/49, TLN 3262]

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN (LIE DETECTOR) PADA PROSES PERADILAN PIDANA

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Uumum Tindak Pidana Pengancaman menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. a. Pengertian pengancaman di dalam KUHP Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat dua macam pemerasan. Tindak pemerasan yang pertama adalah Bentuk tindak pidana pemerasan yang kedua adalah "pengancaman". Dalam bahasa Inggris tindak pidana "pengancaman" ini dikenal dengan nama blackmail, sedang dalam bahasa Perancis dikenal dengan istilah chantage. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa tindak pidana yang diatur dalam Pasal 368 dan 369 KUHP sama-sama merupakan pemerasan. Perbedaannya hanya terletak pada cara-cara yang digunakan dalam kedua tindak pidana itu. Tindak pidana dalam Pasal 368 KUHP yang lazim disebut "pemerasan" menggunakan "kekerasan atau ancaman kekerasan" sedangkan tindak pidana dalam Pasal 369 KUHP yang lazim disebut sebagai "pengancaman" menggunakan cara "pencemaran baik lisan maupun tertulis". Ketentuan Pasal 369 KUHP selengkapnya berbunyi : (1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran baik lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, atau supaya memberikan hutang atau menghapus piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena kejahatan. b. Unsur - Unsur tindak pidana pengancaman dalam Pasal 369 KUHP adalah: 1) Unsur - Unsur obyektif, yang meliputi : a) Memaksa. b) Orang lain. c) Dengan ancaman pencemaran baik lisan maupun tulisan atau ancaman akan membuka rahasia. d) Supaya memberi hutang.

e) Menghapus piutang. 2) Unsur - Unsur subyektif, yang meliputi : a) Dengan maksud. b) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 369 ayat (2) KUHP tindak pidana pengancaman ini merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat dituntut atas pengaduan. Dengan demikian, tanpa adanya pengaduan, tindak pidana pengancaman ini tidak dapat dituntut. 2. Tinjauan Umum Tentang Pengancaman di Dalam Undang-undang ITE. Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal 45 ayat (3) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana penjara paling lama 12(dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). 3. Tinjauan Umum Tentang Pembunuhan dalam KUHP a. Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh, perbuatan membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Definisi tersebut, maka tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang. Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai Pasal 350. Melihat lebih dalam dalam kasus yang diangkat penulis sebagai penelitian, Pasal yang digunakan sebagai komparasi adalah Pasal 338 KUHP. Terkait dengan tindak pidana pembunuhan, telah diatur antara lain dalam Pasal 338 KUHP, Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. b. Unsur-unsur pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP Unsur-unsur pembunuhan dalam Pasal 338 KUHP, dapat dibagi menjadi 2

(dua) kategori, yaitu unsur Objektif dan Unsur Subjektif. Unsur objektif terkait dengan perbuatan yang dilakukan, kualitas perbuatan itu dan hubungan kausalitas di dalamnya. Unsur ini terdiri dari perbuatan menghilangkan nyawa dan objeknya yaitu nyawa orang lain. Unsur selanjutnya adalah unsur subjektif. Unsur ini terkait dengan pelaku tindak pidana yaitu unsur dengan sengaja. Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 338 KUHP yang dikemukakan oleh Andi Abu Ayyub Saleh adalah sebagai berikut: 1) Dengan sengaja a) Unsur sengaja meliputi tindakannya dan objeknya, artinya si pembuat atau pelaku mengetahui atau mengkehendaki adanya orang mati dari perbuatannya tersebut. Hilangnya jiwa seseorang harus dikehendaki dan harus menjadi tujuan, sehingga karenanya perbuatan yang dilakukan tersebut dengan suatu maksud atau tujuan yakni adanya niat untuk menghilangkan nyawa orang lain. b) Jika timbulnya akibat hilangnya jiwa orang lain tanpa dengan sengaja atau bukan menjadi tujuan atau bukan bermaksud dan tidak pernah diniatkan tidaklah dapat dikatakan sebagai pembunuhan (doogslag) in casu tidak dapat dikenakan ketentuan tindak pidana pembunuhan tersebut tetapi mungkin dapat dikenakan tindak pidana lain yang mengakibatkan orang mati tetapi tidak dengan unsur sengaja. c) Baik timbulnya akibat maupun perbuatan yang menimbulkannya harus dilakukan dengan sengaja, jadi pelaku atau pembuat harus mengetahui dan menghendaki bahwa dari perbuatannya itu dapat bahkan pasti mengakibatkan adanya orang mati. d) Untuk memenuhi tindak pidana pembunuhan dengan unsur sengaja yang terkadang dalam Pasal 338 KUHP ini disyaratkan bahwa perbuatan pembunuhan tersebut harus dilakukan sesegera mungkin sesudah timbulnya suatu maksud atau niat untuk membunuh tidak dengan pikir-pikir atau tidak dengan suatu perencanaan. e) Unsur sengaja ini dalam praktek seringkali sulit untuk

membuktikannya, terutama jika pemuat atau pelaku tersebut licik ingin menghindar dari perangkat tindak pidana tersebut. Karena unsur dengan sengaja adalah unsur subjektif adalah unsur batin si pembuat yang hanya dapat diketahui dari keterangan tersangka atau terdakwa di depan pemeriksaan penyidik atau didepan pemeriksaan persidangan, kecuali mudah pembuktiannya unsur ini apabila tersangka atau terdakwa tersebut memberi keterangan sebagai pengakuan artinya mengakui terus terang pengakuannya bahwa kematian si korban tersebut memang dikehendaki atau menjadi tujuannya. f) Pada umunya kasus-kasus tindak pidana pembunuhan si tersangka atau terdakwa berusaha menghindar dari pengakuan unsur sengaja tetapi selalu berlindung bahwa kematian si korban tersebut tidak dikehendaki atau bukan menjadi niat tujuannya yakni hanya ingin menganiaya saja atau melukainya saja. g) Untuk membuktikan unsur sengaja menurut ketentuan ini haruslah dilihat cara melakukan dalam mewujudkan perbuatan jahatanya tersebut. Sehingga memang dikehendaki atau diharapkan supaya korbannya meninggal dunia. h) Menghilangkan jiwa orang lain. Unsur ini disyaratkan adanya orang mati. Dimana yang mati adalah orang lain dan bukan dirinya sendiri si pembuat tersebut. Pengertian orang lain adalah semua orang yang tidak termasuk dirinya sendiri si pelaku. Dalam rumusan tindak pidana Pasal 338 KUHP tidak ditentukan bagaimana cara melakukan perbuatan pembunuhan tersebut, tidak ditentukan alat apa yang digunakan tersebut, tetapi undangundang hanya menggariskan bahwa akibat dari perbuatannya itu yakni menghilangkan jiwa orang lain atau matinya orang lain. Kematian tersebut tidak perlu terjadi seketika itu atau sesegera itu, tetapi mungkin kematian dapat timbul kemudian. Untuk memenuhi unsur hilangnya jiwa atau matinya orang lain tersebut harus sesuatu perbuatan, walaupun perbuatan itu kecil yang dapat mengakibatkan hilangnya atau matinya orang lain. Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 (tiga) syarat yang

harus dipenuhi yaitu adanya wujud perbuatan, adanya suatu kematian (orang lain) dan adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain). 4. Tinjauan Umum Tentang Pembuktian Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hukum Indonesia telah mengakui alat bukti elektronik atau digital sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Kasus pidana yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka UU ITE ini memperluas dari ketentuan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah. Pasal 5 KUHP: (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini. (4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau bungkus dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3. Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Kedua, hasil cetak dari Informasi Elektronik dan/atau hasil cetak dari Dokumen Elektronik. (Sitompul, 2012). Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik tersebut yang akan menjadi Alat Bukti Elektronik (Digital

Evidence). Sedangkan hasil cetak dari Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik akan menjadi alat bukti surat. Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatur bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti hukum yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Yang dimaksud dengan perluasan di sini harus dihubungkan dengan jenis alat bukti yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE. Perluasan di sini maksudnya: a. Menambah alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya KUHAP. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik menambah jenis alat bukti yang diatur dalam KUHAP; b. Memperluas cakupan dari alat bukti yang telah diatur dalam hukum acara pidana di Indonesia, misalnya dalam KUHAP. Hasil cetak dari Informasi atau Dokumen Elektronik merupakan alat bukti surat yang diatur dalam KUHAP. c. Perluasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP sebenarnya sudah diatur dalam berbagai perundang-undangan secara tersebar. Misalnya UU Dokumen Perusahaan, UU Terorisme, UU Pemberantasan Korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ITE menegaskan bahwa dalam seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia, Informasi dan Dokumen Elektronik serta hasil cetaknya dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah. Bagaimana agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundangundangan harus dalam bentuk tertulis. Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan digital forensik. Email, file rekaman atas chatting, dan berbagai dokumen elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai

kedudukan dan pengakuan atas alat bukti elektronik yang disajikan dalam persidangan. Dengan telah diberlakukannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka telah secara sah berlaku pula alat bukti elektronik pada tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut, baik di wilayah Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 (Niniek Suparni, 2009 : 127). 5. Tinjauan Umum Tentang Asas Hukum a. Lex specialis derogat legi generali Asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Contohnya, dalam Pasal 18 UUD 1945, gubernur, bupati, dan wali kota harus dipilih secara demokratis. Aturan ini bersifat umum (lex generalis). Pasal yang sama juga menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus (lex specialis), sehingga keistimewaan daerah yang gubernurnya tidak dipilih secara demokratis seperti Daerah Istimewa Yogyakarta tetap dipertahankan. Dalam penulisan hukum (skripsi) ini, yang dimaksud adalah antara Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang Informasi dan Teknologi Elektronik. b. Asas Legalitas Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakana bahwa Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya. (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). Asas legalitas yang mengandung tiga pengertian, yaitu: 1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas) 3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut Contoh yang berkenaan dengan Asas Legalitas adalah keadilan bagi korban salah tangkap. Mereka kembali bisa menghirup kebebasan. Namun,

fenomena itu lagi-lagi memperlihatkan betapa kerdilnya kedudukan warga di hadapan kekuasaan negara. Bagaimanapun, dalam negara demokrasi, keadilan dan kebenaran haruslah terbuka untuk setiap warga. Negara wajib melaksanakan asas legalitas, yaitu memberi ganti rugi dan merehabilitasi nama baik warga yang menjadi korban salah tangkap. 6. Tinjauan Umum Pertimbangan Hakim a. Pengertian Pertimbangan Hakim Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benarbenar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak (Mukti Arto, 2004 : 141). Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut : 1) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal. 2) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan. 3) Adanya semua bagian dari petitum Penuntut harus dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik Simpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan (Mukti Arto, 2004 : 142). b. Dasar Pertimbangan Hakim

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum. Kepastian hukum menekankan agar hukum atau peraturan ditegakan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum atau peraturannya. Fiat Justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan), dan filosofis (keadilan). Setiap hakim harus mempertimbangkan suatu perkara untuk membentuk sebuah putusan harus sesuai dengan hati nurani agar tidak mengecewakan para pencari keadilan. Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan hukum yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia (Mukti Arto, 2004 : 142). Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi (Andi Hamzah, 1996 : 94). Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009. Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal 5 ayat (1): Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Mukti Arto, 2004 : 95). Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusan terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48 Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 yaitu: Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 7. Teori Keadilan Menurut Aristoteles : a. Pengertian Keadilan Keadilan adalah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat diartikan memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya.keadilan berasal dari kata Adil yang berarti tidak berat sebelah, tidak memihak: memihak pada yang benar, berpegang pada

kebenaran sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Pada hakikatnya, keadilan adalah suatu sikap untuk memperlakukan seseorang sesuai dengan haknya. Dan yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hakdan kewajibannya, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, dan golongan. Hakikat keadilan dalam Pancasila, UUD NRI Tahun 1945 dan GBHN, kata adil terdapat pada : 1. Sila kedua dan kelima Pancasila 2. Pembukaan UUD NRI 1945 (alinea II dan IV). 3. GBHN 1999-2004 tentang visi Menurut The Liang Gie, suatu gejala atau tindakan tertentu dapat disebut adil karena dilandaskan pada teori keadilan. Jadi adil tidaknya suatu tindakan tidak terlepas dari teori keadilan. Misalnya seorang manajer perusahaan digaji lebih tinggi dibanding Office Boy (OB). Tindakan tersebut dapat dikatakan adil berdasarkan teori keadilan tertentu. Adapun ciri-ciri adil menurut The Liang Gie yaitu : 1. Tidak memihak (impartial) 2. Sama hak (equal) 3. Bersifat hukum (legal) 4. Sah menurut hukum (lawful) 5. Layak (fair) 6. Wajar secara moral (equitable) 7. Benar secara moral (righteous) b. Macam-macam Keadilan Menurut Aristoteles Teori keadilan menurut Aristoteles yang dibagi menjadi lima macam yaitu keadilan komutatif, keadilan distributif, keadilan kodrat alam, keadilan konvensional, dan keadilan perbaikan. Adapun penjelasan atau pengertian dari masing-masing keadilan adalah sebagai berikut : 1) Keadilan Komutatif Keadilan Komutatif adalah keadilan yang berhubungan dengan persamaan yang diterima oleh setiap orang tanpa melihat jasa-jasanya. Intinya harus bersikap sama kepada semua orang, tidak melihat dari segi manapun. Contoh keadilan komutatif adalah seorang siswa memperoleh hak dan tugasnya sebagai pelajar sama seperti pelajar lain, tanpa membeda-bedakan

kepintaran, baik buruknya maupun kaya atau miskin. Seorang koruptor tetap dikenai sanksi tanpa melihat ia memiliki kedudukan tinggi dalam negara, baik itu Preseiden, Menteri atau DPR akan tetap dikenai hukuman yang setimpal sesuai mekanisme hukum yang berlaku. 2. Keadilan Konvensional Keadilan konvensional adalah keadilan yang mengikat warga negara karena didekritkan melalui kekuasaan khusus. Keadilan ini menekankan pada aturan atau keputusan kebiasaan yang harus dilakukan warga negara yang dikeluarkan oleh suatu kekuasaan. Intinya seorang warga negara telah dapat menegakkan adil setelah menaati hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam sistem pemerintahan. Contoh Keadilan Konvensional. Warga negara yang baik taat dan tertib menjalankan peraturan lalu lintas. Taat membayar pajak. Memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Intinya seorang warga negara wajib mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut. 3. Keadilan Distributif Keadilan distributif adalah keadilan yang diterima seseorang berdasarkan jasa-jasa atau kemampuan yang telah disumbangkannya (sebuah prestasi). Keadilan ini menekankan pada asas keseimbangan, yaitu antara bagian yang diterima dengan jasa yang telah diberikan. Contoh keadilan distributif adalah pemberian nilai pada Mahasiswa sesuai prestasi yang telah dicapai/diraihnya selama satu semester. Seorang karyawan kantor digaji setiap bulannya sesuai apa yang telah ia kerjakan di dalam perusahaan. 4. Keadilan Kodrat Alam Keadilan kodrat alam adalah keadilan yang bersumber pada hukum alam atau juga disebut hukum kodrat. Hukum alamiah ditentukan oleh akal manusia yang dapat merenungkan sifat dasarnya sebagai makhluk yang berakal dan bagaimana seharusnya kelakuan yang patut di antara sesama manusia. Intinya memberikan sesuatu sesuai yang diberikan oleh orang lain kepada kita. Contoh keadilan kodrat alam adalah perbuatan yang baik atau buruk tentu akan mendapat balasan yang setimpal sesuai perbuatan itu sendiri. Jadi ketika seseorang berbuat baik kepada orang lain, maka orang lain juga akan berbuat baik kepadanya. 5. Keadilan Perbaikan Keadilan perbaikan adalah keadilan yang dimaksudkan untuk

mengembalikan suatu keadaan atas status kepada kondisi yang seharusnya, dikarenakan kesalahan dalam perlakuan atau tindakan hukum. Contoh keadilan perbaikan yang terdapat dalam kehidupan keseharian adalah misalnya seseorang memiliki status/keadaan terpidana, namun diberikan keluasan menjadi orang bebas karena terjadi kesalahpahaman atau kekeliruan dalam perlakuan hukum. Seseorang yang bersalah meminta maaf ke masyarakat karena telah mencemarkan nama baik seseorang tanpa adanya bukti otentik (tidak sesuai dengan fakta yang ada).

B. Kerangka Pemikiran Untuk menyusun penelitian ini maka diperlukan adanya sebuah kerangka pemikiran yang terperinci agar pemecahan masalah penelitian ini lebih terarah. Adapun kerangka pemikiran tersebut penulis gambarkan sebagai berikut : Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 44/Pid.Sus/2014/PT.Smg ng-undang Nomor 8 Tahun 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mengenai Tindak Pidana Ancaman Kekerasan dan Pembunuhan Melalui Media Elektronik Pertimbangan Hakim dalam perspektif Kitab Undangundang Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan Bagan Kerangka Pemikiran Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun Penelitian Hukum mengenai tindak pidana Pengancaman Pembunuhan melalui media elektronik. Di Indonesia tindak pidana pengancaman pembunuhan yang dilakukan melalui media elektronik diatur dalam KUHP. Terjadi pelanggaran terhadap aturan

tersebut yang menimbulkan adanya kasus mengenai pelanggaran tindak pidana Pengancaman Pembunuhan melalui media elektronik. Masalah yang dihadapi adalah berkaitan dengan pengaturan tindak pidana Pengancaman Pembunuhan melalui media elektronik dan berkaitan dengan pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut.