STATUS PERLINDUNGAN HUTAN DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2000 TENTANG KEWENANGAN PEMERINTAH DAN KEWENANGAN PROPINSI SEBAGAI DAERAH OTONOM *)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOM0R 45 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2007

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BALANGAN,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG KOTA BONTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN DAN ATAU HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No Peraturan Menteri; d. bahwa dalam rangka optimalisasi penanganan barang bukti tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan perlu diatu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6.

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENGUSAHAAN SARANG BURUNG WALET

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 165 TAHUN 2000 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

PEMERINTAH KABUPATEN MELAWI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang : Kehutanan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG HUTAN KOTA TARAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan;

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 20 TAHUN 2002 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BERAU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG

NOMOR 28 TAHUN 1985 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENERTIBAN PENEBANGAN POHON DAN BAMBU DI LUAR KAWASAN HUTAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR 46 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA POCUT MEURAH INTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 13 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BUPATI SIGI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN IMBAL JASA LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

this file is downloaded from

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 2. 1 TAHUN 2002

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 13 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA SARANA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 022 TAHUN 2017 TENTANG TUGAS, POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS DINAS KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.46/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR -3 TAHUN 2006 TENTANG PENGENDALIAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

TUGAS MATA KULIAH TEKNOLOGI PERLINDUNGAN HUTAN (SVK 531) STATUS PERLINDUNGAN HUTAN DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA Oleh: Wahyu Catur Adinugroho NRP E451080091 / SVK MAYOR SILVIKULTUR TROPIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2OO8

STATUS PERLINDUNGAN HUTAN DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANGAN DI INDONESIA Oleh : Wahyu Catur Adinugroho NRP. E451080091 / SVK PENDAHULUAN Hutan merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi, baik ekologi, ekonomi, sosial maupun budaya yang diperlukan untuk menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian kerusakan hutan melalui kegiatan perlindungan hutan. Sehingga secara umum perlindungan hutan merupakan kegiatan untuk menjaga hutan dari faktor-faktor yang dapat menimbulkan kerusakan pohon atau tegakan pohon dalam hutan agar fungsinya sebagai fungsi lindung, konservasi atau produksi tercapai secara optimum dan lestari sesuai dengan peruntukannya. Adapun faktorfaktor yang dapat menimbulkan kerusakan pohon atau tegakan pohon itu adalah diantaranya perambahan lahan, illegal logging, kebakaran, hama, penyakit dan penggembalaan. Perlindungan hutan saat ini bukan hanya menjadi permasalahan yang bersifat regional (nasional) tetapi sudah merupakan permasalahan dunia (global). Hal ini terkait dengan fungsi hutan dalam memelihara keseimbangan ekologis yang juga berpengaruh terhadap iklim global, seperti efek pemanasan global yang dapat mengancam keselamatan makhluk hidup. Namun demikian, realitas memperlihatkan bahwa fungsi ekonomi hutan, yaitu sebagai sumber mata pencaharian hidup bagi sekelompok masyarakat, sebagai sarana mengakumulasi kapital (modal) bagi pengusaha (kapitalis), dan sebagai sumber devisa bagi negara, seringkali mengalahkan fungsi hutan dalam memelihara keseimbangan ekologis (termasuk iklim global). Tekanan jumlah penduduk yang terus meningkat merupakan salah satu faktor yang turut mempercepat kerusakan hutan. Ini terjadi karena diperlukannya lahan yang lebih luas dan material bangunan yang T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 2

lebih banyak, baik lahan untuk pemukiman maupun lahan untuk kegiatan bercocok tanam, dan bahan material untuk bangunan-bangunan baru. Pemanfaatan fungsi ekonomi hutan secara berlebihan oleh manusia (eksploitasi hutan) tanpa mempedulikan keseimbangan ekologis dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, dan memerlukan biaya (cost) ekonomi dan sosial yang jauh lebih besar dibanding hasil ekonomi yang telah diperoleh. Masyarakat yang tinggal dan bermata pencaharian di sekitar hutan, di satu sisi seringkali dituding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan, tetapi di sisi lain seringkali pula diharapkan sebagai pelaku utama bagi upaya perlindungan hutan itu sendiri. Harapan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sebagai pelaku utama bagi perlindungan hutan merupakan sesuatu yang wajar, karena dalam kehidupan kesehariannya mereka berinteraksi langsung dengan hutan dan merupakan orang pertama yang langsung menerima dampak dari kerusakan hutan, seperti bencana alam berupa banjir, tanah longsor dan kebakaran hutan. Hal yang terpenting dalam kegiatan perlindungan hutan adalah upaya untuk melakukan kegiatan pencegahan dengan metode legislative (karantina) ataupun dengan metode silvikultur tetapi juga perlu untuk segera dilakukan penanggulangan dengan pendekatan ekologis, social ekonomi dan hukum jika telah mengalami gangguan. Pemerintah Indonesia telah membuat seperangkat peraturan sebagai dasar hukum, prosedur dan penyelenggaran perlindungan hutan di Indonesia. Adapun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kegiatan perlindungan hutan di Indonesia adalah : - Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 - Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 - Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 - Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 - Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 2004 Peraturan-peraturan ini akan dibahas dalam makalah ini mengenai status, isi dan urgensinya dengan kegiatan perlindungan hutan. T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 3

DEFINISI PERLINDUNGAN HUTAN Definisi perlindungan hutan secara tegas terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Pasal 1 yang merupakan penjabaran dari Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 47, perlindungan hutan didefinisikan sebagai usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Dalam definisi secara jelas dikemukakan bahwa terdapat 2 (dua) kegiatan utama dalam perlindungan hutan di Indonesia, yaitu : 1. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, bencana alam, hama serta penyakit. 2. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. PERATURAN PERUNDANGAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUTAN 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah tentang konservasi sumberdaya alam hayati yang terdiri dari 14 bab dan 45 pasal. Undangundang ini tidak secara spesifik mengatur tentang perlindungan hutan tetapi merupakan upaya mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya. T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 4

Sedangkan yang dimaksud sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Undang-undang ini lebih mengatur pada penetapan suatu wilayah sesuai dengan peruntukannya yaitu kawasan lindung sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia ; kawasan suaka alam sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, juga berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ; Kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Undang-undang ini dijadikan dasar/acuan diterbitkannya undang-undang yang lain yang berkaitan dengan perlindungan hutan. 2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 merupakan peraturan yang mengatur tentang sistem budidaya tanaman dimanana didalamnya secara khusus diatur tentang perlindungan tanaman budidaya, Pasal 1 tentang ketentuan umum, Pasal 20 s/d Pasal 27 tentang pelaksanaan perlindungan tanaman budidaya, Pasal 60 tentang sanksi hukum bagi pelanggar pelaksanaan perlindungan tanaman budidaya. Kegiatan perlindungan dilakukan sebagai upaya untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan (semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan ) melalui sistem pengendalian hama terpadu (Pasal 20 ayat 1). Kegiatan pengendalian hama terpadu meliputi (Pasal 21): a.pencegahan masuknya organisme pengganggu tumbuhan ke dalam dan tersebarnya dari suatu area ke area lain di dalam wilayah negara T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 5

Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b.pengendalian organisme pengganggu tumbuhan; c.eradikasi organisme pengganggu tumbuhan. 3. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 secara khusus mengatur tentang karantina hewan, ikan dan tumbuhan untuk mencegah masuknya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan yang berbahaya atau menular yang dapat merusak sumber daya alam hayati ke wilayah negara Republik Indonesia, mencegah tersebarnya dari suatu area ke area lain, dan mencegah keluarnya dari wilayah negara Republik Indonesia akibat dari lalu lintas hewan, ikan, dan tumbuhan antarnegara dan dari suatu area kearea lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, baik dalam rangka perdagangan, pertukaran, maupun penyebarannya. Pada undang-undang ini diatur tentang ketentuan umum (pasal 1 s/d 4), persayaratan karantina (pasal 5 s/d 8), tindakan karantina (pasal 9 s/d 22), kawasan karantina (pasal 23), jenis hama dan penyakit organisme pengganggu, dan media pembawa (pasal 24 s/d 25), tempat pemasukan dan pengeluaran (pasal 26 s/d 27), pembinaan (pasal 28 s/d 29), penyidikan (pasal 30), sanksi pidana (pasal 31), ketentuan peralihan (pasal 32) dan penutup (pasal 33 s/d 34). 4. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan undang-undang yang mengatur tentang pokok-pokok kehutanan. Undang-undang ini merupakan pengganti undang-undang kehutanan sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 mengingat sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan. Secara umum undang-undang ini mengatur kegiatan di bidang kehutanan di Indonesia termasuk didalamnya kegiatan perlindungan hutan. T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 6

Pada undang-undang ini kegiatan perlindungan hutan dan konservasi alam merupakan bagian dari kegiatan pengelolan hutan (Pasal 21). Kegiatan perlindungan hutan dan konservasi alam secara khusus diatur pada pasal 46 s/d 51. Berkaitan dengan perlindungan hutan dan konservasi alam, undang-undang ini mengatur tentang : - Tujuan perlindungan hutan, yaitu menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari (Pasal 46). - Ruang lingkup kegiatan perlindungan hutan, yaitu mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit ; mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan (Pasal 47). - Wewenang dan tanggung jawab perlindungan hutan (Pasal 48 s/d 49) - Sanksi pidana (Pasal 50) - Wewenang kepolisian khusus untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan (Pasal 51) 5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 2004 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan merupakan pelaksanaan dari Pasal 46 s/d 51 serta pasal 77 dan pasal 80 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 57 pasal dan 10 Bab serta Penjelasannya, dan diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004 pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dengan berlakunya Peraturan Pemerntah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985 tentang perlindungan hutan tidak lagi berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan merupakan salah satu Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terkait masalah pengelolaan hutan. Kegiatan T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 7

pengelolaan hutan ini meliputi : [a] tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan ; [b] pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan ; [c] rehabilitasi dan reklamasi hutan serta [d] perlindungan hutan dan konservasi alam. Berikut adalah pemaparan perbab dari Peraturan Pemerintah tersebut. - Bab I Ketentuan Umum. Terdiri dari 3 bagian dan 6 pasal [pasal 1 s/d 6]. Dalam bagian Pengertian berhasil diidentifikasikan 5 penyebab dari kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yakni manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit. Kewenangannya ada di tangan Pemerintah [Pusat] dan atau Pemda, atau di tangan BUMN bidang kehutanan [jika ada pelimpahan wewenang dari Pemerintahan pusat]. Kegiatannya ada di Unit/Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi [KPHK], Hutan Lindung [KPHL] dan Hutan Produksi [KPHP]. Diatur juga mengenai perlindungan hutan dengan tujuan khusus yang ditetapkan oleh Menteri kehutanan, yang meliputi kegiatan : penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta religi dan budaya. Sementara tujuan utama dari perlindungan hutan adalah menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkunganya agar 3 fungsi hutan tercapai secara optimal dan lestari. Untuk mencapai tujuan itu dilakukan dengan dua prinsip : mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perseorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berkaitan dengan kegiatan perlindungan hutan. - Bab II pelaksanaan perlindungan hutan. Terdiri dari 4 bagian dan 11 Pasal [pasal 7 s/d 17]. Bab ini mengatur mengenai 4 penyebab kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yakni manusia [bagian kesatu], gangguan ternak [bagian kedua], daya-daya alam [bagian ketiga], hama dan penyakit [bagian keempat]. Dalam bab ini ada beberapa pasal yang nampaknya mencoba mengatur/membuat batasan tentang praktek illegal logging, yakni T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 8

pasal 12 [mengatur mengenai kewajiban dilengkapinya surat keterangan sahnya hasil hutan pada hasil hutan] dan pasal 14 [pemanfaatan hutan hanya bisa dilakukan setelah ada izin dari pejabat yang berwenang]. Pasal penting lainnya adalah bahwa masyarakat hukum adat menjadi pihak pelaksana dan bertanggung jawab dalam kegiatan perlindungan hutan atas kawasan hutan yang dikelolanya. Masyarakat hukum adat yang dimaksud adalah masyarakat adat yang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. - Bab III perlindungan hutan dari kebakaran. Terdiri dari 3 bagian dan 14 pasal [pasal 18 s/d pasal 31]. Bab ini mengatur khusus mengenai penyebab kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan akibat kebakaran. Ada dua aktor penyebab kebakaran : manusia dan dayadaya alam. Pasal 19 mengatur bahwa setiap orang dilarang membakar hutan. Tetapi ada pengecualiannya, yakni pembakaran hutan yang dilakukan secara terbatas untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, meliputi: pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa, yang harus mendapatkan izin menteri dulu. Diatur pula bahwa persiapan dan pembersihan lahan untuk kebun dan hutan tanaman tidak termasuk dalam tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan. - Bab IV polisi kehutanan, PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) kehutanan dan satuan pengamanan kehutanan. Terdiri dari 3 bagian dan 10 pasal [pasal 32 s/d 41]. Bab ini mengatur mengenai aparat yang bertugas dalam kegiatan perlindungan hutan. Dalam hal ini ada 3 aparat : polisi kehutanan, PPNS Kehutanan dan satuan pengamanan kehutanan. Salah satu kewenangan polisi kehutanan adalah, dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang. Yang berwenang di sini adalah PPNS Kehutanan. Polisi kehutanan juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan atas perintah pimpinan yang berwenang. Pejabat PPNS Kehutanan mempunyai kewenangan untuk melakukan T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 9

penyidikan yang terkait dengan kejahatan kehutanan. Dalam tugas penyidikannya, Pejabat PPNS Kehutanan berkoordinasi dan diawasi serta dibina oleh POLRI, tetapi bukan sebagai bawahannya. Hasil penyidikan Pejabat PPNS Kehutanan diserahkan kepada Penuntut Umum. Hanya saja, ketika Pejabat PPNS menemui adanya perbuatan yang patut diduga sebagai tindak pidana kehutanan, maka ia harus menyerahkannya kepada Pejabat penyidik POLRI. Satuan pengamanan kehutanan merupakan satuan pengamanan yang dibentuk oleh pemegang hak pengelolaan hutan atau pemegang izin. Tugas utamanya adalah terbatas pada pengamanan fisik di lingkungan areal hutan yan menjadi tanggung jawabnya. - Bab V sanksi pidana. Diatur dalam 3 pasal [pasal 42 s/d pasal 44]. Sanksi pidana ini dikenakan pada setiap orang yang melanggar ketentuan mengenai kewajiban surat keterangan sahnya hasil hutan serta izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. - Bab VI ganti rugi. Diatur dalam 2 pasal [pasal 45 s/d 46]. Bab ini menentukan bahwa penanggung jawab perbuatan wajib membayar ganti rugi atas perbuatan melanggat hukum yang diatur dalam UU Kehutanan. Pembayaran ganti rugi itu tidak akan mengurangi sanksi pidana. Ganti rugi, yang harus disetorkan ke kas negara ini, dipergunakan untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan atau tindakan yang diperlukan. Besarnya ganti rugi, ditetapkan oleh menteri, ditentukan atas dua hal: tingkat kerusakan hutan serta akibat yang ditimbulkan kepada negara. Dasar pijakan dari dua hal itu adalah pada perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya. - Bab VII pembinaan, pengendalian dan pengawasan. Terdiri dari dua bagian dan 6 pasal [pasal 47 s/d pasal 52]. Pembinaan, pengendalian dan pengawasan ini dilakukan secara berjenjang dimana menteri mempunyai kewenangan melakukan tiga hal itu kepada kebijakan gubernur. Begitu juga gubernur kepada bupati atau walikota. Kegiatan pembinaan yang dimaksud adalah pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan atau supervisi. Kegiatan pengendalian adalah T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 10

kegiatan monitoring, evaluasi, dan atau tindak lanjut. Hasil pengendalian yang dilakukan oleh Gubernur ditindaklanjuti oleh Bupati atau Walikota. Tidak ada aturan yang mengatur mengenai ditindaklanjuti oleh siapa pengendalian yang dilakukan oleh menteri. Berbeda dengan pedoman pembinaan dan pengendalian yang diatur lebih lanjut oleh menteri, ketentuan tentang pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. - Bab VIII ketentuan lain-lain. Mengatur mengenai pengurusan barang bukti dalam perkara pidana kehutanan. Perlakuannya berbeda-beda, ada yang harus disimpan di instansi yang bersangkutan, rumah penyimpanan benda sitaan negara atau lembaga konservasi tumbuhan dan satwa liar, ada juga yang dilelang secepatnya, atau malah dirampas untuk negara. - Bab IX ketentuan peralihan. Satu-satunya pasal pada bab ini, pasal 55, menentukan bahwa peraturan pelaksana perlindungan hutan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan PP ini, dianggap tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksana baru yang didasarkan pada PP ini. - Bab X ketentuan penutup. Berisi ketentuan yang mencabut PP lama perlindungan hutan [PP No. 28 Tahun 1985] dan mulai berlakunya PP ini sejak diundangkan. Selain peraturan perundangan diatas di tingkat daerah, pada beberapa daerah telah memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang kegiatan perlindungan hutan guna melaksanakan perlindungan hutan pada hutan produksi, hutan lindung yang tidak dibebani hak dan hutan adat, dan taman hutan raya skala Propinsi ataupun Kabupaten/Kota, seperti di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Kota Tarakan. - Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 12 Tahun 2004 Peraturan daerah ini mengatur tentang perlindungan hutan dan hasil hutan di wilayah kota tarakan yang merupakan usaha untuk Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, mempertahankan dan T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 11

menjaga hak-hak daerah atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan dan mempertahankan dan melestarikan jenis-jenis tumbuhan dan satwa. - Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 2007 Peraturan ini mengatur tentang perlindungan hutan, flora dan fauna di provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu dengan upaya untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, hasil hutan dan peredarannya, mencegah dan membatasi ancaman terhadap keberadaan flora dan fauna langka dari perbuatan manusia, hama, penyakit, predator api/kebakaran, dayadaya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, hak masyarakat dan hak perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, flora dan fauna langka beserta habitatnya. KESIMPULAN Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kegiatan perlindungan hutan di Indonesia secara tegas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 46 s/d 51 serta pasal 77 dan pasal 80 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 merupakan dasar/acuan terbitnya Undang-undang lain yang berkaitan dengan perlindungan hutan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 lebih spesifik mengatur tentang kegiatan perlindungan tanaman budidaya sedangkan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 secara khusus mengatur tentang karantina hewan, ikan dan tumbuhan untuk mencegah masuknya hama dan penyakit. Selain undang-undang tersebut di beberapa daerah telah memiliki peraturan daerah yang mengatur perlindungan hutan guna pelaksanaan perlindungan hutan di tingkat daerah. DAFTAR PUSTAKA. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990. www.profauna.or.id/indo/ regulasi/uuno5th1990.html [5 Sept 2008]. T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 12

. Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1992. www.theceli.com/ dokumen/ produk/1992/uu12-1992.htm [5 Sept 2008].. Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 1992. www.karantinatumbuhan priok.com/admin/peraturan/uu16th992.pdf [5 Sept 2008].. Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999. www.dephut.go.id/ INFORMASI/UNDANG2/uu/41_99.htm [5 Sept 2008].. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004. www.dephut.go.id/ files/45_04.pdf [5 Sept 2008]. Sembiring I, Hasnudi, Irfan, Umar S. 2004. Kearifan tradisional terhadap perlindungan hutan di Kabupaten Dairi. library.usu.ac.id/ modules.php?op=modload&name=downloads&file=index&req=getit &lid=1008 [5 Sept 2008]. Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. T U G A S M. K. T E K N O L O G I P E R L I N D U N G A N H U T A N Page 13