BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. PENDAHULUAN PENDAHULUAN

MATRIKS PERMASALAHAN KOMISI I BIDANG OVERDIMENSION DAN OVERLOADING RAKORNIS PERHUBUNGAN DARAT TAHUN 2018 JAKARTA, MARET 2018

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar masyarakat, sehingga mempengaruhi aktifitas sehari-hari

BAB IV PENGELOLAAN JALAN DAN KELEMBAGAANNYA DI INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. negara (Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jendral Bina Marga, 2009).

AB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR JALAN DAN JEMBATAN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATARAN TRANSPORTASI WILAYAH PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 09 TAHUN 2006 TENTANG KELAS JALAN DAN PENGAMANAN PERLENGKAPAN JALAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 15 TAHUN 2012

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Jalan merupakan prasarana infrastruktur dasar yang dibutuhkan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK 113/HK.207/DRJD/2010 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBATASAN ANGKUTAN BARANG PADA RUAS JALAN PROVINSI RUAS JALAN SAKETI-MALINGPING-SIMPANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

PCM ANALYSIS MENINGKATKAN EFISIENSI PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR JALAN SECARA BEKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JALAN KHUSUS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN DARAT NOMOR : SK.276/AJ-401/DRJD/10 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

BUPATI CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CILACAP,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM Nomor : 11 /PRT/M/2011 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JALAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

2018, No Perumahan Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 881) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan U

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA, ANALISIS DAMPAK, SERTA MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS

PEMPROVSU AKUI 584,301 KM JALAN PROVINSI RUSAK

PEMERINTAH KABUPATEN TANAH BUMBU

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS BUPATI MALANG,

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG JALAN DAN PENGATURAN LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA PASURUAN

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JALAN DI INDONESIA TAHUN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DI KALIMANTAN BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN KELEBIHAN MUATAN ANGKUTAN BARANG

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahan khusus yang mempunyai kualitas yang lebih baik dan dapat

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 35/PRT/M/2006

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 1 - PEMERINTAH KABUPATEN BLITAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENETAPAN KELAS JALAN DAN PENGATURAN LALU LINTAS

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2006 TENTANG JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAHAN PAPARAN. Disampaikan pada : BIMBINGAN TEKNIS AUDIT

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 04/PRT/M/2012 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2015, No Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 5587); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang J

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN. NOMOR : 14 TAHUN 2007 KM. 74 Tahun 1990 TENTANG KENDARAAN PENGANGKUT PETI KEMAS DI JALAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN ANGKUTAN BARANG PADA JEMBATAN TIMBANG

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 132, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444).

BAB I PENDAHULUAN. di bidang ekonomi ini membutuhkan adanya sarana dan prasarana yang baik

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2007 TENTANG PERKERETAAPIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO KUALA,

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG PENGATURAN LALU LINTAS

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KOTA BINJAI NOMOR 8 TAHUN 2011 T E N T A N G PENGAWASAN MUATAN ANGKUTAN BARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BINJAI,

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2013

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYELENGGARAAN ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

T E N T A N G PROSEDUR PERIZINAN PEMANFAATAN BAGIAN BAGIAN JALAN TOL S U R A T E D A R A N DIREKTUR JENDERAL BINA MARGA

BAB I PENDAHULUAN. dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. transportasi pribadi bagi kehidupan sehari-hari mereka. Transportasi

RENCANA KERJA (RENJA) DINAS PEKERJAAN UMUM BINA MARGA PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2016

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARA ENIM NOMOR 13 TAHUN 2007 TENTANG PENGGUNAAN JALAN BAGI KENDARAAN YANG MELEBIHI MUATAN SUMBU TERBERAT

EFISIENSI PEMELIHARAAN JALAN AKIBAT MUATAN BERLEBIH DENGAN SISTEM TRANSPORTASI BARANG MULTIMODA/INTERMODA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari peforma pembangunan infrastrukturnya. Maka dari itu, perbaikan

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN BARANG DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR PERMUKAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 20/PRT/M/2010 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN DAN PENGGUNAAN BAGIAN-BAGIAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 5 TAHUN 1995 TENTANG PENYELENGGARAAN PENIMBANGAN KENDARAAN BERMOTOR DI JALAN MENTERI PERHUBUNGAN,

DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN

1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara

UNIVERSITAS INDONESIA TESIS. Cakra Nagara NPM : FAKULTAS EKONOMI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK PROGRAM PASCASARJANA

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR

2017, No Bermotor dan Penutupan Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor Pada Masa Angkutan Lebaran; Mengingat : 1. Undang-Undang Republik

PEMERINTAH KABUPATEN KEDIRI

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Jalan merupakan prasarana infrastruktur dasar yang dibutuhkan manusia untuk dapat melakukan pergerakan dari suatu lokasi ke lokasi lainnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Ketersediaan jalan menjadi hal yang dianggap mendesak manakala kegiatan ekonomi masyarakat mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Ditinjau dari sudat pandang ekonomi jalan merupakan barang publik. Barang publik 1 adalah barang yang memiliki karakteristik non-rival dan nonexclude. Non-rival adalah barang yang dapat dikonsumsi bersamaan dengan barang lain pada waktu yang sama (joint consumtion) tanpa saling meniadakan manfaat, sedangkan non-exclude adalah barang yang apabila seseorang ingin mendapatkan manfaat dari barang tersebut maka tidak perlu membayar. Berbicara tentang masalah kelembagaan, dalam teori koordinasi dijelaskan pentingnya suatu lembaga bekerja secara efisien dan efektif. Kelembagaan pemerintah haruslah bekerja berdasarkan fungsi atau substansi yang secara efektif dapat menghasilkan multiplier positif dengan cara menggerakan beberapa komponen yang memiliki leverage terbesar dalam menggerakan berbagai potensi yang mendukung ekonomi masyarakat. Di Indonesia, setelah era otonomi daerah, penyelenggaraan jalan terbagi atas tiga kewenangan yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Pemerintah pusat berwenang dalam penyelenggaraan jalan nasional dan jalan tol, pemerintah daerah provinsi berwenang dalam penyelenggaraan jalan provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota berwenang dalam penyelenggaraan jalan kabupaten/kota. Dalam hal ini penyelenggaraan jalan diartikan sebagai kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan jalan. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan 1 Apgar, W., C. and Brown, H., J. 1987. Microeconomics And Public Policy. Scott, Foresman and Company. 1

2 kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundang-undangan jalan; Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian dan pengembangan jalan; Pembangunan jalan adalah kegiatan pemrograman dan penganggaran, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, serta pengoperasian dan pemeliharaan jalan; sedangkan Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan, dan pembangunan jalan. Berdasarkan data dari Departemen PU tahun 2004, Indonesia memiliki jalan nasional sepanjang 34.628 km. Secara umum kondisi jaringan jalan nasional tersebut pada tahun 2004 adalah: 37% kondisi baik, 44% sedang, 8% rusak ringan, 11% rusak berat atau 81% kondisi mantap dan 19% tidak mantap. Adapun pendanaan yang dapat disediakan Pemerintah termasuk pinjaman luar negeri adalah sebesar 58 triliun untuk penyelengaraan jalan nasional selama 5 tahun dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2009, tentu ini merupakan dana yang sangat kecil jika dibandingkan dengan panjang jalan nasional yang tersedia. Jika diasumsikan 60% dari dana tersebut digunakan untuk pemeliharaan jalan selama 5 tahun maka didapat angka pemeliharaan jalan sebesar Rp 1 juta/km untuk 5 tahun atau sebesar Rp 200 ribu/km/tahun, angka yang cukup kecil jika dibandingkan dengan angka yang semestinya untuk pemeliharaan jalan sebesar Rp 35 juta/km untuk 5 tahun atau sebesar Rp 7 juta /km/tahun. Berdasarkan hal ini tentunya pemerintah harus benar-benar mengatur strategi dalam penggunaan anggaran dan menyusun prioritas pendanaan sehingga anggaran yang ada dapat dipergunakan dengan semestinya dan memiliki efek multiplier ekonomi positif terbesar bagi manyarakat tanpa melupakan sisi keadilan dan pemerataan pembangunan. Dari ketersediaan dana yang dimiliki oleh pemerintah terlihat bahwa konsep money follow function tidak berjalan dengan semestinya. Pada awal tahun 2008 pemerintah dikejutkan oleh pemberitaan media masa yang menyatakan banyaknya protes masyarakat mengenai kerusakan jalan yang mengganggu aktivitas masyarakat. Disisi lain, media masa pun menampilkan diskusi antar pakar dan instansi yang terkait dengan masalah penyelenggaraan

3 jalan. Pada diskusi yang ada terlihat jelas bahwa tidak adanya koordinasi antar institusi teknis terkait dalam hal penanganan kerusakan jalan. Institusi yang satu menyatakan bahwa kerusakan jalan diakibatkan karena mutu dari bahan jalan yang tidak memenuhi standar dan pengaruh cuaca serta iklim tropis yang menyebabkan terjadinya proses kerusakan jalan dengan cepat. Institusi yang lain menyatakan bahwa penyebab utama kerusakan jalan yang ada saat ini disebabkan karena beban berlebih (overloading) dari muatan kendaraan berat. Dapat ditebak bahwa saling tuding penyebab kerusakan jalan ini hanya merupakan gunung es dari segala permasalahan penyelenggaraan jalan, dalam pengertian bahwa terdapat hal yang sangat fudamental dalam hal koordinasi antar instansi penyelenggara jalan. Selaku pembina teknis jalan, Departemen PU memberikan gambaran tentang proses perencanaan, konstruksi dan pemeliharaan jalan. Perencanaan jalan nasional didasarkan kepada Muatan Sumbu Terberat (MST) untuk jalan nasional adalah sebesar 8-10 ton, artinya untuk seluruh jalan nasional yang ada beban maksimal suatu sumbu tunggal kendaraan adalah 8-10 ton, jika melebihi maka umur rencana jalan akan berkurang secara drastis. Pada kegiatan konstruksi pembangunan jalan, setiap unit pelaksanaan konstruksi selalu diawasi secara seksama oleh pemerintah sebagai pemilik proyek dan konsultan pengawas, sehingga sangat mustahil adanya penyimpangan mutu. Pada kegiatan permeliharaan jalan, pada dasarnya pemeliharaan rutin (routine) dan berkala (periodic) dilakukan secara terjadwal setiap periode tertentu dan perbaikan jalan (betterment) dilakukan hanya pada kondisi kerusakan struktural jalan. Dari proses yang sangat panjang ini dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kerusakan jalan yang ada tidak mungkin terjadi pada mutu konstruksi, namun kemungkinan terjadi pada proses pemeliharaan yang disebabkan karena keterbatasan anggaran pemeliharaan jalan, namun itupun bukan merupakan kerusakan struktural seperti sering terlihat di lapangan saat ini. Dugaan terbesar untuk kerusakan jalan yang ada saat ini adalah diakibatkan karena beban berlebih (overloading) dari kendaraan berat. Sekali saja terjadi kerusakan struktural dari suatu jalan maka akan berdampak secara efek domino kepada struktur jalan disekitarnya.

4 Secara teoritis 2 ketika suatu jalan menahan beban lebih besar dari muatan MST standarnya maka tingkat kerusakan jalan meningkat sampai dengan n 4 kali lebih lebih cepat dari umur rencananya. Sebagai contoh simulasi sederhana, jika pada kondisi eksisting suatu jalan direncanakan 10 tahun dengan MST 8 ton, lalu jalan tersebut dilewati oleh sebuah kendaraan kendaraan dengan MST 16 ton maka umur jalan tersebut tinggal 0,625 tahun atau sekitar 7,5 bulan. Dalam simulasi sederhana ini terlihat bahwa betapa besarnya pengaruh overloading terhadap umur rencana jalan. Dari kejadian ini dapat dilihat bahwa dengan hanya dilewati oleh sebuah kendaraan yang memiliki MST dua kali lipat dari MST standar yang ada maka umur jalan yang seharunya 10 tahun tinggal menjadi 7,5 bulan. Pada kondisi lain, Departemen Perhubungan selaku pembina penyelenggaraan sistem transportasi darat mengeluarkan Surat Edaran Menteri Perhungan No. SE.01/AJ.307/DRJD/2004 tanggal 28 Januari 2004 untuk seluruh gubernur se- Indonesia tentang Pengawasan dan Pengendalian Muatan Berlebih. Dalam surat tersebut disebutkan beberapa kriteria pelanggaran, antara lain: pelanggaran tingkat I sebesar 5%-15% Jumlah Beban Ijin (JBI), pelanggaran tingkat II sebesar 15%- 25% JBI dan pelanggaran tingkat III diatas 25% JBI. Untuk pelanggaran tingkat III dikenakan sanksi pidana disertai dengan perintah pengembalian kendaraan ke tempat asal (tidak boleh melanjutkan perjalanan) yang harus dilaksanakan pada jembatan timbang pertama dari tempat asal pemberangkatan angkutan barang agar perjalanan kembali tidak terlalu jauh. Dari ketiga jenis pelanggaran tersebut memberikan pandangan lain bahwa Deprtemen Perhubungan memberikan ruang gerak bagi masyarakat pengguna jalan untuk melanggar ketentuan yang berlaku pada tingkat pelanggaran I dan II dengan jumlah muatan tidak lebih dari 25% JBI dengan hanya membayar denda. Padahal dari ilustrasi teoritis sebelumnya dijelaskan bahwa betapa besar pengaruhnya overloading terhadap pengurangan umur rencana jalan. Pada kenyataannya di lapangan dapat dilihat berbagai macam pelanggaran overloading yang terjadi. Pelanggaran overloading ini dapat disebabkan beberapa hal, antara lain: masalah pengangkutan illegal logging yang melewati jalan umum 2 Metoda Analisis Komponen, Departemen PU, 1987.

5 dan pengangkutan bahan tambang yang melewati jalan umum. Disamping itu, terdapat beberapa pelanggaran lalu lintas yang secara tidak langsung berdampak kepada overloading, antara lain: perubahan desain bentuk angkutan barang sehingga memiliki kapasitas daya angkut yang besar yang menyebabkan bentuknya menjadi tidak sesuai dengan standar dan susunan daya angkut peti kemas yang menggunakan kendaraan dengan as tunggal. Permasalahan lainnya yang dipandang sangat berpengaruh terhadap overloading adalah banyaknya jembatan timbang yang tidak beroperasi dengan semestinya yaitu dengan hanya memberikan sangsi yang sangat ringan kepada pelaku pelanggaran muatan berlebih. Dari berbagai jenis pelanggaran ini dapat disimpulkan sementara bahwa overloading merupakan penyebab utama kerusakan jalan secara struktural yang dapat memperpendek umur jalan. Tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya masyarakat juga memiliki andil yang cukup besar terhadap kerusakan jalan di mana masyarakat memerlukan barang murah, sedangkan ongkos transportasi antar wilayah yang saling berjauhan di Indonesia cukup mahal harganya. Dalam hal menurunkan ongkos transportasi tersebut maka digunakan alat angkut yang memiliki daya angkut maksimal, dengan segala macam rekayasa bentuk untuk memperbesar kapasitas daya angkut maka dilakukan perombakan bentuk angkutan sehingga tidak lagi memenuhi standar muatan yang berlaku. Overloading terhadap jalan merupakan refleksi dari kegiatan masyarakat yang ingin memperkecil biaya transportasi dengan cara mengangkut barang lebih besar dari kapasitas daya angkut kendaraan. Dengan melihat sejarah jalan di Indonesia ternyata setelah perang kemerdekaan sampai dengan saat ini Indonesia belum pernah memiliki masterplan transportasi nasional yang seharusnya sudah dimiliki bangsa Indonesia pada awal masa pembangunan. Pada dasarnya masterplan ini berisi tentang pengembangan transportasi nasional yang mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan serta berguna untuk memperkuat stabilitas pertahanan dan keamanan negara. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah inefisiensi yang sangat besar dari kerusakan sistem tranportasi nasional, contohnya: keberadaan moda trasportasi kereta api yang saling meniadakan dengan keberadaan moda angkutan transportasi

6 darat lainnya, terjadinya pembangunan dermaga dimana-mana yang tidak efektif secara ekonomi dan kemandulan sistem transportasi perhubungan udara dengan tidak efisiennya IPTN. Hal ini merupakan contoh riil dari dampak tidak dimilikinya masterplan transportasi nasional. Dari uraian di atas dapat dilihat besarnya permasalahan yang dihadapi jalan nasional. Saat ini telah terdapat beberapa institusi/lembaga yang menangani jalan nasional namun kinerja yang ada dirasakan masyarakat masih belum efektif. Berdasarkan hal tersebut penulis menganggap permasalahan kelembagaan yang menangani kerusakan jalan nasional perlu diangkat dan relevan untuk menjadi tema penelitian setara tesis. Dalam hal ini perlu dikaji bagaimana hubungan kelembagaan antar institusi teknis yang ada saat ini dalam hal penanganan kerusakan jalan nasional dan seberapa efektifkan penggunaan anggaran negara yang sangat terbatas ini mampu dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan. 1.2 PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dapat disusun suatu inti permasalahan dari penelitian ini yaitu: apakah hubungan kelembagaan antar institusi teknis yang menangani kerusakan jalan nasional yang ada sudah efisien dan efektif? 1.3 HIPOTESIS Hipotesis dari penelitian ini adalah: bahwa dalam organisasi pengelola jalan terdapat dua fungsi organisasi berbeda yaitu fungsi operasionalisasi dan fungsi pemeliharaan. Pemecahan fungsi ini menimbulkan miskoordinasi diantara kedua institusi tersebut sehingga pengelolaan jalan nasional tidak efisien dan efektif. 1.4 TUJUAN Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang bentuk hubungan kelembagaan antar institusi teknis pengelola jalan yang menangani

7 kerusakan jalan yang ada saat ini guna memberikan rekomendasi yang sesuai kepada pemerintah dalam hal penetapan regulasi/kebijakan yang berkaitan dengan kelembagaan pengelola penanganan kerusakan jalan di Indonesia. Dengan demikian tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan kelembagaan antar institusi teknis pengelolaan jalan yang ada saat ini dalam hal penanganan kerusakan jalan nasional. 1.5 PEMBATASAN MASALAH Kunci dari analisis kelembagaan ini adalah: pemahaman tentang tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing lembaga dan koordinasi antar lembaga. Sedangkan kunci dari penanganan kerusakan jalan adalah: pengetahuan tentang pengelolaan jalan (teknis perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemeliharaan jalan) dan pendanaannya. Berdasarkan hal di atas, penulisan makalah ini dibatasi pada: 1. Teknik kajian penelitian menggunakan teknik analisis yaitu dengan menguraikan berbagai penyebab yang terjadi terhadap tidak efisiennya pengelolaan jalan; 2. Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif; 3. Evaluasi indikator dan teknis penyebab kerusakan jalan; 4. Evaluasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan permasalahan kerusakan jalan, penanganan kerusakan jalandan pengelolaan jalan; 5. Evaluasi bentuk koordinasi antar lembaga yang berkaitan dengan penanganan kerusakan jalan; 6. Jalan yang di bahas adalah jalan nasional; 7. Aktor utama institusi teknis yang terlibat dalam pengelolaan jalan nasional adalah: Departemen PU, dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Bina Marga selaku penyelenggara konstruksi dan pemeliharaan prasarana jalan; serta Departemen Perhubungan, dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat selaku penyelenggara operasionalisasi prasarana jalan. Aktor pemerintah lainnya yang terlibat adalah pemerintah daerah dan

8 beberapa institusi lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung berkontribusi dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan jalan. 8. Analisis hubungan kelembagaan antar institusi teknis dilakukan dengan pendekatan system dynamics. 1.6 SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan dalam penelitian ini meliputi: Bab I merupakan bab pendahuluan, berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, hipotesis, tujuan, pembatasan masalah dan sistematika penulisan. Bab II merupakan bab tinjauan literatur, berisi tentang pembangunan infrastruktur nasional, infrastruktur jalan di Indonesia, peraturan tentang jalan di Indonesia, pengelolaan jalan, koordinasi, efisien dan efektif, regulator-operator serta eksternalitas. Bab III merupakan bab metodologi berisi tentang system dynamics, simulasi dengan perangkat lunak Powersim, pemetaan sistem nyata, variabel model, causal loop diagram, stock flow diagram, metode pengumpulan data dan kerangka fikir. Bab IV merupakan bab pengelolaan jalan dan kelembagaannya di Indonesia berisi tentang gambaran umum dan data simulasi model system dynamics. Bab V merupakan bab analisis berisi tentang pengujian statistik, indikator performance index (PI) standar, analisis gap permasalahan kondisi eksisting, analisis sensitvitas, analisis simulasi model modifikasi, peningkatan kapasitas koordinasi hubungan kelembagaan antar institusi teknis terkait serta analisis ekonomi. Bab VI merupakan bab kesimpulan berisi tentang kesimpulan dan saran.